Gastroenteritis (Kolera Dan Giardiasis)
No. ICPC-2 : D73 Gastroenteritis presumed infection
No. ICD-10 : A09 Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infection origin
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO (World Health Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai
diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan kematian Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan tubuh yang belum optimal. Diare merupakan salah satu penyebab angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab gastroenteritis antara lain infeksi, malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis penderita.
Infeksi yang menyebabkan GE akibat Entamoeba histolytica disebut disentri, bila disebabkan oleh Giardia lamblia disebut giardiasis, sedangkan bila disebabkan oleh Vibrio cholera disebut kolera.
Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan
Pasien datang ke dokter karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus.
Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan volume yang besar (asal dari usus kecil) atau volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila diare disertai demam maka diduga erat terjadi infeksi.
Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau minum dari sumber yang kurang higienenya, GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat bepergian ke daerah dengan wabah diare, riwayat intoleransi laktosa (terutama pada bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu, diet cola, atau makan obat-obatan seperti laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium sitrat, obat jantung quinidine, obat gout (kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid), misoprostol, mesalamin, antikolinesterase dan obat-obat diet perlu diketahui.
Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan demam tifoid perlu diidentifikasi.
Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala diare:
a. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya diare berlangsung, kapan diare muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk mengetahui, apakah termasuk diare kongenital atau didapat, frekuensi BAB, konsistensi dari feses, ada tidaknya darah dalam tinja
b. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
c. Gejala penyerta: sakit perut, kembung, banyak gas, gagal tumbuh.
d. Riwayat bepergian, tinggal di tempat penitipan anak merupakan risiko untukdiare infeksi.
Faktor Risiko
a. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
b. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi obat.
c. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
a. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah.
b. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
c. Pernapasan yang cepat indikasi adanya asidosis metabolik.
d. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.
e. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill
dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
f. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria. Pada anak menggunakan kriteria WHO 1995.
Tabel 3.3 Pemeriksaan derajat dehidrasi
Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg) Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg) Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg) Tabel 3.4 Skor penilaian klinis dehidrasi
Klinis |
Skor |
Rasa hasus/ muntah |
1 |
Tekanan Darah sistolik
60 -90 mmHg |
1 |
Tekanan darah sistolik <60 mmHg |
2 |
Frekuensi nadi > 120 x/menit |
1 |
Kesadaran apati |
1 |
Kesadaran somnolen, spoor atau koma |
2 |
Frekuensi napas > 30x/ menit |
1 |
Facies Cholerica |
2 |
Vox Cholerica |
2 |
Turgor kulit menurun |
1 |
Washer woman’s
hand |
1 |
Ekstremitas dingin |
1 |
Sianosis |
2 |
Umur 50 – 60 tahun |
-1 |
Umur > 60 tahun |
-2 |
Tabel 3.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
|
Penilaian |
A |
B |
C |
|||
|
Lihat : Keadaan umum |
Baik, sadar |
*Gelisah, rewel |
*Lesu, lunglai, atau tidak sadar |
|||
Mata
Air mata Mulut dan lidah Rasa haus |
Normal
Ada Basah Minum biasa tidak haus |
Cekung
Tidak ada Kering *haus ingin minum
banyak |
Sangat
cekung dan kering
Sangat kering *malas minum atau
tidak bias minum |
||||
Periksa turgor kulit |
Kembali cepat |
*kembali lambat |
*kembali sangat lambat |
||||
Hasil pemeriksaan |
Tanpa dehidrasi |
Dehidrasi ringan/sedang Bila ada 1 tanda
(*) ditambah 1 atau lebih tanda lain |
Dehidrasi berat Bila ada 1 tanda
(*) ditambah 1 atau
lebih tanda lain |
||||
Terapi |
Rencana Terapi A |
Rencana Terapi B |
Rencana Terapi C |
Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita HIV), Kolitis pseudomembran
Komplikasi
Syok hipovolemik
Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih lanjut.
Terapi dapat diberikan dengan
a. Memberikan cairan dan diet adekuat
1) Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi.
2) Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.
3) Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein, karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
4) Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan mudah dicerna.
b. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.
Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit, atau antijamur tergantung penyebabnya. Obat antidiare, antara lain:
a. Turunan opioid: Loperamid atau Tinktur opium.
b. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan penggunaannya harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi.
c. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunokompromais, seperti HIV, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya bismuth encephalopathy.
d. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau
smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.
e. Obat antisekretorik atau anti enkefalinase: Racecadotril 3x1 Antimikroba, antara lain:
a. Golongan kuinolonyaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
b. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2x 1 tablet/hari.
c. Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
d. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi.
Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan langkah sebagai berikut:
a. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter. Cairan ini diberikan secara oral atau lewat selang nasogastrik. Cairan lain adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena.
b. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairan inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma dengan rumus:
Defisit cairan : BJ plasma – 1,025 X Berat badan X 4 ml
0,001
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter 15
c. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss. Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila ditemukan:
a. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebih lanjut
b. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun
c. Pasien usia lanjut
d. Muntah yang persisten
e. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable
f. Terjadinya outbreak pada komunitas
g. Pada pasien yang immunokompromais. Konseling dan Edukasi
Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah terjadinya GE dan mencegah penularannya.
Kriteria Rujukan
a. Tanda dehidrasi berat
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Nyeri perut yang signifikan
d. Pasien tidak dapat minum oralit
e. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan Penatalaksanaan pada Pasien Anak
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
a. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti larutan air garam. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.
Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
1) Diare tanpa dehidrasi
a) Umur < 1 tahun: ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret (50–100 ml)
b) Umur 1 – 4 tahun: ½-1 gelas setiap kali anak mencret (100–200 ml)
c) Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret (200– 300 ml)
2) Diare dengan dehidrasi ringan sedang
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
3) Diare dengan dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk diinfus.
Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur
Umur Jumlah oralit yang Jumlah oralit yang disediakan
|
diberikan tiap
BAB |
di rumah |
|
< 12 bulan 1-4 tahun |
50-100 ml 100-200 ml |
400 ml/hari ( 2 bungkus) 600-800 ml/hari ( |
3-4 |
>
5 tahun |
200-300 ml |
bungkus) 800-1000 ml/hari |
(4-5 |
Dewasa |
300-400 ml |
bungkus) 1200-2800 ml/hari |
|
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan- lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti.
b. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
1) Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari.
2) Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.
c. Teruskan pemberian ASI dan Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan beratbadan
d. Antibiotik Selektif
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena Shigellosis) dan suspek kolera Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat- obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
e. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:
1) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
a) Diare lebih sering
b) Muntah berulang
c) Sangat haus
d) Makan/minum sedikit
e) Timbul demam
f) Tinja berdarah
g) Tidak membaik dalam 3 hari. Konseling dan Edukasi
Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Departemen Kesehatan RI (2006) adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ASI
b. Pemberian makanan pendamping ASI
c. Menggunakan air bersih yang cukup
d. Mencuci tangan
e. Menggunakan jamban
f. Membuang tinja bayi dengan benar
g. Pemberian imunisasi campak Kriteria Rujukan
a. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak ada fasilitas rawat inap dan pemasangan intravena.
b. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau tercapai dalam 3 jam pertama penanganan.
c. Anak dengan diare persisten
d. Anak dengan syok hipovolemik
Peralatan
Infus set, cairan intravena, peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin, feses dan WIDAL
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam.
Referensi
a. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
b. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita. Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
c. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
d. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi,
A. Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2009.
e. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
f. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962-964. (Braunwald, et al., 2009)
g. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 1275- 1280.
No comments:
Post a Comment