Tuesday, February 28, 2023

Lepra / Kusta

 Lepra

No. ICPC-2 : A78 Infectious disease other/NOS No. ICD-10 : A30 Leprosy [Hansen disease] Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan

Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata- rata 2,5 tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan

Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama di wajah dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal.  Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.

Faktor Risiko

a. Sosial ekonomi rendah

b. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang didiagnosis dengan lepra

c. Imunokompromais

d. Tinggal di daerah endemik lepra

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik

Tanda Patognomonis

a. Tanda-tanda pada kulit

Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak  berbentuk plakat dengan kulit mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak berkeringat dan berambut. Terdapat baal pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula ditemukan nodul.

b. Tanda-tanda pada saraf

Penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit sembuh.

Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada saraf yang ditunjukkan pada gambar 1.4.

c. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi

Untuk kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, simbol-simbol pada gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di rekam medik.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan jaringan kulit.


Gambar 1.4 Saraf tepi yang perlu diperiksa pada lepra/kusta



Gambar 1.5 Penulisan kelainan pemeriksaan fisik pada rekam medik Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal signs), yaitu:

a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa

b. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf

c. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan  kulit (slit skin smear)

 

Sebagian besar pasien lepra didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis.

Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB)

Tabel 1.6 Tanda utama lepra tipe PB dan MB

Tanda Utama

PB

MB

Bercak Kusta

Jumlah 1-5

Jumlah >5

Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf

yang bersangkutan)

Hanya 1 saraf

Lebih dari 1 saraf

Kerokan jaringan kulit

BTA negatif

BTA positif


Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra

 

PB

MB

Distribusi

Unilateral atau

bilateral asimetris

Bilateral simetris

Permukaan bercak

Kering, kasar

Halus, mengkilap

Batas bercak

Tegas

Kurang tegas

Mati rasa pada

bercak

Jelas

Biasanya kurang jelas

Deformitas

Proses  terjadi   lebih

cepat

Terjadi      pada                       tahap

lanjut

Ciri-ciri khas

-

Mandarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonina),

ginekomastia pada pria

Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta


Diagnosis Banding Bercak eritema

a. Psoriasis

b. Tinea circinata

c. Dermatitis seboroik Bercak putih

a. Vitiligo

b. Pitiriasis versikolor

c. Pitiriasis alba Nodul

a. Neurofibromatosis

b. Sarkoma Kaposi

c. Veruka vulgaris Komplikasi

a. Arthritis.

b. Sepsis.

c. Amiloid sekunder.

d. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal) atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/eritema nodosum leprosum/ENL).


Tabel 1.8  Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2

Reaksi Tipe 1

Reaksi Tipe 2

Pasien dengan bercak multipel dan diseminata, mengenai area tubuh yang luas serta keterlibatan saraf

multiple

Obat             MDT,                        kecuali Lampren

Bercak luas pada wajah dan lesi dekat                   mata,                   berisiko                   terjadinya

lagoftalmos karena reaksi

BI >4+

Saat                          puerpurium                     (karena peningkatan CMI). Paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan/ masa menyusui

Kehamilan awal (karena stress mental), trisemester ke-3, dan puerpurium (karena stress fisik), setiap masa kehamilan (karena

infeksi penyerta)

Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C

Infeksi                                            penyerta: streptokokus, virus, cacing,

filarial, malaria

Neuritis atau riwayat nyeri saraf

Stres fisik dan mental

 

Lain-lain seperti trauma, operasi,                                        imunisasi protektif, tes Mantoux positif kuat, minum

kalium hidroksida


Tabel 1. 9 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 kusta

No

Gejala Tanda

Reaksi tipe 1

Reaksi tipe 2

1.

Tipe kusta

Dapat terjadi pada kusta

tipe PB maupun MB

Hanya pada kusta tipe

MB

2.

Waktu timbulnya

Biasanya segera setelah pengobatan

Biasanya setelah mendapat pengobatan yang lama, umumnya

lebih dari 6 bulan

3.

Keadaan umum

Umumnya baik, demam ringan (sub-febris) atau tanpa demam

Ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam

tinggi

4.

Peradangan di kulit

Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang- kadang hanya pada sebagian lesi. Dapat

timbul bercak baru

Timbul nodus kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodus dapat pecah.

5.

Saraf

Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi

saraf. Silent neuritis (+)

Dapat terjadi

6.

Udem pada

ekstrimitas

(+)

(-)

7.

Peradangan pada mata

Anastesi kornea dan lagoftalmos karena keterlibatan N. V dan N.

VII

Iritis, iridosiklitis, galucoma, katarak, dll

8.

Peradangan pada organ

lain

Hampir tidak ada

Terjadi pada testis, sendi, ginjal, kelenjar

getah bening, dll


 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.

b. Kebersihan diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.

c. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.

d. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:

1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.

2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:

a) Relaps

b) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

c) Pindahan (pindah masuk)

d) Ganti klasifikasi/tipe

e. Terapi pada pasien PB:

1) Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg) dan 1 tablet Dapson/DDS 100 mg.

2) Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.

3) Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).

4) Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

f. Terapi pada Pasien MB:

1) Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg), 3 tablet Lampren (klofazimin) @ 100 mg (300 mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.

2) Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.

3) Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).

4) Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg dan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk Lampren 50 mg diselang 1 hari.

g. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat badan:

1) Rifampisin: 10-15 mg/kgBB

2) Dapson: 1-2 mg/kgBB

3) Lampren: 1 mg/kgBB

h. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan B12.

i. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien juga mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.

j. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).


Tabel 1.10 Efek samping obat dan penanganannya

Masalah

Nama Obat

Penanganan

 

Ringan

 

 

 

Air seni berwarna

Rifampisin

Reassurance (Menenangkan penderita dengan penjelasan yang

benar) Konseling

 

Perubahan warna kulit

menjadi coklat

Clofazimin

Konseling

 

Masalah gastrointestinal

Semua obat (3 obat dalam MDT)

Obat diminum bersamaan

dengan makanan (atau setelah makan)

 

Anemia

Dapson

Berikan tablet Fe dan

Asam folat

 

Serius

 

 

 

Ruam kulit yang gatal

Dapson

Hentikan Dapson, Rujuk

 

Alergi urtikaria

Dapson atau

Rifampisin

Hentikan keduanya,

Rujuk

 

Ikterus (kuning)

Rifampisin

Hentikan Rifampisin,

Rujuk

 

Syok, purpura, gagal

ginjal

Rifampisin

Hentikan Rifampisin,

Rujuk

 

                          Syok, purpura, gagal

ginjal

Rifampisin

Hentikan Rifampisin,

Rujuk


Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan dengan pemberian prednison dengan cara pemberian:

a. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan

b. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan

c. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan

d. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan

e. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

f. 2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

g. Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat diberikan Lampren lepas

Konseling dan Edukasi

a. Individu dan keluarga diberikan penjelasan tentang lepra, terutama cara penularan dan pengobatannya.

b. Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.

c. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga lainnya, perlu dibawa dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan.


Rencana tindak lanjut:

a. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.

b. Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.

c. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

d. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko: cacat tingkat 1 atau 2, pernah mengalami reaksi, BTA pada awal pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrat), maka perlu dilakukan pengamatan semiaktif.

e. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.

f. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.

g. Default

Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default. Pasien defaulter tidak diobati kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Namun jika memiliki tanda- tanda klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada pembesaran saraf yang baru).

Bila setelah terapi kembali pada defaulter ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default kedua. Bila default lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus.

Kriteria Rujukan

a. Terdapat efek samping obat yang serius.

b. Reaksi kusta dengan kondisi:

1) ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis.

2) Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.

3) Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak  lambung berat.

Peralatan

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan BTA Prognosis

Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena dapat  terjadi  mutilasi,  demikian pula untuk kejadian berulangnya.


Referensi

a. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan , 2012)

 b. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Djuanda, et al., 2007)


No comments:

Post a Comment

Manajemen Telusur

DOKUMEN TELUSUR POKOK Rencana Strategis ( Renstra )   >>>>>>>>>> View Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dan ...