- 1 -
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
21 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN MASA
SEBELUM
HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN,
PELAYANAN KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2)
dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, dan Pasal 18, Pasal 25, dan Pasal 28
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, perlu
mengatur pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, masa
sesudah melahirkan, pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual;
b. bahwa
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan
Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat,
sehingga perlu diganti;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Penyelenggaraan
-
2 -
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil,
Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual;
Mengingat :
1. Pasal 17 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang
Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 5559);
6. Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 83);
7. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 1146);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI
KESEHATAN
TENTANG
PENYELENGGARAAN
PELAYANAN KESEHATAN MASA
SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN,
DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN
KESEHATAN SEKSUAL.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud
dengan:
1. Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum
hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi hamil sehat.
2. Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga melahirkan.
3. Pelayanan
Kesehatan Persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah
melahirkan.
4. Pelayanan
Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan pada ibu selama masa nifas dan pelayanan yang mendukung
bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2 (dua) tahun.
5. Pelayanan
Kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan pemberian obat,
pemasangan atau pencabutan alat
kontrasepsi dan tindakan-tindakan lain dalam upaya mencegah kehamilan.
6. Pelayanan
Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan pada kesehatan seksualitas.
7. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
8. Pemerintah
Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara
- 4 -
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
9. Pemerintah
Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
otonom
10. Menteri
adalah Menteri yang menyelenggarakan urusanpemerintah di bidang kesehatan.
Pasal
2
Pengaturan penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan,
dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan
Seksual bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan
bayi baru lahir dengan:
a. menyiapkan
kesehatan remaja, calon pengantin, dan/atau pasangan usia subur pada masa
sebelum hamil;
b. menjamin
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas;
c.
menjamin tercapainya kualitas hidup dan
pemenuhan hak-hak reproduksi;
d. menjamin
kualitas Pelayanan Kontrasepsi; dan
e.
mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Pasal
3
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan,
sarana, prasarana, dan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil,
Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual.
Pasal
4
(1) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual diselenggarakan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara
menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.
(2) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan baik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik pemerintah dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan milik swasta, atau di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Tenaga
kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan
Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan
Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam peraturan Menteri ini dan standar yang berlaku.
BAB
II
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL,
MASA
HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH
MELAHIRKAN
Bagian
Kesatu
Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil
Pasal
5
(1) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilakukan untuk mempersiapkan kehamilan dan
persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat.
(2) Kegiatan
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pemberian
komunikasi, informasi dan edukasi;
b. pelayanan
konseling;
c.
pelayanan skrining kesehatan;
d. pemberian
imunisasi;
e.
pemberian suplementasi gizi;
f.
pelayanan medis; dan/atau
g.
pelayanan kesehatan lainnya.
Pasal
6
(1) Komunikasi,
informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
diberikan melalui ceramah tanya jawab, diskusi kelompok terarah, dan diskusi
interaktif.
(2) Komunikasi,
informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan sarana dan media komunikasi, informasi, dan edukasi.
(3) Materi
komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sesuai tahapan tumbuh kembang dan kebutuhan masing-masing kelompok umur.
Pasal
7
(1) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dapat diberikan
secara individual, berpasangan, atau kelompok.
(2) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan sesuai kebutuhan
klien.
(3) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan/atau fasilitas lainnya.
Pasal
8
(1) Pelayanan
skrining kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c
dilakukan melalui:
a.
anamnesis;
b. pemeriksaan
fisik; dan
c.
pemeriksaan penunjang.
(2) Anamnesis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk memperoleh informasi
tentang keluhan, penyakit yang diderita, riwayat penyakit, faktor risiko,
termasuk deteksi dini masalah kesehatan jiwa.
(3) Pemeriksaan
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
a.
pemeriksaan tanda vital;
b. pemeriksaan
status gizi;
c.
pemeriksaan tanda dan gejala anemia; dan
d. pemeriksaan
fisik lengkap sesuai indikasi medis.
(4) Pemeriksaan
penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pelayanan
kesehatan yang dilakukan berdasarkan indikasi medis dan/atau kebutuhan program
kesehatan.
(5) Dalam
hal hasil pelayanan skrining ditemukan permasalahan kesehatan, wajib
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
9
(1) Pemberian
imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d dilakukan dalam
upaya pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi dalam rangka menyiapkan kehamilan yang sehat bagi ibu dan bayi.
(2) Pemberian
imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada hasil skrining status
imunisasi.
(3) Ketentuan
mengenai pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
10
Pemberian suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf e bertujuan untuk mengoptimalkan asupan gizi pada masa
sebelum hamil.
Pasal
11
(1) Pelayanan
medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f merupakan tata
laksana untuk menindaklanjuti masalah kesehatan yang ditemukan pada masa
sebelum hamil.
(2) Pelayanan
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
12
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilaksanakan sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan,
dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian
Kedua
Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil
Pasal
13
(1) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan
sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat dan
berkualitas.
(2) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses
persalinan.
(3) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil dilakukan paling sedikit 6 (enam) kali selama masa
kehamilan meliputi:
a. 1
(satu) kali pada trimester pertama;
b. 2
(dua) kali pada trimester kedua; dan
c.
3 (tiga) kali pada trimester ketiga.
(4) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dan paling sedikit 2 (dua)
kali oleh dokter atau dokter spesialis kebidanan dan kandungan pada trimester
pertama dan ketiga.
(5) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil yang dilakukan dokter atau dokter spesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) termasuk pelayanan ultrasonografi (USG).
(6) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan melalui
pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu.
(7) Pelayanan
antenatal sesuai dengan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
a. pengukuran
berat badan dan tinggi badan;
b. pengukuran
tekanan darah;
c.
pengukuran lingkar lengan atas (LiLA);
d. pengukuran
tinggi puncak rahim (fundus uteri);
e.
penentuan presentasi janin dan denyut jantung
janin;
f.
pemberian imunisasi
sesuai dengan status
imunisasi;
g.
pemberian tablet tambah darah minimal 90
(sembilan puluh) tablet;
h. tes
laboratorium;
i.
tata laksana/penanganan kasus; dan
j.
temu wicara (konseling) dan penilaian kesehatan
jiwa.
(8) Pelayanan
antenatal secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan pelayanan
komprehensif dan berkualitas yang dilakukan secara terintegrasi dengan program
pelayanan kesehatan lainnya termasuk pelayanan kesehatan jiwa .
(9) Pelayanan
antenatal sesuai standar dan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dan ayat (8) dilakukan dengan prinsip:
a. deteksi
dini masalah penyakit dan penyulit atau komplikasi kehamilan;
b. stimulasi
janin pada saat kehamilan;
c.
persiapan persalinan yang bersih dan aman;
d. perencanaan
dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi; dan
e.
melibatkan ibu hamil, suami, dan keluarga dalam
menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil dan menyiapkan persalinan dan kesiagaan jika
terjadi penyulit atau komplikasi.
(10) Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatat dalam
kartu ibu/rekam medis, formulir pencatatan kohort ibu, dan buku kesehatan ibu
dan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
14
(1) Ibu
hamil yang mengalami keguguran wajib
mendapatkan pelayanan kesehatan asuhan
pascakeguguran yang berupa:
a. pelayanan
konseling; dan
b. pelayanan
medis.
(2) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebelum dan
setelah pelayanan medis.
(3) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit meliputi:
a. konseling
dukungan psikososial;
b. konseling
tata laksana medis/klinis; dan
c.
konseling perencanaan kehamilan termasuk
pelayanan kontrasepsi pascakeguguran.
(4) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
(5) Konseling
perencanaan kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan
sampai dengan 14 (empat belas) hari pascakeguguran dalam upaya perencanaan
kehamilan.
(6) Pelayanan
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. tindakan
pengeluaran hasil konsepsi secara farmakologis dan/atau operatif;
b. tata
laksana nyeri; dan
c.
tata laksana pascatindakan pengeluaran sisa
hasil konsepsi.
(7) Pelayanan
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan oleh dokter atau dokter spesialis yang memiliki kompetensi dan
kewenangan.
Pasal
15
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilaksanakan sesuai dengan
Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian
Ketiga
Pelayanan Kesehatan Persalinan
Pasal
16
(1) Persalinan
dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Persalinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim paling sedikit 1 (satu)
orang tenaga medis dan 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
dan kewenangan.
(3) Tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. dokter,
bidan, dan perawat; atau
b. dokter
dan 2 (dua) bidan.
(4) Dalam
hal terdapat keterbatasan akses
persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan ayat (2), persalinan tanpa komplikasi dapat dilakukan oleh tim
paling sedikit 2 (dua) orang tenaga kesehatan.
(5) Keterbatasan
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. kesulitan
dalam menjangkau Fasilitas Pelayanan Kesehatan karena jarak dan/atau kondisi
geografis; dan
b. tidak
ada tenaga medis.
Pasal
17
(1) Ibu
dan janin dengan komplikasi kehamilan dan persalinan, maka persalinan dilakukan
di rumah sakit sesuai
kompetensinya.
(2) Dalam
hal ibu dan janin mengalami komplikasi atau kegawatdaruratan saat di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, pihak Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama harus melakukan tindakan prarujukan dan segera dirujuk ke rumah
sakit.
Pasal
18
(2) Persalinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat
(1) harus memenuhi 7 (tujuh) aspek yang
meliputi:
a. membuat
keputusan klinik;
b. asuhan
sayang ibu dan bayi termasuk Inisiasi
Menyusu
Dini (IMD) dan resusitasi bayi baru lahir;
c.
pencegahan infeksi;
d. pencegahan
penularan penyakit dari ibu ke anak;
e.
persalinan bersih dan aman;
f.
pencatatan atau rekam medis asuhan persalinan;
dan
g.
rujukan pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru
lahir.
(3) Persalinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar persalinan normal atau standar
persalinan komplikasi.
Pasal
19
(1) Ibu
dan bayi baru lahir harus dilakukan observasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam setelah persalinan.
(2) Dalam
hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir normal maka dapat dipulangkan setelah
dilakukan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam
hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir mengalami komplikasi dan memerlukan
parawatan lebih lanjut, maka hanya dapat dipulangkan apabila kondisi telah
sesuai dengan kriteria layak pulang berdasarkan pemeriksaan tenaga medis.
Pasal
20
Pelayanan Kesehatan Persalinan
dilaksanakan sesuai dengan
Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian
Keempat
Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah
Melahirkan
Pasal
21
(1) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
meliputi:
a. pelayanan
kesehatan bagi ibu;
b. pelayanan
kesehatan bagi bayi baru lahir; dan
c.
pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak.
(2) Pelayanan Kesehatan bagi ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling sedikit 4 (empat) kali yang
meliputi:
a. 1
(satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari
pascapersalinan;
b. 1
(satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh) hari
pascapersalinan;
c.
1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari
sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari
pascapersalinan;
dan
d. 1
(satu) kali pada periode 29 (dua puluh sembilan) hari sampai dengan 42 (empat
puluh dua) hari pascapersalinan.
(3) Pelayanan
kesehatan yang diberikan pada periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a merupakan pelayanan kesehatan di luar pelayanan persalinan dan dapat
dilakukan sebelum ibu dipulangkan sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(4) Pelayanan
kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemeriksaan
dan tata laksana menggunakan algoritma tata laksana terpadu masa nifas;
b. identifikasi
risiko dan komplikasi;
c.
penanganan risiko dan komplikasi;
d. konseling;
dan
e.
pencatatan pada buku kesehatan ibu dan anak,
kohort ibu dan kartu ibu/rekam medis.
(5) Pelayanan
kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada (1) huruf b dilakukan
paling sedikit 3 (tiga) kali yang meliputi:
a. 1
(satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari
pascapersalinan;
b. 1
(satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh) hari
pascapersalinan; dan
c.
1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari
sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari
pascapersalinan;
(6) Pelayanan
kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan bagi ibu yang meliputi:
a. pelayanan
kesehatan neonatal esensial dengan mengacu pada pendekatan manajemen terpadu
balita sakit;
b. skrining
bayi baru lahir;
c.
stimulasi deteksi intervensi dini pertumbuhan
perkembangan; dan
d. pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi kepada ibu dan keluarganya mengenai
perawatan dan pengasuhan bayi baru lahir.
(7) Pelayanan
kesehatan bagi bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Pelayanan
Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar
pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
22
Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan dilaksanakan
sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa
Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran
I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB
III
PELAYANAN
KONTRASEPSI
Pasal
23
(1) Pelayanan
Kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi
agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan.
(2) Pelayanan
Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. kegiatan
prapelayanan kontrasepsi;
b. tindakan
pemberian Pelayanan Kontrasepsi; dan
c.
kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.
Pasal
24
(1) Kegiatan
prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a
dilakukan untuk menyiapkan klien dalam memilih metode kontrasepsi.
(2) Kegiatan
prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian
komunikasi, informasi dan edukasi;
b. pelayanan
konseling;
c.
penapisan kelayakan medis; dan
d. permintaan
persetujuan tindakan tenaga kesehatan.
(3) Pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang perencanaan
keluarga.
(4) Pelayanan
konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada klien mengenai pilihan kontrasepsi berdasarkan tujuan
reproduksinya.
(5) Pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus
dilakukan secara memadai sampai klien dapat memutuskan untuk memilih metode
kontrasepsi yang akan digunakan.
(6) Penapisan
kelayakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dimaksudkan sebagai
upaya untuk melakukan kajian tentang kondisi kesehatan klien yang akan
disesuaikan dengan pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
(7) Permintaan
persetujuan tindakan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
d diberikan secara tertulis atau lisan.
Pasal
25
(1) Pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
huruf a dan pelayanan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
huruf b dilakukan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penapisan
kelayakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c dan
permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) huruf d dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan.
Pasal
26
(1) Persetujuan
tindakan tenaga kesehatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (7) meliputi:
a. tindakan
tubektomi atau vasektomi diperlukan dari pasangan suami istri; dan
b. suntik,
pemasangan, atau pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim dan implan diperlukan
dari pihak yang akan menerima tindakan.
(2) Persetujuan
tindakan tenaga kesehatan secara lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(7) diperlukan dari pihak yang akan menerima tindakan pada pemberian pil atau
kondom.
Pasal
27
(1) Tindakan
pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf b meliputi pemberian kondom, pil, suntik, pemasangan atau pencabutan
implan, pemasangan atau pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim, pelayanan
tubektomi, pelayanan vasektomi dan konseling Metode Amenorea Laktasi (MAL).
(2) Tindakan
pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada:
a. masa
interval;
b. pascapersalinan;
c.
pascakeguguran; atau
d. pelayanan
kontrasepsi darurat.
(3) Tindakan
pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Pasal
28
(1) Tindakan
pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
diberikan sesuai dengan metode kontrasepsi yang diputuskan dan disetujui oleh
klien tanpa paksaan.
(2) Pemilihan
metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a.
mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, dan
kondisi kesehatan klien; dan
b.
sesuai dengan tujuan reproduksi klien.
(3) Tujuan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a.
menunda kehamilan pada pasangan muda, ibu yang
belum berusia 20 (dua puluh) tahun, atau klien yang memiliki masalah kesehatan;
b.
mengatur jarak kehamilan pada klien yang berusia
antara 20 (dua puluh) sampai 35 (tiga puluh lima) tahun; atau
c.
tidak menginginkan kehamilan pada klien yang
berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun.
Pasal
29
(1) Metode
kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) terdiri atas:
a. metode
kontrasepsi jangka panjang; dan
b. non-metode
kontrasepsi jangka panjang.
(2) Metode
kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
alat kontrasepsi dalam rahim, implan, vasektomi, dan tubektomi.
(3) Pemberian
pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a harus dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
(4) Non-metode
kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
kontrasepsi dengan metode suntik, pil, kondom, dan Metode Amenorea Laktasi
(MAL).
(5) Pemberian
pelayanan non-metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(6) Pelayanan
non-metode kontrasepsi jangka panjang dengan metode kondom sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat diberikan oleh tenaga non kesehatan dan di luar
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal
30
(1) Pelayanan
kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d
diberikan kepada perempuan yang tidak terlindungi kontrasepsi atau korban
perkosaan untuk mencegah kehamilan.
(2) Kontrasepsi
darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam waktu 5 (lima) hari
pascasenggama atau kejadian perkosaan.
(3) Pelayanan
kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kompetensi dan
kewenangan.
Pasal
31
(1) Kegiatan
pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c
dilakukan untuk memantau dan menangani efek samping penggunaan kontrasepsi,
komplikasi penggunaan kontrasepsi, dan kegagalan kontrasepsi.
(2) Efek
samping penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perubahan sistem, alat, dan fungsi tubuh yang timbul akibat dari penggunaan
alat atau obat kontrasepsi dan tidak berpengaruh serius terhadap klien.
(3) Komplikasi
penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gangguan
kesehatan
yang dialami oleh klien sebagai akibat dari pemakaian
kontrasepsi.
(4) Kegagalan
kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjadinya kehamilan
pada klien saat menggunakan kontrasepsi.
(5) Kegiatan
pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemberian konseling, pelayanan medis, dan/atau rujukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
32
Pelayanan Kontrasepsi dilaksanakan sesuai
dengan Pedoman
Pelayanan
Kontrasepsi sebagaimana tercantum
dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB
IV
PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL
Pasal
33
(1) Pelayanan
Kesehatan Seksual diberikan agar setiap orang menjalani kehidupan seksual yang
sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan
rasa bersalah.
(2) Kehidupan
seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehidupan
seksual yang:
a. terbebas
dari infeksi menular seksual;
b. terbebas
dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;
c.
terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
d. mampu
mengatur kehamilan; dan
e.
sesuai dengan etika dan moralitas.
Pasal
34
(1) Pelayanan
Kesehatan Seksual dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
(2) Pelayanan
Kesehatan Seksual dilakukan melalui:
a. keterampilan
sosial;
b. komunikasi,
informasi, dan edukasi;
c.
konseling;
d. pemeriksaan
dan pengobatan; dan
e.
perawatan.
(3) Pelayanan
Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
terintegrasi dengan program atau pelayanan kesehatan lainnya.
(4) Program
atau pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. kesehatan
ibu dan anak;
b. keluarga
berencana;
c.
kesehatan reproduksi;
d. kesehatan
remaja;
e.
kesehatan lanjut usia;
f.
pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS, Hepatitis
B dan infeksi menular seksual (sifilis);
g.
pencegahan risiko kanker serviks melalui
pemeriksaan IVA; dan
h. kesehatan
jiwa.
BAB
V
DUKUNGAN
MANAJEMEN
Bagian
Kesatu
Pencatatan
dan Pelaporan
Pasal
35
(1) Setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Masa Sesudah
Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan
Seksual harus melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan mekanisme yang
berlaku.
(2) Pencatatan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pencatatan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. pemantauan
dan evaluasi;
b. kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus;
c.
advokasi dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan secara efektif dan efisien; dan
d. perencanaan
dan penganggaran terpadu.
(4) Kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b meliputi:
a. pemantauan
wilayah setempat kesehatan ibu dan anak; dan
b. audit
maternal perinatal, surveilans dan respon.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai audit maternal perinatal, surveilans, dan respon
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian
Kedua
Manajemen
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
Pasal
36
(1) Manajemen
pelayanan kesehatan reproduksi terpadu merupakan pengelolaan kegiatan pelayanan
kesehatan dengan pendekatan yang mengintegrasikan semua pelayanan kesehatan
dalam lingkup kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan ibu dan anak,
keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan
infeksi menular seksual termasuk HIV-AIDS dan hepatitis B, dan pelayanan
kesehatan reproduksi lainnya.
(2) Pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan pada tiap tahapan siklus kehidupan yang dimulai dari tahap
konsepsi, bayi dan anak, remaja, usia subur dan lanjut usia.
(3) Pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(4) Pelayanan
kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi melalui upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilatif.
BAB
VI
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Pasal
37
(1) Dalam
rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masa sebelum hamil,
masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual yang optimal, diperlukan pemberdayaan masyarakat.
(2) Pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menggerakkan
masyarakat agar berperan serta dalam upaya kesehatan dan mengelola upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat.
(3) Peran
serta dalam upaya kesehatan dan mengelola upaya kesehatan bersumber daya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a. Posyandu,
Posyandu remaja, dan Posbindu serta upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
lainnya;
b. program
perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi;
c.
pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak;
d. penyelenggaraan
kelas ibu;
e.
promosi program keluarga berencana;
f.
rumah tunggu kelahiran; dan
g.
pemberdayaan dukun bayi dalam mendampingi ibu
dan bayi baru lahir.
(4) Pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan dan/atau
ditambahkan dalam bentuk lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
setempat.
(5) Pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat dilakukan
pembinaan dan pendampingan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
38
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 37
dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
BAB
VII
PENDANAAN
Pasal
39
Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, masyarakat, dan
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB
VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal
40
(1) Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan program Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Pelayanan
Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan
Seksual, sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya
masing-masing.
(2) Pembinaan
dan pengawasan yang dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. koordinasi,
sosialisasi, dan advokasi;
b. peningkatan
kapasitas sumber daya manusia; dan/atau
c.
pemantauan dan evaluasi.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal
41
(1) Dalam
rangka pembinaan, penjagaan mutu, dan perencanaan terhadap Pelayanan Kesehatan
Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Masa Sesudah Melahirkan, dan
Pelayanan Kontrasepsi, pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyeliaan
fasilitatif.
(2) Penyeliaan
fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu model
peningkatan kualitas pelayanan dasar kesehatan ibu dan anak dalam rangka
pemenuhan standar.
(3) Penyeliaan
fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat
melibatkan organisasi profesi.
(4) Penyeliaan
fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan
secara berjenjang dan berkesinambungan.
(5) Peningkatan
kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan proses
bimbingan, pelatihan, pendampingan, penyuluhan, dan peningkatan motivasi
petugas kesehatan di lapangan.
(6) Pelaksanaan
penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat
(4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB
IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
42
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai
berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014
tentang Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan
Pelayanan
Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 135), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
43
Peraturan Menteri
ini mulai
berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2021
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 27 Juli 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BENNY RIYANTO
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021
NOMOR 853
LAMPIRAN
I
PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN
PELAYANAN
KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL,
MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN
KONTRASEPSI,
DAN
PELAYANAN
KESEHATAN
SEKSUAL
PEDOMAN
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi adalah keadaan yang
menunjukkan kondisi kesehatan fisik, mental, dan sosial seseorang dihubungkan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksinya, termasuk tidak adanya penyakit
dan kelainan yang mempengaruhi kesehatan reproduksi tersebut. Dalam lingkup
kesehatan reproduksi, kesehatan ibu selama kehamilan, persalinan, dan nifas
menjadi masalah utama kesehatan reproduksi perempuan. Setiap orang berhak untuk
menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
sesuai dengan norma agama. Hak reproduksi perorangan sebagai bagian dari
pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional dapat
diartikan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang
perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, mempunyai hak yang sama untuk
memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab kepada diri, keluarga dan
masyarakat mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan waktu
kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015
menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 305 per 100.000
kelahiran hidup dan berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2017 Angka Kematian Bayi (AKB) 24 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu,
data
SDKI 2017 menunjukkan angka kelahiran pada
perempuan usia 15-19 tahun
(Age Specific Fertility Rate/ASFR) sebesar 36 per 1000. Hasil kajian
lanjut Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa 6,9% kematian ibu terjadi pada
perempuan usia kurang dari 20 tahun dan 92% meninggal saat hamil atau
melahirkan anak pertama.
Hasil Sistem Registrasi Sampel (SRS,
Balitbangkes) tahun 2016 menunjukkan data penyebab kematian ibu adalah
hipertensi (33,7%), perdarahan (27,03%), komplikasi non obstetrik (15,7%),
komplikasi obstetrik lainnya (12,04 %), infeksi (4%) dan lain-lain (4,5%).
Penyebab kematian bayi baru lahir adalah komplikasi kejadian intrapartum
(28,3%), gangguan respiratori dan kardiovaskuler ( 21,3 % ), BBLR dan prematur
(19 %), infeksi (7,3 %), tetanus neonatorum (1,2 %), lain-lain (8,2 %).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bahwa setiap perempuan berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan berkualitas
serta mengurangi angka kematian ibu. Upaya yang dilakukan sesuai dengan
pendekatan siklus hidup “continuum of
care” yang dimulai dari masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, sampai
dengan masa sesudah melahirkan.
Dalam upaya peningkatan kesehatan masa
sebelum hamil, persiapan kondisi fisik, mental, dan sosial harus disiapkan
sejak dini, yaitu dimulai dari masa remaja. Selain remaja, upaya peningkatan
kesehatan masa sebelum hamil juga diberikan kepada pasangan calon pengantin dan
Pasangan Usia Subur (PUS). Pelayanan bertujuan agar ketiga kelompok sasaran
tersebut menjalankan perilaku hidup sehat, melakukan deteksi dini penyakit
maupun faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya, dan mendapatkan
intervensi sedini mungkin jika ditemukan faktor risiko. Diharapkan setiap
pasangan dapat mempersiapkan kesehatan yang optimal dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia dan generasi yang sehat dan berkualitas.
Sementara itu, pelayanan kesehatan masa
hamil ditujukan kepada semua ibu hamil. Pelayanan kesehatan ini harus
dilaksanakan secara komprehensif, terpadu, dan berkualitas sehingga dapat
mendeteksi masalah atau penyakit dan dapat ditangani secara dini. Setiap ibu
hamil diharapkan dapat menjalankan kehamilannya dengan sehat, bersalin dengan
selamat, serta melahirkan bayi yang sehat.
Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil,
masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan
kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 perlu dilakukan revisi karena beberapa hal tidak sesuai dengan
standar pelayanan minimal bidang kesehatan dan perkembangan program kesehatan
keluarga yang memerlukan pengaturan yang lebih komprehensif, diantaranya
berdasarkan kajian, dan rekomendasi global seperti rekomendasi WHO dalam
pelayanan masa sebelum hamil, pelayanan
antenatal care tahun 2016,
rekomendasi WHO dalam pelayanan intrapartum,
rekomendasi American Collage of
Obstestricians and Gynecologists (ACOG) dalam level pelayanan maternal, dan
lainnya.
BAB
II
PELAYANAN
KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL
Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil
adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada
perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan
perempuan untuk menjalani kehamilan yang sehat. Kegiatan juga ditujukan kepada
lakilaki karena kesehatan laki-laki juga dapat mempengaruhi kesehatan
reproduksi perempuan.
Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil
ditujukan pada kelompok sasaran yaitu remaja, calon pengantin, dan Pasangan
Usia Subur (PUS), serta sasaran lainnya misalnya kelompok dewasa muda.
Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil meliputi pemberian komunikasi, informasi
dan edukasi, pelayanan konseling, pelayanan skrining kesehatan, pemberian
imunisasi, pemberian suplementasi gizi, pelayanan medis, dan pelayanan
kesehatan lainnya, dengan memberikan penekanan yang berbeda sesuai dengan
kebutuhan khusus untuk setiap kelompok. Pada kelompok remaja, pelayanan
kesehatan masa sebelum hamil ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang
dewasa yang sehat dan produktif, agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan
yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
Sedangkan untuk calon pengantin dan PUS, pelayanan kesehatan masa sebelum hamil
bertujuan untuk mempersiapkan pasangan agar sehat sehingga perempuan dapat
menjalankan proses kehamilan, persalinan yang sehat dan selamat, serta
melahirkan bayi yang sehat.
A. Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil Bagi Remaja
1. Pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
bagi remaja merupakan proses penyampaian pesan baik secara langsung maupun
tidak langsung yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
perilaku remaja sehingga mendorong terjadinya proses perubahan perilaku ke arah
yang positif, terkait upaya peningkatan kesehatannya agar tetap sehat, aktif,
mandiri, dan berdaya guna baik bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun
masyarakat.
Ketika remaja memberikan informasi kepada
tenaga kesehatan, mereka cenderung akan memberikan informasi tentang gangguan
kesehatan yang sangat mengganggu mereka, padahal mereka mungkin memiliki
gangguan kesehatan lain atau kekhawatiran lain yang tidak akan disampaikan
kecuali ditanyakan secara langsung. Remaja cenderung tidak akan menyampaikan
informasi tentang gangguan kesehatan atau kekhawatiran mereka dengan sukarela
karena merasa malu atau takut, atau karena mereka tidak merasa nyaman dengan
tenaga kesehatan atau situasi yang mereka hadapi. Sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, KIE kesehatan
remaja diberikan antara lain melalui ceramah tanya jawab, kelompok diskusi
terarah, dan diskusi interaktif dengan menggunakan sarana dan media KIE.
Untuk dapat membina hubungan baik dengan
klien remaja, perhatikanlah hal-hal berikut:
a. Remaja
dapat datang sendirian atau bersama bersama orang tua/teman/orangtua dewasa
lain. Jika remaja ditemani oleh orang dewasa, jelaskan pada pendampingnya bahwa
anda ingin menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan remaja tersebut. Dalam
keadaan tertentu, tenaga kesehatan mungkin akan memerlukan waktu khusus untuk
berbicara hanya dengan klien remaja tersebut.
b. Terapkan
teknik komunikasi efektif, meliputi kontak mata, posisi sejajar, menjadi
pendengar yang aktif, dan tidak memotong pembicaraan klien.
c.
Banyak masalah kesehatan remaja yang sensitif
dalam masyarakat. Ketika ditanyakan oleh tenaga kesehatan tentang hal yang
sensitif seperti aktivitas seksual atau penyalahgunaan obat-obatan, remaja
mungkin cenderung menyembunyikan informasi tersebut karena khawatir mendapatkan
penilaian negatif dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu mulailah dengan
percakapan dengan masalah-masalah umum yang kurang sensitif dan tidak
berbahaya.
Materi KIE yang dapat diberikan pada remaja sesuai
kebutuhan antara lain:
1) Keterampilan
psikososial melalui Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS)
2) Pola
makan gizi seimbang
3) Aktivitas
fisik
4) Pubertas
5) Aktivitas
seksual
6) Kestabilan
emosional
7) Penyalahgunaan
NAPZA termasuk tembakau dan alkohol
8) Cedera
yang tidak disengaja
9) Kekerasan
dan penganiayaan
10) Pencegahan
kehamilan dan kontrasepsi
11) HIV
dan Infeksi Menular Seksual (IMS)
12) Imunisasi
KIE bagi remaja dapat dilaksanakan di sekolah maupun di
luar sekolah. KIE dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dan/atau kader
kesehatan terlatih (guru/pendamping anak di LKSA/LPKA/pondok pesantren dan/atau
kader remaja).
2. Pelayanan Konseling
Konseling adalah proses pertukaran
informasi dan interaksi positif antara klien dan tenaga kesehatan untuk
membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih solusi terbaik, dan membuat
keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Konseling
adalah pertemuan tatap muka antara dua pihak, dimana satu pihak membantu pihak
lain untuk mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya sendiri kemudian
bertindak sesuai keputusannya.
Konseling juga bermanfaat untuk
mendeteksi gangguan kesehatan dan perkembangan yang tidak disampaikan oleh
remaja, mendeteksi apakah remaja melakukan perilaku yang membahayakan atau
menyebabkan gangguan kesehatan (seperti menyuntikkan obatobatan atau hubungan
seksual yang tidak aman), dan mendeteksi berbagai faktor penting dalam
lingkungan remaja yang dapat meningkatkan kecenderungan mereka untuk melakukan
perilakuperilaku tersebut. Untuk keperluan ini, tenaga kesehatan dapat
menggunakan metode penilaian HEEADSSS (Home,
Education/Employment, Eating, Activity,
Drugs, Sexuality, Safety, Suicide).
Konseling bagi remaja dapat dilaksanakan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau fasilitas lainnya. Konseling diberikan
oleh tenaga kesehatan terlatih dan/atau kader kesehatan yang terlatih (guru/ pendamping anak/konselor
sebaya di
sekolah/madrasah/pondok
pesantren/LKSA/LPKA
3. Pelayanan Skrining Kesehatan
Pelayanan skrining kesehatan dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa
langkah yang dilakukan yaitu:
a. Anamnesis
1) Anamnesis
Umum
Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara
antara tenaga kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan,
penyakit yang diderita, riwayat penyakit, dan faktor risiko pada remaja.
Anamnesis Umum |
|
Keluhan Utama |
Keluhan atau
sesuatu yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan
kesehatan (tujuan memeriksakan diri). Misalnya: telat haid dari biasanya. |
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) |
a) Penjelasan
dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama
tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan. b) Menemukan
adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi,
tingkat keparahan, serta faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi
keluhan). c) Kebiasaan/lifestyle (merokok, konsumsi makanan
berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dan
sebagainya). |
Anamnesis Umum |
||
|
a) |
Mencari hubungan antara
keluhan dengan faktor atau suasana psikologis dan emosional pasien, termasuk
pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya. |
|
b) |
Apakah keluhan sudah
diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan
apakah ada riwayat alergi. |
|
c) |
Obat-obatan yang
digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat
hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi
alkohol. |
|
d) |
Riwayat haid: kapan
mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu
haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid. |
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) |
a) |
Keterangan terperinci
dari semua penyakit yang pernah dialami dan sedapat mungkin dituliskan
menurut urutan waktu. |
|
b) |
Penyakit yang diderita sewaktu kecil. |
|
c) |
Penyakit yang diderita sesudah dewasa beserta waktu
kejadiannya. |
|
d) |
Riwayat
alergi dan riwayat operasi. |
|
e) |
Riwayat pemeliharaan
kesehatan, seperti imunisasi, screening
test, dan pengaturan pola hidup. |
|
f) |
Riwayat
trauma fisik, seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan |
Anamnesis Umum |
|
|
lain-lain. g) Riwayat
penyakit gondongan (khusus laki-laki). |
Riwayat
Penyakit Keluarga (RPK) |
a) Riwayat
mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan
tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur
waktu meninggal dan sebabnya. Gambarkan
bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini. b) Tuliskan
hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara
anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga,
misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.
|
•
2) Anamnesis
HEEADSSS
Anamnesis
HEEADSSS (Home, Education/Employment,
Eating, Activity,
Drugs, Sexuality, Safety, Suicide) bertujuan untuk menggali dan mendeteksi
permasalahan yang dialami remaja. Pendekatan ini memandu tenaga kesehatan untuk
bertanya pada remaja mengenai aspek-aspek penting yang dapat menimbulkan
masalah psikososial bagi mereka. Sebelum melakukan anamnesis pada remaja,
tenaga kesehatan perlu membina hubungan baik, menjamin kerahasiaan, dan
terlebih dahulu mengatasi masalah klinis atau kegawatdaruratan yang ada pada
remaja.
Tidak semua masalah remaja yang ditemukan dapat
diselesaikan pada satu kali kunjungan, tetapi dibutuhkan beberapa kali
kunjungan. Biasanya pada saat pertama kali kunjungan tenaga kesehatan harus
sudah mengidentifikasi dan memilih untuk menangani masalah yang diperkirakan
menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar pada remaja tersebut. Tenaga
kesehatan harus memberikan rasa aman dan nyaman, sehingga menimbulkan rasa
percaya remaja kepada tenaga kesehatan sehingga mereka berkeinginan kembali ke
Puskesmas untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Anamnesis
HEEADSSS |
||
Penilaian HEEADSSS |
Hal yang perlu
digali |
|
Home (Rumah/Tempat tinggal) Tenaga kesehatan
menggali kemungkinan remaja memiliki masalah di dalam rumah/tempat
tinggal. |
a) Tingkat
kenyamanan. b) Dukungan
keluarga (remaja merasa
aman, bisa bicara secara terbuka serta meminta tolong pada anggota
keluarga). c) Perilaku
berisiko (kekerasan, penggunaan alkohol, penggunaan obat terlarang, dan
seksualitas). |
|
Education/Employment (Pendidikan/Pekerjaan)
Tenaga menggali kem remaja masalah pendidikan pekerjaan. |
kesehatan ungkinan memiliki terkait atau |
a)
Tingkat kenyamanan. b) Dukungan
masyarakat sekolah/tempat kerja (remaja merasa aman, bisa bicara secara
terbuka serta dapat meminta bantuan). c) Perilaku
berisiko (kekerasan, penggunaan alkohol, penggunaan obat terlarang, dan
seksualitas). d) Adanya
perilaku intimidasi fisik maupun psikis dari teman (bullying). |
Eating (Pola Makan) Tenaga kesehatan |
a) Kebiasaan
makan, jenis makanan yang dikonsumsi, |
|
Anamnesis
HEEADSSS |
||
Penilaian HEEADSSS |
Hal yang perlu
digali |
|
menggali kemungkinan
remaja memiliki masalah terkait kebiasaan/pola makan. |
dan perilaku makan
remaja terkait dengan stress. b) Perubahan
berat badan (peningkatan/penurunan). c) Persepsi
remaja tentang tubuhnya. |
|
Activity (Kegiatan/Aktivitas)
Tenaga kesehatan
menggali kemungkinan remaja memiliki masalah terkait kegiatannya sehari-hari.
|
a) Hal
yang dilakukan remaja dalam mengisi waktu luang. b) Hubungan
dengan temanteman (teman dekat, sebaya). c) Persepsi
terhadap diri sendiri dan teman. |
|
Drugs/Obat-obatan (NAPZA) Tenaga kesehatan
menggali kemungkinan remaja memiliki masalah terkait risiko penyalahgunaan
NAPZA. |
a) Adanya
lingkungan sekitar remaja yang mengonsumsi NAPZA. b) Perilaku
konsumsi NAPZA pada remaja. c) Perilaku
konsumsi obat pelangsing pada remaja. |
|
Sexuality (Aktivitas seksual) Tenaga
menggali kem remaja masalah seksual. |
kesehatan ungkinan memiliki aktivitas |
a) Adanya
perilaku seksual pranikah atau perilaku seksual berisiko . b) Kemungkinan
terjadi kehamilan. c) Kemungkinan
IMS/HIV. d) Kemungkinan
kekerasan seksual. |
Safety (Keselamatan) Tenaga kesehatan
menggali kemungkinan remaja memiliki masalah keselamatan. |
Rasa aman remaja saat berada di keluarga,
lingkungan (sekolah, masyarakat),
dan di tempat umum. |
|
Anamnesis
HEEADSSS |
||
Penilaian HEEADSSS |
Hal yang perlu
digali |
|
Suicide/Depression (Keinginan bunuh diri/depresi) Tenaga
kesehatan memeriksa kemungkinan remaja memiliki risiko kecenderungan bunuh
diri dan depresi. |
a)
Adanya keinginan/kecenderungan remaja untuk
menyakiti diri sendiri. b)
Adanya kecenderungan depresi, pola dan
perilaku remaja apabila sedang merasa sedih/cemas yang berlebihan. |
|
3) Deteksi
Dini Masalah Kesehatan Jiwa
Salah satu cara untuk mendeteksi masalah kesehatan jiwa
yang relatif murah, mudah, dan efektif adalah dengan menggunakan kuesioner yang
dikembangkan oleh WHO, yaitu Strength
Difficulties Questionnaire (SDQ-25). Dalam instrumen ini ada 25 pertanyaan
terkait gejala atau tanda masalah kesehatan yang harus dijawab klien dengan
jawaban ya atau tidak. Pelaksanaan deteksi dini menggunakan instrumen ini
mengacu kepada Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan kesehatan Jiwa di Sekolah.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada remaja dilakukan untuk mengetahui
status kesehatan remaja. Pemeriksaan ini dilakukan secara lengkap sesuai
indikasi medis. Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan tenaga kesehatan mampu
mendeteksi adanya gangguan kesehatan pada remaja, misalnya tanda-tanda anemia,
gangguan pubertas, dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum
melakukan pemeriksaan fisik:
1) Mintalah
persetujuan tindakan medis kepada remaja, termasuk bila pasien yang meminta
pemeriksaan tersebut. Jika remaja berusia di bawah 18 tahun, persetujuan
tindakan medis didapat dari orang tua atau pengasuh. Tetapi, jika remaja tidak
setuju, pemeriksaan tidak boleh dilakukan meskipun lembar persetujuan medis
sudah ditandatangani oleh orang tua atau pengasuh. Persetujuan medis dapat
dilakukan secara lisan untuk pemeriksaan yang tidak invasif.
2) Beberapa
pemeriksaan fisik mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan malu pada
remaja. Usahakan semaksimal mungkin agar klien remaja diperiksa oleh tenaga
kesehatan berjenis kelamin yang sama. Jika tidak memungkinkan, pastikan adanya
rekan kerja yang berjenis kelamin sama dengan klien remaja selama pemeriksaan
dilakukan.
3) Pastikan
kerahasiaan saat dilakukan pemeriksaan (contohnya memastikan tempat pemeriksaan
tertutup tirai, pintu tertutup dan orang yang tidak berkepentingan dilarang
masuk selama pemeriksaan dilakukan). Perhatikan tanda-tanda ketidak-nyamanan
atau nyeri dan hentikan pemeriksaan bila perlu.
Secara umum pemeriksaan fisik untuk remaja meliputi
pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan status gizi (tinggi badan dan berat
badan), serta pemeriksaan tanda dan gejala anemia.
1) Pemeriksaan Tanda Vital
Pemeriksaan tanda vital bertujuan untuk mengetahui
kelainan suhu tubuh, tekanan darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru
dan jantung.
Pemeriksaan tanda vital dilakukan melalui pengukuran suhu
tubuh, tekanan darah (sistolik dan diastolik), denyut nadi per menit, frekuensi
napas per menit, serta auskultasi jantung dan paru, pemeriksaan gigi dan gusi,
serta pemeriksaan gangguan kulit.
Remaja yang mengalami masalah dengan tanda vital dapat
mengindikasikan masalah infeksi, Hipertensi, penyakit paru (Asma, Tuberkulosis)
dan jantung, yang jika tidak segera diobati berisiko mengganggu aktivitasnya
karena malaise (lemah), sakit kepala, sesak napas, dan nafsu makan menurun.
Remaja dengan disabilitas memiliki kemungkinan untuk
menderita kelainan bawaan yang lain. Dengan pemeriksaan vital ini diharapkan
dapat mendeteksi sedini mungkin adanya kelainan bawaan lain pada remaja.
2) Pemeriksaan
Status Gizi
Pemeriksaan status gizi bertujuan untuk mendeteksi secara
dini masalah gizi kurang atau gizi lebih. Pemeriksaan status gizi dilakukan
melalui pengukuran antropometri dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh
berdasarkan Umur (IMT/U).
3) Pemeriksaan
Tanda dan Gejala Anemia
Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk remaja meliputi pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan urin, dan pemeriksaan lainnya berdasarkan indikasi.
1) Pemeriksaan Hemoglobin (Hb)
Pemeriksaan kadar hemoglobin sangat penting dilakukan
dalam menegakkan diagnosa dari suatu penyakit, sebab jumlah kadar hemoglobin
dalam sel darah akan menentukan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen dari
paru-paru keseluruh tubuh. Disebut anemia bila kadar hemoglobin (Hb) di dalam
darah kurang dari normal. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan melalui sampel darah
yang diambil dari darah tepi.
Tabel
1: Rekomendasi WHO Tentang Pengelompokan
Anemia (g/dL) Berdasarkan Umur
Populasi |
Tidak
Anemia |
Anemia |
|
|
Ringan |
Sedang |
Berat |
||
Anak 5-11 tahun |
11.5 |
11.0-11.4 |
8.0-10.9 |
<8.0 |
Anak
12-14 tahun |
12 |
11.0-11.9 |
8.0-10.9 |
<8.0 |
WUS tidak hamil |
12 |
11.0-11.9 |
8.0-10.9 |
<8.0 |
Ibu hamil |
11 |
10.0-10.9 |
7.0-9.9 |
<7.0 |
Laki-laki > 15 tahun |
13 |
11.0-12.9 |
8.0-10.9 |
<8.0 |
Sumber: Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet
Tambah Darah,
Kemenkes, 2015
2) Pemeriksaan
Golongan Darah
Golongan darah tidak hanya sebagai pelengkap kartu
identitas. Golongan darah wajib kita ketahui karena dapat mencegah risiko
kesehatan, membantu orang dalam keadaan darurat dan dalam proses tranfusi
darah.
Saat dilakukan pemeriksaan golongan darah seseorang
sekaligus akan diketahui jenis rhesusnya. Rhesus (Rh) merupakan penggolongan
atas ada atau tidak adanya antigen-D di dalam darah seseorang. Orang yang dalam
darahnya mempunyai antigen-D disebut rhesus positif, sedang orang yang dalam
darahnya tidak dijumpai antigenD, disebut rhesus negatif. Orang dengan rhesus
negatif mempunyai sejumlah kesulitan karena di dunia ini, jumlah orang dengan
rhesus negatif relatif lebih sedikit. Pada orang kulit putih, rhesus negatif
hanya sekitar 15%, pada orang kulit hitam sekitar 8%, dan pada orang asia
bahkan hampir seluruhnya merupakan orang dengan rhesus positif.
Apabila terdapat inkontabilitas
rhesus (ketidakcocokan rhesus), akan dapat terjadi pembekuan darah yang
berakibat fatal, yaitu kematian penerima
darah, hal ini juga dapat menimbulkan risiko pada ibu hamil yang mengandung
bayi dengan rhesus yang berbeda. Umumnya dijumpai pada orang asing atau orang
yang mempunyai garis keturunan asing seperti Eropa dan Arab, namun demikian
tidak menutup kemungkinan terdapat juga orang yang tidak mempunyai riwayat
keturunan asing memiliki rhesus negatif, namun jumlahnya lebih sedikit. Di
Indonesia, kasus kehamilan dengan rhesus negatif ternyata cukup banyak
dijumpai, terutama pada pernikahan dengan ras non-Asia.
3) Pemeriksaan
lainnya
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada remaja, antara
lain:
a)
Pemeriksaan darah lengkap untuk skrining
talasemi Pemeriksaan darah lengkap untuk
skrining talasemi terutama pada daerah dengan prevalensi talasemi tinggi.
b)
Pemeriksaan gula
darah
Pemeriksaan gula darah merupakan bagian dari
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diberikan pada usia 15-59 tahun.
4. Pemberian
Imunisasi
Remaja membutuhkan imunisasi untuk
pencegahan penyakit, baik imunisasi yang bersifat rutin maupun imunisasi yang
diberikan karena keadaan khusus. Imunisasi pada remaja merupakan hal yang
penting dalam upaya pemeliharaan kekebalan tubuh tehadap berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit dalam
kehidupan menuju dewasa. Imunisasi pada remaja ini diperlukan mengingat
imunitas yang mereka peroleh sebelumnya dari pemberian imunisasi lengkap
sewaktu masa bayi dan anak-anak tidak dapat bertahan seumur hidup (misalnya
imunitas terhadap pertusis hanya bertahan selama 5-10 tahun setelah pemberian dosis
imunisasi terakhir).
Remaja merupakan periode dimana dapat
terjadi paparan lingkungan yang luas dan berisiko. Hanya ada beberapa jenis
imunisasi yang disediakan oleh pemerintah seperti imunisasi Td yang diberikan pada remaja putri dan wanita
usia subur. Namun diharapkan agar remaja dapat melakukan imunisasi secara
mandiri, kalau memang merasa diperlukan. Beberapa daerah di Indonesia, seperti
DKI Jakarta, sudah melaksanakan imunisasi HPV untuk remaja sebagai program
kesehatan untuk remaja. Ada beberapa jenis imunisasi yang disarankan untuk
remaja, diantaranya influenza, tifoid, hepatitis A, varisela, dan HPV. Berikut
jadwal imunisasi yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI).
5. Pelayanan
Suplementasi Gizi
Pemberian suplementasi gizi bertujuan
untuk mengoptimalkan asupan gizi pada masa sebelum hamil. Suplementasi gizi
antara lain berupa pemberian tablet tambah darah. Pemberian Tablet Tambah Darah
(TTD) bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi. TTD program
diberikan kepada remaja putri usia 12-18 tahun di sekolah menengah
(SMP/SMA/sederajat) dengan frekuensi 1 tablet seminggu satu kali sepanjang
tahun. Pemberian TTD pada remaja putri di sekolah dapat dilakukan dengan
menentukan hari minum TTD bersama setiap minggunya sesuai kesepakatan di
masing-masing sekolah. Saat libur sekolah TTD diberikan sebelum libur sekolah.
TTD tidak diberikan pada remaja putri yang menderita penyakit, seperti
talasemia, hemosiderosis, atau atas indikasi dokter lainnya. Penanggulangan
anemia pada remaja putri harus dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan
pengobatan Kurang Energi Kronis (KEK), kecacingan, malaria, Tuberkulosis (TB),
dan HIV-AIDS.
Alur Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
di Sekolah
Sumber: Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Pada Remaja Putri Dan Wanita Usia Subur (WUS)
6. Pelayanan
Medis
Pelayanan medis merupakan tata laksana
untuk menindaklanjuti masalah kesehatan yang ditemukan pada pelayanan skrining
kesehatan.
7. Pelayanan
Kesehatan Lainnya
Pelayanan kesehatan lainnya pada masa
sebelum hamil diberikan berdasarkan indikasi medis yang diantaranya berupa
pengobatan, terapi, dan rujukan. Pengobatan atau terapi diberikan pada remaja
sesuai dengan diagnosis/permasalahannya. Tata laksana ini dapat diberikan di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan jejaringnya yang memberikan
pelayanan tingkat pertama yang memberikan pelayanan tingkat pertama sesuai
dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan jejaringnya yang memberikan
pelayanan tingkat pertama tersebut tidak mampu memberikan penanganan (terkait
keterbatasan tenaga, sarana-prasarana, obat maupun kewenangan) dilakukan
rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu tata laksana atau ke
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) untuk mendapatkan
penanganan lanjutan.
B. Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil Bagi Calon Pengantin
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil bagi calon pengantin (catin) dilakukan secara individual (terpisah
antara calon catin laki-laki dan perempuan) untuk menjaga privasi klien, yang
meliputi:
1. Pemberian
Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Konseling Tujuan pemberian Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) dan konseling dalam pelayanan kesehatan catin adalah
untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian mereka sehingga dapat
menjalankan fungsi dan perilaku reproduksi yang sehat dan aman. Materi KIE dan
konseling untuk catin meliputi:
a. Pengetahuan
kesehatan reproduksi:
1) kesetaraan
gender dalam pernikahan;
2) hak
kesehatan reproduksi dan seksual; dan 3) perawatan kesehatan organ reproduksi.
b. Kehamilan
dan perencanaan kehamilan.
c.
Kondisi dan penyakit yang perlu diwaspadai pada
catin.
d. Kesehatan
jiwa.
e.
Pengetahuan tentang fertilitas/kesuburan (masa
subur).
f.
Kekerasan dalam rumah tangga.
g.
Pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi
catin.
Pada catin dengan HIV-AIDS dan catin dengan kondisi khusus
seperti talassemia, hemofilia, disabilitas intelektual/mental, baik pada yang
bersangkutan maupun keluarga, petugas kesehatan perlu melakukan konseling
kesehatan reproduksi yang lebih intensif khususnya terkait perencanaan
kehamilan.
Pelaksanaan pemberian KIE masa sebelum hamil bagi calon
pengantin dilakukan oleh tenaga kesehatan, penyuluh pernikahan, dan petugas
lain. Pelaksanaan konseling bagi calon
pengantin diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang.
2. Pelayanan Skrining Kesehatan
Pelayanan skrining kesehatan catin
meliputi:
a. Anamnesis
1) Anamnesis
Umum
Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara
antara tenaga kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan,
penyakit yang diderita, riwayat penyakit, faktor risiko pada catin.
Anamnesis Umum |
|
Keluhan Utama |
Keluhan atau sesuatu
yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan kesehatan
(tujuan memeriksakan diri). Misalnya: telat haid dari biasanya. |
Riwayat penyakit
sekarang (RPS) |
a) Penjelasan
dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama
tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan. b) Menemukan
adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi,
tingkat keparahan, faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi keluhan). c) Kebiasaan/lifestyle (merokok, |
Anamnesis Umum |
||
|
|
konsumsi makanan
berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dsb). |
|
d) |
Mencari hubungan antara
keluhan dengan faktor atau suasana psikologis dan emosional pasien, termasuk
pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya. |
|
e) |
Apakah keluhan sudah
diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan
apakah ada riwayat alergi. |
|
f) |
Obat-obatan yang
digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat
hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi
alkohol. |
|
g) |
Riwayat haid: kapan
mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu
haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid. |
Riwayat penyakit
dahulu (RPD) |
a) |
Keterangan terperinci
dari semua penyakit yang pernah dialami dan sedapat mungkin dituliskan
menurut urutan waktu. |
|
b) |
Penyakit yang diderita sewaktu kecil. |
|
c) |
Penyakit
yang diderita sesudah dewasa beserta waktu kejadiannya. |
|
d) |
Riwayat alergi dan riwayat operasi. |
|
e) |
Riwayat pemeliharaan
kesehatan, seperti imunisasi, screening
test, dan pengaturan pola hidup. |
Anamnesis Umum |
|
|
f)
Riwayat trauma fisik, seperti jatuh,
kecelakaan lalu lintas, dan lainlain. g) Riwayat
penyakit gondongan (khusus laki-laki). |
Riwayat
penyakit keluarga (RPK) |
a) Riwayat
mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan
tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur
waktu meninggal dan sebabnya. Gambarkan bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini. b) Tuliskan
hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara
anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga,
misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.
|
Anamnesis Tambahan Untuk Catin |
|
Riwayat penyakit sekarang |
a)
Apakah ada keinginan untuk menunda kehamilan. b)
Skrining TT. |
Riwayat sosial ekonomi |
a) Riwayat
pendidikan terakhir. b) Riwayat
pekerjaan: pernah bekerja atau belum, dimana dan berapa lama serta mengapa
berhenti dari pekerjaan tersebut, jenis pekerjaan). c) Riwayat
perilaku berisiko (seks pranikah, NAPZA dan merokok). d) Riwayat
terpapar panas di area organ reproduksi, baik dari |
•
Anamnesis Umum |
|
|
pekerjaan maupun
perilakunya (misalnya: koki, sering mandi sauna, dll) (khusus untuk
laki-laki). |
Sexuality (Aktivitas seksual) Tenaga kesehatan menggali
kemungkinan remaja memiliki masalah aktivitas seksual. |
a) Adanya
perilaku seksual pranikah atau perilaku seksual berisiko. b) Kemungkinan
terjadi kehamilan. c) Kemungkinan
IMS/HIV. d) Kemungkinan
kekerasan seksual. |
Jika Calon Pengantin
Berusia Remaja |
|
Alasan memutuskan untuk menikah |
Kehendak pribadi,
keluarga atau permasalahan lainnya. |
Jika Calon Pengantin
Sudah Pernah Menikah Sebelumnya |
|
Riwayat pernikahan sebelumnya |
a) Usia
pertama kali menikah dan lama pernikahan sebelumnya. b) Jumlah
anak pada pernikahan sebelumnya, jarak anak. c) Status
kesehatan pasangan sebelumnya, riwayat penyakit pasangan sebelumnya, adanya
perilaku seksual berisiko. |
Riwayat obstetrik |
Riwayat kehamilan,
persalinan, jumlah anak, bayi yang dilahirkan, keguguran dan kontrasepsi. |
2) Deteksi
Dini Masalah Kesehatan Jiwa
Deteksi masalah kesehatan jiwa yang relatif murah, mudah,
dan efektif untuk catin dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang
dikembangkan oleh WHO, yaitu Self
Reporting Questionnaire (SRQ). Dalam SRQ, ada 20 pertanyaan terkait gejala
masalah kesehatan jiwa yang harus dijawab klien dengan jawaban ya atau
tidak.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi status kesehatan catin. Hal-hal yang perlu diperhatikan
sebelum melakukan pemeriksaan fisik:
1) Meminta
persetujuan tindakan medis kepada catin, termasuk bila pasien yang meminta
pemeriksaan tersebut. Informed consent diperlukan
untuk tindakan medis yang invasif.
2) Beberapa
pemeriksaan fisik mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan malu.
Usahakan semaksimal mungkin agar pemeriksaan dilakukan oleh tenaga kesehatan
berjenis kelamin yang sama dengan klien. Jika tidak memungkinkan, pastikan
adanya rekan kerja yang berjenis kelamin sama dengan klien selama pemeriksaan
dilakukan.
3) Memastikan
privasi saat dilakukan pemeriksaan
(contohnya memastikan tempat
pemeriksaan tertutup tirai, pintu tertutup dan orang yang tidak berkepentingan
dilarang masuk selama pemeriksaan dilakukan).
Pemeriksaan fisik dilakukan melalui pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan
status gizi dan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.
1) Pemeriksaan Tanda vital
Bertujuan untuk mengetahui kelainan suhu tubuh, tekanan
darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru dan jantung. Pemeriksaan tanda
vital dilakukan melalui pengukuran suhu tubuh ketiak, tekanan darah (sistolik
dan diastolik), denyut nadi per menit, frekuensi nafas per menit, serta auskultasi jantung dan paru. Catin yang
mengalami masalah dengan tanda vital dapat mengindikasikan masalah infeksi,
Hipertensi, penyakit paru (Asma, TB), jantung, yang jika tidak segera diobati
berisiko mengganggu kesehatannya, karena malaise
(lemah), sakit kepala, sesak napas, nafsu makan menurun. 2) Pemeriksaan Status Gizi
Pemeriksaan status gizi pada catin untuk mendeteksi secara
dini masalah gizi kurang, gizi lebih, dan kekurangan zat gizi mikro antara lain
anemia gizi besi. Pemeriksaan status gizi dilakukan melalui pengukuran
antropometri dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh dan LiLA.
a) Indeks Massa Tubuh
Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran Indeks
Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan proporsi standar berat badan (BB) terhadap
tinggi badan (TB). IMT perlu diketahui untuk menilai status gizi catin dalam
kaitannya dengan persiapan kehamilan. Jika perempuan atau catin mempunyai
status gizi kurang ingin hamil, sebaiknya menunda kehamilan, untuk dilakukan
intervensi perbaikan gizi sampai status gizinya baik. Ibu hamil dengan
kekurangan gizi memiliki risiko yang dapat membahayakan ibu dan janin, antara
lain anemia pada ibu dan janin, risiko perdarahan saat melahirkan, BBLR, mudah
terkena penyakit infeksi, risiko keguguran, bayi lahir mati, serta cacat bawaan
pada janin.
Tabel
2: Klasifikasi Nilai IMT
Status Gizi |
Kategori |
IMT |
Sangat kurus |
Kekurangan berat badan tingkat berat |
< 17,0 |
Kurus |
Kekurangan berat badan tingkat ringan |
17 - < 18,5 |
Normal |
|
18,5 – 25,0 |
Gemuk |
Kelebihan berat badan
tingkat ringan |
> 25,0 – 27,0 |
Obesitas |
Kelebihan berat badan
tingkat berat |
> 27,0 |
Sumber: Permenkes Nomor 41
Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi
Seimbang
b) LiLA
(Lingkar Lengan Atas)
Penapisan status gizi dilakukan dengan pengukuran
menggunakan pita LiLA pada WUS untuk mengetahui adanya risiko KEK. Ambang batas
LiLA pada WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila hasil
pengukuran kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita LiLA, artinya perempuan
tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan BBLR.
c)
Pemeriksaan Tanda dan Gejala Anemia
Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan.
Pemeriksaan fisik lengkap pada catin dilakukan sesuai
indikasi medis untuk mengetahui status kesehatan catin. Dari pemeriksaan ini
diharapkan tenaga kesehatan mampu mendeteksi adanya gangguan kesehatan pada
catin, misalnya gangguan jantung/paru, tanda anemia, hepatitis, IMS, dan
lainlain.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang diperlukan oleh
catin terdiri atas:
1) Pemeriksaan
rutin, meliputi pemeriksaan Hb, golongan darah dan rhesus
2) Pemeriksaan
sesuai indikasi, antara lain pemeriksaan urin rutin, gula darah, HIV, penyakit
infeksi menular seksual (sifilis, gonorea, klamidiasis, dan lain-lain),
hepatitis, malaria (untuk daerah endemis), talasemia (MCV, MCH, MCHC), TORCH
(untuk catin perempuan), dan IVA atau pap
smear (bagi catin perempuan yang sudah pernah menikah).
3. Pemberian Imunisasi
Catin perempuan perlu mendapat imunisasi tetanus dan
difteri (Td) untuk mencegah dan melindungi diri terhadap penyakit tetanus dan
difteri, sehingga memiliki kekebalan seumur hidup untuk melindungi ibu dan bayi
terhadap penyakit tetanus dan difteri. Setiap perempuan usia subur (15-49
tahun) diharapkan sudah mencapai status T5. Jika status imunisasi Tetanus belum
lengkap, maka catin perempuan harus melengkapi status imunisasinya di Puskesmas
atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Status imunisasi Tetanus dapat ditentukan melalui skrining
status T pada catin perempuan dari riwayat imunisasi tetanus dan difteri (Td)
yang didapat sejak masa balita, anak dan remaja. Berikut jadwal pemberian
imunisasi Tetanus yang menentukan status T:
a. Bayi
(usia 4 bulan) yang telah mendapatkan DPT-HB-Hib 1, 2, 3 maka dinyatakan
mempunyai status imunisasi T2.
b. Baduta
(usia 18 bulan) yang telah lengkap imunisasi dasar dan mendapatkan imunisasi
lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status imunisasi T3.
c. Anak
usia sekolah dasar yang telah lengkap imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan
DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td (program BIAS) dinyatakan
mempunyai status Imunisasi T5.
d. Jika
status T klien tidak diketahui, maka diberikan imunisasi Tetanus dari awal (T1).
Untuk mengetahui masa perlindungan dapat
dilihat Tabel 3 berikut:
Tabel
3: Imunisasi Lanjutan pada WUS
Status
Imunisasi |
Interval Minimal Pemberian |
Masa Perlindungan |
T1 |
- |
- |
T2 |
4 minggu setelah T1 |
3 tahun |
T3 |
6 bulan setelah T2 |
5 tahun |
T4 |
1 tahun setelah T3 |
10 tahun |
T5 |
1 tahun setelah T4 |
Lebih dari 25 tahun*) |
Sumber: Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi
*) Yang dimaksud dengan masa perlindungan >25
tahun (status T5) adalah apabila telah mendapatkan imunisasi tetanus dan
difteri (Td) lengkap mulai dari T1 sampai T5
Pemberian imunisasi tetanus dan difteri tidak perlu
diberikan, apabila pemberian imunisasi tetanus dan difteri sudah lengkap
(status T5) yang harus dibuktikan dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, buku
Rapor Kesehatanku, rekam medis, dan/atau kohort.
4. Pemberian
Suplementasi Gizi
Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi besi yang dilaksanakan dengan pemberian Tablet
Tambah Darah (TTD) sesuai dengann ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada
catin, TTD dapat diperoleh secara mandiri dan dikonsumsi 1 (satu) tablet setiap
minggu sepanjang tahun. Penanggulangan Anemia pada catin harus dilakukan
bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan Kurang Energi Kronis (KEK),
kecacingan, malaria, TB, dan HIV-AIDS.
5. Pelayanan
Klinis Medis
Pelayanan klinis medis berupa tata laksana medis untuk
menangani masalah kesehatan pada masa sebelum
hamil yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya
sesuai kompetensi dan kewenangan masing-masing.
Tata laksana dapat berupa pengobatan atau terapi yang
diberikan pada catin sesuai dengan diagnosis/ permasalahannya. Tata laksana
dapat diberikan di FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat
pertama sesuai dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan jejaringnya yang
memberikan pelayanan tingkat pertama
tersebut tidak mampu memberikan penanganan (terkait keterbatasan tenaga,
sarana-prasarana, obat, maupun kewenangan) dilakukan rujukan ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang mampu tata laksana atau ke FKRTL untuk mendapatkan
penanganan lanjutan.
6. Pelayanan
Kesehatan Lainnya
Pelayanan kesehatan lainnya merupakan pelayanan perorangan
yang diberikan sesuai dengan indikasi medis yang ditemukan pada saat pelayanan
untuk masa sebelum hamil lainnya, misalnya pada saat skrining. Pelayanan bisa
bersifat klinis medis maupun nonmedis, misalnya dukungan psikososial,
medikolegal, perbaikan status gizi, dan lain-lain.
Setiap catin diharapkan dapat
memeriksakan kesehatannya sebelum melangsungkan pernikahan untuk mengetahui
status kesehatan dan merencanakan kehamilan sesuai dengan langkah-langkah
pelayanan kesehatan yang telah disebutkan di atas.
C. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
Bagi Pasangan Usia Subur. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil bagi Pasangan
Usia Subur (PUS) diberikan kepada PUS laki-laki maupun perempuan, baik yang
belum mempunyai anak, maupun yang sudah memiliki anak dan ingin merencanakan
kehamilan selanjutnya. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil pada PUS
meliputi:
1. Pemberian
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan konseling Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi (KIE) dan konseling pada PUS lebih diarahkan ke perencanaan kehamilan
baik untuk anak pertama, kedua, dan seterusnya. Ketika hendak merencanakan
kehamilan, penting bagi PUS untuk mempersiapkan status kesehatannya dalam
keadaan optimal. Materi KIE dan konseling untuk PUS meliputi:
a. Pengetahuan
kesehatan reproduksi:
1) kesetaraan
gender dalam pernikahan;
2) hak
kesehatan reproduksi dan seksual; dan 3) perawatan
kesehatan organ reproduksi.
b. Kehamilan
dan perencanaan kehamilan.
c.
Kondisi dan penyakit yang perlu diwaspadai pada
PUS.
d. Kesehatan
jiwa.
e.
Pengetahuan tentang fertilitas/kesuburan (masa
subur).
f.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
g.
Pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi PUS.
Materi KIE dan konseling yang wajib adalah perencanaan
kehamilan (terutama konseling KB termasuk KB pascapersalinan). Materi KIE dan
konseling lainnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaksanaan pemberian KIE masa sebelum hamil bagi PUS
dilakukan oleh tenaga kesehatan, penyuluh keluarga berencana, kader kesehatan
dan petugas lain. Pelaksanaan konseling bagi PUS diberikan oleh tenaga
kesehatan dan penyuluh keluarga berencana yang kompeten dan berwenang.
2. Pelayanan
Skrining Kesehatan
Pelayanan skrining kesehatan bagi PUS
meliputi:
d. Anamnesis
1) Anamnesis
Umum
Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara tenaga
kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang
diderita, riwayat penyakit fisik dan jiwa, faktor risiko pada PUS, status
imunisasi tetanus dan difteri, riwayat KB, serta riwayat kehamilan dan
persalinan sebelumnya.
Anamnesis Umum |
|
Keluhan Utama |
Keluhan atau sesuatu
yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan kesehatan
(tujuan memeriksakan diri). Misalnya: telat haid dari biasanya. |
Riwayat penyakit sekarang (RPS) |
a) Penjelasan
dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama
tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan. b) Menemukan
adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi,
tingkat keparahan, faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi keluhan). c) Kebiasaan/lifestyle (merokok, konsumsi makanan
berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dsb). d) Mencari
hubungan antara keluhan dengan faktor atau suasana psikologis (pikiran, emosi
dan perilaku) termasuk pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya. |
Anamnesis Umum |
||
|
e) |
Apakah keluhan sudah
diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan
apakah ada riwayat alergi. |
|
f) |
Obat-obatan yang
digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat
hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi
alkohol. |
|
g) |
Riwayat haid: kapan
mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu
haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid. |
Riwayat penyakit
dahulu (RPD) |
a) |
Keterangan terperinci
dari semua penyakit fisik atau jiwa yang pernah dialami dan sedapat mungkin
dituliskan menurut urutan waktu. |
|
b) |
Penyakit yang diderita sewaktu kecil. |
|
c) |
Penyakit yang diderita sesudah dewasa beserta waktu
kejadiannya. |
|
d) |
Riwayat
alergi dan riwayat operasi. |
|
e) |
Riwayat pemeliharaan
kesehatan, seperti imunisasi, screening
test, dan pengaturan pola hidup. |
|
f) |
Riwayat trauma fisik,
seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan lainlain. |
|
g) |
Riwayat minum obat rutin |
|
h) Riwayat penyakit
gondongan (khusus laki-laki).
|
Anamnesis Umum |
|
|
|
Riwayat
penyakit keluarga (RPK) |
a) Riwayat
mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan
tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur
waktu meninggal dan sebabnya. Gambarkan bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini. b) Tuliskan
hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara
anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga,
misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.
|
Anamnesis Tambahan Untuk Pus |
|
Riwayat sosial ekonomi |
a) Riwayat
pekerjaan: pernah bekerja atau belum, dimana dan berapa lama serta mengapa
berhenti dari pekerjaan tersebut, jenis pekerjaan). b) Riwayat
perilaku berisiko (seks pranikah, NAPZA dan merokok). c) Riwayat
terpapar panas di area organ reproduksi, baik dari pekerjaan maupun
perilakunya (misalnya: koki, sering mandi sauna, dll). (khusus untuk lakilaki). |
Sexuality (Aktivitas
seksual) |
a)
Adanya perilaku seksual pranikah atau perilaku
seksual berisiko. b)
Kemungkinan terjadi kehamilan. |
•
Anamnesis Umum |
|
Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah aktivitas
seksual |
c) Kemungkinan
IMS/HIV. d) Kemungkinan
kekerasan seksual. |
Riwayat Pernikahan Sekarang |
a) Berapa
lama penikahan, jumlah anak, jarak antar anak, permasalahan terkait
infertilitas. b) Skiring
TT. |
Riwayat pernikahan
sebelumnya (anamnesis untuk suami
dan istri, jika PUS adalah pasangan yang sudah pernah menikah sebelumnya) |
Jumlah anak pada
pernikahan sebelumnya, status kesehatan pasangan sebelumnya, adanya riwayat
perilaku seksual berisiko. |
Riwayat obstetri dan
genitalia (anamnesis untuk istri) |
a) Riwayat
kehamilan, persalinan, jumlah anak, bayi yang dilahirkan dan keguguran. b) Genital,
Siklus haid dan adakah perdarahan diluar waktu haid, perdarahan dan nyeri
saat berhubungan seksual. |
Riwayat pemakaian kontrasepsi
sebelumnya (anamnesis untuk istri) |
Keluhan, efek samping,
jangka waktu penggunaan alokon KB. |
Riwayat |
Riwayat
merokok, konsumsi |
Anamnesis Umum |
|
perilaku berisiko |
minuman beralkohol,
riwayat pekerjaan, dan pola makan
(terkait fungsi sperma). |
Anamnesis Tambahan
Untuk Pus Usia Remaja |
|
Pertanyaan
tambahan |
a) Usia
pertama menikah atau aktif seksual. b) Apakah
ada keinginan untuk menunda kehamilan. c) Riwayat
penggunaan kontrasepsi. d) Riwayat
haid, kapan haid terakhir. |
2) Deteksi
Dini Masalah Kesehatan Jiwa
Apabila hasil anamnesis menunjukan adanya gejala masalah
atau gangguan jiwa, maka dapat dilakukan
pemeriksaan untuk deteksi dini lebih lanjut menggunakan kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ) pada
PUS dengan usia diatas 18 tahun. Dalam instrumen ini terdapat pertanyaan
masalah kesehatan jiwa yang harus dijawab klien dengan jawaban ya atau tidak.
Jika pada skrining ditemukan adanya masalah kesehatan jiwa pada PUS, maka dapat
ditangani oleh dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dengan layanan
jiwa. Apabila masalah atau gangguan kesehatan jiwa tidak dapat ditangani di
Puskesmas maka dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL).
e. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi status kesehatan melalui pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan
status gizi dan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.
1) Pemeriksaan Tanda Vital
Pemeriksaan tanda vital bertujuan untuk mengetahui
kelainan suhu tubuh, tekanan darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru
dan jantung.
Pemeriksaan tanda vital dilakukan melalui pengukuran suhu
tubuh ketiak, tekanan darah (sistolik dan diastolik), denyut nadi per menit,
frekuensi napas per menit, serta auskultasi jantung dan paru.
PUS/WUS yang mengalami masalah dengan tanda vital dapat
mengindikasikan masalah infeksi, Hipertensi, penyakit paru (asma,
tuberkulosis), dan jantung, yang jika tidak segera diobati berisiko mengganggu
kesehatannya, karena malaise (lemah), sakit kepala, sesak napas, nafsu makan
menurun.
Pada PUS yang sudah mempunyai anak sebelumnya, pemeriksaan
lebih difokuskan pada persiapan fisik untuk kehamilan yang diinginkan. Pada PUS
yang mempunyai masalah terkait infertilitas, pemeriksaan fisik difokuskan pada
organ reproduksi laki-laki dan perempuan. Apabila diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut klien dapat dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemeriksaan
Status Gizi
Pelayanan gizi bagi PUS/WUS dilakukan melalui pemeriksaan
Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atar (LiLA):
a)
Indeks Masa Tubuh (IMT)
Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran IMT. Indeks
Massa Tubuh atau IMT merupakan proporsi standar berat badan (BB) terhadap
tinggi badan (TB). IMT perlu diketahui untuk menilai status gizi PUS/WUS dalam
kaitannya dengan persiapan kehamilan. Jika perempuan dengan status gizi kurang
menginginkan kehamilan, sebaiknya kehamilan ditunda terlebih dahulu untuk
dilakukan intervensi perbaikan gizi sampai status gizinya baik. Ibu hamil dengan
kekurangan gizi memiliki risiko yang dapat membahayakan ibu dan janin antara
lain: Anemia pada ibu dan janin, risiko perdarahan saat melahirkan, BBLR, mudah
terkena penyakit infeksi, risiko keguguran, bayi lahir mati, serta cacat bawaan
pada janin. PUS laki-laki juga harus mempunyai status gizi yang baik.
b) Lingkar
Lengan Atas (LiLA)
Selain IMT, penapisan status gizi pada perempuan juga
dilakukan dengan pengukuran menggunakan pita LiLA untuk mengetahui adanya
risiko KEK pada WUS.
Ambang batas LiLA pada WUS dengan risiko KEK di Indonesia
adalah 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran kurang dari 23,5 cm atau dibagian
merah pita LiLA, artinya perempuan tersebut mempunyai risiko KEK, dan
diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah.
3) Pemeriksaan
Tanda dan Gejala Anemia
Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan.
Pemeriksaan fisik pada PUS dilakukan untuk mengetahui status kesehatan PUS.
Pemeriksaan ini dilakukan secara lengkap sesuai indikasi medis. Dari
pemeriksaan ini diharapkan tenaga kesehatan mampu mendeteksi adanya gangguan
kesehatan pada PUS, misalnya gangguan jantung/paru, tanda Anemia, hepatitis,
IMS, dan lain-lain.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil untuk PUS sesuai indikasi meliputi:
1) Pemeriksaan
darah: Hb, golongan darah, dan rhesus
2) Pemeriksaan
morfologi sel darah tepi (deteksi
awal
Talasemia atau carier Thalasemia)
3) Pemeriksaan
urin rutin
4) SADANIS
5) IVA
dan atau pap smear
6) Pemeriksaan
penujang lain, misalnya:
a)
Dalam kondisi tertentu/atas saran dokter dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
gula darah, IMS, TORCH, Malaria (daerah endemis), sputum
BTA, dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan indikasi
b) Pemeriksaan
urin lengkap
c)
Testing HIV
d) Skrining
HbsAg
e)
Mamografi
3. Pemberian Imunisasi
WUS perlu mendapat imunisasi tetanus dan difteri untuk
mencegah dan melindungi diri terhadap penyakit tetanus dan difteri sehingga
memiliki kekebalan seumur hidup untuk melindungi ibu dan bayi terhadap penyakit
Tetanus. Setiap WUS (15-49 tahun) diharapkan sudah mencapai status T5. WUS
perlu merujuk pada status imunisasi terakhir pada saat hamil apabila sebelumnya
sudah pernah hamil.
Tabel 4: Imunisasi Lanjutan pada WUS
Status
Imunisasi |
Interval
Minimal Pemberian |
Masa Perlindungan |
T1 |
- |
- |
T2 |
4 minggu setelah T1 |
3 tahun |
T3 |
6 bulan setelah T2 |
5 tahun |
T4 |
1 tahun setelah T3 |
10 tahun |
T5 |
1 tahun setelah T4 |
Lebih dari 25 tahun* |
Sumber: Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi
Yang dimaksud dengan masa perlindungan >25 tahun adalah
apabila telah mendapatkan imunisasi Tetanus lengkap mulai dari T1 sampai T5.
Pemberian imunisasi Tetanus tidak perlu diberikan, apabila
pemberian imunisasi Tetanus sudah lengkap (status T5) yang harus dibuktikan
dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, rekam medis, dan/atau kohort.
4. Pemberian
Suplementasi Gizi
Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk pencegahan dan
pengobatan Anemia yang dilaksanakan dengan pemberian TTD. TTD adalah suplemen
gizi yang mengandung senyawa besi yang setara dengan 60 mg besi elemental dan
400 mcg asam folat. Pada WUS, TTD dapat diperoleh secara mandiri dan dikonsumsi
1 tablet setiap minggu sepanjang tahun. Penanggulangan Anemia pada WUS harus
dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan KEK, kecacingan, malaria,
TB, dan HIV-AIDS.
5. Pelayanan
Klinis Medis
Pelayanan Klinis Medis dapat berupa pengobatan atau terapi
yang diberikan kepada PUS/WUS sesuai dengan diagnosis/ permasalahannya. Tata
laksana ini dapat diberikan di FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan
tingkat pertama sesuai dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan
jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama tidak mampu memberikan
penanganan (terkait keterbatasan tenaga, sarana-prasarana, obat, maupun
kewenangan) dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang mampu tata laksana
atau ke FKRTL untuk mendapatkan penanganan lanjutan.
6. Pelayanan
Kesehatan Lainnya
Pelayanan kesehatan lainnya merupakan pelayanan perorangan
yang diberikan sesuai dengan indikasi medis yang ditemukan pada saat pelayanan
untuk masa sebelum hamil lainnya, misalnya pada saat skrining. Pelayanan bisa
bersifat klinis medis maupun nonmedis, misalnya dukungan psikososial,
medikolegal, perbaikan status gizi, dan lain-lain.
BAB
III
PELAYANAN
KESEHATAN MASA HAMIL
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil yang
kemudian disebut pelayanan antenatal (ANC) terpadu adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi
hingga sebelum mulainya proses persalinan yang komprehensif dan berkualitas.
Pelayanan ini bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil untuk memperoleh
pelayanan antenatal yang komprehensif dan berkualitas sehingga ibu hamil dapat
menjalani kehamilan dan persalinan dengan pengalaman yang bersifat positif
serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Pengalaman yang bersifat
positif adalah pengalaman yang menyenangkan dan memberikan nilai tambah yang
bermanfaat bagi ibu hamil dalam menjalankan perannya sebagai perempuan, istri
dan ibu.
Indikator yang digunakan untuk menggambarkan
akses ibu hamil terhadap pelayanan masa hamil adalah cakupan K1 (kunjungan
pertama). Sedangkan indikator untuk menggambarkan kualitas layanan adalah
cakupan K4-K6 (kunjungan ke-4 sampai ke-6) dan kunjungan selanjutnya apabila
diperlukan.
1. Kunjungan
pertama (K1)
K1 adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan
yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif
sesuai standar. Kontak pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester
pertama, sebaiknya sebelum minggu ke-8.
2. Kunjungan
ke-4 (K4)
K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang
mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu dan
komprehensif sesuai standar selama kehamilannya minimal 4 kali dengan
distribusi waktu: 1 kali pada trimester ke-1 (0-12 minggu ), 1 kali pada
trimester ke-2 (>12 minggu-24 minggu)
dan 2 kali pada trimester ke-3 (>24 minggu sampai kelahirannya).
3. Kunjungan
ke-6 (K6)
K6 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang
mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu dan
komprehensif sesuai standar, selama kehamilannya minimal 6 kali dengan
distribusi waktu: 1 kali pada trimester
ke-1 (0-12 minggu ), 2 kali pada trimester ke-2 (>12 minggu-24 minggu), dan
3 kali pada trimester ke-3 ( >24 minggu sampai kelahirannya). Kunjungan
antenatal bisa lebih dari 6 (enam) kali sesuai kebutuhan dan jika ada keluhan,
penyakit atau gangguan kehamilan.Ibu hamil harus kontak dengan dokter minimal 2
kali, 1 kali di trimester 1 dan 1 kali di trimester 3.
Pelayanan ANC oleh dokter pada trimester 1 (satu) dengan
usia kehamilan kurang dari 12 minggu atau dari kontak pertama, dokter melakukan
skrining kemungkinan adanya faktor risiko kehamilan atau penyakit penyerta pada
ibu hamil termasuk didalamnya pemeriksaan ultrasonografi
(USG). Pelayanan ANC oleh dokter pada trimester 3 (tiga) dilakukan perencanaan
persalinan, termasuk pemeriksaan ultrasonografi
(USG) dan rujukan terencana bila diperlukan.
Standar pelayanan antenatal meliputi 10T,
yaitu:
1. Timbang berat
badan dan ukur tinggi badan
2.
Ukur tekanan
darah
3. Nilai
status gizi (ukur lingkar lengan
atas/LILA)
4. Ukur
tinggi puncak rahim (fundus uteri)
5. Tentukan presentasi janin dan denyut
jantung janin (DJJ)
6. Skrining
status imunisasi tetanus dan berikan
imunisasi tetanus
difteri (Td) bila diperlukan
7. Pemberian
tablet tambah darah minimal 90
tablet selama masa kehamilan
8. Tes laboratorium: tes kehamilan, kadar
hemoglobin darah, golongan darah, tes triple eliminasi (HIV, Sifilis dan
Hepatitis B,) malaria pada daerah endemis. Tes lainnya dapat dilakukan sesuai
indikasi seperti gluko-protein urin, gula darah sewaktu, sputum Basil Tahan
Asam (BTA), kusta, malaria daerah non endemis, pemeriksaan feses untuk
kecacingan, pemeriksaan darah lengkap untuk deteksi dini talasemia dan
pemeriksaan lainnya.
9. Tata laksana/penanganan kasus sesuai
kewenangan.
10. Temu wicara (konseling) dan penilaian
kesehatan jiwa. Informasi yang disampaikan
saat konseling minimal meliputi hasil pemeriksaan, perawatan sesuai usia
kehamilan dan usia ibu, gizi ibu hamil, kesiapan mental, mengenali tanda bahaya
kehamilan, persalinan, dan nifas, persiapan persalinan, kontrasepsi
pascapersalinan, perawatan bayi baru lahir, inisiasi menyusu dini, ASI
eksklusif.
Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
tidak memiliki vaksin tetanus difteri dan/atau pemeriksaan laboratorium,
fasilitas pelayanan kesehatan dapat berkoordinasi dengan dinas kesehatan
kabupaten/kota dan Puskesmas untuk penyediaan dan/atau pemeriksaan, atau
merujuk ibu hamil ke Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang
dapat melakukan pemeriksaan tersebut.
Pelayanan antenatal terpadu merupakan
pelayanan komprehensif dan berkualitas yang dilakukan secara terintegrasi
dengan program pelayanan kesehatan lainnya. Tujuan khusus ANC terpadu adalah:
1. Memberikan
pelayanan antenatal terpadu, termasuk konseling kesehatan, dan gizi ibu hamil,
konseling KB dan pemberian ASI.
2. Pemberian
dukungan emosi dan psikososial sesuai dengan keadaan ibu hamil pada setiap
kontak dengan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis dan
interpersonal yang baik.
3. Menyediakan
kesempatan bagi seluruh ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu
minimal 6 kali selama masa kehamilan.
4. Melakukan
pemantauan tumbuh kembang janin.
5. Mendeteksi
secara dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita ibu hamil.
6. Melakukan
tata laksana terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu hamil sedini mungkin
atau melakukan rujukan kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan
sistem rujukan yang ada.
Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak
dapat dipisahkan dengan pelayanan persalinan, pelayanan nifas, dan pelayanan
kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan antenatal yang diberikan akan
mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu bersalin dan bayi baru lahir
serta ibu nifas. Dalam pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus
mampu melakukan deteksi dini masalah gizi, faktor risiko, komplikasi kebidanan,
gangguan jiwa, penyakit menular dan tidak menular yang dialami ibu hamil serta
melakukan tata laksana secara adekuat (termasuk rujukan apabila diperlukan)
sehingga ibu hamil siap untuk menjalani persalinan bersih dan aman.
Masalah yang mungkin dialami ibu hamil
antara lain:
1. Masalah
gizi: anemia, KEK, obesitas, kenaikan berat badan tidak sesuai standar
2. Faktor
risiko: usia ibu ≤16 tahun, usia ibu ≥35 tahun, anak terkecil ≤2 tahun, hamil
pertama ≥4 tahun, interval kehamilan >10 tahun, persalinan ≥4 kali,
gemeli/kehamilan ganda, kelainan letak dan posisi janin, kelainan besar janin,
riwayat obstetrik jelek (keguguran/gagal kehamilan), komplikasi pada persalinan
yang lalu (riwayat vakum/forsep, riwayat perdarahan pascapersalinan dan atau
transfusi), riwayat bedah sesar, hipertensi, kehamilan lebih dari 40 minggu
3. Komplikasi
kebidanan: ketuban pecah dini,
perdarahan pervaginam, hipertensi dalam kehamilan/pre eklampsia/eklampsia,
ancaman persalinan prematur, distosia, plasenta previa,dll.
4. Penyakit
tidak menular: hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung, ginjal, asma,
kanker, epilepsi, gangguan autoimun, dll.
5. Penyakit
menular: HIV, sifilis, hepatitis, malaria, TB, demam berdarah, tifus
abdominalis, dll.
6. Masalah
kejiwaan: depresi, gangguan kecemasan, psikosis,
skizofrenia.
Pelayanan antenatal dapat dilaksanakan
secara terpadu dengan program lain, yaitu:
1. Program
Gizi
a. Gizi
Seimbang pada Ibu Hamil
Gizi
seimbang pada ibu hamil sangat perlu diperhatikan karena ibu hamil harus
memenuhi kebutuhan gizi untuk dirinya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan
janinnya. Ibu hamil harus mengonsumsi beraneka ragam makanan dengan jumlah dan
proporsi yang seimbang.
b. Pemberian
Tablet Tambah Darah (TTD) pada Ibu Hamil
Ibu hamil rentan menderita anemia karena
adanya peningkatan volume darah selama kehamilan untuk pembentukan plasenta,
janin dan cadangan zat besi dalam ASI. Kadar Hb pada ibu hamil menurun pada
trimester I dan terendah pada trimester II, selanjutnya meningkat kembali pada
trimester III. Penurunan kadar Hb pada ibu hamil yang menderita anemia sedang
dan berat akan mengakibatkan peningkatan risiko persalinan, peningkatan
kematian anak dan infeksi penyakit.
Upaya pencegahan anemia gizi besi pada ibu
hamil dilakukan dengan memberikan 1 tablet setiap hari selama kehamilan minimal
90 tablet, dimulai sedini mungkin dan dilanjutkan sampai masa nifas.
c.
Penanggulangan Kekurangan Energi Kronik (KEK)
pada Ibu Hamil
Penanggulangan ibu hamil KEK seharusnya
dimulai sejak sebelum hamil bahkan sejak usia remaja putri. Upaya
penanggulangan tersebut membutuhkan koordinasi lintas program dan perlu
dukungan lintas sektor, organisasi profesi, tokoh masyarakat, LSM dan institusi
lainnya.
2. Program
Pengendalian Malaria
Strategi pelayanan terpadu pengendalian
malaria dalam antenatal adalah pemeriksaan (skrining) malaria pada kunjungan
pertama antenatal dan pemberian kelambu berinsektisida terhadap semua ibu hamil
yang tinggal di kabupaten/kota endemis tinggi malaria. Sedangkan untuk ibu
hamil yang tinggal di kabupaten/kota endemis rendah dilakukan selektif pada ibu
hamil yang memiliki gejala dan :
a. tinggal
di desa endemis tinggi malaria (desa merah),
b. ada
riwayat berkunjung/tinggal di daerah endemis malaria 1
(satu) bulan terakhir,
c.
pernah sakit malaria dalam 2 tahun
terakhir.
Program pengendalian Malaria dengan
pelayanan ibu hamil untuk daerah endemis tinggi malaria, pada kunjungan pertama
(K1) ANC semua ibu hamil dilakukan:
a. Pemberian
kelambu berinsektisida
b. Skrining
darah malaria (RDT/mikroskopis)
c.
Pemberian terapi pada ibu hamil positif malaria
3. Program
Pengendalian Tuberkolusis (TBC)
Manifestasi klinis TBC pada kehamilan
umumnya sama dengan wanita yang tidak hamil yaitu manifestasi umum dari TBC
paru. Semua wanita hamil harus diskrining anamnesis untuk diagnosis TBC. Apabila
dari hasil anamnesis ibu hamil terduga menderita TBC, dilakukan kerjasama
dengan program TBC untuk penegakan diagnosis dan tata laksana lebih
lanjut. Pada wanita hamil terduga TB
perlu dilakukan juga Tes HIV.
Ibu hamil yang sakit TBC, harus segera
diberi pengobatan OAT untuk mencegah penularan dan kematian. Amikasin, Streptomisin, Etionamid/Protionamid TIDAK
DIREKOMENDASIKAN untuk pengobatan tuberkulosis pada ibu hamil.
4. Program
Pengendalian HIV, Sifilis Dan Hepatitis
B
Penularan vertikal HIV, Sifilis dan
hepatitis B dapat terjadi dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Upaya kesehatan
masyarakat untuk mencegah penularan ini dimulai dengan skrining pada ibu hamil
terhadap HIV,Sifilis dan Hepatitis B
pada saat pemeriksan antenatal (ANC) pertama pada trimester pertama. Tes
skrining menggunakan tes cepat (rapid tes ) HIV, tes cepat sifilis ( TP rapid )
dan tes cepat HBsAg. Tes cepat ini relatif murah, sederhana dan tanpa
memerlukan keahlian khusus sehingga dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan (
pemberi layanan langsung ). Skrining HIV, sifilis dan hepatitis B pada ibu
hamil dilaksanakan secara bersamaan dalam paket pelayanan antenatal terpadu.
Secara program nasional upaya pengendalian terhadap ketiga penyakit infeksi
menular langsung ini disebut Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis dan
hepatitis B dari Ibu ke Anak (PPIA).
Kebijakan dalam pelaksanaan PPIA
diintegrasikan dalam layanan KIA sebagai berikut :
a. PPIA
merupakan bagian dari program nasional pengendalian HIV, IMS, Hepatitis B dan
prgram kesehatan ibu dan anak.
b. Pelaksanaan
kegiata PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga Berencana (KB) dan
kesehatan remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara
bertahap dn melibatkan peran non pemerintah, LSM dan komunitas.
c.
Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB
dan remaja mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.
d. Di
setiap jenjang pelayanan KIA, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
wajib melakukan tes HIV, sifilis dan hepatitis B kepada semua ibu hamil minimal
1 kali sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu
pemeriksaan antenatal pada kunjungan 1 (K1) hingga menjelang persalinan.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada kunjungan pertama trimester 1.
e.
Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan
yang mampu/berwenang melakukan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B tersebut tetap
dilakukan dengan cara :
1) Merujuk
ibu hamil ke fasilitas pelayanan yang memadai;
2) Melakukan
on the job training bagi tenaga
kesehatan ( pemberi pelayanan kesehatan langsung );
3) Pelimpahan
wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan setempat.
f.
Setiap ibu hamil yang positif HIV, atau Sifilis
atau Hepatitis B wajib diberikan tatalaksana sesuai standar meliputi pemberian
terapi, pertolongan persalinan di fasilitas pelayanan keshatan, konseling
menyusui dan konseling KB.
g.
Perencanaan ketersediaan logistik (obat dan
reagen) dilaksanakan secara berjenjang mulai dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan Kabupaten /Kota sampai Provinsi dan berkoordinasi dengan Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.
h. Pencatatan
valid berdasarkan nomor induk kependudukan
(NIK).
i.
Monitoring, evaluasi, pembinaan dan pengawasan
teknis serta umpan balik PPIA sebagai upaya kesehatan masyarakat.
5. Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Pada masa kehamilan program pencegahan
dan pengendalian penyakit tidak menular terkait ada 3 penyakit, yaitu:
a. Antenatal
dengan Riwayat Hipertensi
Hipertensi selama kehamilan tidak hanya melibatkan
perempuan yang hipertensi saat hamil, tetapi juga perempuan yang mengalami hipertensi
sebelum kehamilan. Pada ibu hamil dilakukan skrining untuk menentukan
stratifikasi faktor risiko hipertensi pada kehamilan dan rencana
penanggulangannya. Rekomendasi tata laksana hipertensi pada kehamilan merujuk
pada PNPK komplikasi kehamilan.
b. Antenatal
dengan Riwayat Diabetes
Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan harus
ditentukan klasifikasinya yaitu diabetes melitus tipe 2 dengan kehamilan atau
Diabetes mellitus gestasional
c.
Antenatal dengan Riwayat Talasemia
Setiap pasangan dengan riwayat keluarga talasemia, dan berencana
memiliki anak dianjurkan untuk melakukan skrining. Pada kehamilan, penjaringan
atau skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan ANC.
Jika ibu merupakan pembawa sifat atau ”carrier” talasemia, maka skrining
kemudian dilanjutkan pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin
normal maka skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah
janin merupakan pengidap atau ”carrier” talasemia maka disarankan mengikuti
konseling genetik dan jika diperlukan melanjutkan pemeriksaan skrining pada
janin (pranatal diagnosis). Pemeriksaan bayi baru lahir tidak umum dilakukan
tetapi dapat dilakukan bila kedua orangtuanya adalah pembawa sifat talasemia.
Untuk pasangan dengan yang salah satunya “carrier”, atau keduanya “carrier”
atau salah satunya penyandang atau keduanya penyandang diberikan edukasi
komprehensif tentang kondisi yang mungkin dialami oleh anak yang akan
dilahirkan. Diagnosis Prenatal adalah kegiatan pemeriksaan yang bertujuan
mendiagnosis janin apakah menderita talasemia mayor/minor/ normal. Pemeriksaan
ini hanya dilakukan pada janin dari pasangan yang keduanya adalah pembawa sifat
talasemia.
Pada kasus ini selain anamnesis dan pemeriksaan fisis,
pemeriksaan laboratorium tahap awal yang dapat dilakukan adalah:
1) Pemeriksaan
darah: Haemoglobin, Hematokrit, MCV, MCH, dan RDW.
2) Bila
tidak ada fasilitas cell counter
dapat dilakukan pemeriksaan Haemoglobin, Hematokrit, dan morfologi sediaan
merah dengan sediaan hapus (hitung sel darah merah) untuk secara manual menghitung
MCV dan MCH
6. Program
Kesehatan Jiwa
Ibu hamil yang sehat mentalnya merasa
senang dan bahagia, mampu menyesuaikan diri terhadap kehamilannya sehingga
dapat menerima berbagai perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, dan dapat
tetap aktif melakukan aktivitas sehari-hari.
Masalah atau gangguan kesehatan jiwa
yang dialami oleh ibu hamil tidak saja berpengaruh terhadap ibu hamil tersebut,
tetapi mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janinnya saat didalam
kandungan, setelah melahirkan, bayinya, masa kanak dan masa remaja.
Beberapa masalah dan gangguan kesehatan
jiwa pada ibu hamil yang dapat terjadi antara lain:
a. Stres
b. Gangguan
Kecemasan Menyeluruh
c.
Gangguan Panik
d. Gangguan
Obsesif Kompulsif (OCD)
e.
Gangguan Bipolar
f.
Gangguan Somatoform
g. Gangguan
Stres Paska Trauma
h. Gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan NAPZA
i.
Gangguan Depresi
j.
Gangguan Skizofrenia
Pemeriksaan kesehatan jiwa pada ibu
hamil yang dapat dilaksanakan saat melaksanakan kunjungan ke fasilitas pelayanan
kesehatan primer sebagai berikut:
a. Melaksanakan
skrining (deteksi dini) masalah kesehatan jiwa pada ibu hamil saat pemeriksaan
kehamilan melalui wawancara klinis. Jangan lupa menanyakan faktor risiko
gangguan kesehatan jiwa, riwayat masalah kesehatan jiwa yang pernah dialami dan
penggunaan NAPZA. Pemeriksaan kesehatan jiwa pada ibu hamil minimal dilakukan
pada trimester pertama dan trimester ketiga. Apabila pada trimester pertama
ditemukan masalah/gangguan jiwa, maka akan dievaluasi setiap kunjungan.
b. Jika
gangguan jiwa tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan primer,
segera merujuk ke RS atau ahli jiwa di wilayah kerja fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
c.
Kelola stres dengan baik dengan cara: rekreasi,
senam ibu hamil, jalan sehat, relaksasi, curhat dengan orang yang tepat,
makanan berserat, berpikir positif, kurangi tuntutan diri sendiri, ekspresikan
stres, duduk santai, tidak membandingkan diri dengan orang lain, menghitung
anugrah, melatih pernafasan, mendengarkan musik dan sebagainya.
d. Mempromosikan
gaya hidup Ceria yaitu cerdas intelektual, emosional dan spiritual, empati
dalam berkomunikasi yang efektif, rajin beribadah sesuai agama dan keyakinan,
interaksi yang bermanfaat bagi kehidupan, asih, asah dan asuh tumbuh kembang
dalam keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian fasilitas pelayanan
kesehatan primer sedini mungkin mempersiapkan kondisi kejiwaan ibu hamil agar
tetap sehat selama masa kehamilan, melahirkan bayi dan ibu yang sehat paska
melahirkan.
7. Pelayanan
Keguguran
Keguguran merupakan kematian janin dalam
kandungan sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu. Ibu yang mengalami
keguguran wajib mendapat pelayanan kesehatan asuhan pascakeguguran yang berupa
pelayanan konseling dan pelayanan medis.
Konseling dalam asuhan pasca keguguran
dilakukan setidaknya untuk 3 (tiga) tujuan, yaitu:
1. Membantu
perempuan mengambil keputusan terkait tatalaksana klinis yang sesuai dengan
kebutuhannya
2. Memberikan
dukungan psikososial kepada perempuan dan mengidentifikasi adanya kebutuhan
layanan psikososial lebih lanjut
3. Membantu
perempuan merencanakan kehamilan selanjutnya dan mengambil keputusan terkait
penggunaan kontrasepsi pasca keguguran sesuai kebutuhannya
Pelayanan konseling harus dilakukan baik
sebelum dan sesudah pelayanan medis, meliputi:
1. Konseling
dukungan psikososial;
Selama konseling, petugas kesehatan perlu:
a. Melakukan
penapisan masalah psikologis, seperti depresi dan ansietas
b. Mengidentifikasi
perempuan dengan kondisi psikososial khusus
c.
Menggali suasana perasaan perempuan, khususnya
rasa berduka, kecemasan, dan rasa tertekan
d. Mengidentifikasi
rencana tindak lanjut yang dibutuhkan (termasuk pemberian obat dan rujukan)
e.
Memberikan dukungan emosional
f.
Meminta persetujuan (informed consent) untuk pemberian layanan atau rujukan
2. Konseling
prapelayanan medis
Terdapat beberapa hal yang perlu
diketahui dan diputuskan oleh pasien terkait asuhan pasca keguguran yang akan
ia terima. Hal yang pertama berkaitan dengan tata laksana klinis, khususnya
evakuasi hasil konsepsi. Untuk itu, selama konseling diberikan, petugas
kesehatan perlu:
a. Mengidentifikasi
kebutuhan tatalaksana medis berdasarkan kondisi medis pasien
b. Menjelaskan
berbagai pilihan tatalaksana medis yang dapat dilakukan beserta
manfaat/keunggulan dan risiko/kekurangannya
c.
Mengidentifikasi kebutuhan rujukan untuk
tatalaksana medis lebih lanjut
d. Meminta
persetujuan (informed consent) untuk dilakukannya tatalaksana medis atau
rujukan
Pasien akan lebih dapat menerima tata
laksana klinis yang diberikan ketika itu datang dari pilihannya sendiri. Dengan
demikian, informasi yang perlu dijelaskan terkait hal ini meliputi:
a. Pilihan
metode atau prosedur klinis yang diperlukan untuk menatalaksana masalah
pasien
b. Apa
yang akan dilakukan selama dan setelah prosedur berlangsung
c.
Apa yang mungkin akan dirasakan oleh pasien
(kram seperti menstruasi, nyeri, dan perdarahan)
d. Lama
berlangsungnya proses tersebut
e.
Berbagai pilihan pengelolaan nyeri, risiko dan
komplikasi terkait prosedur yang dilakukan
f.
Kapan pasien dapat kembali melakukan aktivitas,
termasuk berhubungan seksual
g. Perawatan
lanjutan
Petugas Kesehatan kemudian memberikan
rekomendasi tata laksana yang paling sesuai berdasarkan usia kehamilan dan
kondisi medis pasien, serta keuntungan serta kerugian dari berbagai pilihan
prosedur yang ada.
3. Konseling
perencanaan kehamilan (diberikan sampai dengan 14 hari pascakeguguran)
Tenaga kesehatan harus menjelaskan
kepada pasien bahwa proses ovulasi dan kesuburan pada perempuan dapat kembali
dalam 8 hari setelah terjadinya keguguran (bahkan lebih awal pada beberapa
kasus). Karena itu, setiap pasien yang mendapatkan asuhan pascakeguguran perlu
mendapat konseling tentang perencanaan kehamilan. Hal tersebut penting untuk membantu pasien memutuskan apakah ia
ingin segera hamil kembali, menunda kehamilan, atau bahkan menghindari
kehamilan sama sekali. Hal ini termasuk informasi terkait pilihan metode
kontrasepsi pasca keguguran yang tersedia dan yang paling sesuai dengan
kebutuhannya.
Konseling perencanaan kehamilan dapat
dilakukan sebelum maupun sesudah evakuasi hasil konsepsi, namun jika kondisi
memungkinkan dan tidak membahayakan, sebaiknya konseling kontrasepsi diberikan
sebelum tatalaksana dilakukan. Hal tersebut dilakukan karena ada metode yang
dapat langsung diberikan saat evakuasi hasil konsepsi dilakukan, yaitu Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim (AKDR).
Pelayanan medis pascakeguguran dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan oleh dokter atau dokter spesialis yang
memiliki kompetensi dan kewenangan, meliputi:
1. tindakan
pengeluaran hasil konsepsi secara farmakologis dan/atau operatif; (termasuk
pematangan serviks, pemberian antibiotika profilaksis, dan pencegahan infeksi)
2. tata
laksana nyeri; dan
3. tata
laksana pascatindakan pengeluaran sisa hasil konsepsi: pemeriksaan jaringan dan
tatalaksana komplikasi.
Ketentuan mengenai pelayanan medis
pascakeguguran mengacu pada standar pelayanan kedokteran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB
IV
PELAYANAN
KESEHATAN MASA PERSALINAN
Pelayanan Kesehatan Persalinan adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak
dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan. Persalinan adalah
sebuah proses melahirkan bayi oleh seorang ibu yang sangat dinamis. Meskipun
85% persalinan akan berjalan tanpa penyulit namun komplikasi dapat terjadi
selama proses persalinan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah
setiap tempat penyelenggara pelayanan persalinan harus memiliki sumber daya dan
kemampuan untuk mengenali sedini mungkin dan memberikan penanganan awal bagi
penyulit yang timbul.
Persalinan dilakukan sesuai dengan standar
persalinan normal atau standar persalinan komplikasi. Standar persalinan normal
adalah Asuhan Persalinan Normal (APN)
sesuai standard dan memenuhi persyaratan, meliputi:
1. Dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan
2. Tenaga
adalah tim penolong persalinan, terdiri dari dokter, bidan dan perawat, apabila
ada keterbatasan akses dan tenaga medis, persalinan dilakukan oleh tim minimal 2 orang tenaga kesehatan yang terdiri
dari bidan-bidan, atau bidan-perawat.
3. Tim
penolong mampu melakukan tata laksana
awal penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.
Sedangkan Standar persalinan komplikasi
mengacu pada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan rujukan.
Pelayanan
persalinan harus memenuhi 7 (tujuh) aspek yang meliputi:
1. membuat
keputusan klinik;
2. asuhan
sayang ibu dan sayang bayi, termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan resusitasi
bayi baru lahir;
3. pencegahan
infeksi;
4. pencegahan
penularan penyakit dari ibu ke anak;
5. persalinan
bersih dan aman;
6. pencatatan
atau rekam medis asuhan persalinan; dan
7. rujukan
pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir.
-
78 -
A. Jenis dan Skema Rujukan Persalinan
Dalam pelayanan obstetri, terutama
pada periode sekitar persalinan, maka terdapat 4 kategori rujukan yang mungkin
terjadi: rujukan primer, konsultasi, transfer dan emergensi.
Jenis
skema rujukan |
Penjelasan |
Rujukan Primer |
Sebuah keadaan dimana
ibu membutuhkan rujukan, baik konsultasi maupun tatalaksana lebih lanjut di
fasilitas pelayanan kesehatan, berupa SDM, sarana prasarana, penunjang
diagnosis dan obat-obatan |
Rujukan Konsultasi |
Sebuah keadaan dimana
ibu membutuhkan konsultasi dan atau penatalaksanaan lebih lanjut dengan level
pelayanan spesialistis berdasarkan penilaian bidan/dokter dari pelayanan
persalinan di FKTP yang menangani
sebelumnya. Jika kondisi memungkinkan, maka ibu akan mendapatkan manfaat dari
jejaring rujukan pelayanan persalinan, dimana fasyankes pelayanan rujukan
akan bekerja sama dengan pelayanan primer
dalam mengelola pasien. |
Rujukan Transfer |
Sebuah keadaan dimana
ibu membutuhkan rujukan transfer untuk mendapatkan penatalaksanaan
selanjutnya di tingkat pelayanan yang lebih tinggi, atau ke level pelayanan
yang sederajat pada keadaan dimana fasyankes semula mengalami kendala dalam
pemberian layanan. sesuai dengan penilaian bidan/dokter dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah berdasarkan kriteria yang ada. |
Rujukan Emergensi |
Sebuah keadaan dimana
ibu membutuhkan rujukan emergensi segera, untuk segera mendapatkan tata
laksana di level pelayanan yang lebih tinggi sesuai dengan penilaian
bidan/dokter yang menangani di level pelayanan yang lebih rendah, sesuai
dengan kriteria yang ada |
B. Jejaring Rujukan Persalinan
Pelayanan persalinan adalah sebuah
sistem penyelenggaraan pelayanan persalinan yang dapat mengakomodasi kebutuhan
ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir untuk mendapatkan luaran
kehamilan yang optimal. Sistem tersebut akan memperhatikan tata kelola klinis,
tata kelola program dan tata kelola manajemen dalam penyelenggaraan pelayanan
persalinan di dalam jejaring pelayanan persalinan di tingkat kabupaten/kota dan
pengampu di tingkat regional.
Pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal di tingkat masyarakat, FKTP
(Puskesmas, klinik, praktik mandiri bidan, dll) dan FKRTL (RS) sebagai
fasilitas kesehatan rujukan diupayakan agar dilakukan secara komprehensif dan
berkesinambungan, serta perlu dipantau secara teratur. Paket pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal di tiap tingkat dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam upaya menyelenggarakan pelayanan persalinan yang optimal, maka setiap
tingkatan harus berada dalam suatu jejaring rujukan persalinan yang berfungsi.
Tabel 5: Paket
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal/BBL di tiap tingkat
Tingkat |
Pelayanan Kesehatan
Maternal |
Pelayanan Kesehatan
BBL |
FKRTL – RS
kabupaten/ pelayanan rujukan |
a. Semua
pelayanan di tingkat yankes dasar b. Pelayanan
gawat-darurat obstetri c. Penanganan
komplikasi pada masa kehamilan, persalinan pada masa nifas, termasuk bedah
sesar, transfusi darah, induksi persalinan, histerektomi d. Pencegahan
penularan HIV/sifilis/hepatitis B dari ibu ke anak dan tata
laksananya |
a. Semua
pelayanan neonatal di FKTP b. Resusitasi
neonatal di RS c. Penanganan
neonatal sakit berat |
FKTP – Puskesmas / pelayanan kesehatan dasar/ primer |
a. Semua
pelayanan di tingkat masyarakat b. Pemantauan
kehamilan dan penilaian kesehatan maternal dan janin (minimal 6 kali
kunjungan), termasuk status gizi c. Pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan d. Deteksi
komplikasi obstetri dan gangguan kesehatan lainnya dan penanganan dini/stabilisasi e. Pelayanan
rujukan ke FKRTL f. Deteksi
dini dan pencegahan penularan HIV/sifilis/hepatitis B
dari ibu ke anak |
a. Pelayanan
neonatal esensial dan semua pelayanan di tingkat masyarakat b. Resusitasi
neonatal c. IMD
dan ASI eksklusif d. Pencegahan/pengobatan
infeksi pada BBL e. Imunisasi
f. Perawatan
metoda kanguru g. Identifikasi
BBL dengan gejala sakit dan penanganan dini/stabilisasi menggunakan MTBM h. Rujukan
|
Masyarakat |
a. Pemberian informasi/penyuluhan/konsel |
Promosi dan dukungan untuk: |
Tingkat |
Pelayanan Kesehatan
Maternal |
Pelayanan Kesehatan
BBL |
|
ing b. Pelayanan
KB, anjuran untuk melahirkan di faskes c. Edukasi
tentang persalinan yang aman dan perawatan BBL normal d. Cara
mengenali tanda bahaya, persiapan keadaan gawatdarurat dan ke mana mencari
pertolongan e. P4K
f.
Kelas ibu hamil |
a. IMD,
ASI eksklusif dan pemeriksaan rutin b. menjaga
suhu tubuh BBL tetap hangat c. merawat
tali pusat dan mencegah infeksi d. perawatan
preterm/bayi kecil e. mengenali
adanya masalah/penyakit dan segera mencari pertolongan f.
memperoleh akte kelahiran |
Jejaring rujukan persalinan yang
dimaksud hendaknya memenuhi kondisi –kondisi sebagai berikut:
1. Input,
tersedianya:
a. Dasar
hukum yang mengikat setiap komponen dalam jejaring rujukan untuk bertanggung
jawab dalam menjalankan masingmasing tugas dan kewajibannya, dalam bentuk
peraturan bupati/walikota.
b. Perjanjian
kerja sama yang mengatur:
1) Level
pelayanan persalinan di wilayah tersebut yang disepakati dan ditetapkan oleh
semua pihak terkait.
2) Pemerintah
daerah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk tersedianya level pelayanan
persalinan yang sesuai – termasuk penyediaan sarana, prasarana dan aturan.
3) Tugas
dan kewajiban setiap pihak, termasuk tugas dan kewajiban pembinaan terkait
peningkatan kualitas pelayanan persalinan bagi setiap level pelayanan yang ada
di bawahnya.
c.
Forum yang dapat memfasilitasi komunikasi dan
koordinasi di tingkat daerah
kabupaten/kota, yang melibatkan juga unsur masyarakat madani
d. Tersedianya
sistem informasi yang memadai, baik sebagai sarana komunikasi maupun sistem yang dapat
menyediakan informasi bagi pengambilan keputusan – Sistem Informasi
Rujukan Terintegrasi (Sisrute)
e.
Sistem pembiayaan yang selalu terbarukan, dan
dapat menyesuaikan dengan dinamika yang terjadi di lapangan.
2. Proses
a. Berjalannya
pemantauan kualitas pelayanan secara mandiri dan terukur di setiap fasyankes
yang datanya dapat digunakan untuk upaya peningkatan kualitas baik di internal
maupun di dalam jejaring rujukan.
b. Berjalannya
kajian-kajian kasus di setiap level pelayanan, yang pembelajarannya dapat
dikomunikasikan pada forum koordinasi yang tersedia di tingkat regional.
c.
Berjalannya komunikasi pra rujukan dan
komunikasi rujukan balik yang memungkinkan penyelenggaraan pelayanan yang
berkesinambungan.
d. Berjalannya
pembinaan keterampilan petugas kesehatan sesuai dengan kebutuhan, menggunakan
berbagai metode seperti: pelatihan, magang, on-the-job training, diskusi kasus,
pemantauan simulasi emergensi dan lain-lain.
3. Output
Ditetapkan indikator-indikator spesifik yang
menunjukkan keberhasilan pelayanan rujukan berbasis jejaring rujukan persalinan
di wilayah.
BAB
V
PELAYANAN
KESEHATAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN
Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah
Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan
pada ibu selama masa nifas (6 jam sampai dengan 42 hari sesudah melahirkan)
yang dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif. Ibu nifas dan bayi baru
lahir dipulangkan setelah 24 jam pasca melahirkan, sehingga sebelum pulang
diharapkan ibu dan bayinya mendapat 1 kali pelayanan pasca persalinan.
Pelayanan pasca persalinan
terintegrasi adalah pelayanan yang bukan hanya terkait dengan pelayanan
kebidanan tetapi juga terintegrasi dengan program-program lain yaitu dengan
program gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular, imunisasi, jiwa dan
lain lain. Sedangkan pelayanan pasca persalinan yang komprehensif adalah
pelayanan pasca persalinan diberikan
mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (termasuk
laboratorium), pelayanan keluarga berencana pasca persalinan, tata laksana kasus, Komunikasi, Informasi,
Edukasi (KIE), dan rujukan bila
diperlukan.
Pelayanan pasca persalinan diperlukan
karena dalam periode ini merupakan masa kritis, baik pada ibu maupun bayinya
yang bertujuan:
a. Menjaga
kesehatan ibu dan bayinya, baik secara
fisik maupun psikologis.
b. Deteksi
dini masalah, penyakit dan penyulit pasca persalinan.
c.
Memberikan KIE, memastikan pemahaman serta
kepentingan kesehatan, kebersihan diri, nutrisi, Keluarga Berencana (KB),
menyusui, pemberian imunisasi dan asuhan bayi baru lahir pada ibu beserta
keluarganya.
d. Melibatkan
ibu, suami, dan keluarga dalam menjaga kesehatan ibu nifas dan bayi baru
lahir
e.
Memberikan pelayanan KB sesegera mungkin setelah
bersalin.
Pelayanan pascapersalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan,
perawat) sesuai kompetensi dan kewenangan. Pelayanan pascapersalinan
dilaksanakan minimal 4 (empat) kali dengan waktu kunjungan ibu dan
bayi baru lahir bersamaan yaitu:
a. Pelayanan
pertama dilakukan pada waktu 6 jam sampai dengan 2 hari setelah persalinan.
b. Pelayanan
kedua dilakukan pada waktu 3-7 hari
setelah persalinan.
c.
Pelayanan ketiga
dilakukan pada waktu 8-28 hari setelah persalinan.
d. Pelayanan
keempat dilakukan pada waktu 29-42 hari setelah persalinan untuk ibu.
1. Pelayanan
Pascapersalinan Bagi Ibu
Lingkup pelayanan pascapersalinan bagi ibu
meliputi:
a.
Anamnesis
b.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan
suhu
c.
Pemeriksaan tanda-tanda anemia
d.
Pemeriksaan
tinggi fundus uteri
e.
Pemeriksaan kontraksi uteri
f.
Pemeriksaan kandung kemih dan saluran kencing
g.
Pemeriksaan lokhia dan perdarahan
h.
Pemeriksaan jalan lahir
i.
Pemeriksaan payudara dan pendampingan pemberian
ASI Ekslusif
j.
Identifikasi risiko tinggi dan komplikasi pada
masa nifas
k.
Pemeriksaan status mental ibu
l.
Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan
m. Pemberian
KIE dan konseling
n.
Pemberian kapsul vitamin A
Langkah-langkah pelayanan
pascapersalinan meliputi:
a.
Pemeriksaan dan tata laksana menggunakan
algoritma tata laksana terpadu masa nifas;
b.
Identifikasi risiko dan komplikasi;
c.
Penanganan risiko dan komplikasi,
d.
Konseling; dan
e.
Pencatatan pada Buku KIA dan Kartu Ibu/Rekam
medis
Saat kunjungan nifas, semua ibu harus diperiksa menggunakan
bagan tata laksana terpadu pada ibu nifas. Manfaat bagan/algoritma:
a. Memperbaiki
perencanaan dan manajemen pelayanan kesehatan
b. Meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan
c.
Keterpaduan tatalaksana kasus
d. Mengurangi
kehilangan kesempatan (missed
opportunities)
e.
Alat bantu bagi tenaga kesehatan
f.
Pemakaian obat yang tepat
g.
Memperbaiki penanganan komplikasi secara
dini
h. Meningkatkan
rujukan kasus tepat waktu
i.
Konseling pada saat memberikan pelayanan
Berdasarkan hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/penunjang lainnya, dokter
menegakkan diagnosis kerja atau diagnosis banding, sedangkan bidan/perawat
membuat klasifikasi masa pasca persalinan normal/ tidak normal pada ibu nifas.
2. Pelayanan
Pasca Persalinan Pada Bayi Baru Lahir
Pelayanan kesehatan bayi baru lahir dimulai segera
setelah bayi lahir sampai 28 hari.
Pelayanan pasca persalinan pada bayi baru lahir dimulai sejak usia 6 jam
sampai 28 hari.
Pelayanan neonatal esensial yang dilakukan setelah lahir 6
(enam) jam sampai 28 (dua puluh delapan) hari meliputi:
a.
menjaga bayi tetap hangat;
b.
pemeriksaan neonatus menggunakan Manajemen
Terpadu Bayi
Muda (MTBM);
c.
bimbingan pemberian ASI dan memantau kecukupan
ASI;
d.
perawatan metode Kangguru (PMK);
e.
pemantauan peertumbuhan neonatus;
f.
masalah yang paling sering dijumpai pada
neonatus
Pelayanan neonatal esensial dilakukan sebanyak 3 (tiga)
kali kunjungan, yang meliputi:
•
1 (satu) kali pada umur 6-48 jam; (KN 1)
•
1 (satu) kali pada umur 3-7 hari (KN 2);
dan
•
1 (satu) kali pada umur 8-28 hari. (KN 3)
a. Skrining Bayi Baru Lahir
Deteksi dini kelainan bawaan
melalui skrining bayi baru lahir (SBBL) merupakan salah satu upaya pelayanan
kesehatan yang lebih baik. Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah tes yang
dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk memilah bayi yang
menderita kelainan kongenital dari bayi yang sehat. Skrining bayi baru lahir
dapat mendeteksi adanya gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga bila
ditemukan dapat segera dilakukan intervensi secepatnya.
Salah satu penyakit yang bisa
dideteksi dengan skrining pada bayi baru lahir di Indonesia antara lain
Hipotiroid Kongenital (HK). Hipotiroid
Kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid yang
didapat sejak bayi baru lahir. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi atau
gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium. Skrining
Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah
skrining/uji saring untuk memilah bayi yang menderita hipotiroid kongenital dari
bayi yang bukan penderita. SHK dilakukan optimal pada saat bayi berusia 4872
jam (kunjungan neonatus). Pelaksanaan SHK mengacu pada pedoman yang ada.
Tabel 6: Jenis Pelayanan Kesehatan Bayi
Baru Lahir
No |
Jenis Pemeriksaan/ Pelayanan |
KN 1/ PNC 1 |
KN 2/ PNC 2 |
KN 3/ PNC 3 |
6 - 48
jam |
3 hr
- 7 jam |
8 -
28 jam |
||
1. |
Pemeriksaan menggunakan formulir MTBM |
v |
v |
v |
2. |
Bagi Daerah yang sudah melaksanakan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) |
|
|
|
|
- Pemeriksaan
SHK |
- |
v |
- |
|
- Hasil tes
SHK |
- |
v |
v |
|
- Konfirmasi
Hasil SHK |
- |
v |
v |
3. |
Tindakan (terapi/rujukan/umpan balik) |
v |
v |
v |
4. |
Pencatatan di buku KIA dan kohort bayi |
v |
v |
v |
Keterangan tabel:
v :
pemeriksaan rutin
Pada pelayanan ini, bayi baru lahir
mendapatkan akses pemeriksaan kesehatan oleh tenaga kesehatan pada Polindes,
Poskesdes, Puskesmas, praktik mandiri bidan, klinik pratama, klinik utama,
Posyandu dan atau kunjungan rumah dengan menggunakan pendekatan Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) Pemeriksaan Bayi Baru Lahir dengan pendekatan MTBM
dilakukan dengan menggunakan formulir pencatatan bayi muda 0 - 2 bulan dan
bagan MTBS. Penggunaan bagan MTBM dan formulir MTBM dalam pelayanan bayi baru
lahir memungkinkan menjaring adanya gangguan kesehatan secara dini. Terutama
untuk deteksi dini tanda bahaya dan penyakit penyebab utama kematian pada bayi
baru lahir. Dengan adanya deteksi dan pengobatan dini, tentunya membantu
menghindari bayi baru lahir dari risiko kematian.
Penggunaan algoritma dan formulir
pencatatan bayi muda kurang dari 2 bulan dalam pelayanan bayi baru lahir
memungkinkan menjaring adanya gangguan kesehatan secara dini. Terutama untuk deteksi dini
tanda bahaya dan penyakit penyebab utama kematian pada bayi baru lahir. Dengan
adanya deteksi dan pengobatan dini, tentunya membantu menghindari bayi baru
lahir dari risiko kematian.
b. Indikator Cakupan
1) Cakupan
Kunjungan Nifas 1 (KF1)
Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6-48 jam
setelah bersalin sesuai standar .
Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Jumlah ibu nifas yang mendapat
pelayanan sesuai standar pada masa 6-48 jam
setelah bersalin oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu
------------------------------------------------------------------------------------------------X
100
Jumlah seluruh sasaran ibu nifas di
suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
2) Cakupan
Kunjungan Nifas Lengkap (KF lengkap)
Cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai
dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 4x dengan
distribusi waktu 6 jam - hari ke 2 (KF1), hari ke 3 - hari ke 7 (KF2), hari ke 8 - 28 (KF3) dan hari ke 29-42
(KF4) setelah bersalin di suatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu.
Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Jumlah ibu nifas yang mendapat pelayanan pada masa 6 jam
sampai dengan 42 hari
pasca bersalin sesuai standar oleh tenaga kesehatan paling sedikit 4x dengan
distribusi waktu 6 jam - hari ke 2 (KF1), hari ke 3 - hari ke 7 (KF2), hari ke 8 - 28 (KF3)
dan hari ke 29-42 (KF4) setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu -------------------------------------------------------------------------------------X
100 Jumlah seluruh sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja
dalam 1 tahun |
3) Cakupan
Pelayanan KB pascapersalinan
Adalah cakupan pelayanan KB pascapersalinan dengan metode
kontrasepsi modern.
Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Jumlah PUS yang mengikuti KB
pascapersalinan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
------------------------------------------------------------------------------------------------X
100
Jumlah
seluruh sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
4) Cakupan
Kunjungan Neonatal 1 (KN1)
Adalah cakupan pelayanan bayi baru lahir pada masa 6-48 jam hari setelah lahir sesuai standar.
Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Jumlah bayi
baru lahir yang mendapat pelayanan sesuai standar pada 6-48 jam setelah lahir oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
------------------------------------------------------------------------------------------------X
100
Jumlah seluruh sasaran bayi di
suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
5) Cakupan
Kunjungan Neonatal Lengkap (KN Lengkap)
Adalah Cakupan neonatus mendapatkan pelayanan sesuai
standar paling sedikit 3 kali dengan distribusiwaktu: 1 x pada usia 6-48 jam,
1x pada usia 3 - 7 hari, dan 1 x pada
usia 8 - 28 hari setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu.
Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah bayi baru lahir yang
mendapat pelayanan sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusiwaktu:
1 x pd usia 6-48 jam, 1x pada usia 3 - 7
hari, dan 1 x pada usia 8
- 28 hari setelah lahir oleh tenaga kesehatan
di suatu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu
------------------------------------------------------------------------------------------------X
100 Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah
kerja dalam 1 tahun
BAB
VI
TUGAS
DAN TANGGUNG JAWAB
A.
Peran Kementerian Kesehatan
1. Menyusun
pedoman umum dan petunjuk teknis pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa
hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
2. Melakukan
advokasi, sosialisasi, dan koordinasi kepada lintas program, dan lintas sektor terkait.
3. Melakukan
orientasi dan fasilitasi teknis bagi pengelola program di tingkat Provinsi.
4. Menyediakan
dan mendistribusikan buku pedoman dan media KIE pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
5. Memenuhi
sarana dan prasarana terkait pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa
hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
6. Melakukan
monitoring dan evaluasi .
B.
Peran Dinas Kesehatan Daerah Provinsi
1. Melakukan
advokasi, sosialisasi, dan koordinasi di tingkat Provinsi.
2. Melakukan
peningkatan kapasitas teknis dan manajemen bagi pengelola program di tingkat
Provinsi.
3. Meningkatkan
kerjasama dengan lintas program dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
4. Membangun
kemitraan dengan lintas sektor terkait di tingkat Provinsi untuk mendukung
pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan
masa sesudah melahirkan.
5. Menyediakan
dan mendistribusikan pedoman dan media KIE pelayanan kesehatan masa sebelum
hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
6. Melakukan
pencatatan dan pelaporan.
7. Melakukan
monitoring dan evaluasi.
C.
Peran Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota
1. Melakukan
advokasi, sosialisasi, dan koordinasi di tingkat kabupaten/kota.
2. Melakukan
peningkatan kapasitas teknis dan manajemen bagi pengelola program di tingkat
kabupaten/kota.
3. Meningkatkan
kerjasama dengan lintas program dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
4. Bersama
dengan organisasi profesi melakukan pembinaan baik fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta.
5. Membangun
kemitraan dengan lintas sektor terkait di tingkat kabupaten/kota untuk
mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
6. Menyediakan
pedoman dan media KIE terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum
hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
7. Membangun
jejaring rujukan pelayanan.
8. Melakukan
pencatatan dan pelaporan
9. Melakukan
monitoring dan evaluasi.
D. Peran
Puskesmas
1. Melaksanakan
pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan.
2. Melakukan
advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor.
3. Membangun
kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sekolah, panti, tokoh agama,
tokoh masyarakat, dan kader untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan
masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
4. Melakukan
sosialisasi dan KIE tentang pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
5. Melakukan
pencatatan dan pelaporan.
6. Melakukan
monitoring dan evaluasi.
E.
Peran Lintas Sektor
1. Membangun
jejaring dan bekerjasama untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
2. Menggerakkan
dan melaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM) melalui Posyandu, Posbindu, Poskesdes,
Poskestren, dan UKS.
3. Melaksanakan
hasil kesepakatan yang sudah disepakati di tingkat pusat.
BAB
VII
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Pemberdayaan Masyarakat merupakan
proses untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan individu,
keluarga serta masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya membantu mempercepat
pencapaian derajat kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, Persalinan, dan
masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual
yang optimal.
Pemberdayaan masyarakat untuk
menggalang peran serta masyarakat dlam mengelola Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat (UKBM). UKBM merupakan wahana pemberdayaan masyarakat yang dibentuk
atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama
masyarakat, dengan pembinaan sektor kesehatan, lintas sektor dan pemangku
kepentingan terkait lainnya. Pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan
melalui:
1. Posyandu,
posyandu remaja dan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat lainnya;
2. program
perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi;
3. pemanfaatan
Buku Kesehatan Ibu dan Anak;
4. penyelenggaraan
kelas ibu;
5. promosi
program keluarga berencana;
6. rumah
tunggu kelahiran; dan
7. pemberdayaan
dukun bayi dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir. Pemberdayaan masyarakat
ini akan berhasil apabila ada peran aktif dari masyarakat dengan mengutamakan
pendekatan promotif dan preventif. Sebagai pemberi pelayanan atau kuratif
seperti yang tecantum dalam PMK tentang masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan dan masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan pelayanan
Kesehatan seksual ini adalah tenaga Kesehatan, sementara untuk promotif dn
preventif bisa dilakukan oleh tenaga Kesehatan dengan dibantu oleh kader. Peran
kader seperti dikatakan dalam PMK Nomor 8 tahun 2019 adalah sebagai berikut:
1. penggerak
masyarakat untuk berperan serta dalam upaya kesehatan sesuai kewenangannya;
2. penggerak
masyarakat agar memanfaatkan UKBM dan pelayanan kesehatan dasar;
3. pengelola
UKBM;
4. penyuluh
kesehatan kepada masyarakat;
5. pencatat
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan; dan
6. pelapor
jika ada permasalahan atau kasus kesehatan setempat pada tenaga kesehatan.
Kader bisa berperan dalam semua lini kegiatan pemberdayaan
masyarakat antara lain:
1. Posyandu
maka peran Kader mengacu pada sistim 5 meja/ 5 langkah. yaitu:
Meja/ Langkah |
Kegiatan |
Pelaksana |
pertama |
pendaftaran |
Kader |
kedua |
penimbangan |
Kader |
ketiga |
pencatatan |
Kader |
keempat |
penyuluhan |
Kader |
kelima |
Pelayanan kesehatan |
Petugas kesehatan |
2. Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, peran kader adalah
a. Pemantauan
intensif setiap ibu hamil, mengingatkan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan
Kesehatan serta menemukan secara dini tanda bahaya pada ibu hamil, ibu yang mau
bersalin, ibu nifas serta bayi baru lahir
b. Pengelolaan
donor darah, ambulance desa, tubulin/dasolin, amanat persalinan.
c.
Membantu petugas Kesehatan mendata ibu hamil di
desanya
d. Melakukan
penyuluhan kepada ibu hamil, ibu nifas mengenai tanda bahaya kehamilan,
persalinan dan nifas
e.
Membantu tenaga Kesehatan dalam memfasilitasi
ibu hamil dan keluarganya untuk menyepakati isi stiker, termasuk KB pasca
persalinan
f.
Membantu memotivasi suami ibu hamil untuk
mendampingi pada saat periksa hamil, bersalinharus di fasilitas pelayanan
Kesehatan
g.
Membantu memotivasi untuk melakukan IMD
(inisiasi Menyusus Dini) dan pemberian ASI ekslusif pada bayi sampai usia 6
bulan.
3. Pemanfaatan
Buku KIA
Peran Kader dalam kegiatan ini adalah untuk dapat
memberikan penjelasan kepada ibu hamil, ibu yang mau bersalin dan ibu nifas
akan pentingnya menjaga Kesehatan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas
serta bayi baru lahir seperti yang tercantum dalam buku KIA, sehingga buku KIA
dapat berguna untuk menambah dan memperkuat informasi ibu dan keluarganya sejak
kehamilan pertama.
4. Penyelenggaraan
Kelas Ibu
Peran kader disini lebih kepada menggerakan ibu hamil
atau ibu yang mempunyai balita serta masyarakat pada umumnya untuk mengikuti
kelas ibu yang merupakan sarana belajar kelompok bagi ibu hamil dan bagi ibu
yang mempunyai balita untuk berdiskusi dan bertukar pengalaman dalam upaya
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang kehamilan, persalinan,
perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, serta bagi ibu yang mempunyai anak
usia 0 – 5 tahun penetahuan yang diberikan tentang pemenuhan pelayanan
Kesehatan, gizi, dan perkembangan dan pertumbuhan anak.
Kelas Ibu dibagi dua ada Kelas Ibu hamil
dan Kelas Ibu Balita.
5. Promosi
program keluarga berencana
Peran kader lebih kepada memotivasi ibu sejak masa hamil
serta keluarganya tentang pentingnya ber KB terutama KB pasca persalinan
6. Rumah
Tunggu Kelahiran
Pada kegiatan pemberdayaan masyarakat di Rumah Tunggu
Kelahiran, maka peran kader adalah kader dapat memberi tahu kepada petugas
kesehatan setiap ibu hamil yang rumahnya atau akses ibu hamil tersebut jauh
dari fasilitas Kesehatan, sehingga petugas kesehatan dapat mengidentifikasi ibu
hamil yang sudah mendekati persalinan untuk menempati RTK sampai waktu kelahirannya
tiba. Kader juga dapat memberi tahu petugas Kesehatan jika ada ibu hamil yang
resiko tinggi sesuai dengan tanda bahaya yang ada di buku KIA untuk ditempatkan
di RTK, sehingga bila terjadi kegawat daruratan yang membutuhkan perawatan
lebih lanjut, maka akan segera bisa ditangani.
Pemanfaatan RTK ini bersinergi dengan P4K, karena diawali dengan P4K, maka ibu hamil terdata
dan terpantau karena tenaga Kesehatan dapat mengidentifikasi ibu hamil mana
saja yang memerlukan Rumah Tunggu Kelahiran (RTK)
7. Pemberdayaan
dukun bayi dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir Merupakan bentuk kerja
sama yang saling menguntungkan antara bidan dengan dukun, dimana pertolongan
persalinan dilakukan oleh tenaga Kesehatan yang kompeten dengan tetap
melibatkan dukun pada kegiatan terbatas dan tidak membahayakan ibu dan bayinya,
seperti perawatan
ibu nifas, perawatan bayi dan lain-lain. Peran kader
adalah untuk mendata ibu hamil yang berada di wilayahnya termasuk ibu hamil
resiko tinggi, menyarankan ibu hamil agar bersalin di fasilitas Kesehatan
dengan tetap menyertakan dukun sebagai pendamping ibu hamil tersebut.
Memberikan pengertian kepada masyarakat dan dukun pentingnya bersalin di
fasiilitas pelayanan Kesehatan, memotivasi dukun untuk bekerjasama dengan bidan
dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk
menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.
BAB
VIII
PENCATATAN
DAN PELAPORAN
A. Pencatatan
dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
Setelah memberikan pelayanan
kesehatan masa sebelum hamil kepada sasaran pelayanan, tenaga kesehatan harus
mencatatkan hasil pemeriksaan pada rekam medis dan media pencatatan lainnya
sesuai masalah/penyakit, misalnya:
1. Pelayanan
kesehatan pada remaja dicatat pada rekam medik family folder, kohort kesehatan usia sekolah dan remaja, dan Rapor
Kesehatanku-Buku Catatan Kesehatan (SD,SMP/ SMA).
2. Pelayanan
kesehatan pada calon pengantin dicatat pada:
a. Rekam
medik family folder dan kohort
pelayanan kesehatan usia reproduksi untuk disimpan di fasilitas pelayanan
kesehatan.
b. Kartu
Calon Pengantin Sehat untuk diberikan kepada masingmasing calon pengantin.
c. Surat
Keterangan Pemeriksaan Kesehatan calon pengantin untuk persyaratan pengurusan
pernikahan.
3. Pelayanan
kesehatan pada Pasangan Usia Subur (PUS) dicatat pada rekam medik family folder dan kohort pelayanan
kesehatan usia reproduksi.
4. Pencatatan
untuk kelompok sasaran usia reproduksi dengan penyakit yang menjadi fokus
program pencegahan dan penanggulangan penyakit (antara lain: anemia, KEK, TB dan HIV), maka pencatatan
dapat dilakukan pada Kartu Calon Pengantin Sehat, kohort pelayanan kesehatan
usia reproduksi, dan format pencatatan program terkait, sehingga dapat
dilakukan intervensi lebih lanjut secara terpadu lintas program.
Rekapan pelaksanaan pelayanan
kesehatan reproduksi pada catin dan PUS di Puskesmas dilakukan setiap akhir
bulan dan dilaporkan melalui sistem pelaporan yang berlaku di puskesmas (Sistem
Informasi Puskesmas/SIP).
B. Pencatatan
dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Hamil
1. Pencatatan
Pencatatan pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir
yang sudah ada yaitu:
a. Kartu
Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan
kesehatan
b. Kohort
ibu yang merupakan kumpulan data-data dari kartu ibu.
c.
Buku KIA (dipegang ibu).
d. Pencatatan
dari program yang sudah ada (catatan dari imunisasi, malaria, gizi, KB, TB, dan
lain-lain)
Formulir harus diisi lengkap setiap kali selesai
memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga dengan baik karena
akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu dokumen ini
diperlukan untuk kegiatan audit medik.
2. Pelaporan
Pelaporan pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir
pelaporan yang sudah ada, yaitu:
a. LB3
KIA
b. PWS
KIA
c.
PWS Imunisasi
d. Untuk
lintas program terkait, pelaporan mengikuti formulir yang ada pada program
tersebut.
Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal
di wilayah kerja Puskesmas, melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan antenatal
terpadu setiap awal bulan ke Puskesmas atau disesuaikan dengan kebijakan daerah
masing-masing. Puskesmas menghimpun laporan rekapitulasi dari tenaga kesehatan
di wilayah kerjanya dan memasukkan ke dalam Register KIA untuk keperluan
pengolahan dan analisa data serta pembuatan laporan PWS KIA.
Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan
oleh Puskesmas untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan
pelayanan antenatal terpadu serta digunakan untuk pertemuan dengan lintas
sektor.
Dinas kesehatan kabupaten/kota menghimpun hasil
pengolahan dan analisa data dari seluruh Puskesmas di wilayahnya untuk
keperluan pengolahan dan analisa data serta pembuatan grafik PWS KIA tingkat
kabupaten/kota setiap bulan. Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke
dinas kesehatan provinsi setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan
oleh dinas kesehatan kabupaten/kota untuk memantau pencapaian target dan
melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu.
Dinas kesehatan provinsi menghimpun hasil pengolahan
dan analisa data dari seluruh kabupaten/kotadi wilayahnya untuk keperluan
pengolahan dan analisa data. Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke
Pusat Data dan Surveilens Kementerian Kesehatan dengan tembusan ke Bagian
Program dan Informasi Sekretariat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
setiap 3 bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh dinas kesehatan
provinsi untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan
antenatal terpadu.
Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan bersama Bagian
Program dan Informasi Sekretariat Direktorat Jenderal
Kesehatan Masyarakat menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh
provinsi per kabupaten/kota. Sementara itu melalui Direktorat Jenderal
Kesehatan Masyarakat memberi umpan balik ke kepala dinas kesehatan provinsi
melalui gubernur.
Lintas program yang terkait pelayanan antenatal
terpadu bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan ke
penanggung jawab program masing-masing secara berjenjang (dari Puskesmas sampai
Pusat) dan memberikan tembusan ke penanggung jawab program KIA.
C. Pencatatan
dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Persalinan
1. Pencatatan
Pelayanan Masa Persalinan
Pencatatan Pelayanan Masa Persalinan selain
menggunakan formulir yang sudah ada, juga menggunakan suatu formulir untuk
mencatat kemajuan persalinan, yaitu :
a. Kartu
Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Partograf
c.
Buku KIA
Pencatatan-pencatatan tersebut harus diisi lengkap
setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga
dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu
dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik.
2. Pelaporan
Pelaporan pelayanan masa persalinan menggunakan formulir
pelaporan yang sudah ada, yaitu LB3 KIA
D. Pencatatan
dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah
Melahirkan/Pascapersalinan
1. Pencatatan
Pelayanan Masa Sesudah Melahirkan/Pasca Persalinan
Bagi Ibu
Pencatatan Pelayanan Pasca Persalinan selain
menggunakan formulir yang sudah ada, juga menggunakan suatu formulir untuk
mencatat hasil pemeriksaan pada tata
laksana terpadu masa nifas seperti formulir pencatatan MTBM, yaitu :
a. Kartu
Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Formulir
Pemeriksaan Ibu Nifas
c.
Kohort Ibu
d. Buku
KIA
2. Pencatatan
Pelayanan Masa Sesudah Melahirkan/Pasca
Persalinan
Bagi Bayi Baru Lahir
a. Formulir
pencatatan bayi muda kurang dari 2 bulan (formulir
MTBM)
b. Register
rawat jalan bayi muda kurang dari 2 bulan
c.
Register Kohort Bayi
d. Buku
KIA
Pencatatan-pencatatan tersebut harus diisi lengkap
setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga
dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu
dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik.
Pelayanan Kunjungan nifas ke-4 pada bayi tetap dicatat namun tidak dilaporkan karena
tidak masuk dalam indikator kunjungan neonatal.
3. Pelaporan
Pelaporan pelayanan masa sesudah melahirkan/pasca
persalinan bagi ibu dan bayi baru lahir
menggunakan formulir pelaporan yang sudah ada, yaitu LB3 KIA dan LB3 KB.
Gambar Alur Pelaporan
Pada pelayanan pasca persalinan ke 4, ibu datang
bersama dengan bayinya. Pelayanan pada ibu dan bayi dicatat menggunakan form
yang ada dan dilaporkan menggunakan form LB3 KIA, kecuali pelayanan pasca
persalinan bagi bayi baru lahir pada kunjungan ke 4 tidak dilaporkan karena
tidak masuk dalam indikator.
Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan pasca
persalinan di wilayah kerja Puskesmas, melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan
pascapersalinan setiap awal bulan ke Puskesmas atau disesuaikan dengan
kebijakan daerah masing-masing. Puskesmas menghimpun laporan rekapitulasi dari
tenaga kesehatan di wilayah kerjanya dan memasukkan ke dalam LB3 KIA dan KB
untuk keperluan pengolahan dan analisais data serta pembuatan laporan PWS KIA.
Hasil pengolahan dan analisis data dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Puskesmas untuk
memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan pasca
persalinan serta digunakan untuk pertemuan dengan lintas sektor.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menghimpun hasil
pengolahan dan analisis data dari seluruh Puskesmas di wilayahnya untuk
keperluan pengolahan dan analisis data serta pembuatan grafik PWS KIA tingkat
kabupaten/kota setiap bulan. Hasil pengolahan dan analisis data dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Provinsi setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memantau pencapaian target dan
melihat tren pelaksanaan pelayanan pasca persalinan.
Dinas Kesehatan Provinsi menghimpun hasil pengolahan
dan analisis data dari seluruh kabupaten/kota di wilayahnya untuk keperluan
pengolahan dan analisis data di tingkat provinsi. Hasil pengolahan dan analisis
data dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Sementara itu grafik PWS KIA
digunakan oleh dinas kesehatan provinsi untuk memantau pencapaian target dan
melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu.
Lintas program yang terkait pelayanan pasca persalinan
bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan ke penanggung
jawab program masing-masing secara berjenjang (dari Puskesmas sampai Pusat) dan
memberikan tembusan ke penanggung jawab program KIA.
Pelaporan hasil pelayanan pasca persalinan dilakukan setiap
bulan, dengan jadwal:
a. Puskesmas
memasukan data sampai tanggal 25 dan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota
paling lambat tanggal 30 setiap bulan.
b. Laporan
dari Dinas Kesehatan Kab/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya, setiap bulan.
c. Laporan
dari Dinas Kesehatan Provinsi ke pusat paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya, setiap bulan.
BAB
IX
PENUTUP
Pelayanan Kesehatan Pada Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, dan
Pelayanan Kesehatan Seksual sangat penting dan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kesehatan ibu dan anak. Pelayanan kesehatan tersebut diberikan secara
komprehensif dan berkualitas yang diberikan kepada sasarannya sehingga dapat
mempersiapkan dan menjalani kehamilan yang sehat, bersalin dengan selamat,
serta melahirkan bayi yang sehat. Setiap tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan masa sebelum hamil, masa
hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan yang komprehensif, agar dapat
mendeteksi dini masalah dan penyakit serta melakukan tindak lanjut secara
adekuat.
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BUDI
G. SADIKIN
LAMPIRAN
II
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
21 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN
KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL,
MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN
KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN
KESEHATAN
SEKSUAL
PEDOMAN
PELAYANAN KONTRASEPSI
BAB
I
PENDAHULUAN
Setiap orang berhak untuk menentukan
kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
sesuai dengan norma agama. Hak reproduksi perorangan sebagai bagian dari
pengakuan akan hakhak asasi manusia yang diakui secara internasional dapat
diartikan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang
perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, mempunyai hak yang sama untuk
memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab kepada diri, keluarga dan
masyarakat mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan waktu
kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.
Dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor
52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga secara
eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan
akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi.
Pelayanan kontrasepsi merupakan bagian dari program Keluarga Berencana. Keluarga
Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan
sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk
membantu pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki
jumlah anak, dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan
cara, alat, dan obat kontrasepsi.
Pelayanan kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan
pemberian, pemasangan/pencabutan suatu metode kontrasepsi dan tindakan-tindakan
lain dalam upaya mencegah kehamilan.
Dalam upaya meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan kontrasepsi, pada lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, pada huruf N yaitu Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, disebutkan salah satu sub
urusan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat adalah menyusun standarisasi
pelayanan KB. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 97 tahun 2014 telah diatur tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi,
namun diperlukan revisi yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebutuhan program, diantaranya penyeragaman nama metode kontrasepsi sesuai
hasil kesepakatan dengan pihak terkait, adaptasi pedoman-pedoman KB dari WHO,
serta penyesuaian dengan Pedoman Standarisasi Pelayanan KB.
BAB
II
PERSYARATAN
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN YANG MEMBERIKAN PELAYANAN KONTRASEPSI
A. Jenis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), maka
pelayanan kontrasepsi dapat diberikan pada Fasyankes tingkat dasar dan tingkat
lanjut sebagai berikut:
a. Tempat
praktik mandiri tenaga kesehatan (praktik mandiri dokter/ dokter keluarga dan
praktik mandiri bidan);
b. Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas);
c. Klinik;
d. Rumah
Sakit.
B. Sumber
Daya Manusia
Dalam menyelenggarakan pelayanan
kontrasepsi, tenaga kesehatan yang diperlukan di Fasyankes adalah dokter,
bidan, dan tenaga kesehatan lainnya yang terlatih dan memiliki kewenangan dalam
melaksanakan pelayanan kontrasepsi. Tenaga yang diperlukan untuk pelayanan
kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7: Tenaga Kesehatan Berdasarkan
Metode Pelayanan Kontrasepsi
No |
Pelayanan |
Tenaga |
1 |
Tubektomi (minilaparatomi) |
Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan |
2 |
Tubektomi laparoskopi oklusi tuba |
Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang terlatih |
3 |
Vasektomi |
Dokter Spesialis
Urologi/ Dokter Spesialis Bedah/Dokter yang mendapat pelatihan untuk melayani
vasektomi |
4 |
AKDR |
Dokter Bidan yang telah mendapat
pelatihan pemasangan dan pencabutan AKDR |
5 |
Implan |
Dokter Bidan yang telah mendapat
pelatihan pemasangan dan pencabutan implan |
6 |
Kontrasepsi Suntik Progestin |
Dokter Bidan Perawat* |
No |
Pelayanan |
Tenaga |
7 |
Pil |
Dokter Bidan Perawat* |
8 |
Kondom |
Dokter Bidan Perawat Tenaga non Kesehatan |
9 |
Konseling |
Dokter Bidan Perawat |
Ket:
(*) Kewenangan diberikan berdasarkan pendelegasian
sesuai dengan regulasi yang berlaku
Untuk meningkatkan kualitas pemberian
konseling maka tenaga kesehatan sebaiknya mendapatkan pelatihan Komunikasi
Inter Personal
(KIP)/konseling menggunakan (ABPK) ber KB.
C. Alat
dan Obat Kontrasepsi
Pemerintah menyediakan berbagai
pilihan alat dan obat kontrasepsi (alokon) agar setiap pasangan usia subur
dapat dengan mudah dan aman memilih, memperoleh dan menggunakan alat dan obat
kontrasepsi.
Adapun alokon yang tersedia sebagai
berikut:
1. Kondom;
2. Pil
Kombinasi;
3. Kontrasepsi
Suntik Progestin;
4. Implan;
5. Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) copper
T (CuT 380A);
6. Alat
dan obat kontrasepsi sesuai kebijakan pemerintah.
Selain jenis alokon yang disediakan
oleh pemerintah (program), juga terdapat beberapa jenis alokon lainnya yang
beredar di Indonesia, antara lain:
1. Kontrasepsi
Pil Progestin
2. Suntik
Kombinasi
3. Implan
I Batang
4. AKDR
Levonorgestrel (AKDR-LNG)
5. lainnya
Untuk mekanisme distribusi alokon yang
disediakan oleh pemerintah ke Fasyankes diatur oleh Peraturan Kepala BKKBN.
Contoh pemberian alokon program pada setiap kunjungan dapat dilihat dalam Tabel
8 di bawah ini:
Tabel 8: Contoh Pemberian
Alat dan obat Obat Kontrasepsi pada setiap kunjungan
No |
Jenis Kontrasepsi |
Pemberian
Per kunjungan |
|
Jumlah |
Waktu |
||
1. |
Kondom |
1 lusin |
2 bln |
2. |
Pil Kombinasi |
1 strip |
28 hari |
3. |
Kontrasepsi Suntik Progestin
(Depot Medroksiprogesteron Asetat 150 mg/3ml) |
1 vial |
3 bln |
4. |
Implan (Levonogestrel 75 mg) |
1 bh |
3 tahun |
5. |
Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim copper CuT 380A (AKDR-Cu) |
1 bh |
|
*untuk jenis kontrasepsi, jumlah dan waktu pemberian
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk mendapatkan alokon program,
maka Fasyankes yang memberikan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan
reproduksi agar mendaftarkan ke Organisasi Perangkat Daerah KB (OPD KB)
kabupaten/kota setempat untuk mendapatkan nomor kode fasilitas kesehatan
(K/0/KB). Selain mendapatkan alokon, fasyankes yang telah terdaftar di OPD KB
akan mendapatkan sarana penunjang pelayanan KB, formulir pencatatan dan pelaporan
KB termasuk informed consent (sesuai
pelayanan yang diberikan) serta mendapatkan prioritas dalam pelatihan pelayanan
kontrasepsi bagi tenaga kesehatan. Fasyankes yang telah terdaftar/teregistrasi
di OPD KB wajib melaporkan hasil pelayanan KB termasuk pelayanan di jaringan
dan jejaringnya setiap bulan sesuai peraturan yang berlaku.
D. Pembiayaan
Pembiayaan pelayanan kontrasepsi
dapat bersumber dari APBN, APBD atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pembiayaan pelayanan kontrasepsi dalam
pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional bidang kesehatan diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan mengenai standar tarif pelayanan kesehatan dalam
penyelenggaraan program jaminan
kesehatan.
BAB
III
STANDARISASI
PELAYANAN KONTRASEPSI
A. Pra
Pelayanan
1. Komunikasi,
Informasi dan Edukasi
a. Pelayanan
KIE dilakukan di lapangan oleh tenaga penyuluh KB/PLKB dan kader serta tenaga
kesehatan. Pelayanan KIE dapat dilakukan secara berkelompok ataupun perorangan.
b. Tujuan
untuk memberikan pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku terhadap perencanaan
keluarga baik untuk menunda, menjarangkan/membatasi kelahiran melalui
penggunaan kontrasepsi.
c.
KIE dapat dilakukan melalui pertemuan, kunjungan
rumah dengan menggunakan/memanfaatkan media antara lain media cetak, media
sosial, Mobil Unit Penerangan (MUPEN), dan Public
Service Announcement (PSA).
d. Penyampaian
materi KIE disesuaikan dengan kearifan dan budaya lokal.
2. Konseling
Konseling dilakukan untuk
memberikan berbagai masukan dalam metode kontrasepsi dan hal-hal yang dianggap
perlu untuk diperhatikan dalam metode kontrasepsi yang menjadi pilihan klien
berdasarkan tujuan reproduksinya. Konseling ini melihat lebih banyak pada kepentingan
klien dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkannya. Tindakan konseling
ini disebut sebagai informed choice. Petugas kesehatan wajib menghormati keputusan
yang diambil oleh klien.
Dalam memberikan konseling,
khususnya bagi klien yang baru, hendaknya dapat diterapkan enam langkah yang
sudah dikenal dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan SATU TUJU tersebut tidak
perlu dilakukan secara berturut-turut karena petugas harus menyesuaikan diri
dengan kebutuhan klien. Beberapa klien membutuhkan lebih banyak perhatian pada
langkah yang satu dibanding dengan langkah yang lainnya. Kata kunci SATU TUJU
adalah sebagai berikut:
a. SA:
SApa dan SAlam kepada klien secara terbuka dan sopan. Berikan perhatian
sepenuhnya kepada mereka dan berbicara di tempat yang nyaman serta terjamin
privasinya. Yakinkan klien untuk
membangun rasa percaya diri. Tanyakan kepada klien apa yang perlu dibantu serta jelaskan tujuan dan manfaat dari
pelayanan yang akan diperolehnya.
b. T:
Tanyakan pada klien informasi
tentang dirinya. Bantu klien untuk
berbicara mengenai pengalaman Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi,
tujuan, kepentingan, harapan, serta keadaan kesehatan dan kehidupan
keluarganya. Tanyakan kontrasepsi yang diinginkan oleh klien. Berikan perhatian
kepada klien apa yang disampaikan sesuai dengan kata-kata, gerak isyarat
dan caranya. Coba tempatkan diri kita di dalam hati klien. Perlihatkan bahwa
kita memahami. Dengan memahami pengetahuan, kebutuhan dan keinginan klien, kita
dapat membantunya.
c.
U: Uraikan kepada klien mengenai pilihannya dan beritahu apa pilihan reproduksi yang
paling mungkin, termasuk pilihan beberapa jenis kontrasepsi. Bantulah klien pada jenis kontrasepsi yang paling dia
inginkan, serta jelaskan pula jenisjenis kontrasepsi lain yang ada. Juga jelaskan
alternatif kontrasepsi lain yang mungkin diingini oleh klien. Uraikan juga
mengenai risiko penularan HIV-AIDS dan pilihan metode ganda.
d. TU:
BanTUlah klien menentukan pilihannya. Bantulah klien berfikir mengenai apa yang paling sesuai dengan keadaan dan
kebutuhannya. Doronglah klien untuk
menunjukkan keinginannya dan mengajukan pertanyaan. Tanggapilah secara terbuka.
Petugas membantu klien mempertimbangkan kriteria dan keinginan klien terhadap
setiap jenis kontrasepsi. Tanyakan juga apakah pasangannya akan memberikan
dukungan dengan pilihan tersebut. Jika memungkinkan diskusikan mengenai pilihan
tersebut kepada pasangannya. Pada akhirnya yakinlah bahwa klien telah membuat
suatu keputusan yang tepat. Petugas dapat menanyakan apakah Anda sudah memutuskan
pilihan jenis kontrasepsi? Atau apa jenis kontrasepsi terpilih yang akan
digunakan?
e.
J: Jelaskan secara lengkap bagaimana menggunakan
kontrasepsi pilihannya. Setelah klien memilih
jenis kontrasepsinya, jika diperlukan, perlihatkan alat/obat kontrasepsinya.
Jelaskan alat/obat kontrasepsi tersebut digunakan dan bagaiamana cara
penggunaannya. Sekali lagi doronglah klien
untuk bertanya dan petugas menjawab secara jelas dan terbuka. Beri
penjelasan juga tentang manfaat ganda metode kontrasepsi, misalnya kondom yang
dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS). Cek pengetahuan klien tentang
penggunaan kontrasepsi pilihannya dan puji klien apabila dapat menjawab dengan
benar.
f.
U: Perlunya dilakukan kunjungan ulang. Bicarakan
dan buatlah perjanjian kapan klien akan
kembali untuk melakukan pemeriksaan lanjutan atau permintaan kontrasepsi jika
dibutuhkan. Perlu juga selalu mengingatkan klien untuk kembali apabila terjadi
suatu masalah.
Keputusan pemilihan kontrasepsi
sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan
efisien. Keluarga Berencana merupakan program yang berfungsi bagi pasangan
untuk menunda kelahiran anak pertama (postponing),
menjarangkan anak (spacing) atau
membatasi (limiting) jumlah anak yang
diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan kembalinya fase
kesuburan (fecundity).
*Tidak termasuk sebagai Tindakan Pemberian pelayanan
Kontrasepsi
Metode kontrasepsi berdasarkan kategori dalam program
pemerintah serta masa perlindungan yang diberikan dibagi menjadi Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(non-MKJP). Selain itu kategori lain yang biasa digunakan yaitu kontrasepsi
hormonal dan non-hormonal serta kontrasepsi modern dan tradisional. Untuk
metode Sadar Masa Subur dan senggama terputus dalam hal ini tidak termasuk
sebagai tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi.
Tabel
9 : Kategori Metode Kontrasepsi
No. |
METODE |
Masa perlindungan |
Kandungan |
Modern/ Tradisional |
|||
MKJP |
Non MKJP |
Hormo nal |
Non- Hormon al |
Modern |
Tradisio nal |
||
1. |
AKDR Copper T |
√ |
|
|
√ |
√ |
|
2. |
AKDR LNG |
√ |
|
√ |
|
√ |
|
3. |
Implan |
√ |
|
√ |
|
√ |
|
4. |
Tubektomi |
√ |
|
|
√ |
√ |
|
5. |
Vasektomi |
√ |
|
|
√ |
√ |
|
6. |
Suntikan |
|
√ |
√ |
|
√ |
|
7. |
Pil |
|
√ |
√ |
|
√ |
|
8. |
Kondom |
|
√ |
|
√ |
√ |
|
9. |
Metode Amenorhe Laktasi (MAL) |
|
√ |
|
√ |
√ |
|
10. |
Sadar Masa Subur |
|
√ |
|
√ |
|
√ |
11. |
Senggama Terputus |
|
√ |
|
√ |
|
√ |
Dalam salah satu alat yang
digunakan adalah Alat Bantu Pengambil Keputusan (ABPK) ber-KB yang merupakan
lembar balik yang dapat membantu petugas melakukan konseling sesuai standar
dengan adanya tanda pengingat mengenai keterampilan konseling yang perlu dilakukan
dan informasi yang perlu diberikan disesuaikan dengan kebutuhan klien. ABPK
mengajak klien bersikap lebih partisipatif dan membantu mengambil keputusan.
ABPK juga mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Membantu
pengambilan keputusan metode kontrasepsi;
b. Membantu
pemecahan masalah dalam penggunaan kontrasepsi;
c.
Alat bantu kerja bagi provider (tenaga
kesehatan);
d. Menyediakan
referensi/info teknis;
e.
Alat bantu visual untuk pelatihan provider
(tenaga kesehatan) yang baru bertugas.
3. Penapisan
Penapisan klien merupakan upaya
untuk melakukan kajian tentang kondisi kesehatan klien dengan menggunakan alat
bantu berupa diagram lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Kontrasepsi
(KLOP)
Kondisi kesehatan akan menentukan
pilihan metode kontrasepsi yang diinginkan dan tepat untuk klien. Tujuan utama
penapisan klien adalah:
a. Ada
atau tidak adanya kehamilan;
b. Menentukan
keadaan yang membutuhkan perhatian khusus misalnya menyusui atau tidak menyusui
pada penggunaan KB pasca persalinan;
c.
Menentukan masalah kesehatan yang membutuhkan
pengamatan dan pengelolaan lebih lanjut misalnya klien dengan HIV.
Klien tidak selalu memberikan
informasi yang benar tentang kondisi kesehatannya, sehingga petugas kesehatan
harus mengetahui bagaimana keadaan klien sebenarnya, bila diperlukan petugas
dapat mengulangi pertanyaan yang berbeda. Perlu juga diperhitungkan masalah
sosial, budaya atau agama yang mungkin berpengaruh terhadap respon klien
tersebut termasuk pasangannya. Untuk sebagian besar klien bisa diselesaikan
dengan cara anamnesis terarah, sehingga masalah utama dikenali atau kemungkinan
hamil dapat dicegah.
Beberapa metode kontrasepsi tidak
membutuhkan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan panggul, kecuali AKDR,
tubektomi, dan vasektomi dan pemeriksaan laboratorium untuk klien dilakukan
apabila terdapat indikasi medis.
4. Persetujuan
Tindakan Tenaga Kesehatan
Persetujuan tindakan tenaga
kesehatan merupakan persetujuan
tindakan yang menyatakan kesediaan dan kesiapan klien untuk berKB. Persetujuan
tindakan medis secara tertulis diberikan untuk pelayanan kontrasepsi seperti
suntik KB, AKDR, implan, tubektomi dan vasektomi, sedangkan untuk metode
kontrasepsi pil dan kondom dapat diberikan persetujuan tindakan medis secara
lisan.
Setiap pelayanan kontrasepsi harus
memperhatikan hak-hak reproduksi individu dan pasangannya, sehingga harus
diawali dengan pemberian informasi yang lengkap, jujur dan benar tentang metode
kontrasepsi yang akan digunakan oleh klien tersebut.
Penjelasan persetujuan tindakan tenaga
kesehatan sekurangkurangnya mencakup beberapa hal berikut:
a. Tata
cara tindakan pelayanan;
b. Tujuan
tindakan pelayanan yang dilakukan;
c.
Alternatif tindakan lain;
d. Risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e.
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
B. Pelayanan
Kontrasepsi
Menurut waktu pelaksanaannya, pelayanan
kontrasepsi dilakukan pada:
1. masa
interval, yaitu pelayanan kontrasepsi yang dilakukan selain pada masa
pascapersalinan dan pascakeguguran
2. pascapersalinan,
yaitu pada 0 - 42 hari sesudah melahirkan
3. pascakeguguran,
yaitu pada 0 - 14 hari sesudah keguguran
4. pelayanan
kontrasepsi darurat, yaitu dalam 3 hari sampai dengan 5 hari pascasenggama yang
tidak terlindung dengan kontrasepsi yang tepat dan konsisten.
Tindakan pemberian pelayanan
kontrasepsi meliputi pemasangan atau pencabutan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR), pemasangan atau pencabutan implan, pemberian suntik, pil, kondom,
pelayanan tubektomi dan vasektomi serta pemberian konseling Metode Amenore
Laktasi (MAL), dengan rincian sebagai berikut:
1. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) copper T
a. Jangka
waktu pemakaian
Jangka waktu pemakaian berjangka panjang dapat hingga 10
tahun, serta sangat efektif dan bersifat reversibel.
b. Batas
usia pemakai
Dapat dipakai oleh perempuan pada usia
reproduksi.
c.
Waktu Pemasangan
Waktu pemasangan AKDR copper T berdasarkan kondisi klien:
1) Memiliki siklus menstruasi teratur
a) Jika
klien mulai dalam 12 hari setelah permulaan menstruasinya maka tidak diperlukan
metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
klien mulai lebih dari 12 hari setelah permulaan menstruasinya, klien dapat
dipasang AKDR copper T kapan saja
asal tidak hamil dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
2) Beralih
dari metode lain
a) Jika
klien menggunakan metode secara konsisten dan benar atau jika sudah jelas klien
tidak hamil maka AKDR copper T dapat
segera digunakan. Tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya dan tidak
memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
klien beralih dari suntik maka klien dapat dipasang AKDR copper T saat suntik ulangan seharusnya diberikan dan tidak
memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
3) Segera
setelah melahirkan
a) Kapan
saja dalam 48 jam setelah melahirkan termasuk melahirkan dengan operasi caesar
(pemberi pelayanan memerlukan pelatihan khusus untuk pemasangan AKDR copper T setelah melahirkan).
b) Jika
lebih dari 48 jam setelah melahirkan maka tunda hingga 4 minggu atau lebih
setelah melahirkan.
4) Waktu
pemasangan AKDR copper T berdasarkan
kondisi menyusui atau tidak menyusui:
a) ASI
eksklusif atau hampir eksklusif
(1) Kurang
dari 6 bulan setelah melahirkan:
(a) Jika
AKDR copper T tidak dipasang dalam 48
jam pertama setelah melahirkan dan belum menstruasi, AKDR copper T dapat dipasang kapanpun antara 4 minggu dan 6 bulan. Tidak
perlu metode kontrasepsi tambahan.
(b) Jika
telah menstruasi, AKDR copper T dapat
dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur.
(2) Lebih
dari 6 bulan setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstruasi AKDR copper T dapat
dipasang kapan saja sepanjang klien tidak hamil dan tidak memerlukan metode
kontrasepsi tambahan.
(b) Jika
telah menstruasi, AKDR copper T dapat
dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur.
b) ASI
tidak eksklusif atau tidak menyusui:
Lebih dari 4 minggu setelah
melahirkan:
(1) Jika
siklus menstruasi belum kembali AKDR copper
T dapat dipasang dengan ketentuan telah dipastikan tidak hamil serta tidak
memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
(2) Jika
siklus menstruasi telah kembali AKDR copper
T dapat dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus
menstruasi teratur.
5) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):
Klien dapat dipasang AKDR copper T kapan saja dengan ketentuan telah dipastikan tidak hamil
serta tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
6) Setelah
keguguran:
a) Segera,
jika dilakukan pemasangan dalam 12 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2
dan tidak ada infeksi. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
lebih dari 12 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan tidak ada infeksi,
klien dapat dipasang kapanpun asal tidak hamil dan tidak memerlukan metode
kontrasepsi tambahan.
c)
Jika ada infeksi maka klien dibantu untuk
memilih metode lain. AKDR copper T
dapat dipasang bila infeksi telah teratasi.
d) Pemasangan
setelah keguguran trimester 2 memerlukan pelatihan spesifik atau menunggu
hingga 4 minggu setelah keguguran.
7) Setelah
menggunakan pil kontrasepsi darurat
AKDR copper T dapat
dipasang dalam hari yang sama dengan klien meminum pil, tidak diperlukan metode
kontrasepsi tambahan.
d. Efektivitas
Alat ini dapat efektif segera setelah pemasangan.
Memiliki efektivitas tinggi berkisar 0,6-0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1
tahun pertama (1 kegagalan dalam 125-170 kehamilan). Metode jangka panjang
hingga 10 tahun sehingga tidak perlu mengingat-ingat setiap hari seperti pada
metode pil.
e.
Kembalinya kesuburan
Kembalinya kesuburan tinggi setelah AKDR copper T dilepas.
f.
Jenis
AKDR copper T (CuT-380A) adalah suatu rangka dari
plastik yang lentur dan berukuran kecil, berbentuk huruf T yang diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat dari tembaga (Cu) yang dipasang didalam rahim.
g.
Cara kerja
1) Menghambat
kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii.
2) Mencegah
sperma dan ovum bertemu, AKDR membuat sperma sulit masuk ke dalam alat
reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk melakukan
fertilisasi.
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis AKDR Copper T aman dan
efektif bagi hampir semua perempuan, termasuk perempuan yang :
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun
3) Baru
saja mengalami keguguran (jika tidak ada bukti terjadi infeksi)
4) Sedang
menyusui
5) Melakukan
pekerjaan fisik yang berat
6) Pernah
mengalami kehamilan ektopik
7) Pernah
mengalami Penyakit Radang Panggul (PRP)
8) Menderita
anemia
9) Menderita
penyakit klinis HIV ringan atau tanpa gejala baik sedang atau tidak dalam
terapi antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
Kriteria Kelayakan
Medis
Biasanya, wanita dengan kondisi berikut sebaiknya tidak
menggunakan AKDR Copper T :
1) Antara
48 jam dan 4 minggu pascapersalinan
2) Penyakit
trofoblas gestasional nonkanker (jinak)
3) Menderita
kanker ovarium
4) Memiliki
risiko individual sangat tinggi untuk IMS pada saat pemasangan
5) Mengidap
penyakit klinis HIV berat atau lanjut
6) Menderita
systemic lupus erythematosus dengan
trombositopenia berat
Pada kondisi tersebut diatas, saat metode yang lebih
sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan
berkualifikasi yang dapat menilai kondisi dan situasi klien secara hati-hati
dapat memutuskan bahwa klien dapat menggunakan AKDR Copper T pada kondisi
tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan
seberapa berat kondisi klien, dan pada kebanyakan kondisi apakah klien
mempunyai akses untuk tindak lanjut.
j.
Penatatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi :
1) Persiapan
alat dan bahan untuk pemasangan/pencabutan AKDR copper T.
2) Langkah
– langkah pemasangan Pemasangan AKDR copper
T.
3) Langkah
– langkah Pencabutan AKDR copper T.
k. Efek
Samping dan Penanganan
Efek Samping |
Penanganan |
Menstruasi irregular/tidak teratur |
1) Yakinkan
klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau
berhenti setelah beberapa bulan pertama penggunaan. 2) Pengobatan
jangka pendek, boleh |
Efek Samping |
Penanganan |
||
|
diberikan NSAID
seperti Ibuprofen diberikan 2x400 mg selama 5 hari atau indometasin diberikan
2x25 mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. 3) Jika
kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak
berhubungan dengan kontrasepsi. |
||
Menstruasi yang dan lama |
banyak |
1) Yakinkan
klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau
berhenti setelah penggunaan beberapa bulan. 2) Pengobatan
jangka pendek, boleh
diberikan: •
Asam traneksamat 3x500 mg selama 5 hari,
dimulai sejak perdarahan berlangsung. •
Asam mefenamat 3X500 mg selama 5 hari •
Anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti
ibuprofen diberikan 2x400 mg selama 5 hari atau indometasin diberikan 2x25 mg
selama 5 hari. Anti inflamasi lainnya – kecuali aspirin- boleh digunakan. |
|
|
|
3) |
Sarankan untuk meminum
obat penambah zat besi atau makanan yang mengandung zat besi untuk mencegah
anemia. |
|
|
4) |
Jika kondisi ini terus
berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan
kontrasepsi. |
Kram dan nyeri perut |
1) |
Kram dan nyeri perut
dapat dirasakan beberapa hari setelah insersi AKDR copper T. |
Efek Samping |
|
Penanganan |
|
2) |
Kram perut biasa
terjadi dalam 3 sampai 6 bulan setelah penggunaan AKDR, khususnya saat
menstruasi. Kondisi ini tidak berbahaya. |
|
3) |
Aspirin 500 mg,
ibuprofen 400 mg, parasetamol 500-1000 mg atau penghilang nyeri lainnya.
Aspirin tidak dapat digunakan jika ada perdarahan hebat. |
Anemia |
1) |
Awasi klien dengan
gejala anemia atau dengan Hb kurang dari 9 g/dl atau hematokrit kurang dari
30. |
|
2) |
Berikan preparat zat besi
jika dibutuhkan. |
|
3) |
Jelaskan pentingnya
mengkonsumsi makanan yang kaya zat
besi. |
Pasangan dapat
merasakan benang AKDR copper T saat
senggama |
1) 2) |
Jelaskan jika hal itu
kadang terjadi jika benang dipotong kurang pendek. Jika pasangan tetap merasa terganggu, maka: • Benang
dapat dipotong lebih pendek sehingga benang tidak keluar ke kanalis
servikalis. Pasangan tidak akan dapat merasakan benang tetapi klien tidak
akan bisa mengecek benang AKDR. • Jika
klien tetap ingin dapat mengecek benang AKDR, disarankan untuk memasang AKDR
yang baru. (Untuk mencegah
ketidaknyamanan, benang AKDR di potong 3 cm dari serviks) |
Nyeri hebat di perut bawah (curiga penyakit |
1) |
Beberapa gejala
penyakit radang panggul juga menyerupai gejala kehamilan ektopik. Jika
kehamilan ektopik tidak terbukti, nilai sebagai penyakit radang panggul dan |
Efek Samping |
Penanganan |
|
radang panggul) |
berikan pengobatan yang tepat atau rujuk. 2) Obati
jika didapatkan gonore, clamidia dan infeksi bakteri anaerob. Sarankan
menggunakan kondom untuk sementara. 3) Tidak
perlu mencabut AKDR jika klien tetap ingin memakainya. Jika AKDR ingin dicabut,
lakukan setelah pemberian antibiotik. |
l.
Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi |
Penanganan |
Nyeri hebat di perut
bawah (curiga kehamilan ektopik) |
1) Waspadai
gejala kehamilan ektopik karena dapat mengancam jiwa. 2) Rujuk fasyankes tingkat lanjut. |
Perforasi uteri |
1) Jika
perforasi dicurigai terjadi saat insersi, hentikan prosedur secepatnya
(keluarkan AKDR jika telah dilakukan insersi). Observasi klien sebaikbaiknya:
•
Satu jam pertama, klien harus bed rest dan cek
tanda vital tiap 5 sampai 10 menit. •
Jika klien tetap stabil setelah 1 jam, cek
tanda perdarahan intra- abdomen seperti
hematokrit rendah atau hemoglobin jika memungkinkan dan tanda vital.
Observasi beberapa jam lagi, jika tidak ada tanda dan gejala, klien dapat
pulang ke rumah tetapi hindari seks selama 2 minggu. Bantu klien untuk
memilih metode lainnya. |
Komplikasi |
Penanganan |
|
• Jika didapatkan
nadi cepat dan penurunan tekanan darah, nyeri baru atau peninngkatan
intensitas nyeri sekitar uterus, segera rujuk. 2) Jika
perforasi uteri dicurigai terjadi 6 minggu atau lebih setelah insersi, segera rujuk ke fasyankes tingkat lanjut
|
AKDR copper T keluar sebagian (ekspulsi sebagian) |
Keluarkan AKDR dan
diskusikan dengan klien apakah tetap ingin menggunakan AKDR atau metode
lainnya. (AKDR yang baru dapat langsung dipasang saat itu) |
AKDR copper T keluar sempurna (ekspulsi lengkap) |
1) Diskusikan
dengan klien apakah tetap ingin menggunakan AKDR atau metode lainnya. (AKDR
yang baru dapat langsung dipasang saat itu) 2) Jika
klien curiga terjadi ekspulsi lengkap tapi tidak tau kapan tepatnya terjadi,
sarankan untuk melakukan xray atau USG untuk menilainya. Sarankan metode lain
selama proses penilaian. |
AKDR patah |
Rujuk ke fasyankes
tingkat lanjut |
Benang hilang |
1) Cek
benang dengan prosedur medis yang aman. Sekitar setengah dari kasus hilang
benang dapat ditemukan di kanalis servikalis. 2) Jika
benang tidak dapat ditemukan, pastikan tidak ada kehamilan sebelum melakukan
tindakan invasif. Segera rujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki USG. |
Perdarahan pervaginam yang tidak dapat |
1) Evaluasi
riwayat sebelumnya dan lakukan pemeriksaan pelvis. Diagnosis dan obati dengan
tepat. Bila tidak ada |
Komplikasi |
Penanganan |
dijelaskan |
perbaikan
Rujuk
ke Fasyankes
Tingkat Lanjut. 2) AKDR
tetap dapat digunakan selama proses evaluasi. 3) Jika
penyebabnya adalah penyakit radang panggul atau infeksi menular seksual, AKDR
tetap dapat digunakan selama pengobatan. |
Kehamilan |
Jelaskan bahwa AKDR
dapat mengancam kehamilan dan keluarkan AKDR segera selama benang AKDR masih
terlihat. |
Pada wanita yang hamil saat AKDR copper T masih terpasang dapat mengalami keguguran, kelahiran
prematur atau infeksi |
Rujuk ke Fasyankes
Tingkat Lanjut. |
m. Kriteria
Rujukan
1) Apabila
SDM, sarana dan peralatan pelayanan AKDR copper
T tidak tersedia dirujuk ke fasyankes lain yang memadai atau ke fasyankes
tingkat lanjut.
2) Apabila
terdapat penyulit yang masuk dalam kriteria 3 WHO.
3) Kontrol
AKDR pascaplasenta dengan sectio caesaria
atau AKDR dengan penyulit dapat dirujuk balik ke Fasyankes yang merujuk.
2. AKDR Levonorgestrel (AKDR LNG)
a. Jangka
waktu pemakaian
Jangka waktu pemakaian berjangka panjang, efektif untuk
pemakaian 5 tahun dan bersifat reversibel.
b. Batas
usia pemakai
Dapat dipakai oleh perempuan pada usia
reproduksi.
c.
Waktu Pemasangan
1) Pada
kondisi menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal:
a) Jika
klien mulai dalam 7 hari setelah permulaan menstruasinya, maka tidak diperlukan
metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
klien mulai lebih dari 7 hari setelah permulaan menstruasinya, klien dapat
dipasang AKDR LNG kapan saja asal tidak hamil dan memerlukan metode kontrasepsi
tambahan untuk 7 hari pertama setelah pemasangan.
2) Saat
beralih dari metode hormonal:
a) Jika
metode sebelumnya digunakan secara konsisten dan benar serta klien tidak hamil
maka AKDR LNG dapat segera digunakan dan tidak perlu menunggu menstruasi
berikutnya.
b) Jika
klien beralih dari suntik maka AKDR LNG dapat dipasang saat suntik ulangan
seharusnya diberikan dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
c)
Jika IUD LNG dipasang dalam 7 hari setelah
permulaan menstruasi, tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.
d) Jika
dipasang lebih dari 7 hari setelah permulaan menstruasi, maka diperlukan metode
kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.
3) Segera
setelah melahirkan (tanpa memandang status menyusui):
a) Dapat
dipasang kapan saja dalam 48 jam setelah melahirkan, perlu pelatihan khusus.
b) Jika
lebih dari 48 jam, tunda hingga setidaknya 4 minggu setelah melahirkan.
4) Berdasarkan
kondisi menyusui atau tidak menyusui:
a) ASI
eksklusif atau hampir eksklusif :
(1) Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan
(a) Jika
AKDR LNG tidak dipasang dalam 48 jam pertama setelah melahirkan dan belum
menstruasi, AKDR LNG dapat dipasang kapan saja antara 4 minggu dan 6 bulan.
Tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.
(b) Jika
telah menstruasi, AKDR LNG dapat dipasang seperti yang dianjurkan kepada wanita
dengan siklus mentruasi normal.
(2) Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan
(a) Jika
belum menstruasi maka AKDR LNG dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil dan
memerlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah pemasangan.
(b) Jika
telah menstruasi maka pemasangan AKDR LNG sesuai dengan pemasangan pada siklus
menstruasi teratur.
b) ASI tidak eksklusif atau tidak
menyusui:
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan: Jika
AKDR LNG tidak dipasang dalam 48 jam pertama setelah melahirkan, maka
pemasangan ditunda hingga 4 minggusetelah melahirkan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
siklus menstruasi belum kembali AKDR LNG dapat dipasang jika dapat dipastikan
klien tidak hamil, namun memerlukan metode kontrasepsi tambahan hingga 7 hari
pertama setelah pemasangan.
(b) Jika
siklus menstruasi telah kembali AKDR LNG dapat dipasang sesuai dengan siklus
menstruasi teratur.
5) Kondisi
setelah keguguran:
a) Segera,
jika dilakukan pemasangan dalam 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan
jika tidak terjadi infeksi. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
lebih dari 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan tidak terjadi
infeksi, klien dapat dipasang kapanpun asal tidak hamil namun memerlukan metode
kontrasepsi tambahan 7 hari pertama setelah pemasangan.
c)
Jika terjadi infeksi maka klien dibantu untuk
memilih metode lain. Jika tetap akan menggunakan AKDR LNG maka dapat dipasang
bila infeksi telah teratasi.
d) Pemasangan
AKDR LNG setelah keguguran trimester 2 memerlukan pelatihan khusus atau
menunggu hingga 4 minggu setelah keguguran.
6) Kondisi
tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):
Klien dapat dipasang AKDR LNG kapan saja asal tidak
hamil dan memerlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah
pemasangan.
7) Kondisi
setelah menggunakan pil kontrasepsi darurat:
a) AKDR
LNG dapat dipasang dalam 7 hari setelah permulaan menstruasi berikutnya atau
kapan saja asal tidak hamil. Berikan metode kontrasepsi tambahan atau
kontrasepsi oral untuk digunakan mulai dari hari setelah selesai menggunakan
pil darurat sampai dengan AKDR LNG dipasang.
b) AKDR
LNG seharusnya tidak dipasang dalam 6 hari pertama setelah minum pil
kontrasepsi darurat karena kandungannya berinteraksi. Jika AKDR LNG dipasang
lebih dulu, dan keduanya ada di dalam tubuh, satu atau keduanya mungkin menjadi
kurang efektif.
d. Efektivitas
Kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita dalam 1 tahun
pertama penggunaan AKDR LNG. Risiko kecil kehamilan masih berlanjut setelah
tahun pertama pemakaian.
e.
Kembalinya kesuburan
Kembalinya kesuburan tinggi setelah AKDR
dilepas.
f.
Jenis
AKDR LNG adalah suatu alat berbahan plastik berbentuk
T yang secara terus-menerus melepaskan sejumlah kecil levonogestrel setiap hari
yaitu 20µg/hari yang dipasang dalam rahim.
g.
Cara kerja
1) Mencegah
terjadinya pembuahan dengan menghambat bertemunya ovum dan sperma.
2) Menghambat
motilitas sperma sehingga mengurangi jumlah sperma yang mencapai tuba fallopii.
3) Menekan
pertumbuhan lapisan uterus (endometrium).
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis AKDR LNG aman dan
efektif bagi hampir semua perempuan, termasuk perempuan yang:
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan yang berumur lebih dari 40 tahun
3) Baru
saja mengalami keguguran (jika tidak ada bukti terjadi infeksi)
4) Sedang
menyusui
5) Melakukan
pekerjaan fisik yang berat
6) Pernah
mengalami kehamilan ektopik
7) Pernah
mengalami penyakit radang panggul (PRP)
8) Menderita
anemia
9) Menderita
penyakit klinis HIV ringan atau tanpa gejala baik dengan atau tanpa pengobatan
antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
Kriteria Kelayakan
Medis
Biasanya perempuan dengan kondisi berikut sebaiknya tidak
menggunakan AKDR-LNG :
1) Antara
48 jam dan 4 minggu pascapersalinan
2) Penggumpalan
darah vena dalam di kaki atau paru akut
3) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak muncul kembali
4) Sirosis
berat atau tumor hepar berat
5) Penyakit
tropoblas gestasional nonkanker (jinak)
6) Menderita
kanker ovarium
7) Memiliki
risiko individual sangat tinggi untuk IMS pada saat pemasangan
8) Mengidap
penyakit klinis HIV berat atau lanjut
9) Menderita
systemic lupus erythematosus dengan antibodi antifosfolipid positif (atau tidak
diketahui), dan tidak dalam terapi imunosupresif.
Namun, pada kondisi khusus, saat metode yang lebih
sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan
berkualifikasi yang dapat menilai kondisi dan situasi klien secara hati-hati
dapat memutuskan bahwa klien dapat menggunakan AKDR-LNG pada kondisi tersebut
diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien,
dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut
j.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pelayanan AKDR LNG
meliputi :
1) Persiapan
alat dan bahan untuk pemasangan/pencabutan AKDR LNG.
2) Langkah
– langkah pemasangan Pemasangan AKDR LNG.
3) Langkah
– langkah Pencabutan AKDR LNG.
k. Efek
samping dan penatalaksanaan
Efek Samping |
Penatalaksanaan |
Perubahan pola menstruasi 1) Menstruasi
lebih sedikit atau lebih pendek 2) Menstruasi
jarang 3) Menstruasi
tidak teratur 4) Tidak
menstruasi 5) Menstruasi
memanjang |
Dilakukan edukasi
dengan menjelaskan bahwa perubahan menstruasi umumnya bukan tanda penyakit
dan efek samping akan berkurang beberapa bulan pertama setelah pemasangan.
Klien dapat kembali jika efek samping dirasakan sangat mengganggu. |
Jerawat |
Dilakukan edukasi
dengan menjelaskan bahwa beberapa efek samping dapat terjadi dan umumnya
berkurang beberapa bulan pertama setelah pemasangan. Klien dapat kembali jika
|
Nyeri Kepala |
|
Nyeri atau nyeri tekan payudara |
|
Mual |
|
Efek Samping |
Penatalaksanaan |
Peningkatan berat
badan |
efek samping
dirasakan sangat mengganggu. Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan aspirin
500 mg, ibuprofen 400 mg, parasetamol (500 – 1000 mg) |
Pusing |
|
Perubahan suasana hati |
l.
Komplikasi dan penanganan
Komplikasi |
Penanganan |
|
Tusukan (perforasi)
pada dinding rahim oleh AKDR LNG yang digunakan pada pemasangan |
1) Jika
perforasi dicurigai terjadi saat insersi, hentikan prosedur secepatnya
(keluarkan AKDR jika telah dilakukan insersi). Observasi klien sebaikbaiknya:
•
Satu jam pertama, klien harus bed rest dan cek
tanda vital tiap 5 sampai 10 menit. •
Jika klien tetap stabil setelah 1 jam, cek
tanda perdarahan intraabdomen seperti hematokrit rendah atau hemoglobin jika
memungkinkan dan tanda vital. Observasi beberapa jam lagi, jika tidak ada
tanda dan gejala, klien dapat pulang ke rumah tetapi hindari seks selama 2 minggu.
Bantu klien untuk memilih metode lainnya. •
Jika didapatkan nadi cepat dan penurunan
tekanan darah, nyeri baru atau peningkatan intensitas nyeri sekitar uterus, segera rujuk. 2) Jika
perforasi uteri dicurigai terjadi 6 minggu atau lebih setelah insersi, segera rujuk ke fasyankes tingkat lanjut
|
|
Komplikasi |
Penanganan |
|
Nyeri hebat perut
bagian bawah |
pada |
3) Bila
dicurigai penyakit radang panggul, lakukan pengobatan sesegera mungkin, tidak
perlu melepas AKDR jika klien tetap ingin menggunakannya. Jika infeksi tidak
membaik, pertimbangkan untuk melepas AKDR dan sambil diberikan antibiotik.
Lakukan pengawasan. 4)
Bila curiga kista ovarium, klien dapat
melanjutkan menggunakan AKDR LNG selama evaluasi dan pengobatan, dilakukan
pengobatan atau rujuk bila kista membesar dengan tidak normal, terpelintir
atau pecah. 5) Bila
dicurigai kehamilan ektopik rujuk ke
fasyankes tingkat lanjut. |
AKDR sebagian seluruhnya |
keluar atau |
1) Bila
keluar sebagian, lepas AKDR, dapat dipasang kembali bila klien tidak hamil.
Jika klien tidak ingin melanjutkan penggunaan AKDR, bantu memilih metode
lain. 2) Bila
keluar seluruhnya atau benang tidak di temukan sedangkan klien tidak tahu
apakah AKDR keluar atau tidak, rujuk untuk USG atau x-ray, sementara berikan
metode kontrasepsi tambahan untuk klien. |
Sangat jarang •
Keguguran •
Kelahiran prematur infeksi wanita yang
menggunakan AKDR LNG |
atau pada hamil sedang |
Rujuk apabila
fasilitas kesehatan tidak memungkinkan melakukan penanganan sesuai prosedur. |
m. Kriteria Rujukan
1) Apabila
SDM, sarana dan peralatan pelayanan AKDR LNG tidak tersedia dirujuk ke
fasyankes lain yang memadai atau ke fasyankes tingkat lanjut.
2) Apabila
terdapat penyulit yang masuk dalam kriteria 3 WHO.
3) Kontrol
AKDR pasca plasenta dengan sectio caesaria atau AKDR dengan penyulit dapat
dirujuk balik ke Fasyankes yang merujuk.
3. Implan
a. Jangka
waktu pemakaian
Implan merupakan metode kontrasepsi hormonal yang
dipasang di bawah kulit, bersifat tidak permanen dan dapat mencegah terjadinya
kehamilan selama 3 - 5 tahun.
b. Batas
usia pemakai
Implan dapat dipergunakan oleh wanita
usia reproduktif.
c.
Waktu pemasangan
1) Kondisi
menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal:
Implan dapat dipasang setiap saat selama menstruasi
atau di antara siklus menstruasi bila dipastikan tidak ada kehamilan.
a) Jika
implan dipasang dalam 7 hari awal siklus menstruasi tidak diperlukan metode
kontrasepsi tambahan.
b) Jika
dipasang lebih dari 7 hari awal siklus menstruasi maka diperlukan metode
kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.
2) Berganti
dari metode hormonal lain
a) Jika
metode hormonal digunakan secara konsisten dan benar, atau yakin tidak hamil,
implan dapat dipasang segera. Tidak perlu menunggu periode menstruasi
berikutnya dan tidak perlu kontrasepsi tambahan.
b) Jika
metode sebelumnya adalah kontrasepsi suntik, implan harus dipasang ketika
suntikan ulang seharusnya diberikan.
Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
3) Segera
setelah melahirkan
a) Menyusui
eksklusif atau mendekati eksklusif:
(1) Kurang
dari 6 bulan setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstruasi, implan dapat dipasang kapan saja dan tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
(b) Jika
telah menstruasi, implan dapat dipasang sesuai siklus menstruasi
teratur.
(2) Lebih
dari 6 bulan setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstruasi, implan dapat dipasang kapan saja jika dipastikan tidak hamil
dan diperlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari setelah pemasangan.
(b) Jika
siklus menstruasi telah kembali, implan dapat dipasang sesuai anjuran
pemasangan pada siklus menstruasi teratur.
b) Tidak
menyusui:
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan, implan dapat dipasang. Tidak diperlukan
metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstruasi, implan dapat dipasang kapan saja asal tidak
hamil dan diperlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari setelah
pemasangan.
(b) Jika
siklus menstruasi telah kembali, implan dapat dipasang sesuai anjuran
pemasangan pada siklus menstruasi teratur.
4) Setelah
keguguran
a) Implan
dapat dipasang segera setelah keguguran. Tidak diperlukan metode kontrasepsi
tambahan jika dipasang dalam 7 hari pasca keguguran.
b) Jika
lebih dari 7 hari setelah keguguran, implan dapat dipasang asal tidak hamil dan
diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah
pemasangan.
5) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):
Implan dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil.
Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah
pemasangan.
6) Setelah
penggunaan kontrasepsi darurat:
a) Implan
dapat dipasangan pada hari yang sama dengsn penggunaan kontrasepsi darurat,
namun perlu metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
tidaksegera memulai, namun masih ingin menggunakan implan maka implan dapat
dipasang kapan saja asal tidak hamil.
d. Efektivitas
Implan merupakan salah satu kontrasepsi yang memiliki
efektifitas tinggi. Sangat kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita yang
menggunakan implan selama tahun pertama (1 per 1.000 wanita). Kurang dari 1
kehamilan per 100 wanita selama penggunaan implan. Tetap ada risiko rendah
terjadinya kehamilan selama tahun pertama penggunaan dan selama menggunakan
implan. Efektivitas berkurang pada wanita yang menggunakan obat yang
meningkatkan produksi enzim hati misalnya anti epilepsi (fenobarbital,
fenitoin, karbamazepin) dan antibiotika (rifampisin dan griseofulvin).
e.
Kembalinya kesuburan
Setelah implan dicabut maka kadar serum LNG dalam
beberapa hari sudah menghilang. Kesuburan akan segera pulih seperti sebelum
pemasangan implan. Dalam beberapa penelitian dilaporkan bahwa tidak ada efek
jangka panjang pada kesuburan perempuan setelah penggunaan implan.
f.
Jenis
Implan merupakan batang plastik yang lentur seukuran
batang korek api yang melepaskan progestin yang menyerupai progesteron alami
ditubuh wanita. Jenis implan yang tersedia adalah implan 2 batang
Levonorgestrel 75 mg dan implan 1 batang Etonogestrel 68 mg.
g.
Cara kerja
1) Menghambat
pelepasan sel telur dari ovarium (ovulasi).
2) Mengentalkan
lendir serviks (menghambat bertemunya sperma dan sel telur).
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan
dapat menggunakan implan secara aman dan efektif termasuk perempuan yang :
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun
3) Baru
saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik
4) Merokok,
tanpa bergantng pada usia perempuan maupun jumlah rokok yang dihisap
5) Sedang
menyusui
6) Menderita
anemia atau riwayat anemia
7) Menderita
varises vena
8) Terkena
HIV, sedang atau dalam tidak dalam terapi antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
Kriteria Kelayakan
Medis
Perempuan dengan kondisi berikut sebaiknya tidak
menggunakan implan :
1) Penggumpalan
darah akut pada vena dalam di kaki atau paru
2) Perdarahan
vaginal yang tidak dapat dijelaskan sebelum evaluasi terhadap kemungkinan kondisi
serius yang mendasari
3) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh
4) Sirosis
hati atau tumor hati berat
5) Systemic lupus erythematosus dengan
antibodi antifosfolipid positif (atau tidak diketahui), dan tidak dalam terapi
imunosupresif.
Namun, pada kondisi khusus, saat metode yang lebih
sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan
berkualifikasi akan memutuskan bila klien dapat menggunakan implan pada kondisi
tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi
klien, dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak
lanjut.
j.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pelayanan kontrasepsi
implan meliputi :
1) Persiapan
alat dan bahan pemasangan/pencabutan kontrasepsi implan.
2) Pemasangan
kontrasepsi implan.
3) Pencabutan
kontrasepsi implan.
k. Efek
Samping dan Penanganan
Efek Samping |
Penanganan |
|
Menstruasi irregular teratur) |
(tidak
|
1)
Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak
berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah setahun
pemasangan. 2)
Pengobatan jangka pendek, Ibuprofen
diberikan3x800 mg selama 5 hari, atau asam mefenamat diberikan 3x500 mg,
selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. 3)
Jika obat diatas tidak membantu, dapat
diberikan: •
Kontrasepsi pil kombinasi yang mengandung
progestin levonorgestrel, diminum 1 pil sehari selama 21 hari. •
Ethynyl estradiol, diberikan 1 x50µg selama 21
hari. 4)
Jika kondisi ini terus berlangsung,
pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. |
Tidak menstruasi |
ada |
Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya. |
Menstruasi yang banyak
dan lama |
1) Yakinkan
klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan |
Efek Samping |
Penanganan |
|
|
berkurang atau berhenti
setelah beberapa bulan. 2)
Pengobatan jangka pendek, Ibuprofen diberikan
3 x 800mg selama 5 hari, atau asam mefenamat diberikan 3x500mg selama 5 hari,
dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. Kombinasi dengan kontrasepsi oral
50µg ethynyl estradiol dapat memberikan hasil lebih baik. 3)
Sarankan untuk meminum obat penambah zat besi
untuk mencegah anemia. 4)
Jika kondisi ini terus berlangsung,
pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. |
|
Nyeri perut |
Aspirin 500mg atau
ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya. |
|
Jerawat |
Jika klien ingin
menghentikan implan karena jerawat, dapat dipertimbangkan penggantian metode
kontrasepsi dengan kontrasepsi oral kombinasi. |
|
Perubahan berat badan |
Die |
t dan konsul gizi. |
Nyeri payudara |
1) |
Rekomendasikan menggunakan supportive bra (saat aktivitas dan
tidur) |
|
2) |
Kompres panas atau dingin. |
|
3) |
Aspirin 500mg atau
ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya. |
Perubahan mood dan
hasrat seksual |
1) |
Berikan dukungan yang
sepantasnya jika perubahan tersebut mempengaruhi hubungan dengan |
Efek Samping |
|
Penanganan |
|
|
pasangan. |
|
2) |
Jika terjadi perubahan
mood (suasana hati) yang berat seperti depresi mayor, maka harus mendapatkan
perawatan segera. |
Nyeri setelah pemasangan atau pencabutan |
1) 2) |
Cek
balutan pada lengan apakah terlalu ketat. Aspirin 500mg atau
ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya. |
l.
Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi |
Penanganan |
Infeksi pada tempat insersi |
1) Jangan
mencabut implant. 2) Bersihkan
area yang terinfeksi dengan sabun dan air atau antiseptic. 3) Berikan
antibiotik oral selama 7-10 hari, minta klien kembali jika antibiotik telah
habis, dan jika tetap terjadi infeksi, cabut implan. |
Ekspulsi |
Tidak ada Jika tidak ada
infeksi, ganti kapsul melalui insisi baru dekat dengan kapsul lainnya atau
sarankan untuk mengganti implan. |
Nyeri hebat di perut bawah |
1)
Biasanya diakibatkan berbagai hal seperti
pembesaran folikel ovarium atau kista. 2)
Klien dapat terus menggunakan implan selama
penilaian. 3)
Tidak ada pengobatan khusus, dan biasanya menghilang dengan sendirinya. 4)
Jika dicurigai sebagai salah satu gejala
kehamilan ektopik, dengan gejala lain |
Komplikasi |
Penanganan |
|
berupa: • Perdarahan
pervaginam yang tidak normal, atau tidak menstruasi. • Pusing.
• Lemas,
pingsan. 5) Segera dirujuk ke
Fasyankes tingkat lanjut. |
Sakit kepala hebat |
Implan segera dicabut. |
m. Kriteria
Rujukan
1) Apabila
SDM, sarana dan peralatan pelayanan implan tidak tersedia dirujuk ke Fasyankes
yang memadai atau ke Fasyankes tingkat lanjut.
2) Pencabutan
implan dengan penyulit antara lain perlengketan atau kapsul implan tidak
teraba.
4. Kontrasepsi Suntik Progestin (KSP)
a. Jangka
waktu pemakaian
Jangka waktu pemakaian adalah 2 bulan sekali untuk NET-EN
dan 3 bulan sekali untuk DMPA.
b. Batas
usia pemakai
Dapat digunakan oleh wanita usia
reproduksi.
c.
Waktu pemberian
1) Menstruasi
teratur atau berganti dari metode non hormonal, kapanpun dapat diberikan pada
bulan tersebut asalkan tidak hamil:
a) Dalam
7 hari awal siklus menstruasi, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Setelah
7 hari awal siklus menstruasi, diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7
hari pertama setelah pemberian.
2) Setelah
melahirkan
a) ASI
Eksklusif atau hampir eksklusif
(1) Kurang
dari 6 minggu setelah melahirkan dan menyusui penuh: Tidak dianjurkan kecuali
tidak tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima.
(2) 6
minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan dan menstruasi belum kembali: Dapat
diberikan kapan saja dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
(3) Lebih
dari 6 minggu setelah melahirkan dan siklus menstruasi telah kembali: Pemberian
disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.
b) ASI tidak eksklusif
(1) Kurang
dari 6 minggu setelah melahirkan: tunda pemberian suntikan, kecuali tidak
tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima.
(2) Lebih
dari 6 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
menstruasi belum kembali: Dapat diberikan asalkan tidak hamil. Diperlukan
metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.
(b) Siklus
menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan
siklus menstruasi teratur.
c) Tidak menyusui
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan Suntik dapat dapat diberikan kapan saja, tidak
perlu metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan
(a) Jika
belum menstruasi, dapat memulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu metode
kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.
(b) Jika
siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada
kondisi dengan siklus menstruasi teratur.
4) Setelah
keguguran
a) Dapat
diberikan segera setelah keguguran. Jika mulai menggunakan dalam 7 hari setelah
keguguran trimester 1 atau 2, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
memulainya lebih dari 7 hari setelah keguguran, dapat diberikan kapan saja asal
tidak hamil, namun perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah
suntik.
5) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):
Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil.
Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian
suntik.
6) Setelah
pemakaian kontrasepsi darurat
a) Klien
dapat diberikan suntik pada hari yang sama dengan pemberian kontrasepsi darurat,
tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya namun perlu menggunakan kontrasepsi
tambahan untuk 7 hari pertama setalah suntikan.
b) Jika
tidak memulai segera, tetapi kembali untuk mendapatkan suntik, klien dapat
memulai kapan saja asal tidak hamil.
d. Efektivitas
Efektivitas KSP tergantung pada teratur tidaknya
klien mendapat suntik. Risiko kehamilan akan meningkat bila klien melewatkan
suatu suntikan. Pada penggunaan biasa, terjadi sekitar 4 kehamilan per 100
wanita yang menggunakan kontrasepsi suntik progestin pada tahun pertama. Ketika
klien mendapat suntikan dengan tepat waktu, kurang dari 1 kehamilan per 100
wanita yang menggunakan kontrasepsi suntik progestin pada tahun pertama
penggunaan (2 per 1.000 wanita).
e.
Kembalinya kesuburan
Kembalinya kesuburan sekitar 4 bulan lebih lama untuk DMPA
jika dibandingkan dengan hampir semua metode lain.
-
139 -
f.
Sediaan
Jenis yang tersedia adalah Depot Medroxyprogesterone acetate (DMPA): injeksi depo 150 mg/3 ml
dan injeksi depo 150 mg/1 ml, yang diberikan secara IM setiap 3 bulan.
Terdapat juga kontrasepsi suntik progestin dengan
kandungan norethindrone enanthate (NET–EN) yang diberikan secara IM setiap 2
bulan.
g.
Cara kerja
1) Menekan
ovulasi.
2) Membuat
lendir serviks menjadi kental sehingga penetrasi sperma terganggu.
3) Perubahan
pada endometrium berupa atrofi sehingga implantasi terganggu.
h. Yang
boleh menggunakan berdasaran kriteria kelayakan medis hampir semua perempuan
dapat dengan aman dan efektif menggunakan KSP, termasuk perempuan yang:
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan berusia lebih dari 40 tahun
3) Baru
saja mengalami keguguran
4) Merokok
tanpa melihat usia wanita maupun jumlah rokok yang dihisap
5) Sedang
menyusui, mulai segera setelah 6 minggu setelah melahirkan
6) Terkena
HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral.
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasaran kriteria
kelayakan medis
Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak
memakai KSP
1) Menyusui
dan melahirkan kurang dari 6 minggu sejak melahirkan (pertimbangkan risiko
kehamilan selanjutnya dan kemungkinan terbatasnya akses lanjutan untuk
mendapatkan suntik)
2) Tekanan
darah sangat tinggi (tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih atau tekanan
diastolik 100 mmHg atau lebih)
3) Mengalami
penggumpalan darah akut pada vena dalam di kaki atau paru
4) Riwayat
penyakit jantung atau sedang menderita penyakit jantung terkait obstruksi atau
penyempitan pembuluh darah (penyakit jantung iskemik)
5) Riwayat
stroke
6) Memiliki
faktor risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri seperti diabetes dan tekanan darah tinggi
7) Mengalami
perdarahan vaginal yang tidak diketahui sebelum evaluasi kemungkinan kondisi
medis serius yang mendasari
8) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh
9) Diabetes
selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah arteri,
penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes
10) Menderita
sirosis hati atau tumor hati
11) Menderita
systemic lupus erythematosus (SLE) dengan antibodi antifosfolipid positif (atau
tidak diketahui) dan tidak dalam terapi imunosupresif, atau trombositopenia
berat.
Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi
lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan
terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KSP dengan kondisi
tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi
klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak
lanjut.
j.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
kontrasepsi suntik progestin meliputi :
1) Persiapan
alat dan bahan pelayanan kontrasepsi.
2) Cara
penyuntikan kontrasepsi.
k. Efek
Samping dan Penanganan
Efek Samping |
Penanganan |
||
Menstruasi irregular teratur) |
(tidak
|
1)
Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak
berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan
pasca pemasangan. 2)
Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan asam mefenamat 2x500 mg selama 5 hari atau
valdecoxib diberikan 1x40 mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut
terjadi. 3)
Jika kondisi ini terus berlangsung,
pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. |
|
Tidak menstruasi |
ada |
Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya. |
|
Menstruasi yang banyak
dan lama |
1)
Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak
berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan. 2)
Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan asam
mefenamat diberikan 3x500 mg selama 5 hari, atau valdecoxib diberikan 1x40 mg
selama 5 hari atau ethynyl estradiol diberikan 1x50µg selama 21 hari dimulai
sejak kondisi tersebut terjadi. 3)
Jika perdarahan mengancam kesehatan, sarankan
untuk mengganti metode kontrasepsi. 4)
Sarankan untuk meminum obat penambah zat besi
untuk mencegah anemia. 5)
Jika kondisi ini terus berlangsung,
pertimbangkan penyebab lain yang |
||
Efek Samping |
Penanganan |
||
|
tidak berhubungan dengan kontrasepsi. |
||
Kembung atau rasa tidak nyaman di perut |
Pertimbangkan solusi yang tersedia secara lokal. |
||
Perubahan berat badan |
Die |
t dan konsul gizi. |
|
Perubahan mood (suasana hati) dan hasrat seksual |
1) |
Berikan dukungan yang sepantasnya jika perubahan tersebut
mempengaruhi hubungan dengan pasangan. |
|
|
2) |
Jika terjadi perubahan
mood (suasana hati) yang berat seperti
depresi mayor, maka harus mendapatkan perawatan segera. |
|
Nyeri kepala biasa |
1) |
Aspirin 500 mg atau
ibuprofen 400 mg atau parasetamol 500-1000 mg atau penghilang nyeri lainnya. |
l.
Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi |
|
Penanganan |
|
Perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya |
2) 3) |
Rujuk atau evaluasi riwayat sebelumnya dan lakukan pemeriksaan
pelvis, diagnosis dan obati dengan tepat Jika penyebab
perdarahan tidak dapat ditemukan, ganti metode kontrasepsi (selain implan dan
AKDR). |
|
|
4) |
Jika perdarahan
disebabkan infeksi menular seksual atau penyakit radang panggul, klien tetap
dapat melanjutkan metode ini. |
|
Kondisi kesehatan yang
serius seperti |
1) 2) 3) |
Stop suntikan kontrasepsi. Ganti metode kontrasepsi. Rujuk ke
Fasyankes tingkat lanjut. |
|
Komplikasi |
Penanganan |
|
|
penyempitan pembuluh
darah, penyakit hati yang berat, hipertensi yang berat, penyumbatan vena di
tungkai atau paru, stroke, kanker payudara atau kerusakan arteri penglihatan,
ginjal atau system saraf pusat karena diabetes |
|
|
|
Curiga kehamilan |
1)
Evaluasi kehamilan. 2)
Stop suntikan
jika terkonfirmasi. |
kehamilan
|
|
m. Kriteria
Rujukan
Pemberian kontrasepsi suntik dilakukan di fasyankes
tingkat dasar sehingga tidak memerlukan rujukan. Rujukan dilakukan apabila
terjadi komplikasi yang tidak dapat ditangani pada fasyankes tingkat dasar.
5. Kontrasepsi Suntik Kombinasi (KSK)
a. Jangka
waktu pemakaian
Jangka waktu pemakaian adalah 1 bulan
sekali.
b. Batas
usia pemakai
Dapat digunakan oleh wanita usia
reproduksi.
c.
Waktu Pemberian
1) Menstruasi teratur atau berganti dari
metode non hormonal, kapanpun dapat diberikan pada bulan tersebut asalkan tidak
hamil:
a)
Dalam 7 hari awal siklus menstruasi, tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Setelah
7 hari awal siklus menstruasi, diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7
hari pertama setelah pemberian.
c)
Jika berganti dari AKDR, dapat segera mulai
menggunakan KSK.
2) Setelah
melahirkan
a)
Asi eksklusif atau hampir eksklusif
(1) Kurang
dari 6 bulan setelah melahirkan: Tunda suntik sampai dengan 6 bulan setelah
melahirkan.
(2) Lebih
dari 6 bulan setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstruasi, dapat dimulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu motode
kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.
(b) Jika
telah menstruasi pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus
menstruasi teratur.
b) ASI
tidak eksklusif
(1) Kurang
dari 6 minggu setelah melahirkan: tunda pemberian suntikan, kecuali tidak
tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima.
(2) Lebih
dari 6 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
menstruasi belum kembali: Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil.
Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.
(b) Siklus
menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan
siklus menstruasi teratur.
c)
Tidak menyusui
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan Suntik dapat mulai digunakan kapanpun antara
hari ke 21 – 28 setelah melahirkan, tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan
(a) Jika
belum menstruasi, dapat memulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu metode
kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.
(b) Jika
siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi
dengan siklus menstruasi teratur.
3) Setelah
keguguran
a)
Dapat diberikan segera setelah keguguran. Jika
mulai menggunakan dalam 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2, tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Jika
memulainya lebih dari 7 hari setelah keguguran, dapat diberikan kapan saja asal
tidak hamil, namun perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama
setelah suntik.
4) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):
Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil. Diperlukan
metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian suntik.
5) Setelah
pemakaian kontrasepsi darurat
a)
Klien dapat diberikan suntik pada hari yang sama
dengan pemberian kontrasepsi darurat, tidak perlu menunggu menstruasi
berikutnya namun perlu menggunakan kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama
setalah suntikan.
b) Jika
tidak memulai segera, tetapi kembali untuk mendapatkan suntik, klien dapat
memulai kapan saja asal tidak hamil.
d. Efektivitas
Sangat efektif (0,3 kehamilan per 100 perempuan) selama
tahun pertama penggunaan bila pemberian tepat waktu. Efektivitas berkurang jika
digunakan dengan obat epilepsi dan tuberkulosis.
e.
Kembalinya kesuburan
Kehamilan dapat terjadi rata-rata lima bulan setelah
suntikan dihentikan, 1 bulan lebih lama dibanding metode yang lain.
f.
Sediaan
1) Sediaan
yang terdiri dari kombinasi 25 mg Depot
Medroksiprogesteron Asetat dan 5 mg Estradiol
sipinoat yang diberikan IM /bulan.
2) Sediaan
yang mengandung 50 mg Norentindron
Enantat dan 5 mg Estradiol Valerat
yang diberikan injeksi IM/bulan.
g.
Cara kerja
1) Menekan
ovulasi,
2) Membuat
lender serviks menjadi kental sehingga penetrasi sperma terganggu.
3) Perubahan
pada endometrium berupa atrofi sehingga implantasi terganggu.
4) Penghambatan
transportasi gamet oleh tuba.
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan
dapat dengan aman dan efektif menggunakan KSK, termasuk perempuan yang:
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan berusia lebih dari 40 tahun
3) Baru
saja mengalami abortus atau keguguran
4) Merokok
berapa pun jumlah batang rokok yang dihisap per hari dan berumur kurang dari 35
tahun
5) Merokok
kurang dari 15 batang per hari dan berumur lebih dari 35 tahun
6) Anemia
atau mempunyai riwayat anemia.
7) Menderita
varises vena.
8) Terkena
HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Krteria
Kelayakan
Medis
Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak
memakai KSK
1) Tidak
menyusui dan melahirkan kurang dari 3 minggu, tanpa risiko tambahan terbentuknya
penggumpalan darah di vena dalam (TVD – Trombosis Vena Dalam)
2) Tidak
menyusui dan melahirkan antara 3 dan 6 minggu pasca persalinan dengan risiko
tambahan yang memungkinkan terbentuknya TVD
3) Sedang
menyusui antara 6 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan
4) Usia
35 tahun atau lebih dan merokok lebih dari 15 batang per hari
5) Tekanan
darah tinggi tekanan sistolik ≥160 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 100 mmHg
6) Penyakit
infeksi atau tumor hati berat
7) Usia
35 tahun atau lebih dengan sakit kepala migrain tanpa aura
8) Usia
kurang dari 35 tahun dengan sakit kepala migrain yang telah muncul atau
memberat saat memakai KSK
9) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak muncul kembali
10) Diabetes
selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah arteri,
penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes
11) Faktor
risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri seperti usia tua, merokok,
diabetes, dan tekanan darah tinggi
12) Sedang
dalam terapi lamotrigine. KSK dapat mengurangi efektivitas lamotrigin
Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi
lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan
terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KSK dengan kondisi
tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi
klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak
lanjut.
j.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
Kontrasepsi Suntik Kombinasi meliputi:
1) Persiapan
alat dan bahan untuk pelayanan kontrasepsi.
2) Cara
penyuntikan kontrasepsi.
k. Efek
samping
Efek samping yang umum terjadi antara
lain amenore, mual, pusing, dan perdarahan pervaginam.
Efek Samping |
Penanganan |
||
Menstruasi irregular teratur) |
(tidak
|
1)
Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak
berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan
pasca pemasangan. 2)
Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan asam mefenamat 2x500mg selama 5 hari atau
valdecoxib diberikan 1x40mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut
terjadi. 3)
Jika kondisi ini terus berlangsung,
pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. |
|
Tidak menstruasi |
ada |
Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya. |
|
Menstruasi yang banyak
dan lama |
1) Yakinkan
klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau
berhenti setelah beberapa bulan. 2) Pengobatan
jangka pendek, boleh diberikan asam
mefenamat diberikan 3x500mg selama 5 hari, atau valdecoxib diberikan 1x40 mg
selama 5 hari atau ethynyl estradiol diberikan 1x50µg selama 21 hari dimulai
sejak kondisi tersebut terjadi. 3) Jika
perdarahan mengancam kesehatan, sarankan untuk mengganti metode kontrasepsi. 4) Sarankan
untuk meminum obat |
||
Efek Samping |
Penanganan |
||
|
penambah zat besi untuk mencegah anemia. 5) Jika
kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak
berhubungan dengan kontrasepsi. |
||
Kembung atau rasa tidak nyaman di perut |
Pertimbangkan solusi yang tersedia secara local. |
||
Perubahan berat badan |
Die |
t dan konsul gizi. |
|
Perubahan mood (suasana hati) dan hasrat seksual |
1) |
Berikan dukungan yang sepantasnya jika perubahan tersebut
mempengaruhi hubungan dengan pasangan. |
|
|
2) |
Jika terjadi perubahan
mood (suasana hati) yang berat seperti
depresi mayor, maka harus mendapatkan perawatan segera. |
|
Nyeri kepala biasa |
1) |
Aspirin 500mg atau
ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya. |
l.
Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi |
Penanganan |
Perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya |
2)
Rujuk
ke fasyankes tingkat lanjut atau evaluasi riwayat sebelumnya dan lakukan
pemeriksaan pelvis, diagnosis dan obati dengan tepat. 3)
Jika penyebab perdarahan tidak dapat
ditemukan, ganti metode kontrasepsi (selain implan dan AKDR) 4)
Jika perdarahan disebabkan infeksi menular
seksual atau penyakit radang panggul, klien tetap dapat |
Komplikasi |
Penanganan |
|
melanjutkan metode ini. |
Kondisi
kesehatan yang serius seperti penyempitan
pembuluh darah, penyakit hati yang berat, hipertensi yang berat, penyumbatan vena di
tungkai atau paru, stroke, kanker payudara atau kerusakan arteri penglihatan,
ginjal atau system saraf pusat karena diabetes |
5)
Stop suntikan kontrasepsi. 6)
Ganti metode kontrasepsi. 7)
Rujuk
ke Fasyankes tingkat lanjut. |
Curiga
kehamilan |
Evaluasi kehamilan. Stop suntikan jika kehamilan
terkonfirmasi. |
m. Kriteria
Rujukan
1) Apabila
prasarana dan peralatan pada Fasyankes tingkat dasar tidak memadai untuk
menangani efek samping atau komplikasi.
2) Apabila
terjadi komplikasi dan telah dilakukan penanganan di Fasyankes tingkat dasar
tetapi komplikasi tidak teratasi atau makin memberat maka dilakukan rujukan ke
fasyankes tingkat lanjut.
6. Kontrasepsi Pil Kombinasi (KPK)
a. Jangka
waktu pemakaian
Pil kombinasi harus diminum setiap
hari.
b. Batas
usia pemakai
Dapat dipakai pada semua wanita usia
reproduktif.
c.
Waktu Pemberian
1) Menstruasi
teratur atau berganti dari metode non hormonal
a)
Dalam 5 hari setelah dimulainya pendarahan
menstruasi, dapat dimulai. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Lebih
dari 5 hari sejak dimulainya pendarahan menstruasi, dapat dimulai asalkan tidak
hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 pertama setelah memulai
penggunaan.
2) Setelah
melahirkan
a)
ASI eksklusif atau hampir eksklusif
(1) Kurang
dari 6 bulan setelah melahirkan
Klien
dapat mulai menggunakan 6 bulan setelah melahirkan atau ketika ASI tidak lagi
menjadi sumber nutrisi utama bayi.
(2) Lebih
dari 6 bulan setelah melahirkan
(a) Jika
belum menstruasi dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil, perlu metode
kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil.
(b) Jika
belum menstruasi klien dapat mulai menggunakan seperti yang dianjurkan pada
klien yang memiliki siklus menastruasi teratur.
b) ASI
tidak eksklusif
(1) Kurang
dari 6 minggu setelah melahirkan:
(a)
KPK dapat dimulai 6 minggu setelah melahirkan.
(b)
Jika klien belum menstruasi, berikan metode
kontrasepsi tambahan selama periode hingga 6 minggu setelah melahirkan.
(2) Lebih
dari 6 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil namun diperlikan
metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil.
(b) Jika
telah menstruasi, mulai menggunakan KPK sesuai anjuran pada klien yang memiliki
siklus menstruasi teratur.
c) Tidak menyusui
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan:
KPK dapat digunakan hari ke 21 – 28 setelah
melahirkan dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan:
(a)
Jika belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja
asal tidak hamil namun diperlikan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari
pertama minum pil.
(b)
Jika telah menstruasi, mulai menggunakan KPK
sesuai anjuran pada klien yang memiliki siklus menstruasi teratur.
3) Pasca
keguguran
KPK dapat dimulai dalam 7 hari setalah keguguran, tidak
perlu kontrasepsi tambahan. Bila dimulai lebih dari 7 hari setalah keguguran
maka yakinkan tidak hamil dan diperlukan kontrasepsi tambahan untuk 7 hari
pertama minum pil.
4) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui)
KPK dapat dimulai setiap saat asalkan tidak hamil dan
perlu menggunakan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah
memulai penggunaan.
5) Beralih
dari metode hormonal lain
a)
Jika metode hormonal digunakan secara konsisten
dan benar atau jika tidak hamil, KPK dapat segera dimulai dan tidak perlu
menunggu periode menstruasi berikutnya.
b)
Jika metode sebelumnya adalah kontrasepsi
suntik, KPK harus dimulai ketika suntikan ulang seharusnya diberikan. Tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
d. Efektivitas
Efektivitas pil kombinasi tergantung pada klien. Kehamilan
terjadi sekitar 7 dari 100 klien pada penggunaan secara biasa di tahun pertama.
Efektivitas akan meningkat bila tidak ada kekeliruan dalam meminum pil
kombinasi yang dilakukan pada waktu tang sama yaitu kurang dari 1 kehamilan per
100 wanita.
e.
Kembalinya kesuburan
Tingkat kesuburan akan segera kembali bila penggunaan pil
dihentikan.
f.
Jenis
Jenis yang tersedia di program adalah pil kombinasi
monofasik yaitu yang mengandung levonorgestrel 150 µg dan etinilestradiol 30
µg. Disamping itu terdapat jenis lain yaitu bifasik, trifasik dan kuadrifasik
g.
Cara kerja
1) Menekan
ovulasi
2) Lendir
serviks mengental sehingga sulit dilalui sperma
3) Pergerakan
tuba terganggu sehingga transportasi telur juga terganggu
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan
dapat menggunakan KPK secara aman dan efektif, termasuk perempuan yang :
1) Telah
atau belum memiliki anak
2) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun
3) Setelah
melahirkan dan selama menyusui, setelah periode waktu tertentu.
4) Baru
saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik
5) Merokok
– jika usia di bawah 35 tahun
6) Menderita
anemia atau riwayat anemia
7) Menderita
varises vena
8) Terkena
HIV, sedang atau tidak dalam terapi antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
Kriteria Kelayakan
Medis
Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak
memakai KPK:
1) Tidak
menyusui dan kurang dari 3 minggu setelah melahirkan, tanpa risiko tambahan
kemungkinan terjadinya penggumpalan darah pada vena dalam (TVD)
2) Tidak
menyusui dan antara 3 hingga 6 minggu pascapersalinan dengan risiko tambahan
kemungkinan terjadinya TVD
3) Terutama
menyusui antara 6 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan
4) Usia
35 tahun atau lebih dan merokok kurang dari 15 batang per hari
5) Tekanan
darah tinggi (tekanan sistolik ≥ 140 atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg)
6) Riwayat
tekanan darah tinggi, dan tekanan darah tidak dapat diukur (termasuk tekanan
darah tinggi terkait kehamilan)
7) Riwayat
jaundis saat menggunakan KPK sebelumnya
8) Penyakit
kandung empedu (sedang atau diobati secara medis)
9) Usia
35 tahun atau lebih dengan sakit kepala migrain tanpa aura
10) Usia
kurang dari 35 tahun dengan sakit kepala migrain tanpa aura yang muncul atau
memberat ketika menggunakan KPK
11) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh
12) Diabetes
selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah,
penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes
13) Faktor
risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri seperti usia tua, merokok,
diabetes, dan tekanan darah tinggi
14) Sedang
dalam terapi barbiturat, carbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin, primidone,
topiramate, rifampisin, atau rifabutin. Sebaiknya memakai metode kontrasepsi
tambahan karena obat-obatan tersebut mengurangi efektivitas KPK.
15) Sedang
dalam terapi lamotrigin. KPK dapat mengurangi efektivitas lamotrigin.
Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi
lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan
terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KPK dengan kondisi
tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi
klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak
lanjut.
j.
Efek Samping dan Penanganan
Efek Samping |
|
Penanganan |
Menstruasi tidak teratur
atau perdarahan pervaginam |
1) 2) |
Minum
pil setiap hari pada jam yang sama. Ibuprofen 3 x 800 mg selama 5 hari. |
|
3) |
NSAID. |
|
4) |
Bila perdarahan tidak
berhenti sarankan menggunakan metode kontrasepsi lain. |
Tidak menstruasi |
1) |
Lakukan konseling bahwa
terkadang setelah pemakaian kontrasepsi pil menstruasi menjadi tidak teratur
dan bahkan tidak menstruasi. |
|
2) |
Pastikan pil diminum setiap hari. |
|
3) |
Pastikan klien tidak hamil. |
Sakit kepala biasa
(bukan migraine) |
1) |
Aspirin 500 mg atau
ibuprofen 400 mg
atau parasetamol 5001000 mg. |
|
2) |
Bila sakit kepala
berlanjut maka konseling untuk memilih kontrasepsi jenis lain. |
Mual atau pusing |
Untuk mengatasi mual
minum pil menjelang tidur atau saat makan. |
|
Payudara nyeri |
1) Sarankan
menggunakan bra |
|
Efek Samping |
|
Penanganan |
|
|
yang sesuai baik saat aktivitas ataupun |
|
2) |
Tidur. |
|
3) |
Kompres hangat atau dingin. |
|
4) |
Aspirin 500 mg atau
ibuprofen 400 mg atau parasetamol
5001000 mg atau penghilang nyeri lainnya. |
Perubahan berat badan |
1) |
Evaluasi
pola makan dan konsul |
|
2) |
gizi bila perlu. |
Perubahan mood dan aktivitas seksual |
Lakukan konseling bila keluhan berlanjut sarankan memilih
kontrasepsi lain. |
|
Jerawat |
1) |
Jerawat umumnya
timbul bersamaan dengan penggunaan
pil. |
|
2) |
Bila klien telah
menggunakan pil kombinasi selama beberapa bulan dan jerawat tetap ada maka
berikan pil dengan kombinasi lain jika ada atau sarankan memilih kontrasepsi
jenis lain. |
Gastritis |
1) |
Pil diminum setelah makan |
|
2) |
Jika diperlukan dapat diberikan antasida. |
k. Komplikasi
dan Penanganan
Jarang ditemukan komplikasi.
l.
Kriteria Rujukan
Pemberian kontrasepsi pil dilakukan di Fasyankes tingkat
dasar sehingga tidak memerlukan rujukan.
7. Kontrasepsi Pil Progestin (KPP)
a. Jangka
waktu pemakaian
Pil harus diminum setiap hari.
b. Batas
usia pemakai
Dapat dipakai pada semua wanita usia
reproduktif.
c.
Waktu pemberian
1) Menstruasi
teratur atau berganti dari metode non hormonal
a)
Dalam 5 hari setelah permulaan menstruasi, dapat
dimulai dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
b) Lebih
dari 5 hari sejak permulaan menstruasi, dapat dimulai asalkan tidak hamil.
Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 pertama setelah memulai
penggunaan.
2) Setelah
melahirkan
a)
ASI eksklusif atau hampir eksklusif
(1) Kurang
dari 6 bulan setelah melahirkan
Klien dapat mulai memulai pil kapan saja
sesudah melahirkan dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 6 bulan setelah melahirkan
(a) Jika
belum menstruasi dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil, perlu metode
kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil.
(b) Jika
belum menstruasi klien dapat mulai menggunakan seperti yang dianjurkan pada
klien yang memiliki siklus menastruasi teratur.
b) ASI
tidak eksklusif
(1) Jika
belum menstruasi, KPP dapat dimulai kapan saja asal tidak hamil, namun perlu
metode kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil.
(2) Jika
klien belum menstruasi, anjurkan seperti klien yang memiliki siklus menstruasi
teratur.
c)
Tidak menyusui
(1) Kurang
dari 4 minggu setelah melahirkan: KPP dapat dimulai kapan saja dan tidak
diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
(2) Lebih
dari 4 minggu setelah melahirkan:
(a) Jika
belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil namun diperlukan
metode kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil.
(b) Jika
telah menstruasi, mulai menggunakan KPK sesuai anjuran pada klien yang memiliki
siklus menstruasi teratur.
3) Pasca
keguguran
KPP dapat dimulai dalam 7 hari setalah keguguran, tidak
perlu kontrasepsi tambahan. Bila dimulai lebih dari 7 hari setalah keguguran
maka yakinkan tidak hamil dan diperlukan kontrasepsi tambahan untuk 2 hari
pertama minum pil.
4) Tidak
menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui)
KPK dapat dimulai setiap saat asalkan tidak hamil dan
perlu menggunakan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah
memulai penggunaan.
5) Beralih
dari metode hormonal lain
a)
Jika metode hormonal digunakan secara konsisten
dan benar atau jika tidak hamil, KPK dapat segera dimulai dan tidak perlu
menunggu periode menstruasi berikutnya.
b) Jika
metode sebelumnya adalah kontrasepsi suntik, KPK harus dimulai ketika suntikan
ulang seharusnya diberikan. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.
d. Efektivitas
Pada wanita menyusui, terjadi sekitar 1 kehamilan per 100
wanita pada tahun pertama, sedangkan pada wanita yang tidak menyusui jika
penggunaan biasa terjadi sekitar 7 hingga 10 kehamilan per 100 wanita.
Penggunaan setiap hari pada waktu yang sama akan dapat meningkatkan
efektifitas.
e.
Kembalinya kesuburan
Tingkat kesuburan akan segera kembali bila penggunaan pil
dihentikan.
f.
Jenis
Jenis yang tersedia adalah:
1) 0,5
mg lynestrenol dengan kemasan 28 pil
2) 300
µg levonorgestrel atau 350 µg norethindrone dengan kemasan 35 pil
g.
Cara kerja
1) Menekan
sekresi gonadotropin dan sintesis steroid seks di ovarium.
2) Endometrium
mengalami transformasi lebih awal sehingga implantasi lebih sulit.
3) Lender
serviks mengental sehingga menghambat penetrasi sperma.
4) Pergerakan
tuba terganggu sehingga transportasi telur dan sperma juga terganggu.
h. Yang
boleh menggunakan berdasarkn Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan
dapat menggunakan KPP secara aman dan efektif termasuk perempuan yang:
1) Sedang
menyusui (dapat mulai segera setelah 6 minggu melahirkan)
2) Telah
atau belum memiliki anak
3) Perempuan
usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun
4) Baru
saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik
5) Merokok,
tanpa melihat usia perempuan maupun jumlah rokok yang dihisap
6) Menderita
anemia atau riwayat anemia
7) Menderita
varises vena
8) Terkena
HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral
i.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
kriteria kelayakan medis
Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak
memakai KPP :
1) Mengalami
penggumpalan darah akut pada vena dalam
(trombosis vena dalam) di kaki atau paru
2) Menderita
kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh
3) Menderita
sirosis hati atau tumor hati berat
4) Menderita
systemic lupus erythematosus (SLE) dengan antibodi antifosfolipid positif (atau
tidak diketahui)
5) Sedang
dalam terapi barbiturat, carbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin, primidone,
topiramate, rifampisin, atau rifabutin. Sebaiknya memakai metode kontrasepsi
tambahan karena obat-obatan tersebut mengurangi efektivitas KPP.
Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi
lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan akan
memutuskan bila klien dapat menggunakan KPP dengan kondisi tersebut diatas.
Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien dan pada
kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.
j.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kontrasepsi Pil progestin meliputi cara
dan waktu konsumsi pil serta apabila terjadi lupa minum pil.
k. Efek
Samping
Efek Samping |
Penanganan |
Menstruasi tidak teratur
atau perdarahan pervaginam |
1) Minum
pil setiap hari pada jam yang sama. 2) Ibuprofen
3 x 800mg selama 5 hari. 3) NSAID.
4) Bila
perdarahan tidak berhenti sarankan menggunakan metode kontrasepsi lain. |
Tidak menstruasi |
1) Lakukan
konseling bahwa terkadang setelah pemakaian kontrasepsi pil menstruasi
menjadi tidak teratur dan bahkan tidak menstruasi. 2) Pastikan
pil diminum setiap hari. |
Efek Samping |
Penanganan |
|
3) Pastikan klien tidak hamil. |
Sakit kepala biasa
(bukan migraine) |
1) Aspirin
500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 5001000mg. 2) Bila
sakit kepala berlanjut maka konseling untuk memilih kontrasepsi jenis lain. |
Mual atau pusing |
Untuk mengatasi mual
minum pil menjelang tidur atau saat makan. |
Payudara nyeri |
1) Sarankan
menggunakan bra yang sesuai baik saat aktivitas ataupun tidur. 2) Kompres
hangat atau dingin. 3) Aspirin
500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 5001000 mg. |
Perubahan berat badan |
1)
Evaluasi pola makan dan konsul. 2)
gizi bila perlu. |
Perubahan mood dan aktivitas seksual |
Lakukan konseling bila keluhan berlanjut sarankan memilih
kontrasepsi lain. |
Jerawat |
1) Jerawat
umumnya timbul bersamaan dengan penggunaan pil. 2) Bila
klien telah menggunakan pil progestin selama beberapa bulan dan jerawat tetap
ada maka berikan pil dengan kombinasi lain jika ada atau sarankan memilih
kontrasepsi jenis lain. |
Gastritis |
1) Pil
diminum setelah makan. 2) Jika
diperlukan dapat diberikan antasida. |
l.
Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi |
Penanganan |
Amenorea |
Lakukan anamnesis
dan periksaan untuk menentukan kehamilan. Apabila klien hamil maka pil segera
dihentikan. Amenorea dapat terjadi karena efek hormonal. |
Mual, muntah
dan pusing |
Apabila klien tidak
hamil maka sarankan untuk minum pil saat makan atau sebelum tidur. |
Perdarahan pervaginam |
Dilakukan konseling
untuk meminum pil pada waktu yang sama dan jelaskan bahwa perdarahan umum
terjadi pada 3 bulan pertama dan akan segera berhenti. Bila perdarahan tetap
terjadi maka sarankan untuk mengganti metode kontrasepsi. |
m. Kriteria
Rujukan
1) Apabila
SDM, dan kontrasepsi pil tidak tersedia di rujuk ke Fasyankes yang memadai.
2) Apabila
prasarana dan peralatan di Fasyankes tingkat dasar tidak memadai untuk
menangani komplikasi
3) Apabila
terjadi komplikasi dan telah dilakukan penanganan di Fasyankes tingkat dasar
tetapi komplikasi tidak teratasi atau makin memberat maka dilakukan rujukan ke
Fasyankes tingkat lanjut.
8. Kondom
a. Batas
usia pemakai
Dapat dipakai pada semua laki-laki usia
reproduktif.
b. Waktu
pemakaian
Digunakan setiap kali berhubungan
seksual.
c.
Efektivitas
Kondom memiliki efektivitas baik apabila dipakai dengan
baik dan benar pada setiap kali berhubungan seksual. Secara ilmiah angka
kegagalan kondom yaitu 2-12 kehamilan per 100 perempuan per tahun.
d. Jenis
Jenis kondom yang tersedia antara lain kondom biasa,
berkontur, beraroma dan tidak beraroma.
e.
Cara kerja
Kondom menghalangi terjadinya pertemuan sperma dan sel
telur dengan cara menampung sperma di ujung selubung karet yang dipasang pada
penis sehingga sperma tidak tercurah ke saluran reproduksi perempuan.
f.
Kriteria Kelayakan Medis
Semua pria dapat secara aman menggunakan kondom pria
kecuali mereka dengan reaksi alergi berat terhadap karet lateks
g.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kondom meliputi cara
penggunaan kondom.
h. Efek
Samping dan Penanganan
Efek Samping |
Penanganan |
Kondom rusak atau diperkirakan bocor (sebelum
berhubungan) |
Buang dan pakai kondom
baru atau gunakan kondom dan spermisida. |
Kondom bocor atau
dicurigai ada curahan di vagina saat berhubungan |
Pertimbangkan penggunaan
kontrasepsi darurat. |
Reaksi alergi |
1) Ganti
metode kontrasepsi atau jika tersedia gunakan kondom yang terbuat dari lamb skin atau gut. 2) Terapi
alerginya jika mengganggu. |
Mengurangi kenikmatan
hubungan seksual |
Gunakan kondom yang
lebih tipis atau anjurkan metode kontrasepsi lain. |
i.
Komplikasi dan Penanganan Tidak ada komplikasi.
j.
Kriteria Rujukan
Pemberian kondom dilakukan di Fasyankes tingkat dasar
sehingga tidak memerlukan rujukan.
9. Metode
Amenore Laktasi (MAL)
a. Profil
MAL adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian ASI
secara eksklusif, artinya hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan ataupun
minuman apa pun lainnya. MAL dapat dipakai sebagai kontrasepsi bila:
1) Ibu
belum menstruasi;
2) Bayi
harus disusui ASI secara penuh atau mendekati penuh dan sering disusui siang
dan malam.; 3) umur bayi kurang dari
6 bulan.
b. Cara
kerja
Penundaan/penekanan ovulasi.
c.
Efektivitas
Efektivitas tergantung pada pengguna. Risiko terbesar
terjadi kehamilan terjadi ketika wanita tidak dapat memberikan ASI penuh atau
mendekati penuh bagi bayinya. Pada penggunaan biasa terjadi 2 kehamilan dari
100 wanita yang menggunakan MAL pada 6 bulan pertama setelah melahirkan.
Efektivitas meningkat bila digunakan secara konsisten dan benar.
d. Kriteria
Kelayakan Medis
Semua perempuan menyusui dapat secara aman menggunakan
MAL,
tetapi perempuan dengan kondisi berikut mungkin ingin
mempertimbangkan metode kontrasepsi lain :
1) Terinfeksi
HIV
2) Menggunakan
obat-obat tertentu selama menyusui (termasuk obat yang mengubah suasana hati,
reserpin, ergotamin, anti-metabolit, siklosporin, kortikosteroid dosis tinggi,
bromokriptin, obat-obat radioaktif, lithium, dan antikoagulan tertentu)
3) Bayi
baru lahir memiliki kondisi yang membuatnya sulit untuk menyusu (termasuk kecil
masa kehamilan atau prematur dan membutuhkan perawatan neonatus intensif, tidak
mampu mencerna makanan secara normal, atau memiliki deformitas pada mulut,
rahang, atau palatum)
e.
Keterbatasan
Perlu persiapan sejak perawatan kehamilan, sulit
dilaksanakan karena kondisi sosial, efektivitas selama masih memberikan ASI
eksklusif. MAL dapat digunakan hanya sampai kembalinya menstruasi atau sampai
dengan 6 bulan, kemudian harus dilanjutkan dengan pemakaian metode kontrasepsi lainnya.
10. Tubektomi
Tubektomi merupakan metode kontrasepsi melalui prosedur
bedah untuk perempuan yang tidak ingin hamil lagi.
a. Batas
usia
Tindakan dapat dilakukan pada wanita usia
reproduksi.
b. Efektivitas
Efektivitasnya terkait dengan teknik tubektominya. Metode
dengan efektivitas tertinggi adalah tubektomi minilaparotomi pasca persalinan.
Pada tahun pertama penggunaan terjadi kurang dari 1 kehamilan per 100 (5 per
1000) perempuan, sedangkan setelah 10 tahun penggunaan terjadi sekitar 2
kehamilan per 100 perempuan (18-19 per 1000 perempuan).
c.
Kembalinya kesuburan
Metode kontrasepsi ini bersifat permanen, hanya dapat
dikembalikan dengan prosedur operasi rekanalisasi.
d. Jenis
1. Minilaparotomi
2. Laparoskopi
3. Tubektomi
yang dilakukan bersamaan dengan operasi caesar
4. Tubektomi
yang dilakukan post partum spontan
e.
Cara kerja
Cara kerjanya adalah dengan mengoklusi tuba falopii
(mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat
bertemu dengan ovum.
f.
Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria
Kelayakan Medis Yang dapat menjalani tubektomi :
1) Perempuan
yang sudah memiliki anak >2
2) Perempuan
yang sudah memiliki jumlah anak ≤ 2, usia anak terkecil minimal diatas 2 tahun
3) Perempuan
yang pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius
4) Perempuan
yang paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
5) Pascapersalinan/pasca
keguguran
g.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan
Kriteria Kelayakan
Medis
Kondisi berikut sebaiknya tidak menjalani
tubektomi :
1) Perempuan
dengan perdarahan pervaginam yang belum terjelaskan
2) Perempuan
dengan infeksi sistemik atau pelvik yang akut
3) Perempuan
yang kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas dimasa depan
4) Perempuan
yang belum memberikan persetujuan tertulis
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pelayanan tubektomi
meliputi :
1) Persiapan
sarana, alat dan bahan
2) Langkah-langkah
(prosedur) pelayanan tubektomi
i.
Efek Samping dan Penanganan Tidak ada efek
samping.
j.
Komplikasi dan Penanganan
Efek Samping |
Penanganan |
Infeksi |
Dapat diberikan antibiotik dan bila terdapat abses dapat
dilakukan drainase. |
Demam pasca operasi |
Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan. |
Luka pada kandung kemih atau intestinal |
Dilakukan konsultasi dan penanganan luka. |
Hematoma |
Gunakan packs
yang hangat dan lembab |
Emboli gas |
Resusitasi dan tatalaksana emboli |
Nyeri pada lokasi
pembedahan |
Tatalaksana sesuai dengan
derajat nyeri dan pastikan apakah ada infeksI |
Perdarahan superfisial |
Mengontrol perdarahan dan
obati berdasarkan temuan. |
k. Kriteria
Rujukan
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
maka prosedur ini hanya dilakukan pada Fasyankes tingkat lanjut.
11. Vasektomi
Vasektomi merupakan metode kontrasepsi melalui suatu
sayatan kecil pada skrotum untuk lelaki yang tidak menginginkan anak lagi.
Metode ini memerlukan suatu sayatan kecil pada skrotum sehigga pemberian
konseling dan informed consent mutlak
diperlukan.
a. Batas
usia pemakai
Vasektomi dapat dilakukan pada laki-laki
usia subur.
b. Efektivitas
1) Risiko
kehamilan istri setelah suami menjalani vasektomi adalah 1 dari 2.000 pria yang
telah mengalami azospermia setelah vasektomi atau PVSA menunjukkan sperma tidak
bergerak (rare non-motile sperm / RNMS).
2) Pada
kondisi tidak dapat dilakukan analisis sperma dengan masih adanya sperma pada
ejakulat atau tidak patuh menggunakan kondom hingga 20 kali ejakulasi maka
kehamilan terjadi pada 2-3 per 100 perempuan pada tahun pertama penggunaan.
3) Tindakan
vasektomi ulang terkadang diperlukan pada ≤ 1 % vasektomi.
c.
Kembalinya kesuburan
Reversal vasectomi dan teknik pengambilan sperma ditambah
fertilisasi in vitro (bayi tabung) dapat menjadi pilihan pasangan untuk
mendapatkan kembali kesuburan. Hal–hal tersebut tidak selalu berhasil dan
memiliki biaya tinggi.
d. Cara
kerja
Mengikat dan memotong setiap saluran vas deferens sehingga
sperma tidak bercampur dengan semen. Semen dikeluarkan, tetapi tidak dapat
menyebabkan kehamilan.
e.
Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria
Kelayakan Medis Dengan konseling dan informed
consent yang tepat, semua pria dapat menjalani vasektomi secara aman.
Termasuk pria yang :
1) Sudah
memiliki jumlah anak > 2
2) Sudah
memiliki jumlah anak ≤ 2, usia anak terkecil minimal diatas 2 tahun
3) Mempunyai
istri usia reproduksi
4) Menderita
penyakit sel sabit
5) Berisiko
tinggi terinfeksi HIV atau IMS lainnya
6) Terinfeksi
HIV, sedang dalam pengobatan antiretroviral atau tidak
f.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pelayanan vasektomi
meliputi :
1) Persiapan
sarana, alat dan bahan.
2) Langkah-langkah
(prosedur) pelayanan vasektomi.
g.
Efek Samping dan Penanganan Tidak ada efek
samping.
h. Komplikasi
dan Penanganan
Komplikasi |
|
Penanganan |
Saat dilakukan
anastesi |
|
|
Reaksi hipersensitivitas |
1) |
Pemberian anestesi
lokal secara perlahan-lahan dengan dosis sesuai berat badan. |
|
2) |
Bila terjadi penyulit
seperti diatas, lakukan langkah tindakan: •
Hentikan pemberian anestesi •
Baringkan klien dalam posisi Trendelenburg
dengansudut miring tidak melebihi 15°. •
Evaluasi tanda-tanda vital. Jaga agar saluran
napas tetapterbuka, jika ada sumbatan harus dibersihkan dan pasang spatel
lidah, beri oksigen dengan tekanan gas serendah mungkin dan harus dimonitor
dengan gas meter. |
|
3) |
Reaksi alergi biasanya
responsif terhadap pemberian antihistamin. Reaksi yang lebih hebat mungkin
memerlukan glukokortikoid sistemik seperti metilprednisolon atau |
Komplikasi |
Penanganan |
|
deksametason. |
Penyulit pada sistem kardiovaskular, misalnya aritmia,
depresi miokard, atau hipotensi, dan fibrilasi ventikula. |
Aritmia jantung akan
mereda setelah beberapa waktu bila hemodinamik dapat dipertahankan. Untuk
aritmia dengan curah jantung yang minimal atau pada kasus asystole,
diperlukan resusitasi jantung paru. Hipotensi diatasi dengan pemberian
cairan, vasokonstriktor perifer seperti fenilefrin. Klien ditidurkan dalam
posisi mendatar dengan tungkai diangkat 30-40 cm. Bila curah jantung menurun,
berikan juga inotropik seperti dopamine. |
Penyulit pada susunan
saraf pusat, misalnya rasa ringan kepala, rasa metalik pada mulut, rasa kaku
pada lidah dan bibir, ucapan tak jelas atau tinnitus. |
Keracunan SSP oleh
anestesi lokal diperberat oleh hiperkarbia. Cara mengatasinya diberikan
diazepam i.v.(0,1 mg/kg) atau
tiopental (2 mg/kg) untuk mengatasi kejang |
Pada Saat
Tindakan |
|
Jika pemberian larutan
anestesi tidak cukup/tepat maka akan menimbulkan rangsangan peritonium dengan
gejala nyeri, mual, muntah, sampai syok.
|
Tambahkan anestesi,
tetapi tidak melebihi dosis maksimal. |
Dapat terjadi
perdarahan yang berlebihan. |
Perdarahan berlebih
hal ini dapat dicegah dan diatasi dengan cara hemostatis yang cermat. |
Pasca Tindakan
|
|
Infeksi |
Jika
luka basah, kompres |
Komplikasi |
Penanganan |
|
|
(menggunakan zat yang
tidak merangsang), jika luka kering gunakan salep antiseptik. |
|
Hematoma |
Jika perdarahan tidak
terlalu progresif, penanganan cukup dengan cara konservatif yakni dikompres
menggunakan es batu. Jika perdarahan progresif, maka harus dioperasi dan jika
tidak dapat ditangani, segera Rujuk. |
|
Granuloma sperma |
1) Edukasi
untuk tidak ejakulasi selama 1 minggu pasca prosedur untuk pencegahan
granuloma sperma 2) Bila
asimptomatik dilakukan observasi 3) Bila
nyeri dapat diberikan analgetik. Bila rasa nyeri persisten dapat dilakukan
eksisi sperma granuloma dan mengikat kembali vas deferens. |
|
Penyumbatan pembuluh darah (blood clot) |
1) 2) |
Biasanya
akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu. Jika penyumbatan besar akan membutuhkan penanganan bedah, segera Rujuk. |
Abses |
1) |
Lakukan prosedur antiseptik. |
|
2) |
Drainase abses. |
|
3) |
Berikan antibiotik selama 7-10 hari. |
|
4) |
Jika terjadi sepsis, segera dirujuk. |
Nyeri yang berlangsung
lebih dari 1 bulan |
1) |
Disarankan
untuk menggunakan pakaian dalam yang dapat |
Komplikasi |
Penanganan |
|
|
menyangga skrotum. 2)
Dikompres dengan air hangat. 3)
Boleh diberikan antinyeri. 4)
Jika tidak ada perbaikan, segera Rujuk. |
|
Jangka Panjang
|
|
|
Antibodi sperma |
Terbentuk jika
spermatozoa masuk ke dalam jaringan. Sampai saat ini tidak ditemui penyulit
yang disebabkan antibodi sperma. |
|
Rekanalisasi spontan |
Melakukan kembali
VTP, lakukan interposisi yakni dibuat barier vasia antara puntung testikuler
dan puntung abdominal. |
i.
Kriteria Rujukan
Apabila SDM, sarana dan peralatan pelayanan vasektomi
tidak tersedia maka dirujuk ke fasyankes yang memadai atau fasyankes tingkat
lanjut.
12. Sadar Masa Subur
a. Profil
Efektif bila dipakai dengan tertib, klien harus
belajar mengetahui kapan masa suburnya berlangsung. Dapat menggunakan metode
kalender yaitu mengetahui masa subur dengan mencatat hari dari siklus
menstruasi, atau melalui pengamatan
tanda kesuburan melalui metode lendir serviks, atau metode suhu basal.
b. Cara
kerja
Pasangan secara sukarela menghindari sanggama pada masa
subur klien.
c. Keuntungan/Manfaat
Tidak ada efek samping atau risiko
kesehatan serta tanpa biaya
d. Efektivitas
Efektivitas tergantung dari kemauan dan
disiplin pasangan,
Risiko terbesar kehamilan terjadi ketika
pasangan senggama
tanpa menggunakan metode lain. Pada pengguna biasa
terjadi sekitar 25 kehamilan dari 100 wanita yang menggunakan metode ini pada
tahun pertama. Efektifitas meningkat apabila digunakan secara konsisten dan
benar.
e. Kriteria
Kelayakan Medis
1) Kriteria Kelayakan Medis untuk Metode
Berbasis Kalender
Semua perempuan dapat menggunakan metode berbasis
kalender. Tidak ada kondisi medis yang menghalangi penggunaan metode ini, namun
beberapa kondisi dapat membuat metode ini lebih sulit untuk digunakan secara
efektif.
Hati-hati:
konseling tambahan atau khusus mungkin dibutuhkan untuk memastikan penggunaan
yang tepat dari metode ini.
Tunda:
penggunaan seharusnya ditunda hingga kondisi dievaluasi atau diperbaiki.
Berikan klien metode lain untuk digunakan hingga klien dapat mulai metode
berbasis kalender.
Pada situasi berikut gunakan hati-hati dengan metode
berbasis kalender:
Siklus menstruasi yang tidak teratur (Ketidakteraturan
siklus menstruasi umum terjadi pada perempuan muda pada beberapa tahun pertama
setelah menstruasi pertama dan pada perempuan yang lebih tua yang mendekati
menopause. Mengidentifikasi masa subur mungkin sulit.)
Pada situasi berikut Tunda dalam memulai penggunaan
metode berbasis kalender:
a)
Baru saja melahirkan atau sedang menyusui (Tunda
hingga klien mendapat minimal 3 siklus menstruasi dan siklusnya teratur lagi.
Untuk beberapa bulan setelah siklus yang teratur kembali, gunakan dengan perhatian.)
b) Baru
saja mengalami keguguran (Tunda hingga permulaan menstruasi bulan berikutnya)
c)
Perdarahan vagina yang tidak teratur (Tunda
hingga siklusnya menjadi lebih teratur)
Pada situasi berikut Tunda atau gunakan dengan Hatihati
metode berbasis kalender:
Menggunakan obat yang membuat siklus menstruasi menjadi
tidak teratur (contohnya, antidepresan tertentu, medikasi tiroid, penggunaan
antibiotik tertentu dalam jangka panjang, atau penggunaan obat anti inflamasi
non steroid (NSAIDs) dalam jangka panjang seperti aspirin atau ibuprofen)
2) Kriteria Kelayakan Medis untuk Metode
Berbasis Gejala:
Semua perempuan dapat menggunakan metode berbasis gejala.
Tidak ada kondisi medis yang menghalangi penggunaan metode ini, namun beberapa
kondisi dapat membuat metode ini lebih sulit untuk digunakan secara efektif
Pada situasi berikut gunakan Hati-hati dengan metode
berbasis gejala:
a)
Baru saja mengalami aborsi atau keguguran
b) Siklus
menstruasi baru saja dimulai atau menjadi kurang teratur atau berhenti karena
usia yang lebih tua (Ketidakteraturan siklus menstruasi umum terjadi pada
perempuan muda di beberapa tahun pertama setelah menstruasi pertamanya dan pada
perempuan yang lebih tua yang mendekati menopause.
Mengidentifikasi
masa subur mungkin sulit.)
c)
Kondisi kronis yang meningkatkan suhu tubuh
klien
(untuk metode suhu tubuh basal dan
simptotermal)
Pada situasi berikut Tunda dalam memulai penggunaan
metode berbasis gejala:
a)
Baru saja melahirkan atau sedang menyusui (Tunda
hingga sekresi normal kembali biasanya minimal 6 bulan setelah melahirkan untuk
perempuan menyusui dan minimal 4 minggu setelah melahirkan untuk perempuan yang
tidak menyusui. Untuk beberapa bulan setelah siklus kembali teratur, gunakan
perhatian.)
b) Kondisi
akut yang meningkatkan suhu tubuh (untuk metode suhu tubuh basal dan
symptothermal) Pada situasi berikut Tunda atau gunakan dengan Hatihati
metode berbasis gejala:
Menggunakan obat apapun yang mengubah sekresi serviks,
contohnya antihistamin, atau obat yang meningkatkan suhu tubuh, contohnya
antibiotik.
f. Keterbatasan
Pada metode kalender harus mencatat siklus menstruasi dan
lebih efektif bila digunakan pada klien yang memiliki siklus menstruasi yang
teratur, sedangkan pada metode suhu basal tergantung pada kondisi kesehatan
klien.
13. Sanggama
terputus
a. Profil
Metode kontrasepsi tradisional, dimana pria mengeluarkan
alat kelamin (penis) nya dari vagina sebelum mencapai ejakulasi
b. Cara
kerja
Alat kelamin (penis) dikeluarkan sebelum ejakulasi
sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina sehingga tidak ada pertemuan antara
sperma dan ovum dan kehamilan dapat dicegah
c. Keuntungan/manfaat
Tidak ada efek samping atau risiko
kesehatan serta tanpa biaya.
d. Efektivitas
Efektivitas tergantung dari kemauan dan disiplin
pasangan, Pada pengguna biasa terjadi sekitar 27 kehamilan dari 100 wanita yang
menggunakan metode ini pada tahun pertama. Efektifitas meningkat apabila
digunakan secara konsisten dan benar.
e. Yang
boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Semua pria dapat
melakukan metode senggama terputus. Tidak ada kondisi medis yang dapat
menghalangi penggunaan metode ini.
Senggama terputus dapat dipakai untuk :
1) Tidak
mempunyai metode lain
2) Jarang
berhubungan seksual
3) Keberatan
menggunakan metode lain
4) Pasangan
yang memerlukan kontrasepsi dengan segera
5) Pasangan
yang memerlukan metode sambil menunggu metode yang lain
f.
Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria
Kelayakan
Medis
Senggama terputus tidak dapat dipakai
untuk :
1) Pria
dengan pengalaman ejakulasi dini
2) Pria
yang sulit melakukan senggama terputus
g. Keterbatasan
Efektivitas sangat bergantung pada kesediaan pasangan
untuk melakukan sanggama terputus setiap melaksanakannya, memutus kenikmatan
dalam berhubungan seksual
14. Pelayanan
Kontrasepsi Darurat
Kontrasepsi darurat digunakan dalam 5 hari pascasanggama
yang tidak terlindung dengan kontrasepsi yang tepat dan konsisten.
a. Jenis kontrasepsi darurat
1) Pil
kontrasepsi darurat
Pil Kontrasepsi Darurat membantu mencegah kehamilan bila
diminum dalam jangka waktu 5 hari setelah hubungan seksual tanpa perlindungan.
Semakin cepat diminum setelah hubungan seksual, semakin baik.
2) AKDR
copper T
Metode ini sangat efektif untuk mencegah kehamilan. Metode
ini dapat dipakai dalam 5 hari pasca senggama yang tidak terlindung sebagai
kontrasepsi darurat.
b. Indikasi kontrasepsi darurat
1) Perkosaan
2) Senggama
tanpa menggunakan kontrasepsi
3) Penggunaan
kontrasepsi yang tidak tepat dan tidak konsisten:
a)
Kondom tidak digunakan dengan benar, terlepas
atau bocor
b) Diafragma
pecah, robek atau diangkat terlalu cepat;
c)
Salah hitung masa subur;
d) Gagal
putus senggama karena terlanjur ejakulasi;
e)
Ekspulsi AKDR;
f)
Lupa minum 3 (tiga) atau lebih pil kombinasi
atau baru mulai minum kontrasepsi pil kombinasi 3 (tiga) hari atau lebih
setelah selesai menstruasi;
g)
Terlambat lebih dari 1 (satu) minggu untuk
suntik KB yang setiap bulan; dan/atau
h) Terlambat
lebih dari 4 (empat) minggu untuk suntik KB yang tiga bulanan.
c. Panduan pemberian kontrasepsi darurat
Tipe Kontrasepsi Hormon dan Pil |
Formulasi |
Jumlah Tablet yang Diminum |
|
Pertama kali |
12
jam kemudian |
||
Progestin |
|||
Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi progestin |
1.5 mg LNG |
1 |
0 |
0.75 mg LNG |
2 |
0 |
|
Kontrasepsi pil progestin |
0.03 mg LNG |
50* |
0 |
0.0375 mg LNG |
40* |
0 |
|
0.075 mg norgestrel |
40* |
0 |
|
Estrogen dan progestin |
|||
Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi
estrogen-progestin |
0.05 mg EE + 0.25 mg LNG |
2 |
2 |
Kontrasepsi pil kombinasi (estrogenprogestin) |
0.02 mg EE + 0.1 mg LNG |
5 |
5 |
0.03 mg EE + 0.15 mg LNG |
4 |
4 |
|
0.03 mg EE + 0.125 mg LNG |
4 |
4 |
|
0.05 mg EE + 0.25 mg LNG |
2 |
2 |
|
0.03 mg EE + 0.3 mg norgestrel |
4 |
4 |
|
Tipe Kontrasepsi Hormon dan Pil |
Formulasi |
Jumlah Tablet yang Diminum |
|
Pertama kali |
12
jam kemudian |
||
|
0.05 mg EE + 0.5 mg norgestrel |
2 |
2 |
Ulipristal acetate |
|||
Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi Ulipristal
acetate |
30 mg
ulipristal acetate |
1 |
0 |
Tipe Kontrasepsi AKDR |
Jenis Sediaan |
Waktu
Pemberian |
|
AKDR copper T
|
AKDR Cu T- 380A |
Dalam 5 hari pasca sanggama yang tidak menggunakan kontrasepsi |
|
Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis
Dalam Penggunaan
Kontrasepsi (Menurut WHO 2015), 2018 Keterangan:
*) Jumlah
pil yang banyak, namun aman
LNG = levonogestrel
EE = etinil estradiol
Pencantuman kadar obat dinyatakan dalam satuan milligram
(mg), mikrogram (µg
atau mcg), maka kesetaraannya adalah 1 mg = 1000 µg
= 1000 mcg
d. Kriteria Kelayakan Medis
Kontrasepsi Darurat
1) Pil kontrasepsi darurat
Kondisi |
KPK |
LNG |
UPA |
Kehamilan |
1 |
1 |
2 |
Menyusui |
1 |
1 |
1 |
Riwayat kehamilan ektopik |
1 |
1 |
1 |
Obesitas* (BMI ≥30 kg/m²) |
2 |
2 |
2 |
Riwayat penyakit
kardiovaskular berat (penyakit jantung iskemik, serangan cerebrovascular atau
kondisi tromboembolik lainnya) |
2 |
2 |
2 |
Kondisi |
KPK |
LNG |
UPA |
Migrain |
2 |
2 |
2 |
Pemyakit hati berat
(termasuk Jaundice) |
2 |
2 |
2 |
Penginduksi CYP3A4
(seperti rifampicin, fenitoin, fenobarbital, carbamazepine, efavirenz,
fosphenyotin, nevirapine, oxcarbazepine, primidone, rifabutin, St John’s wort/hypericum perforatum) |
1 |
1 |
1 |
Penggunaan pil kontrasepsi
berulang |
1 |
1 |
1 |
Perkosaan |
1 |
1 |
1 |
Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis
Dalam Penggunaan
Kontrasepsi (Menurut WHO
2015), 2018 Keterangan:
KPK =
Kontrasepsi Pil Kombinasi
LNG = levonogestrel
UPA = ulipristal asetat
*) Pil
kontrasepsi darurat dapat menjadi kurang efektif pada wanita dengan BMI ≥30
kg/m² dibandingkan dengan wanita dengan BMI <25 kg/m². Walaupun demikian,
tidak ada kekhawatiran mengenai keamanan.
2) AKDR
Copper T
Metode ini sangat efektif untuk mencegah kehamilan. Metode
ini dapat dipakai dalam 5 hari pasca sanggama yang tidak terlindung sebagai
Kontrasepsi Darurat.
Kondisi |
AKDR copper T |
Kehamilan |
4 |
Perkosaan |
|
a. Risiko tinggi IMS |
3 |
b. Risiko rendah IMS |
1 |
Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis
Dalam Penggunaan Kontrasepsi (Menurut WHO 2015), 2018
Kriteria kelayakan untuk insersi AKDR-Cu secara umum juga
dapat diterapkan untuk insersi AKDR-Cu sebagai kontrasepsi darurat.
15. Pasca Pelayanan
Konseling pasca pelayananan dari tiap metode kontrasepsi
sangat dibutuhkan. Konseling ini bertujuan agar klien dapat mengetahui berbagai
efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Klien diharapkan juga dapat
membedakan masalah yang dapat ditangani sendiri di rumah dan efek samping atau
komplikasi yang harus mendapat pelayanan medis. Pemberian informasi yang baik
akan membuat klien lebih memahami tentang metode kontrasepsi pilihannya dan
konsisten dalam penggunaannya.
Konseling
Pasca Pelayanan
Alat Kontrasepsi |
Konseling |
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) |
a. Penjelasan
mengenai kemungkinan mengalami kram dan nyeri dan terdapat perubahan pola
menstruasi yang merupakan efek samping tersering dari AKDR, seperti
menstruasi dalam jumlah banyak dan lama, menstruasi tidak teratur, nyeri
menstruasi yang lebih hebat. b. Gejala
ini biasanya membaik setelah beberapa bulan pasca insersi AKDR. c. Klien
dapat kembali setiap saat jika ada sesuatu yang dirasakan mengganggu
sehubungan dengan pemasangan AKDR. |
Implan |
a.
Penjelasan agar klien menjaga lokasi
pemasangan implan kering selama 4 hari dan dapat melepas kassa setelah 2
hari, sedangkan melepas plester atau perekat setelah 3 hingga 5 hari. b. Penjelasan tentang rasa nyeri, memar |
Alat Kontrasepsi |
|
Konseling |
|
|
atau
bengkak setelah anestesi hilang dan akan membaik dengan sendirinya. |
|
c. |
Penjelasan mengenai
kemungkinan ada perubahan pola menstruasi yang merupakan efek samping
tersering, seperti: •
Menstruasi ireguler yang lebih dari 8 hari
atau sepanjang tahun pertama. •
Menstruasi regular, kemudian jarang atau tidak
ada menstruasi. |
|
d. |
Nyeri menstruasi yang lebih hebat Gejala ini biasanya membaik setelah beberapa
bulan. |
|
e. |
Kemungkinan terjadi
beberapa efek samping yang bukan merupakan tandatanda penyakit. |
|
f. |
Klien dapat
kembali setiap saat jika ada sesuatu
yang dirasakan mengganggu sehubungan dengan
metode kontrasepsi yang digunakan. |
Kontrasepsi Suntik |
a. |
Penjelasan
mengenai kemungkinan ada perubahan pola menstruasi yang merupakan efek samping
tersering, seperti menstruasi
ireguler, menstruasi memanjang, menstruasi sering atau bahkan tidak ada
menstruasi. Gejala ini biasanya membaik setelah beberapa bulan. |
|
b. |
Penjelasan
mengenai efek samping yang bukan merupakan tanda-tanda penyakit. |
|
c. |
Klien dapat
kembali setiap saat jika ada sesuatu
yang dirasakan mengganggu sehubungan dengan
metode kontrasepsi yang digunakan. |
Alat Kontrasepsi |
Konseling |
Kontrasepsi Pil |
Sampaikan kepada
klien untuk selalu minum pil tepat waktu dan apabila terjadi efek samping
setelah konsumsi pil dapat berkonsultasi ke faskes terdekat. |
Kondom |
Pada saat kunjungan
ulang ditanyakan apakah terdapat masalah pada penggunaan kondom. Bila masalah
yang timbul karena kekurangtahuan cara penggunaan kondom maka berikan
konseling ulang hingga klien paham. Apabila terdapat ketidaknyamanan dalam
menggunaka kondom maka dapat dianjurkan untuk memilih jenis kontrasepsi lain.
|
Tubektomi |
Sampaikan kepada klien informasi berikut: a.
Jagalah luka operasi tetap kering hingga
pembalut dilepaskan. Mulai lagi aktivitas normal secara bertahap. b. Hindari
hubungan intim hingga merasa nyaman. c.
Hindari mengangkat benda-benda berat dan
bekerja keras selama 1 minggu. d. Apabila
nyeri maka minumlah 1 atau 2 tablet analgetik. e.
Jadwalkanlah sebuah kunjungan pemeriksaan
secara rutin antara 7-14 hari setelah pembedahan. f.
Kembalilah setiap waktu apabila terdapat
keluhan. |
Vasektomi |
Informasikan kepada klien hal-hal berikut: a.
Pertahankan band aid selama 3 hari. b. Pada
masa penyembuhan luka jangan menarik atau menggaruk luka. c.
Boleh mandi setelah 24 jam namun daerah luka
tidak boleh basah. Setelah 3 hri luka boleh dicuci dengan air dan |
- 182
-
Alat Kontrasepsi |
Konseling
|
|
sabun. d. Pakailah
penunjang skrotum. e.
Jika nyeri, berikan 1-2 tablet analgetik
(paracetamol atau ibuprofen) setiap 4-5 jam. f.
Hindari mengangkat barang berat dan kerja
keras selama 3 hari. g.
Boleh bersanggama setelah hari ke 2 atau 3.
Untuk mencegah kehamilan pakailah kondom atau kontrasepsi lain selama 3 bulan
atau sampai ejakulasi 15-20 kali. h. Periksa
semen 3 bulan pasca vasektomi atau sesudah 15-20 kali ejakulasi. |
Penjelasan secara lebih rinci
termasuk langkah-langkah dalam memberikan pelayanan kontrasepsi pada tiap
metode akan diatur lebih lanjut dalam Pedoman Teknis.
- 183
--183-
BAB
IV
MONITORING
DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana keseluruhan upaya yang dilaksanakan berdampak terhadap
kemajuan program KB, termasuk pelayanan kontrasepsi yang mencakup ketersediaan
pelayanan, keterjangkauan pelayanan, dan kualitas pelayanan kontrasepsi
tersebut berdasarkan kebijakan yang berlaku. Kegiatan ini pada hakikatnya dapat
terselenggara melalui jaga mutu pelayanan kontrasepsi melalui peningkatan dan
penguatan peran tim (lintas sektor) di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota
dengan menggunakan indikator-indikator pelayanan yang sudah ditetapkan.
Selain itu, kegiatan pencatatan dan
pelaporan merupakan suatu proses untuk mendapatkan data dan informasi yang
merupakan substansi pokok dalam sistem informasi dan dibutuhkan untuk monitoring
dan evaluasi serta untuk kepentingan operasional program. Data dan informasi
tersebut juga merupakan bahan pengambilan keputusan, perencanaan, pemantauan
dan penilaian serta pengendalian program. Oleh karena itu data dan informasi
yang dihasilkan harus akurat, tepat waktu dan dapat dipercaya. Dalam upaya
memenuhi harapan dan informasi yang dihasilkan merupakan data dan informasi
yang berkualitas, maka selalu dilakukan langkah-langkah penyempurnaan sesuai
dengan perkembangan program dengan visi dan misi program baru serta
perkembangan kemajuan teknologi informasi.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan
kontrasepsi ditujukan kepada kegiatan dan hasil kegiatan operasional yang
meliputi:
1. Kegiatan
pelayanan kontrasepsi
2. Hasil
kegiatan pelayanan kontrasepsi
3. Pencatatan
keadaan dan mutasi Alat dan Obat Kontrasepsi (Alokon)
Mekanisme pencatatan dan
pelaporan pelayanan kontrasepsi di fasyankes secara rinci akan diatur dalam pedoman teknis.
-184-
BAB
V
PENUTUP
Pelayanan kontrasepsi sangat penting dan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan
keluarga. Pelayanan kontrasepsi diberikan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih/sesuai dengan kewenangannya. Pelayanan kontrasepsi yang diatur dalam
kebijakan yang disertai dengan pedoman teknis akan memudahkan tenaga kesehatan
dalam upaya memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai standar sehingga pelayanan
yang diberikan lebih berkualitas.
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
No comments:
Post a Comment