Tuesday, March 7, 2023

Permenkes No. 21 th 2021 Tentang KIA

 

- 1 -

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2021

TENTANG

PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM

HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN,

PELAYANAN KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  : a.   bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2)

dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga, dan Pasal 18, Pasal 25, dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, perlu mengatur pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, masa sesudah melahirkan, pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual;

b.       bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu diganti;

c.        bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan

- 2 -

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan

Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual;

Mengingat  :   1.  Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.       Undang-Undang       Nomor     39     Tahun         2008 tentang

Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

3.       Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

4.       Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang

                                                   Perkembangan     Kependudukan                                         dan             Pembangunan

Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);

5.       Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5559);

6.       Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 83);

7.       Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

2020 Nomor 1146);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan   : PERATURAN          MENTERI                                                   KESEHATAN TENTANG

                                        PENYELENGGARAAN     PELAYANAN                                KESEHATAN                MASA

SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA

SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL.

BAB I 

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.       Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi hamil sehat.

2.       Pelayanan Kesehatan Masa Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga melahirkan. 

3.       Pelayanan Kesehatan Persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan. 

4.       Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu selama masa nifas dan pelayanan yang mendukung bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2 (dua) tahun.

5.       Pelayanan Kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan pemberian obat, pemasangan atau  pencabutan alat kontrasepsi dan tindakan-tindakan lain dalam upaya mencegah kehamilan.

6.       Pelayanan Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada kesehatan seksualitas. 

7.       Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

8.       Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara

- 4 -

Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9.       Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom

10.    Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusanpemerintah di bidang kesehatan.

Pasal 2

Pengaturan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa

Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah

Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir dengan: 

a.       menyiapkan kesehatan remaja, calon pengantin, dan/atau pasangan usia subur pada masa sebelum hamil;

b.       menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas;

c.        menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-hak reproduksi;

d.       menjamin kualitas Pelayanan Kontrasepsi; dan

e.        mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

Pasal 3

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan, sarana, prasarana, dan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual. 

Pasal 4

(1)      Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual diselenggarakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. 

(2)      Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan baik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik pemerintah dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik swasta, atau di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

(3)      Tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah

Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan Menteri ini dan standar yang berlaku.

 

BAB II

PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA

HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN

 

Bagian Kesatu

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil

 

Pasal 5

(1)      Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilakukan untuk mempersiapkan kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat. 

(2)      Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: 

a.       pemberian komunikasi, informasi dan edukasi;


b.       pelayanan konseling;

c.        pelayanan skrining kesehatan;

d.       pemberian imunisasi; 

e.        pemberian suplementasi gizi; 

f.         pelayanan medis; dan/atau

g.        pelayanan kesehatan lainnya.

 

Pasal 6

(1)      Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diberikan melalui ceramah tanya jawab, diskusi kelompok terarah, dan diskusi interaktif.

(2)      Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan sarana dan media komunikasi, informasi, dan edukasi.

(3)      Materi komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai tahapan tumbuh kembang dan kebutuhan masing-masing kelompok umur.

 

Pasal 7

(1)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dapat diberikan secara individual, berpasangan, atau kelompok.

(2)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan sesuai kebutuhan klien. 

(3)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau fasilitas lainnya. 

 

Pasal 8

(1)      Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c dilakukan melalui:

a.        anamnesis;

b.       pemeriksaan fisik; dan

c.        pemeriksaan penunjang.

(2)      Anamnesis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang diderita, riwayat penyakit, faktor risiko, termasuk deteksi dini masalah kesehatan jiwa.

(3)      Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: 

a.        pemeriksaan tanda vital; 

b.       pemeriksaan status gizi; 

c.        pemeriksaan tanda dan gejala anemia; dan

d.       pemeriksaan fisik lengkap sesuai indikasi medis.

(4)      Pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan berdasarkan indikasi medis dan/atau kebutuhan program kesehatan. 

(5)      Dalam hal hasil pelayanan skrining ditemukan permasalahan kesehatan, wajib ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Pasal 9

(1)      Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dalam rangka menyiapkan kehamilan yang sehat bagi ibu dan bayi. 

(2)      Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) didasarkan pada hasil skrining status imunisasi.

(3)      Ketentuan mengenai pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 10

Pemberian suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e bertujuan untuk mengoptimalkan asupan gizi pada masa sebelum hamil. 

 

 

 

Pasal 11

(1)      Pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f merupakan tata laksana untuk menindaklanjuti masalah kesehatan yang ditemukan pada masa sebelum hamil.

(2)      Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 12

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Bagian Kedua

Pelayanan Kesehatan Masa Hamil

 

Pasal 13

(1)      Pelayanan Kesehatan Masa Hamil bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. 

(2)      Pelayanan       Kesehatan   Masa     Hamil         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses persalinan. 

(3)      Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan paling sedikit 6 (enam) kali selama masa kehamilan meliputi: 

a.       1 (satu) kali pada trimester pertama; 

b.       2 (dua) kali pada trimester kedua; dan 

c.        3 (tiga) kali pada trimester ketiga. 

(4)      Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dan paling sedikit 2 (dua) kali oleh dokter atau dokter spesialis kebidanan dan kandungan pada trimester pertama dan ketiga.

(5)      Pelayanan Kesehatan Masa Hamil yang dilakukan dokter atau dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan ultrasonografi (USG).

(6)      Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan melalui pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu. 

(7)      Pelayanan antenatal sesuai dengan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:

a.       pengukuran berat badan dan tinggi badan;

b.       pengukuran tekanan darah;

c.        pengukuran lingkar lengan atas (LiLA);

d.       pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);

e.        penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin;

f.         pemberian        imunisasi       sesuai         dengan       status imunisasi;

g.        pemberian tablet tambah darah minimal 90

(sembilan puluh) tablet;

h.       tes laboratorium;

i.         tata laksana/penanganan kasus; dan

j.         temu wicara (konseling) dan penilaian kesehatan jiwa.

(8)      Pelayanan antenatal secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan pelayanan komprehensif dan berkualitas yang dilakukan secara terintegrasi dengan program pelayanan kesehatan lainnya termasuk pelayanan kesehatan jiwa .

(9)      Pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dilakukan dengan prinsip:

a.       deteksi dini masalah penyakit dan penyulit atau komplikasi kehamilan;

b.       stimulasi janin pada saat kehamilan;

c.        persiapan persalinan yang bersih dan aman;

d.       perencanaan dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi; dan

e.        melibatkan ibu hamil, suami, dan keluarga dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil dan menyiapkan persalinan dan kesiagaan jika terjadi penyulit atau komplikasi.

(10)   Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatat dalam kartu ibu/rekam medis, formulir pencatatan kohort ibu, dan buku kesehatan ibu dan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Pasal 14

(1)      Ibu        hamil          yang     mengalami keguguran wajib mendapatkan pelayanan     kesehatan   asuhan pascakeguguran yang berupa:

a.       pelayanan konseling; dan

b.       pelayanan medis.

(2)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebelum dan setelah pelayanan medis.

(3)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a paling sedikit meliputi:

a.       konseling dukungan psikososial;

b.       konseling tata laksana medis/klinis; dan

c.        konseling perencanaan kehamilan termasuk pelayanan kontrasepsi pascakeguguran.

(4)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dilakukan oleh tenaga kesehatan. 

(5)      Konseling perencanaan kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan sampai dengan 14 (empat belas) hari pascakeguguran dalam upaya perencanaan kehamilan.

(6)      Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a.       tindakan pengeluaran hasil konsepsi secara farmakologis dan/atau operatif;

b.       tata laksana nyeri; dan

c.        tata laksana pascatindakan pengeluaran sisa hasil konsepsi.

(7)      Pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh dokter atau dokter spesialis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

 

Pasal 15

Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Bagian Ketiga 

Pelayanan Kesehatan Persalinan 

 

Pasal 16

(1)      Persalinan dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

(2)      Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim paling sedikit 1 (satu) orang tenaga medis dan 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

(3)      Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

a.       dokter, bidan, dan perawat; atau

b.       dokter dan 2 (dua) bidan.

(4)      Dalam hal terdapat keterbatasan akses persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud  ayat (1)  dan ayat (2), persalinan tanpa komplikasi dapat dilakukan oleh tim paling sedikit 2 (dua) orang tenaga kesehatan.

(5)      Keterbatasan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:

a.       kesulitan dalam menjangkau Fasilitas Pelayanan Kesehatan karena jarak dan/atau kondisi geografis; dan 

b.       tidak ada tenaga medis.

 

Pasal 17

(1)      Ibu dan janin dengan komplikasi kehamilan dan persalinan, maka persalinan dilakukan di rumah sakit  sesuai kompetensinya. 

(2)      Dalam hal ibu dan janin mengalami komplikasi atau kegawatdaruratan saat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, pihak Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama harus melakukan tindakan prarujukan dan segera dirujuk ke rumah sakit. 

 

Pasal 18

(2) Persalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat

(1) harus memenuhi 7 (tujuh) aspek yang meliputi:

a.       membuat keputusan klinik; 

b.       asuhan sayang ibu dan bayi termasuk Inisiasi

Menyusu Dini (IMD) dan resusitasi bayi baru lahir;

c.        pencegahan infeksi; 

d.       pencegahan penularan penyakit dari ibu ke anak;

e.        persalinan bersih dan aman;

f.         pencatatan atau rekam medis asuhan persalinan; dan 

g.        rujukan pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir. 

(3) Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar persalinan normal atau standar persalinan komplikasi.

 

Pasal 19

(1)      Ibu dan bayi baru lahir harus dilakukan observasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam setelah persalinan. 

(2)      Dalam hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir normal maka dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)      Dalam hal kondisi ibu dan/atau bayi baru lahir mengalami komplikasi dan memerlukan parawatan lebih lanjut, maka hanya dapat dipulangkan apabila kondisi telah sesuai dengan kriteria layak pulang berdasarkan pemeriksaan tenaga medis.

 

Pasal 20

Pelayanan Kesehatan Persalinan dilaksanakan sesuai dengan

                                        Pedoman    Penyelenggaraan   Pelayanan                         Kesehatan            Masa

Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Bagian Keempat

Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan

 

Pasal 21

(1) Pelayanan          Kesehatan   Masa     Sesudah     Melahirkan meliputi: 

a.       pelayanan kesehatan bagi ibu; 

b.       pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir; dan

c.        pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak.  

(2) Pelayanan Kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling sedikit 4 (empat) kali yang meliputi: 

a.       1 (satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari pascapersalinan;

b.       1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh) hari pascapersalinan; 

c.        1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari

pascapersalinan; dan

d.       1 (satu) kali pada periode 29 (dua puluh sembilan) hari sampai dengan 42 (empat puluh dua) hari pascapersalinan.

(3)      Pelayanan kesehatan yang diberikan pada periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di luar pelayanan persalinan dan dapat dilakukan sebelum ibu dipulangkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

(4)      Pelayanan kesehatan bagi ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a.       pemeriksaan dan tata laksana menggunakan algoritma tata laksana terpadu masa nifas;

b.       identifikasi risiko dan komplikasi;

c.        penanganan risiko dan komplikasi; 

d.       konseling; dan 

e.        pencatatan pada buku kesehatan ibu dan anak, kohort ibu  dan kartu ibu/rekam medis.  

(5)      Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali yang meliputi: 

a.       1 (satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari pascapersalinan;

b.       1 (satu) kali pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh) hari pascapersalinan; dan

c.        1 (satu) kali pada periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari

pascapersalinan; 

(6)      Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan bagi ibu yang meliputi:

a.       pelayanan kesehatan neonatal esensial dengan mengacu pada pendekatan manajemen terpadu balita sakit;

b.       skrining bayi baru lahir; 

c.        stimulasi deteksi intervensi dini pertumbuhan perkembangan; dan

d.       pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi kepada ibu dan keluarganya mengenai perawatan dan pengasuhan bayi baru lahir.

(7)      Pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8)      Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Pasal 22

Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa

Sesudah Melahirkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran

I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

BAB III

PELAYANAN KONTRASEPSI

 

Pasal 23

(1)      Pelayanan Kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan. 

(2)      Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi: 

a.       kegiatan prapelayanan kontrasepsi;

b.       tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi; dan

c.        kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.

 

Pasal 24

(1)      Kegiatan prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dilakukan untuk menyiapkan klien dalam memilih metode kontrasepsi. 

(2)      Kegiatan prapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a.       pemberian komunikasi, informasi dan edukasi; 

b.       pelayanan konseling; 

c.        penapisan kelayakan medis; dan

d.       permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan.

(3)      Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang perencanaan keluarga.

(4)      Pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada klien mengenai pilihan kontrasepsi berdasarkan tujuan reproduksinya. 

(5)      Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan pelayanan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dilakukan secara memadai sampai klien dapat memutuskan untuk memilih metode kontrasepsi yang akan digunakan.

(6)      Penapisan kelayakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan kajian tentang kondisi kesehatan klien yang akan disesuaikan dengan pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.

(7)      Permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan secara tertulis atau lisan.

 

Pasal 25

(1)     Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dan pelayanan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dilakukan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)     Penapisan kelayakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c dan permintaan persetujuan tindakan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

 

Pasal 26

(1)      Persetujuan tindakan tenaga kesehatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7) meliputi: 

a.       tindakan tubektomi atau vasektomi diperlukan dari pasangan suami istri; dan

b.       suntik, pemasangan, atau pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim dan implan diperlukan dari pihak yang akan menerima tindakan.

(2)      Persetujuan tindakan tenaga kesehatan secara lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7) diperlukan dari pihak yang akan menerima tindakan pada pemberian pil atau kondom. 

 

Pasal 27

(1)      Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b meliputi pemberian kondom, pil, suntik, pemasangan atau pencabutan implan, pemasangan atau pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim, pelayanan tubektomi, pelayanan vasektomi dan konseling Metode Amenorea Laktasi (MAL).

(2)      Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada:

a.       masa interval; 

b.       pascapersalinan;

c.        pascakeguguran; atau

d.       pelayanan kontrasepsi darurat.

(3)      Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

 

Pasal 28

(1)      Tindakan pemberian Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) diberikan sesuai dengan metode kontrasepsi yang diputuskan dan disetujui oleh klien tanpa paksaan.

(2)      Pemilihan metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

a.        mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, dan kondisi kesehatan klien; dan

b.        sesuai dengan tujuan reproduksi klien.

(3)      Tujuan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:

a.        menunda kehamilan pada pasangan muda, ibu yang belum berusia 20 (dua puluh) tahun, atau klien yang memiliki masalah kesehatan;

b.        mengatur jarak kehamilan pada klien yang berusia antara 20 (dua puluh) sampai 35 (tiga puluh lima) tahun; atau 

c.        tidak menginginkan kehamilan pada klien yang berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun.

 

Pasal 29

(1)      Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

28 ayat (1) terdiri atas: 

a.       metode kontrasepsi jangka panjang; dan 

b.       non-metode kontrasepsi jangka panjang.

(2)      Metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi alat kontrasepsi dalam rahim, implan, vasektomi, dan tubektomi. 

(3)      Pemberian pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

(4)      Non-metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kontrasepsi dengan metode suntik, pil, kondom, dan Metode Amenorea Laktasi (MAL). 

(5)      Pemberian pelayanan non-metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

(6)      Pelayanan non-metode kontrasepsi jangka panjang dengan metode kondom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan oleh tenaga non kesehatan dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

 

Pasal 30

(1)      Pelayanan kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d diberikan kepada perempuan yang tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.

(2)      Kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam waktu 5 (lima) hari pascasenggama atau kejadian perkosaan.

(3)      Pelayanan kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

 

Pasal 31

(1)      Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c dilakukan untuk memantau dan menangani efek samping penggunaan kontrasepsi, komplikasi penggunaan kontrasepsi, dan kegagalan kontrasepsi.

(2)      Efek samping penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perubahan sistem, alat, dan fungsi tubuh yang timbul akibat dari penggunaan alat atau obat kontrasepsi dan tidak berpengaruh serius terhadap klien. 

(3)      Komplikasi penggunaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gangguan kesehatan

yang dialami oleh klien sebagai akibat dari pemakaian kontrasepsi. 

(4)      Kegagalan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjadinya kehamilan pada klien saat menggunakan kontrasepsi.  

(5)      Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian konseling, pelayanan medis, dan/atau rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Pasal 32

Pelayanan Kontrasepsi dilaksanakan sesuai dengan Pedoman

                                        Pelayanan    Kontrasepsi    sebagaimana                          tercantum        dalam

Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

BAB IV

PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL

 

Pasal 33

(1)     Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan agar setiap orang menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.

(2)     Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehidupan seksual yang: 

a.       terbebas dari infeksi menular seksual; 

b.       terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; 

c.        terbebas dari kekerasan fisik dan mental; 

d.       mampu mengatur kehamilan; dan 

e.        sesuai dengan etika dan moralitas. 

 

Pasal 34

(1)      Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. 

(2)      Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan melalui:

a.       keterampilan sosial; 

b.       komunikasi, informasi, dan edukasi; 

c.        konseling; 

d.       pemeriksaan dan pengobatan; dan 

e.        perawatan. 

(3)      Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat terintegrasi dengan program atau pelayanan kesehatan lainnya.

(4)      Program atau pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:  

a.       kesehatan ibu dan anak;

b.       keluarga berencana;

c.        kesehatan reproduksi;

d.       kesehatan remaja;

e.        kesehatan lanjut usia;

f.         pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS, Hepatitis

B dan infeksi menular seksual (sifilis);

g.        pencegahan risiko kanker serviks melalui pemeriksaan IVA; dan

h.       kesehatan jiwa.

 

BAB V

DUKUNGAN MANAJEMEN

 

Bagian Kesatu

Pencatatan dan Pelaporan

 

Pasal 35

(1)      Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam rangka meningkatkan          mutu     Pelayanan   Kesehatan   Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Masa Sesudah

Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual harus melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. 

(2)      Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)      Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:

a.       pemantauan dan evaluasi;

b.       kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus; 

c.        advokasi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien; dan

d.       perencanaan dan penganggaran terpadu.

(4)      Kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: 

a.       pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak; dan 

b.       audit maternal perinatal, surveilans dan respon. 

(5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai audit maternal perinatal, surveilans, dan respon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Kedua 

Manajemen Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu 

 

Pasal 36

(1)      Manajemen pelayanan kesehatan reproduksi terpadu merupakan pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan dengan pendekatan yang mengintegrasikan semua pelayanan kesehatan dalam lingkup kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual termasuk HIV-AIDS dan hepatitis B, dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya. 

(2)      Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada tiap tahapan siklus kehidupan yang dimulai dari tahap konsepsi, bayi dan anak, remaja, usia subur dan lanjut usia. 

(3)      Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 

(4)      Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilatif.

 

BAB VI

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

 

Pasal 37

(1)      Dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual yang optimal, diperlukan pemberdayaan masyarakat.

(2)      Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat agar berperan serta dalam upaya kesehatan dan mengelola upaya kesehatan bersumber daya masyarakat. 

(3)      Peran serta dalam upaya kesehatan dan mengelola upaya kesehatan bersumber daya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui:

a.       Posyandu, Posyandu remaja, dan Posbindu serta upaya kesehatan bersumber daya masyarakat lainnya;

b.       program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi; 

c.        pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak;

d.       penyelenggaraan kelas ibu; 

e.        promosi program keluarga berencana;

f.         rumah tunggu kelahiran; dan

g.        pemberdayaan dukun bayi dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir.

(4)      Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan dan/atau ditambahkan dalam bentuk lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. 

(5)      Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat dilakukan pembinaan dan pendampingan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 38

Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi. 

 

BAB VII

PENDANAAN

 

Pasal 39

Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa

Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, masyarakat, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 

 

BAB VIII 

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 

 

Pasal 40

(1)      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan program Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,

Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan

Seksual, sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya masing-masing. 

(2)      Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud pada ayat

(1) dilakukan melalui:

a.       koordinasi, sosialisasi, dan advokasi;

b.       peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan/atau

c.        pemantauan dan evaluasi. 

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

 

Pasal 41

(1)      Dalam rangka pembinaan, penjagaan mutu, dan perencanaan terhadap Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Masa Sesudah Melahirkan, dan Pelayanan Kontrasepsi, pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyeliaan fasilitatif. 

(2)      Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu model peningkatan kualitas pelayanan dasar kesehatan ibu dan anak dalam rangka pemenuhan standar. 

(3)      Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)  dapat melibatkan organisasi profesi.

(4)      Penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)  dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan.

(5)      Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan proses bimbingan, pelatihan, pendampingan, penyuluhan, dan peningkatan motivasi petugas kesehatan di lapangan.

(6)      Pelaksanaan penyeliaan fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

            

 

 

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 42

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan

Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan

Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan

Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 135), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 43

Peraturan      Menteri       ini     mulai   berlaku       pada tanggal diundangkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

          

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2021     

 

MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

BUDI G. SADIKIN

 

 

 

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2021 

 

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN                                                      

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

  ttd.

 

BENNY RIYANTO

 

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 853

 

LAMPIRAN I

                                                                                        PERATURAN                                                          MENTERI                                                        KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2021  

TENTANG 

                                                                                     PENYELENGGARAAN                                                               PELAYANAN

KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL,

MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA

SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN

                                                                                        KONTRASEPSI,                                                                DAN                                                          PELAYANAN

KESEHATAN SEKSUAL

 

 

PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Kesehatan reproduksi adalah keadaan yang menunjukkan kondisi kesehatan fisik, mental, dan sosial seseorang dihubungkan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksinya, termasuk tidak adanya penyakit dan kelainan yang mempengaruhi kesehatan reproduksi tersebut. Dalam lingkup kesehatan reproduksi, kesehatan ibu selama kehamilan, persalinan, dan nifas menjadi masalah utama kesehatan reproduksi perempuan. Setiap orang berhak untuk menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat sesuai dengan norma agama. Hak reproduksi perorangan sebagai bagian dari pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional dapat diartikan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab kepada diri, keluarga dan masyarakat mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan waktu kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.

Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup dan berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 Angka Kematian Bayi (AKB) 24 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, data

SDKI 2017 menunjukkan angka kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun

(Age Specific Fertility Rate/ASFR) sebesar 36 per 1000. Hasil kajian lanjut Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa 6,9% kematian ibu terjadi pada perempuan usia kurang dari 20 tahun dan 92% meninggal saat hamil atau melahirkan anak pertama. 

Hasil Sistem Registrasi Sampel (SRS, Balitbangkes) tahun 2016 menunjukkan data penyebab kematian ibu adalah hipertensi (33,7%), perdarahan (27,03%), komplikasi non obstetrik (15,7%), komplikasi obstetrik lainnya (12,04 %), infeksi (4%) dan lain-lain (4,5%). Penyebab kematian bayi baru lahir adalah komplikasi kejadian intrapartum (28,3%), gangguan respiratori dan kardiovaskuler ( 21,3 % ), BBLR dan prematur (19 %), infeksi (7,3 %), tetanus neonatorum (1,2 %), lain-lain (8,2 %). 

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Upaya yang dilakukan sesuai dengan pendekatan siklus hidup “continuum of care” yang dimulai dari masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, sampai dengan masa sesudah melahirkan. 

Dalam upaya peningkatan kesehatan masa sebelum hamil, persiapan kondisi fisik, mental, dan sosial harus disiapkan sejak dini, yaitu dimulai dari masa remaja. Selain remaja, upaya peningkatan kesehatan masa sebelum hamil juga diberikan kepada pasangan calon pengantin dan Pasangan Usia Subur (PUS). Pelayanan bertujuan agar ketiga kelompok sasaran tersebut menjalankan perilaku hidup sehat, melakukan deteksi dini penyakit maupun faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya, dan mendapatkan intervensi sedini mungkin jika ditemukan faktor risiko. Diharapkan setiap pasangan dapat mempersiapkan kesehatan yang optimal dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia dan generasi yang sehat dan berkualitas. 

Sementara itu, pelayanan kesehatan masa hamil ditujukan kepada semua ibu hamil. Pelayanan kesehatan ini harus dilaksanakan secara komprehensif, terpadu, dan berkualitas sehingga dapat mendeteksi masalah atau penyakit dan dapat ditangani secara dini. Setiap ibu hamil diharapkan dapat menjalankan kehamilannya dengan sehat, bersalin dengan selamat, serta melahirkan bayi yang sehat. 

Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 perlu dilakukan revisi  karena beberapa hal tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang kesehatan dan perkembangan program kesehatan keluarga yang memerlukan pengaturan yang lebih komprehensif, diantaranya berdasarkan kajian, dan rekomendasi global seperti rekomendasi WHO dalam pelayanan masa sebelum hamil,  pelayanan antenatal care tahun 2016, rekomendasi WHO dalam pelayanan intrapartum, rekomendasi American Collage of Obstestricians and Gynecologists (ACOG) dalam level pelayanan maternal, dan lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL

 

Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan perempuan untuk menjalani kehamilan yang sehat. Kegiatan juga ditujukan kepada lakilaki karena kesehatan laki-laki juga dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan.

Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil ditujukan pada kelompok sasaran yaitu remaja, calon pengantin, dan Pasangan Usia Subur (PUS), serta sasaran lainnya misalnya kelompok dewasa muda. Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil meliputi pemberian komunikasi, informasi dan edukasi, pelayanan konseling, pelayanan skrining kesehatan, pemberian imunisasi, pemberian suplementasi gizi, pelayanan medis, dan pelayanan kesehatan lainnya, dengan memberikan penekanan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan khusus untuk setiap kelompok. Pada kelompok remaja, pelayanan kesehatan masa sebelum hamil ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat. Sedangkan untuk calon pengantin dan PUS, pelayanan kesehatan masa sebelum hamil bertujuan untuk mempersiapkan pasangan agar sehat sehingga perempuan dapat menjalankan proses kehamilan, persalinan yang sehat dan selamat, serta melahirkan bayi yang sehat. 

A.            Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil Bagi Remaja

           1.     Pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi 

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) bagi remaja merupakan proses penyampaian pesan baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja sehingga mendorong terjadinya proses perubahan perilaku ke arah yang positif, terkait upaya peningkatan kesehatannya agar tetap sehat, aktif, mandiri, dan berdaya guna baik bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat.

Ketika remaja memberikan informasi kepada tenaga kesehatan, mereka cenderung akan memberikan informasi tentang gangguan kesehatan yang sangat mengganggu mereka, padahal mereka mungkin memiliki gangguan kesehatan lain atau kekhawatiran lain yang tidak akan disampaikan kecuali ditanyakan secara langsung. Remaja cenderung tidak akan menyampaikan informasi tentang gangguan kesehatan atau kekhawatiran mereka dengan sukarela karena merasa malu atau takut, atau karena mereka tidak merasa nyaman dengan tenaga kesehatan atau situasi yang mereka hadapi. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, KIE kesehatan remaja diberikan antara lain melalui ceramah tanya jawab, kelompok diskusi terarah, dan diskusi interaktif dengan menggunakan sarana dan media KIE.

Untuk dapat membina hubungan baik dengan klien remaja, perhatikanlah hal-hal berikut: 

a.       Remaja dapat datang sendirian atau bersama bersama orang tua/teman/orangtua dewasa lain. Jika remaja ditemani oleh orang dewasa, jelaskan pada pendampingnya bahwa anda ingin menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan remaja tersebut. Dalam keadaan tertentu, tenaga kesehatan mungkin akan memerlukan waktu khusus untuk berbicara hanya dengan klien remaja tersebut. 

b.       Terapkan teknik komunikasi efektif, meliputi kontak mata, posisi sejajar, menjadi pendengar yang aktif, dan tidak memotong pembicaraan klien.

c.        Banyak masalah kesehatan remaja yang sensitif dalam masyarakat. Ketika ditanyakan oleh tenaga kesehatan tentang hal yang sensitif seperti aktivitas seksual atau penyalahgunaan obat-obatan, remaja mungkin cenderung menyembunyikan informasi tersebut karena khawatir mendapatkan penilaian negatif dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu mulailah dengan percakapan dengan masalah-masalah umum yang kurang sensitif dan tidak berbahaya.

Materi KIE yang dapat diberikan pada remaja sesuai kebutuhan antara lain:

1)     Keterampilan psikososial melalui Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) 

2)     Pola makan gizi seimbang

3)     Aktivitas fisik

4)     Pubertas

5)     Aktivitas seksual 

6)     Kestabilan emosional

7)     Penyalahgunaan NAPZA termasuk tembakau dan alkohol

8)     Cedera yang tidak disengaja

9)     Kekerasan dan penganiayaan

10)  Pencegahan kehamilan dan kontrasepsi 

11)  HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) 

12)  Imunisasi

KIE bagi remaja dapat dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah. KIE dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dan/atau kader kesehatan terlatih (guru/pendamping anak di LKSA/LPKA/pondok pesantren dan/atau kader remaja).

 

           2.     Pelayanan Konseling 

Konseling adalah proses pertukaran informasi dan interaksi positif antara klien dan tenaga kesehatan untuk membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih solusi terbaik, dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Konseling adalah pertemuan tatap muka antara dua pihak, dimana satu pihak membantu pihak lain untuk mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya sendiri kemudian bertindak sesuai keputusannya.

Konseling juga bermanfaat untuk mendeteksi gangguan kesehatan dan perkembangan yang tidak disampaikan oleh remaja, mendeteksi apakah remaja melakukan perilaku yang membahayakan atau menyebabkan gangguan kesehatan (seperti menyuntikkan obatobatan atau hubungan seksual yang tidak aman), dan mendeteksi berbagai faktor penting dalam lingkungan remaja yang dapat meningkatkan kecenderungan mereka untuk melakukan perilakuperilaku tersebut. Untuk keperluan ini, tenaga kesehatan dapat menggunakan metode penilaian HEEADSSS (Home,

Education/Employment, Eating, Activity, Drugs, Sexuality, Safety, Suicide).

Konseling bagi remaja dapat dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau fasilitas lainnya. Konseling diberikan oleh tenaga kesehatan terlatih dan/atau kader kesehatan yang terlatih (guru/ pendamping    anak/konselor     sebaya        di

sekolah/madrasah/pondok pesantren/LKSA/LPKA

 

           3.     Pelayanan Skrining Kesehatan

Pelayanan skrining kesehatan dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa langkah yang dilakukan yaitu:

                       a.     Anamnesis 

1)       Anamnesis Umum

Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara tenaga kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang diderita, riwayat penyakit, dan faktor risiko pada remaja. 

Anamnesis Umum

Keluhan Utama

Keluhan atau sesuatu yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan kesehatan (tujuan memeriksakan diri).

Misalnya: telat haid dari biasanya.

Riwayat Penyakit

Sekarang (RPS)

a)   Penjelasan dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan.

b)   Menemukan adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi, tingkat keparahan, serta faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi keluhan).

c)    Kebiasaan/lifestyle (merokok, konsumsi makanan berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dan sebagainya).

 

Anamnesis Umum

 

a)

Mencari hubungan antara keluhan dengan faktor atau suasana psikologis dan emosional pasien, termasuk pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya.

 

b)

Apakah keluhan sudah diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan apakah ada riwayat alergi.

 

c)

Obat-obatan yang digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi alkohol.

 

d)

Riwayat haid: kapan mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid.

Riwayat Penyakit

Dahulu (RPD)

a)

Keterangan terperinci dari semua penyakit yang pernah dialami dan sedapat mungkin dituliskan menurut urutan waktu.

 

b)

Penyakit yang diderita sewaktu kecil.

 

c)

Penyakit yang diderita sesudah dewasa       beserta       waktu kejadiannya.

 

d)

Riwayat alergi dan riwayat operasi.

 

e)

Riwayat pemeliharaan kesehatan, seperti imunisasi, screening test, dan pengaturan pola hidup.

 

f)

Riwayat trauma fisik, seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan

Anamnesis Umum

 

lain-lain.

g) Riwayat        penyakit       gondongan

(khusus laki-laki).

 Riwayat Penyakit

Keluarga (RPK)

 

a)   Riwayat mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur waktu meninggal dan sebabnya.

Gambarkan bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini.

b)   Tuliskan hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga, misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.

 

2)       Anamnesis HEEADSSS

Anamnesis HEEADSSS (Home, Education/Employment,

Eating, Activity, Drugs, Sexuality, Safety, Suicide) bertujuan untuk menggali dan mendeteksi permasalahan yang dialami remaja. Pendekatan ini memandu tenaga kesehatan untuk bertanya pada remaja mengenai aspek-aspek penting yang dapat menimbulkan masalah psikososial bagi mereka. Sebelum melakukan anamnesis pada remaja, tenaga kesehatan perlu membina hubungan baik, menjamin kerahasiaan, dan terlebih dahulu mengatasi masalah klinis atau kegawatdaruratan yang ada pada remaja.

Tidak semua masalah remaja yang ditemukan dapat diselesaikan pada satu kali kunjungan, tetapi dibutuhkan beberapa kali kunjungan. Biasanya pada saat pertama kali kunjungan tenaga kesehatan harus sudah mengidentifikasi dan memilih untuk menangani masalah yang diperkirakan menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar pada remaja tersebut. Tenaga kesehatan harus memberikan rasa aman dan nyaman, sehingga menimbulkan rasa percaya remaja kepada tenaga kesehatan sehingga mereka berkeinginan kembali ke Puskesmas untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. 

 

Anamnesis HEEADSSS 

Penilaian HEEADSSS

Hal yang perlu digali

Home (Rumah/Tempat

tinggal) 

Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah di dalam rumah/tempat tinggal. 

a)   Tingkat kenyamanan. 

b)   Dukungan     keluarga

(remaja merasa aman, bisa bicara secara terbuka serta meminta tolong pada anggota keluarga). 

c)    Perilaku berisiko (kekerasan, penggunaan alkohol, penggunaan obat terlarang, dan seksualitas). 

Education/Employment

(Pendidikan/Pekerjaan) Tenaga menggali kem remaja masalah pendidikan pekerjaan.

 

kesehatan ungkinan memiliki terkait atau

a)   Tingkat kenyamanan. 

b)   Dukungan masyarakat sekolah/tempat kerja (remaja merasa aman, bisa bicara secara terbuka serta dapat meminta bantuan).

c)    Perilaku berisiko (kekerasan, penggunaan alkohol, penggunaan obat terlarang, dan seksualitas).

d)   Adanya perilaku intimidasi fisik maupun psikis dari teman (bullying).

Eating (Pola Makan)

Tenaga              kesehatan

a) Kebiasaan makan, jenis makanan yang dikonsumsi,

 

Anamnesis HEEADSSS 

Penilaian HEEADSSS

Hal yang perlu digali

menggali kemungkinan remaja memiliki masalah terkait kebiasaan/pola makan.

dan perilaku makan remaja terkait dengan stress.

b)   Perubahan     berat badan (peningkatan/penurunan).

c)    Persepsi         remaja    tentang tubuhnya.

Activity

(Kegiatan/Aktivitas)

Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah terkait kegiatannya sehari-hari.

a)   Hal yang dilakukan remaja dalam mengisi waktu luang.

b)   Hubungan dengan temanteman (teman dekat, sebaya).

c)    Persepsi terhadap diri sendiri dan teman.

Drugs/Obat-obatan

(NAPZA) 

Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah terkait risiko penyalahgunaan NAPZA.

a)   Adanya lingkungan sekitar remaja yang mengonsumsi NAPZA.

b)   Perilaku konsumsi NAPZA pada remaja.

c)    Perilaku konsumsi obat pelangsing pada remaja.

Sexuality

(Aktivitas seksual) Tenaga menggali kem remaja masalah seksual.

kesehatan ungkinan memiliki aktivitas

a)   Adanya perilaku seksual pranikah atau perilaku seksual berisiko .

b)   Kemungkinan         terjadi kehamilan.

c)    Kemungkinan IMS/HIV.

d)   Kemungkinan    kekerasan seksual.

Safety (Keselamatan)

Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah keselamatan.

Rasa aman remaja saat berada    di      keluarga, lingkungan      (sekolah, masyarakat), dan di tempat umum.

Anamnesis HEEADSSS 

Penilaian HEEADSSS

Hal yang perlu digali

Suicide/Depression (Keinginan bunuh diri/depresi) Tenaga kesehatan memeriksa kemungkinan remaja memiliki risiko kecenderungan bunuh diri dan depresi.

a)     Adanya keinginan/kecenderungan remaja untuk menyakiti diri sendiri.

b)     Adanya kecenderungan depresi, pola dan perilaku remaja apabila sedang merasa sedih/cemas yang berlebihan.

 

3)       Deteksi Dini Masalah Kesehatan Jiwa 

Salah satu cara untuk mendeteksi masalah kesehatan jiwa yang relatif murah, mudah, dan efektif adalah dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO, yaitu Strength Difficulties Questionnaire (SDQ-25). Dalam instrumen ini ada 25 pertanyaan terkait gejala atau tanda masalah kesehatan yang harus dijawab klien dengan jawaban ya atau tidak. Pelaksanaan deteksi dini menggunakan instrumen ini mengacu kepada Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan kesehatan Jiwa di Sekolah.  

 

                       b.     Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada remaja dilakukan untuk mengetahui status kesehatan remaja. Pemeriksaan ini dilakukan secara lengkap sesuai indikasi medis. Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan tenaga kesehatan mampu mendeteksi adanya gangguan kesehatan pada remaja, misalnya tanda-tanda anemia, gangguan pubertas, dan Infeksi Menular Seksual (IMS).  Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan fisik:

1)       Mintalah persetujuan tindakan medis kepada remaja, termasuk bila pasien yang meminta pemeriksaan tersebut. Jika remaja berusia di bawah 18 tahun, persetujuan tindakan medis didapat dari orang tua atau pengasuh. Tetapi, jika remaja tidak setuju, pemeriksaan tidak boleh dilakukan meskipun lembar persetujuan medis sudah ditandatangani oleh orang tua atau pengasuh. Persetujuan medis dapat dilakukan secara lisan untuk pemeriksaan yang tidak invasif. 

2)       Beberapa pemeriksaan fisik mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan malu pada remaja. Usahakan semaksimal mungkin agar klien remaja diperiksa oleh tenaga kesehatan berjenis kelamin yang sama. Jika tidak memungkinkan, pastikan adanya rekan kerja yang berjenis kelamin sama dengan klien remaja selama pemeriksaan dilakukan. 

3)       Pastikan kerahasiaan saat dilakukan pemeriksaan (contohnya memastikan tempat pemeriksaan tertutup tirai, pintu tertutup dan orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk selama pemeriksaan dilakukan). Perhatikan tanda-tanda ketidak-nyamanan atau nyeri dan hentikan pemeriksaan bila perlu. 

Secara umum pemeriksaan fisik untuk remaja meliputi pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan status gizi (tinggi badan dan berat badan), serta pemeriksaan tanda dan gejala anemia.

                                  1)     Pemeriksaan Tanda Vital

Pemeriksaan tanda vital bertujuan untuk mengetahui kelainan suhu tubuh, tekanan darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru dan jantung. 

Pemeriksaan tanda vital dilakukan melalui pengukuran suhu tubuh, tekanan darah (sistolik dan diastolik), denyut nadi per menit, frekuensi napas per menit, serta auskultasi jantung dan paru, pemeriksaan gigi dan gusi, serta pemeriksaan gangguan kulit.

Remaja yang mengalami masalah dengan tanda vital dapat mengindikasikan masalah infeksi, Hipertensi, penyakit paru (Asma, Tuberkulosis) dan jantung, yang jika tidak segera diobati berisiko mengganggu aktivitasnya karena malaise (lemah), sakit kepala, sesak napas, dan nafsu makan menurun. 

Remaja dengan disabilitas memiliki kemungkinan untuk menderita kelainan bawaan yang lain. Dengan pemeriksaan vital ini diharapkan dapat mendeteksi sedini mungkin adanya kelainan bawaan lain pada remaja. 

2)       Pemeriksaan Status Gizi

Pemeriksaan status gizi bertujuan untuk mendeteksi secara dini masalah gizi kurang atau gizi lebih. Pemeriksaan status gizi dilakukan melalui pengukuran antropometri dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh berdasarkan Umur (IMT/U).

3)       Pemeriksaan Tanda dan Gejala Anemia

Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan.

                       c.     Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan penunjang untuk remaja meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan urin, dan pemeriksaan lainnya berdasarkan indikasi.   

                                  1)     Pemeriksaan Hemoglobin (Hb)

Pemeriksaan kadar hemoglobin sangat penting dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari suatu penyakit, sebab jumlah kadar hemoglobin dalam sel darah akan menentukan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Disebut anemia bila kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah kurang dari normal. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan melalui sampel darah yang diambil dari darah tepi.

Tabel 1: Rekomendasi WHO Tentang Pengelompokan  Anemia (g/dL) Berdasarkan Umur

Populasi

Tidak Anemia

Anemia

 

Ringan

Sedang

Berat

Anak 5-11 tahun 

11.5

11.0-11.4

8.0-10.9

<8.0

Anak 12-14 tahun 

12

11.0-11.9

8.0-10.9

<8.0

WUS tidak hamil

12

11.0-11.9

8.0-10.9

<8.0

Ibu hamil

11

10.0-10.9

7.0-9.9

<7.0

Laki-laki > 15 tahun

13

11.0-12.9

8.0-10.9

<8.0

Sumber: Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet Tambah Darah,

Kemenkes, 2015

2)       Pemeriksaan Golongan Darah

Golongan darah tidak hanya sebagai pelengkap kartu identitas. Golongan darah wajib kita ketahui karena dapat mencegah risiko kesehatan, membantu orang dalam keadaan darurat dan dalam proses tranfusi darah.

Saat dilakukan pemeriksaan golongan darah seseorang sekaligus akan diketahui jenis rhesusnya. Rhesus (Rh) merupakan penggolongan atas ada atau tidak adanya antigen-D di dalam darah seseorang. Orang yang dalam darahnya mempunyai antigen-D disebut rhesus positif, sedang orang yang dalam darahnya tidak dijumpai antigenD, disebut rhesus negatif. Orang dengan rhesus negatif mempunyai sejumlah kesulitan karena di dunia ini, jumlah orang dengan rhesus negatif relatif lebih sedikit. Pada orang kulit putih, rhesus negatif hanya sekitar 15%, pada orang kulit hitam sekitar 8%, dan pada orang asia bahkan hampir seluruhnya merupakan orang dengan rhesus positif.

Apabila terdapat inkontabilitas rhesus (ketidakcocokan rhesus), akan dapat terjadi pembekuan darah yang berakibat fatal, yaitu  kematian penerima darah, hal ini juga dapat menimbulkan risiko pada ibu hamil yang mengandung bayi dengan rhesus yang berbeda. Umumnya dijumpai pada orang asing atau orang yang mempunyai garis keturunan asing seperti Eropa dan Arab, namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat juga orang yang tidak mempunyai riwayat keturunan asing memiliki rhesus negatif, namun jumlahnya lebih sedikit. Di Indonesia, kasus kehamilan dengan rhesus negatif ternyata cukup banyak dijumpai, terutama pada pernikahan dengan ras non-Asia.

3)       Pemeriksaan lainnya

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada remaja, antara lain:

a)        Pemeriksaan darah lengkap untuk skrining talasemi  Pemeriksaan darah lengkap untuk skrining talasemi terutama pada daerah dengan prevalensi talasemi tinggi.

b)        Pemeriksaan gula  darah 

 Pemeriksaan gula darah merupakan bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diberikan pada usia 15-59 tahun.

4.       Pemberian Imunisasi

Remaja membutuhkan imunisasi untuk pencegahan penyakit, baik imunisasi yang bersifat rutin maupun imunisasi yang diberikan karena keadaan khusus. Imunisasi pada remaja merupakan hal yang penting dalam upaya pemeliharaan kekebalan tubuh tehadap berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit dalam kehidupan menuju dewasa. Imunisasi pada remaja ini diperlukan mengingat imunitas yang mereka peroleh sebelumnya dari pemberian imunisasi lengkap sewaktu masa bayi dan anak-anak tidak dapat bertahan seumur hidup (misalnya imunitas terhadap pertusis hanya bertahan selama 5-10 tahun setelah pemberian dosis imunisasi terakhir). 

Remaja merupakan periode dimana dapat terjadi paparan lingkungan yang luas dan berisiko. Hanya ada beberapa jenis imunisasi yang disediakan oleh pemerintah seperti imunisasi Td  yang diberikan pada remaja putri dan wanita usia subur. Namun diharapkan agar remaja dapat melakukan imunisasi secara mandiri, kalau memang merasa diperlukan. Beberapa daerah di Indonesia, seperti DKI Jakarta, sudah melaksanakan imunisasi HPV untuk remaja sebagai program kesehatan untuk remaja. Ada beberapa jenis imunisasi yang disarankan untuk remaja, diantaranya influenza, tifoid, hepatitis A, varisela, dan HPV. Berikut jadwal imunisasi yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

 

 

 

 

 

 

 

5.       Pelayanan Suplementasi Gizi 

Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk mengoptimalkan asupan gizi pada masa sebelum hamil. Suplementasi gizi antara lain berupa pemberian tablet tambah darah. Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi. TTD program diberikan kepada remaja putri usia 12-18 tahun di sekolah menengah (SMP/SMA/sederajat) dengan frekuensi 1 tablet seminggu satu kali sepanjang tahun. Pemberian TTD pada remaja putri di sekolah dapat dilakukan dengan menentukan hari minum TTD bersama setiap minggunya sesuai kesepakatan di masing-masing sekolah. Saat libur sekolah TTD diberikan sebelum libur sekolah. TTD tidak diberikan pada remaja putri yang menderita penyakit, seperti talasemia, hemosiderosis, atau atas indikasi dokter lainnya. Penanggulangan anemia pada remaja putri harus dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan Kurang Energi Kronis (KEK), kecacingan, malaria, Tuberkulosis (TB), dan HIV-AIDS. 

 

Alur Pencegahan dan Penanggulangan Anemia di Sekolah

 

Sumber:  Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri Dan Wanita Usia Subur (WUS)

 

6.       Pelayanan Medis

Pelayanan medis merupakan tata laksana untuk menindaklanjuti masalah kesehatan yang ditemukan pada pelayanan skrining kesehatan. 

 

7.       Pelayanan Kesehatan Lainnya

Pelayanan kesehatan lainnya pada masa sebelum hamil diberikan berdasarkan indikasi medis yang diantaranya berupa pengobatan, terapi, dan rujukan. Pengobatan atau terapi diberikan pada remaja sesuai dengan diagnosis/permasalahannya. Tata laksana ini dapat diberikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama yang memberikan pelayanan tingkat pertama sesuai dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama tersebut tidak mampu memberikan penanganan (terkait keterbatasan tenaga, sarana-prasarana, obat maupun kewenangan) dilakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu tata laksana atau ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) untuk mendapatkan penanganan lanjutan.

 

B. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil Bagi Calon Pengantin 

Pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil bagi calon pengantin (catin) dilakukan secara individual (terpisah antara calon catin laki-laki dan perempuan) untuk menjaga privasi klien, yang meliputi:

1.          Pemberian Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Konseling Tujuan pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan konseling dalam pelayanan kesehatan catin adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian mereka sehingga dapat menjalankan fungsi dan perilaku reproduksi yang sehat dan aman. Materi KIE dan konseling untuk catin meliputi:

a.       Pengetahuan kesehatan reproduksi:

1)     kesetaraan gender dalam pernikahan;

2)     hak kesehatan reproduksi dan seksual; dan 3) perawatan kesehatan organ reproduksi.

b.       Kehamilan dan perencanaan kehamilan.

c.        Kondisi dan penyakit yang perlu diwaspadai pada catin.

d.       Kesehatan jiwa.

e.        Pengetahuan tentang fertilitas/kesuburan (masa subur).

f.         Kekerasan dalam rumah tangga.

g.        Pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi catin. 

Pada catin dengan HIV-AIDS dan catin dengan kondisi khusus seperti talassemia, hemofilia, disabilitas intelektual/mental, baik pada yang bersangkutan maupun keluarga, petugas kesehatan perlu melakukan konseling kesehatan reproduksi yang lebih intensif khususnya terkait perencanaan kehamilan.

Pelaksanaan pemberian KIE masa sebelum hamil bagi calon pengantin dilakukan oleh tenaga kesehatan, penyuluh pernikahan, dan petugas lain. Pelaksanaan konseling  bagi calon pengantin diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang.

           2.     Pelayanan Skrining Kesehatan

Pelayanan skrining kesehatan catin meliputi:

a. Anamnesis 

1)       Anamnesis Umum

Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara tenaga kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang diderita, riwayat penyakit, faktor risiko pada catin. 

Anamnesis Umum

Keluhan Utama

Keluhan atau sesuatu yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan kesehatan (tujuan memeriksakan diri).

Misalnya: telat haid dari biasanya.

Riwayat penyakit sekarang (RPS)

a)   Penjelasan dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan.

b)   Menemukan adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi, tingkat keparahan, faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi keluhan).

c)    Kebiasaan/lifestyle   (merokok,

 

Anamnesis Umum

 

 

konsumsi makanan berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dsb).

 

d)

Mencari hubungan antara keluhan dengan faktor atau suasana psikologis dan emosional pasien, termasuk pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya.

 

e)

Apakah keluhan sudah diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan apakah ada riwayat alergi.

 

f)

Obat-obatan yang digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi alkohol.

 

g)

Riwayat haid: kapan mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid.

Riwayat penyakit dahulu (RPD)

a)

Keterangan terperinci dari semua penyakit yang pernah dialami dan sedapat mungkin dituliskan menurut urutan waktu.

 

b)

Penyakit yang diderita sewaktu kecil.

 

c)

Penyakit yang diderita sesudah dewasa beserta waktu kejadiannya.

 

d)

Riwayat alergi dan riwayat operasi.

 

e)

Riwayat pemeliharaan kesehatan, seperti imunisasi, screening test, dan pengaturan pola hidup.

Anamnesis Umum

 

f)     Riwayat trauma fisik, seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan lainlain.

g)    Riwayat          penyakit     gondongan

(khusus laki-laki).

 Riwayat penyakit keluarga (RPK)

 

a)   Riwayat mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur waktu meninggal dan sebabnya.

Gambarkan bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini.

b)   Tuliskan hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga, misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.

Anamnesis Tambahan Untuk Catin

Riwayat penyakit sekarang

a)   Apakah ada keinginan untuk menunda kehamilan.

b)   Skrining TT.

Riwayat sosial ekonomi

a)   Riwayat pendidikan terakhir.

b)   Riwayat pekerjaan: pernah bekerja atau belum, dimana dan berapa lama serta mengapa berhenti dari pekerjaan tersebut, jenis pekerjaan).

c)    Riwayat perilaku berisiko (seks pranikah, NAPZA dan merokok).

d)   Riwayat terpapar panas di area organ reproduksi, baik dari


Anamnesis Umum

 

pekerjaan maupun perilakunya (misalnya: koki, sering mandi sauna, dll) (khusus untuk laki-laki).

Sexuality (Aktivitas seksual) Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah aktivitas seksual.

a)   Adanya perilaku seksual pranikah atau perilaku seksual berisiko. 

b)   Kemungkinan terjadi kehamilan.

c)    Kemungkinan IMS/HIV.

d)   Kemungkinan kekerasan seksual.

Jika Calon Pengantin Berusia Remaja 

Alasan memutuskan untuk menikah

Kehendak pribadi, keluarga atau permasalahan lainnya.

Jika Calon Pengantin Sudah Pernah Menikah

Sebelumnya

Riwayat pernikahan sebelumnya

a)   Usia pertama kali menikah dan lama pernikahan sebelumnya.

b)   Jumlah anak pada pernikahan sebelumnya, jarak anak.

c)    Status kesehatan pasangan sebelumnya, riwayat penyakit pasangan sebelumnya, adanya perilaku seksual berisiko.

Riwayat obstetrik

Riwayat kehamilan, persalinan, jumlah anak, bayi yang dilahirkan, keguguran dan kontrasepsi.

 

2)       Deteksi Dini Masalah Kesehatan Jiwa 

Deteksi masalah kesehatan jiwa yang relatif murah, mudah, dan efektif untuk catin dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO, yaitu Self Reporting Questionnaire (SRQ). Dalam SRQ, ada 20 pertanyaan terkait gejala masalah kesehatan jiwa yang harus dijawab klien dengan jawaban ya atau tidak. 

 

                       b.     Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi status kesehatan catin. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan fisik:

1)       Meminta persetujuan tindakan medis kepada catin, termasuk bila pasien yang meminta pemeriksaan tersebut. Informed consent diperlukan untuk tindakan medis yang invasif.

2)       Beberapa pemeriksaan fisik mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan malu. Usahakan semaksimal mungkin agar pemeriksaan dilakukan oleh tenaga kesehatan berjenis kelamin yang sama dengan klien. Jika tidak memungkinkan, pastikan adanya rekan kerja yang berjenis kelamin sama dengan klien selama pemeriksaan dilakukan. 

3)       Memastikan        privasi        saat         dilakukan   pemeriksaan

(contohnya memastikan tempat pemeriksaan tertutup tirai, pintu tertutup dan orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk selama pemeriksaan dilakukan).  Pemeriksaan fisik dilakukan melalui pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan status gizi dan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.

                                  1)     Pemeriksaan Tanda vital

Bertujuan untuk mengetahui kelainan suhu tubuh, tekanan darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru dan jantung. Pemeriksaan tanda vital dilakukan melalui pengukuran suhu tubuh ketiak, tekanan darah (sistolik dan diastolik), denyut nadi per menit, frekuensi nafas per menit, serta auskultasi jantung dan paru. Catin yang mengalami masalah dengan tanda vital dapat mengindikasikan masalah infeksi, Hipertensi, penyakit paru (Asma, TB), jantung, yang jika tidak segera diobati berisiko mengganggu kesehatannya, karena malaise (lemah), sakit kepala, sesak napas, nafsu makan menurun.  2) Pemeriksaan Status Gizi

Pemeriksaan status gizi pada catin untuk mendeteksi secara dini masalah gizi kurang, gizi lebih, dan kekurangan zat gizi mikro antara lain anemia gizi besi. Pemeriksaan status gizi dilakukan melalui pengukuran antropometri dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh dan LiLA.

  

                                             a)     Indeks Massa Tubuh 

Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan proporsi standar berat badan (BB) terhadap tinggi badan (TB). IMT perlu diketahui untuk menilai status gizi catin dalam kaitannya dengan persiapan kehamilan. Jika perempuan atau catin mempunyai status gizi kurang ingin hamil, sebaiknya menunda kehamilan, untuk dilakukan intervensi perbaikan gizi sampai status gizinya baik. Ibu hamil dengan kekurangan gizi memiliki risiko yang dapat membahayakan ibu dan janin, antara lain anemia pada ibu dan janin, risiko perdarahan saat melahirkan, BBLR, mudah terkena penyakit infeksi, risiko keguguran, bayi lahir mati, serta cacat bawaan pada janin. 

Tabel 2: Klasifikasi Nilai IMT

Status Gizi

Kategori

IMT

Sangat kurus

Kekurangan          berat

badan tingkat berat

< 17,0

Kurus

Kekurangan          berat

badan tingkat ringan

17 - < 18,5

Normal

 

18,5 – 25,0

Gemuk 

Kelebihan berat badan tingkat ringan

> 25,0 – 27,0

Obesitas

Kelebihan berat badan tingkat berat

> 27,0

Sumber: Permenkes Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi

Seimbang

b)       LiLA (Lingkar Lengan Atas)

Penapisan status gizi dilakukan dengan pengukuran menggunakan pita LiLA pada WUS untuk mengetahui adanya risiko KEK. Ambang batas LiLA pada WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita LiLA, artinya perempuan tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan BBLR.

c)        Pemeriksaan Tanda dan Gejala Anemia

Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan.

Pemeriksaan fisik lengkap pada catin dilakukan sesuai indikasi medis untuk mengetahui status kesehatan catin. Dari pemeriksaan ini diharapkan tenaga kesehatan mampu mendeteksi adanya gangguan kesehatan pada catin, misalnya gangguan jantung/paru, tanda anemia, hepatitis, IMS, dan lainlain.

                       c.     Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang diperlukan oleh catin terdiri atas:

1)       Pemeriksaan rutin, meliputi pemeriksaan Hb, golongan darah dan rhesus

2)       Pemeriksaan sesuai indikasi, antara lain pemeriksaan urin rutin, gula darah, HIV, penyakit infeksi menular seksual (sifilis, gonorea, klamidiasis, dan lain-lain), hepatitis, malaria (untuk daerah endemis), talasemia (MCV, MCH, MCHC), TORCH (untuk catin perempuan), dan IVA atau pap smear (bagi catin perempuan yang sudah pernah menikah).

 

           3.     Pemberian Imunisasi

Catin perempuan perlu mendapat imunisasi tetanus dan difteri (Td) untuk mencegah dan melindungi diri terhadap penyakit tetanus dan difteri, sehingga memiliki kekebalan seumur hidup untuk melindungi ibu dan bayi terhadap penyakit tetanus dan difteri. Setiap perempuan usia subur (15-49 tahun) diharapkan sudah mencapai status T5. Jika status imunisasi Tetanus belum lengkap, maka catin perempuan harus melengkapi status imunisasinya di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Status imunisasi Tetanus dapat ditentukan melalui skrining status T pada catin perempuan dari riwayat imunisasi tetanus dan difteri (Td) yang didapat sejak masa balita, anak dan remaja. Berikut jadwal pemberian imunisasi Tetanus yang menentukan status T:

a.     Bayi (usia 4 bulan) yang telah mendapatkan DPT-HB-Hib 1, 2, 3 maka dinyatakan mempunyai status imunisasi T2.

b.    Baduta (usia 18 bulan) yang telah lengkap imunisasi dasar dan mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status imunisasi T3.

c.     Anak usia sekolah dasar yang telah lengkap imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib serta mendapatkan Imunisasi DT dan Td (program BIAS) dinyatakan mempunyai status Imunisasi T5.

d.    Jika status T klien tidak diketahui, maka diberikan imunisasi Tetanus dari awal (T1).

Untuk mengetahui masa perlindungan dapat dilihat Tabel 3 berikut:

 

Tabel 3: Imunisasi Lanjutan pada WUS

Status Imunisasi 

Interval Minimal

Pemberian

Masa Perlindungan

T1

-

-

T2

4 minggu setelah T1

3 tahun

T3

6 bulan setelah T2

5 tahun

T4

1 tahun setelah T3

10 tahun

T5

1 tahun setelah T4

Lebih dari 25 tahun*)

 Sumber: Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi

*)  Yang dimaksud dengan masa perlindungan >25 tahun (status T5) adalah apabila telah mendapatkan imunisasi tetanus dan difteri (Td) lengkap mulai dari T1 sampai T5

 

Pemberian imunisasi tetanus dan difteri tidak perlu diberikan, apabila pemberian imunisasi tetanus dan difteri sudah lengkap (status T5) yang harus dibuktikan dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, buku Rapor Kesehatanku, rekam medis, dan/atau kohort.

 

4.       Pemberian Suplementasi Gizi

Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi yang dilaksanakan dengan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) sesuai dengann ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada catin, TTD dapat diperoleh secara mandiri dan dikonsumsi 1 (satu) tablet setiap minggu sepanjang tahun. Penanggulangan Anemia pada catin harus dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan Kurang Energi Kronis (KEK), kecacingan, malaria, TB, dan HIV-AIDS. 

5.       Pelayanan Klinis Medis      

Pelayanan klinis medis berupa tata laksana medis untuk menangani masalah kesehatan pada masa sebelum  hamil yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya sesuai kompetensi dan kewenangan masing-masing.

Tata laksana dapat berupa pengobatan atau terapi yang diberikan pada catin sesuai dengan diagnosis/ permasalahannya. Tata laksana dapat diberikan di FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama sesuai dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama  tersebut tidak mampu memberikan penanganan (terkait keterbatasan tenaga, sarana-prasarana, obat, maupun kewenangan) dilakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu tata laksana atau ke FKRTL untuk mendapatkan penanganan lanjutan. 

6.       Pelayanan Kesehatan Lainnya

Pelayanan kesehatan lainnya merupakan pelayanan perorangan yang diberikan sesuai dengan indikasi medis yang ditemukan pada saat pelayanan untuk masa sebelum hamil lainnya, misalnya pada saat skrining. Pelayanan bisa bersifat klinis medis maupun nonmedis, misalnya dukungan psikososial, medikolegal, perbaikan status gizi, dan lain-lain.

Setiap catin diharapkan dapat memeriksakan kesehatannya sebelum melangsungkan pernikahan untuk mengetahui status kesehatan dan merencanakan kehamilan sesuai dengan langkah-langkah pelayanan kesehatan yang telah disebutkan di atas. 

 

C. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil Bagi Pasangan Usia Subur. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil bagi Pasangan Usia Subur (PUS) diberikan kepada PUS laki-laki maupun perempuan, baik yang belum mempunyai anak, maupun yang sudah memiliki anak dan ingin merencanakan kehamilan selanjutnya. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil pada PUS meliputi:

1.       Pemberian Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan konseling Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan konseling pada PUS lebih diarahkan ke perencanaan kehamilan baik untuk anak pertama, kedua, dan seterusnya. Ketika hendak merencanakan kehamilan, penting bagi PUS untuk mempersiapkan status kesehatannya dalam keadaan optimal. Materi KIE dan konseling untuk PUS meliputi:

a.       Pengetahuan kesehatan reproduksi:

1)       kesetaraan gender dalam pernikahan;

2)       hak kesehatan reproduksi dan seksual; dan 3)    perawatan kesehatan organ reproduksi.

b.       Kehamilan dan perencanaan kehamilan.

c.        Kondisi dan penyakit yang perlu diwaspadai pada PUS.

d.       Kesehatan jiwa.

e.        Pengetahuan tentang fertilitas/kesuburan (masa subur).

f.         Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

g.        Pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi PUS.

Materi KIE dan konseling yang wajib adalah perencanaan kehamilan (terutama konseling KB termasuk KB pascapersalinan). Materi KIE dan konseling lainnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaksanaan pemberian KIE masa sebelum hamil bagi PUS dilakukan oleh tenaga kesehatan, penyuluh keluarga berencana, kader kesehatan dan petugas lain. Pelaksanaan konseling bagi PUS diberikan oleh tenaga kesehatan dan penyuluh keluarga berencana yang kompeten dan berwenang.

 

2.       Pelayanan Skrining Kesehatan

Pelayanan skrining kesehatan bagi PUS meliputi:

d. Anamnesis

1)       Anamnesis Umum

Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara tenaga kesehatan dan klien untuk memperoleh informasi tentang keluhan, penyakit yang diderita, riwayat penyakit fisik dan jiwa, faktor risiko pada PUS, status imunisasi tetanus dan difteri, riwayat KB, serta riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya.

 

Anamnesis Umum

Keluhan Utama

Keluhan atau sesuatu yang dirasakan oleh pasien yang mendorong pasien mencari layanan kesehatan (tujuan memeriksakan diri).

Misalnya: telat haid dari biasanya.

Riwayat penyakit sekarang (RPS)

a)   Penjelasan dari keluhan utama, mendeskripsikan perkembangan gejala dari keluhan utama tersebut. Dimulai saat pertama kali pasien merasakan keluhan.

b)   Menemukan adanya gejala penyerta dan mendeskripsikannya (lokasi, durasi, frekuensi, tingkat keparahan, faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi keluhan).

c)    Kebiasaan/lifestyle (merokok, konsumsi makanan berlemak, olahraga rutin atau tidak, konsumsi alkohol dan NAPZA, dsb).

d)   Mencari hubungan antara keluhan dengan faktor atau suasana psikologis (pikiran, emosi dan perilaku) termasuk pikiran dan perasaan pasien tentang penyakitnya.

 

Anamnesis Umum

 

e)

Apakah keluhan sudah diobati, jika ya tanyakan obat serta berapa dosis yang diminum, tanyakan apakah ada riwayat alergi.

 

f)

Obat-obatan yang digunakan (obat pelangsing, pil KB, obat penenang, obat maag, obat hipertensi, obat asma), riwayat alergi, riwayat merokok, riwayat konsumsi alkohol.

 

g)

Riwayat haid: kapan mulai haid, teratur atau tidak, durasi haid berapa lama, sakit pada waktu haid/dismenorhea, dan banyaknya darah haid.

Riwayat penyakit dahulu

(RPD)

a)

Keterangan terperinci dari semua penyakit fisik atau jiwa yang pernah dialami dan sedapat mungkin dituliskan menurut urutan waktu.

 

b)

Penyakit yang diderita sewaktu kecil.

 

c)

Penyakit yang diderita sesudah dewasa       beserta       waktu kejadiannya.

 

d)

Riwayat alergi dan riwayat operasi.

 

e)

Riwayat pemeliharaan kesehatan, seperti imunisasi, screening test, dan pengaturan pola hidup.

 

f)

Riwayat trauma fisik, seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan lainlain.

 

g)

Riwayat minum obat rutin 

 

   h) Riwayat     penyakit     gondongan

(khusus laki-laki).

Anamnesis Umum

 

 

 Riwayat penyakit keluarga (RPK)

 

a)   Riwayat mengenai ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan pasien, dituliskan tentang umur dan keadaan kesehatan masing-masing bila masih hidup, atau umur waktu meninggal dan sebabnya.

Gambarkan bagan keluarga yang berhubungan dengan keadaan ini.

b)   Tuliskan hal-hal yang berhubungan dengan peranan keturunan atau kontak diantara anggota keluarga. Ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam keluarga, misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.

Anamnesis Tambahan Untuk Pus

Riwayat sosial ekonomi

a)   Riwayat pekerjaan: pernah bekerja atau belum, dimana dan berapa lama serta mengapa berhenti dari pekerjaan tersebut, jenis pekerjaan).

b)   Riwayat perilaku berisiko (seks pranikah, NAPZA dan merokok).

c)    Riwayat terpapar panas di area organ reproduksi, baik dari pekerjaan maupun perilakunya (misalnya: koki, sering mandi sauna, dll). (khusus untuk lakilaki).

Sexuality (Aktivitas seksual)

a)   Adanya perilaku seksual pranikah atau perilaku seksual berisiko.

b)   Kemungkinan terjadi kehamilan.


 

Anamnesis Umum

Tenaga kesehatan menggali kemungkinan remaja memiliki masalah aktivitas seksual

c)    Kemungkinan IMS/HIV.

d)   Kemungkinan kekerasan seksual.

Riwayat

Pernikahan

Sekarang

a)   Berapa lama penikahan, jumlah anak, jarak antar anak, permasalahan terkait infertilitas.

b)   Skiring TT.

Riwayat pernikahan sebelumnya  (anamnesis untuk suami dan istri, jika PUS adalah pasangan yang sudah pernah menikah sebelumnya)

Jumlah anak pada pernikahan sebelumnya, status kesehatan pasangan sebelumnya, adanya riwayat perilaku seksual berisiko.

Riwayat obstetri dan genitalia  (anamnesis untuk istri)

a)   Riwayat kehamilan, persalinan, jumlah anak, bayi yang dilahirkan dan keguguran.

b)   Genital, Siklus haid dan adakah perdarahan diluar waktu haid, perdarahan dan nyeri saat berhubungan seksual.

Riwayat pemakaian kontrasepsi sebelumnya  (anamnesis untuk istri)

Keluhan, efek samping, jangka waktu penggunaan alokon KB.

Riwayat

Riwayat         merokok,         konsumsi

Anamnesis Umum

perilaku berisiko 

minuman    beralkohol, riwayat pekerjaan, dan pola makan (terkait fungsi sperma).

Anamnesis Tambahan Untuk Pus Usia Remaja

Pertanyaan tambahan 

a)  Usia pertama menikah atau aktif seksual.

b)  Apakah ada keinginan untuk menunda kehamilan.

c)   Riwayat penggunaan kontrasepsi.

d)  Riwayat haid, kapan haid terakhir.

 

2)       Deteksi Dini Masalah Kesehatan Jiwa 

Apabila hasil anamnesis menunjukan adanya gejala masalah atau gangguan jiwa, maka dapat  dilakukan pemeriksaan untuk deteksi dini lebih lanjut menggunakan kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ) pada PUS dengan usia diatas 18 tahun. Dalam instrumen ini terdapat pertanyaan masalah kesehatan jiwa yang harus dijawab klien dengan jawaban ya atau tidak. Jika pada skrining ditemukan adanya masalah kesehatan jiwa pada PUS, maka dapat ditangani oleh dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dengan layanan jiwa. Apabila masalah atau gangguan kesehatan jiwa tidak dapat ditangani di Puskesmas maka dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).  

 

                       e.     Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi status kesehatan melalui pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan status gizi dan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.

                                  1)     Pemeriksaan Tanda Vital

Pemeriksaan tanda vital bertujuan untuk mengetahui kelainan suhu tubuh, tekanan darah, kelainan denyut nadi, serta kelainan paru dan jantung.

Pemeriksaan tanda vital dilakukan melalui pengukuran suhu tubuh ketiak, tekanan darah (sistolik dan diastolik), denyut nadi per menit, frekuensi napas per menit, serta auskultasi jantung dan paru. 

PUS/WUS yang mengalami masalah dengan tanda vital dapat mengindikasikan masalah infeksi, Hipertensi, penyakit paru (asma, tuberkulosis), dan jantung, yang jika tidak segera diobati berisiko mengganggu kesehatannya, karena malaise (lemah), sakit kepala, sesak napas, nafsu makan menurun. 

Pada PUS yang sudah mempunyai anak sebelumnya, pemeriksaan lebih difokuskan pada persiapan fisik untuk kehamilan yang diinginkan. Pada PUS yang mempunyai masalah terkait infertilitas, pemeriksaan fisik difokuskan pada organ reproduksi laki-laki dan perempuan. Apabila diperlukan pemeriksaan lebih lanjut klien dapat dirujuk ke rumah sakit.

2)       Pemeriksaan Status Gizi

Pelayanan gizi bagi PUS/WUS dilakukan melalui pemeriksaan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atar (LiLA):

a)        Indeks Masa Tubuh (IMT)

Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran IMT. Indeks Massa Tubuh atau IMT merupakan proporsi standar berat badan (BB) terhadap tinggi badan (TB). IMT perlu diketahui untuk menilai status gizi PUS/WUS dalam kaitannya dengan persiapan kehamilan. Jika perempuan dengan status gizi kurang menginginkan kehamilan, sebaiknya kehamilan ditunda terlebih dahulu untuk dilakukan intervensi perbaikan gizi sampai status gizinya baik. Ibu hamil dengan kekurangan gizi memiliki risiko yang dapat membahayakan ibu dan janin antara lain: Anemia pada ibu dan janin, risiko perdarahan saat melahirkan, BBLR, mudah terkena penyakit infeksi, risiko keguguran, bayi lahir mati, serta cacat bawaan pada janin. PUS laki-laki juga harus mempunyai status gizi yang baik. 

b)       Lingkar Lengan Atas (LiLA)

Selain IMT, penapisan status gizi pada perempuan juga dilakukan dengan pengukuran menggunakan pita LiLA untuk mengetahui adanya risiko KEK pada WUS.

Ambang batas LiLA pada WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita LiLA, artinya perempuan tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah.

 

3)       Pemeriksaan Tanda dan Gejala Anemia

Tanda dan gejala anemia gizi besi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kelopak mata bawah dalam, bibir, lidah, dan telapak tangan. Pemeriksaan fisik pada PUS dilakukan untuk mengetahui status kesehatan PUS. Pemeriksaan ini dilakukan secara lengkap sesuai indikasi medis. Dari pemeriksaan ini diharapkan tenaga kesehatan mampu mendeteksi adanya gangguan kesehatan pada PUS, misalnya gangguan jantung/paru, tanda Anemia, hepatitis, IMS, dan lain-lain.

 

 

                       f.      Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dalam Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil untuk PUS sesuai indikasi meliputi:

1)       Pemeriksaan darah: Hb, golongan darah, dan rhesus

2)       Pemeriksaan morfologi sel darah tepi (deteksi awal

Talasemia atau carier Thalasemia)

3)       Pemeriksaan urin rutin

4)       SADANIS

5)       IVA dan atau pap smear

6)       Pemeriksaan penujang lain, misalnya: 

a)        Dalam kondisi tertentu/atas saran dokter dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:

gula darah, IMS, TORCH, Malaria (daerah endemis), sputum BTA, dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan indikasi

b)       Pemeriksaan urin lengkap

c)        Testing HIV 

d)       Skrining HbsAg

e)        Mamografi

           3.     Pemberian Imunisasi

WUS perlu mendapat imunisasi tetanus dan difteri untuk mencegah dan melindungi diri terhadap penyakit tetanus dan difteri sehingga memiliki kekebalan seumur hidup untuk melindungi ibu dan bayi terhadap penyakit Tetanus. Setiap WUS (15-49 tahun) diharapkan sudah mencapai status T5. WUS perlu merujuk pada status imunisasi terakhir pada saat hamil apabila sebelumnya sudah pernah hamil.

Tabel 4: Imunisasi Lanjutan pada WUS

Status Imunisasi 

Interval Minimal Pemberian

Masa Perlindungan

T1

-

-

T2

4 minggu setelah T1

3 tahun

T3

6 bulan setelah T2

5 tahun

T4

1 tahun setelah T3

10 tahun

T5

1 tahun setelah T4

Lebih dari 25 tahun*

Sumber: Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi

 

Yang dimaksud dengan masa perlindungan >25 tahun adalah apabila telah mendapatkan imunisasi Tetanus lengkap mulai dari T1 sampai T5.

Pemberian imunisasi Tetanus tidak perlu diberikan, apabila pemberian imunisasi Tetanus sudah lengkap (status T5) yang harus dibuktikan dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, rekam medis, dan/atau kohort.

4.       Pemberian Suplementasi Gizi

Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk pencegahan dan pengobatan Anemia yang dilaksanakan dengan pemberian TTD. TTD adalah suplemen gizi yang mengandung senyawa besi yang setara dengan 60 mg besi elemental dan 400 mcg asam folat. Pada WUS, TTD dapat diperoleh secara mandiri dan dikonsumsi 1 tablet setiap minggu sepanjang tahun. Penanggulangan Anemia pada WUS harus dilakukan bersamaan dengan pencegahan dan pengobatan KEK, kecacingan, malaria, TB, dan HIV-AIDS. 

5.       Pelayanan Klinis Medis 

Pelayanan Klinis Medis dapat berupa pengobatan atau terapi yang diberikan kepada PUS/WUS sesuai dengan diagnosis/ permasalahannya. Tata laksana ini dapat diberikan di FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama sesuai dengan standar pelayanan di FKTP. Bila FKTP dan jejaringnya yang memberikan pelayanan tingkat pertama tidak mampu memberikan penanganan (terkait keterbatasan tenaga, sarana-prasarana, obat, maupun kewenangan) dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang mampu tata laksana atau ke FKRTL untuk mendapatkan penanganan lanjutan. 

6.       Pelayanan Kesehatan Lainnya 

Pelayanan kesehatan lainnya merupakan pelayanan perorangan yang diberikan sesuai dengan indikasi medis yang ditemukan pada saat pelayanan untuk masa sebelum hamil lainnya, misalnya pada saat skrining. Pelayanan bisa bersifat klinis medis maupun nonmedis, misalnya dukungan psikososial, medikolegal, perbaikan status gizi, dan lain-lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PELAYANAN KESEHATAN MASA HAMIL

 

Pelayanan Kesehatan Masa Hamil yang kemudian disebut pelayanan antenatal (ANC) terpadu adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses persalinan yang komprehensif dan berkualitas. Pelayanan ini bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil untuk memperoleh pelayanan antenatal yang komprehensif dan berkualitas sehingga ibu hamil dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan pengalaman yang bersifat positif serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Pengalaman yang bersifat positif adalah pengalaman yang menyenangkan dan memberikan nilai tambah yang bermanfaat bagi ibu hamil dalam menjalankan perannya sebagai perempuan, istri dan ibu. 

Indikator yang digunakan untuk menggambarkan akses ibu hamil terhadap pelayanan masa hamil adalah cakupan K1 (kunjungan pertama). Sedangkan indikator untuk menggambarkan kualitas layanan adalah cakupan K4-K6 (kunjungan ke-4 sampai ke-6) dan kunjungan selanjutnya apabila diperlukan. 

1.       Kunjungan pertama (K1) 

K1 adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar. Kontak pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke-8. 

2.       Kunjungan ke-4 (K4) 

K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu dan komprehensif sesuai standar selama kehamilannya minimal 4 kali dengan distribusi waktu: 1 kali pada trimester ke-1 (0-12 minggu ), 1 kali pada trimester ke-2 (>12 minggu-24 minggu)  dan 2 kali pada trimester ke-3 (>24 minggu sampai kelahirannya).

3.       Kunjungan ke-6 (K6)  

K6 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu dan komprehensif sesuai standar, selama kehamilannya minimal 6 kali dengan distribusi waktu:  1 kali pada trimester ke-1 (0-12 minggu ), 2 kali pada trimester ke-2 (>12 minggu-24 minggu), dan 3 kali pada trimester ke-3 ( >24 minggu sampai kelahirannya). Kunjungan antenatal bisa lebih dari 6 (enam) kali sesuai kebutuhan dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan.Ibu hamil harus kontak dengan dokter minimal 2 kali, 1 kali di trimester 1 dan 1 kali di trimester 3. 

Pelayanan ANC oleh dokter pada trimester 1 (satu) dengan usia kehamilan kurang dari 12 minggu atau dari kontak pertama, dokter melakukan skrining kemungkinan adanya faktor risiko kehamilan atau penyakit penyerta pada ibu hamil termasuk didalamnya pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pelayanan ANC oleh dokter pada trimester 3 (tiga) dilakukan perencanaan persalinan, termasuk pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan rujukan terencana bila diperlukan. 

 

Standar pelayanan antenatal meliputi 10T, yaitu: 

           1.     Timbang berat badan dan ukur tinggi badan

2.       Ukur tekanan darah

3.       Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LILA)

4.       Ukur tinggi puncak rahim (fundus uteri)

5.       Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

6.       Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus

difteri (Td) bila diperlukan

7.       Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama masa kehamilan

8.       Tes laboratorium: tes kehamilan, kadar hemoglobin darah, golongan darah, tes triple eliminasi (HIV, Sifilis dan Hepatitis B,) malaria pada daerah endemis. Tes lainnya dapat dilakukan sesuai indikasi seperti gluko-protein urin, gula darah sewaktu, sputum Basil Tahan Asam (BTA), kusta, malaria daerah non endemis, pemeriksaan feses untuk kecacingan, pemeriksaan darah lengkap untuk deteksi dini talasemia dan pemeriksaan lainnya. 

9.       Tata laksana/penanganan kasus sesuai kewenangan.

10.    Temu wicara (konseling) dan penilaian kesehatan jiwa.  Informasi yang disampaikan saat konseling minimal meliputi hasil pemeriksaan, perawatan sesuai usia kehamilan dan usia ibu, gizi ibu hamil, kesiapan mental, mengenali tanda bahaya kehamilan, persalinan, dan nifas, persiapan persalinan, kontrasepsi pascapersalinan, perawatan bayi baru lahir, inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif.

Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki vaksin tetanus difteri dan/atau pemeriksaan laboratorium, fasilitas pelayanan kesehatan dapat berkoordinasi dengan dinas kesehatan kabupaten/kota dan Puskesmas untuk penyediaan dan/atau pemeriksaan, atau merujuk ibu hamil ke Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang dapat melakukan pemeriksaan tersebut. 

Pelayanan antenatal terpadu merupakan pelayanan komprehensif dan berkualitas yang dilakukan secara terintegrasi dengan program pelayanan kesehatan lainnya. Tujuan khusus ANC terpadu adalah:

1.       Memberikan pelayanan antenatal terpadu, termasuk konseling kesehatan, dan gizi ibu hamil, konseling KB dan pemberian ASI.

2.       Pemberian dukungan emosi dan psikososial sesuai dengan keadaan ibu hamil pada setiap kontak dengan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis dan interpersonal yang baik.

3.       Menyediakan kesempatan bagi seluruh ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu minimal 6 kali selama masa kehamilan.  

4.       Melakukan pemantauan tumbuh kembang janin.

5.       Mendeteksi secara dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita ibu hamil.

6.       Melakukan tata laksana terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu hamil sedini mungkin atau melakukan rujukan kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan yang ada.

 

Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan persalinan, pelayanan nifas, dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu bersalin dan bayi baru lahir serta ibu nifas. Dalam pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus mampu melakukan deteksi dini masalah gizi, faktor risiko, komplikasi kebidanan, gangguan jiwa, penyakit menular dan tidak menular yang dialami ibu hamil serta melakukan tata laksana secara adekuat (termasuk rujukan apabila diperlukan) sehingga ibu hamil siap untuk menjalani persalinan bersih dan aman. 

 

 

 

 

Masalah yang mungkin dialami ibu hamil antara lain:

1.       Masalah gizi: anemia, KEK, obesitas, kenaikan berat badan tidak sesuai standar

2.       Faktor risiko: usia ibu ≤16 tahun, usia ibu ≥35 tahun, anak terkecil ≤2 tahun, hamil pertama ≥4 tahun, interval kehamilan >10 tahun, persalinan ≥4 kali, gemeli/kehamilan ganda, kelainan letak dan posisi janin, kelainan besar janin, riwayat obstetrik jelek (keguguran/gagal kehamilan), komplikasi pada persalinan yang lalu (riwayat vakum/forsep, riwayat perdarahan pascapersalinan dan atau transfusi), riwayat bedah sesar, hipertensi, kehamilan lebih dari 40 minggu

3.       Komplikasi kebidanan:  ketuban pecah dini, perdarahan pervaginam, hipertensi dalam kehamilan/pre eklampsia/eklampsia, ancaman persalinan prematur, distosia, plasenta previa,dll. 

4.       Penyakit tidak menular: hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung, ginjal, asma, kanker, epilepsi, gangguan autoimun, dll.

5.       Penyakit menular: HIV, sifilis, hepatitis, malaria, TB, demam berdarah, tifus abdominalis, dll.

6.       Masalah          kejiwaan:    depresi,     gangguan    kecemasan,          psikosis, skizofrenia.

 

Pelayanan antenatal dapat dilaksanakan secara terpadu dengan program lain, yaitu:

1.       Program Gizi

a.       Gizi Seimbang pada Ibu Hamil

 Gizi seimbang pada ibu hamil sangat perlu diperhatikan karena ibu hamil harus memenuhi kebutuhan gizi untuk dirinya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan janinnya. Ibu hamil harus mengonsumsi beraneka ragam makanan dengan jumlah dan proporsi yang seimbang.

b.       Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada Ibu Hamil

 Ibu hamil rentan menderita anemia karena adanya peningkatan volume darah selama kehamilan untuk pembentukan plasenta, janin dan cadangan zat besi dalam ASI. Kadar Hb pada ibu hamil menurun pada trimester I dan terendah pada trimester II, selanjutnya meningkat kembali pada trimester III. Penurunan kadar Hb pada ibu hamil yang menderita anemia sedang dan berat akan mengakibatkan peningkatan risiko persalinan, peningkatan kematian anak dan infeksi penyakit.

 Upaya pencegahan anemia gizi besi pada ibu hamil dilakukan dengan memberikan 1 tablet setiap hari selama kehamilan minimal 90 tablet, dimulai sedini mungkin dan dilanjutkan sampai masa nifas.

c.        Penanggulangan Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil

 Penanggulangan ibu hamil KEK seharusnya dimulai sejak sebelum hamil bahkan sejak usia remaja putri. Upaya penanggulangan tersebut membutuhkan koordinasi lintas program dan perlu dukungan lintas sektor, organisasi profesi, tokoh masyarakat, LSM dan institusi lainnya.

2.       Program Pengendalian Malaria

Strategi pelayanan terpadu pengendalian malaria dalam antenatal adalah pemeriksaan (skrining) malaria pada kunjungan pertama antenatal dan pemberian kelambu berinsektisida terhadap semua ibu hamil yang tinggal di kabupaten/kota endemis tinggi malaria. Sedangkan untuk ibu hamil yang tinggal di kabupaten/kota endemis rendah dilakukan selektif pada ibu hamil yang memiliki gejala dan :

a.       tinggal di desa endemis tinggi malaria (desa merah), 

b.       ada riwayat berkunjung/tinggal di daerah endemis malaria 1

(satu) bulan terakhir,

c.        pernah sakit malaria dalam 2 tahun terakhir. 

Program pengendalian Malaria dengan pelayanan ibu hamil untuk daerah endemis tinggi malaria, pada kunjungan pertama (K1) ANC semua ibu hamil dilakukan:

a.       Pemberian kelambu berinsektisida

b.       Skrining darah malaria (RDT/mikroskopis)

c.        Pemberian terapi pada ibu hamil positif malaria

3.       Program Pengendalian Tuberkolusis (TBC)

Manifestasi klinis TBC pada kehamilan umumnya sama dengan wanita yang tidak hamil yaitu manifestasi umum dari TBC paru. Semua wanita hamil harus diskrining anamnesis untuk diagnosis TBC. Apabila dari hasil anamnesis ibu hamil terduga menderita TBC, dilakukan kerjasama dengan program TBC untuk penegakan diagnosis dan tata laksana lebih lanjut.  Pada wanita hamil terduga TB perlu dilakukan juga Tes HIV. 

Ibu hamil yang sakit TBC, harus segera diberi pengobatan OAT untuk mencegah penularan dan kematian. Amikasin, Streptomisin, Etionamid/Protionamid TIDAK DIREKOMENDASIKAN untuk pengobatan tuberkulosis pada ibu hamil.

4.       Program Pengendalian HIV, Sifilis  Dan Hepatitis B

Penularan vertikal HIV, Sifilis dan hepatitis B dapat terjadi dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah penularan ini dimulai dengan skrining pada ibu hamil terhadap HIV,Sifilis  dan Hepatitis B pada saat pemeriksan antenatal (ANC) pertama pada trimester pertama. Tes skrining menggunakan tes cepat (rapid tes ) HIV, tes cepat sifilis ( TP rapid ) dan tes cepat HBsAg. Tes cepat ini relatif murah, sederhana dan tanpa memerlukan keahlian khusus sehingga dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan ( pemberi layanan langsung ). Skrining HIV, sifilis dan hepatitis B pada ibu hamil dilaksanakan secara bersamaan dalam paket pelayanan antenatal terpadu. Secara program nasional upaya pengendalian terhadap ketiga penyakit infeksi menular langsung ini disebut Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis dan hepatitis B dari Ibu ke Anak (PPIA).   

Kebijakan dalam pelaksanaan PPIA diintegrasikan dalam layanan KIA sebagai berikut : 

a.       PPIA merupakan bagian dari program nasional pengendalian HIV, IMS, Hepatitis B dan prgram kesehatan ibu dan anak. 

b.       Pelaksanaan kegiata PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara bertahap dn melibatkan peran non pemerintah, LSM dan komunitas. 

c.        Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja mendapat layanan kesehatan diberi informasi  tentang PPIA.

d.       Di setiap jenjang pelayanan KIA, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan tes HIV, sifilis dan hepatitis B kepada semua ibu hamil minimal 1 kali sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu pemeriksaan antenatal pada kunjungan 1 (K1) hingga menjelang persalinan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada kunjungan pertama trimester 1. 

e.        Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu/berwenang melakukan tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B tersebut tetap dilakukan dengan cara : 

1)       Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan yang memadai;

2)       Melakukan on the job training bagi tenaga kesehatan ( pemberi pelayanan kesehatan langsung );

3)       Pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih  dengan Surat Keputusan  Kepala Dinas Kesehatan setempat.

f.         Setiap ibu hamil yang positif HIV, atau Sifilis atau Hepatitis B wajib diberikan tatalaksana sesuai standar meliputi pemberian terapi, pertolongan persalinan di fasilitas pelayanan keshatan, konseling menyusui dan konseling KB.

g.        Perencanaan ketersediaan logistik (obat dan reagen) dilaksanakan secara berjenjang mulai dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota sampai Provinsi dan berkoordinasi dengan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan. 

h.       Pencatatan valid berdasarkan nomor induk kependudukan

(NIK).

i.         Monitoring, evaluasi, pembinaan dan pengawasan teknis serta umpan balik PPIA sebagai upaya kesehatan masyarakat.   

5.       Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Pada masa kehamilan program pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular terkait ada 3 penyakit, yaitu: 

a.       Antenatal dengan Riwayat Hipertensi

Hipertensi selama kehamilan tidak hanya melibatkan perempuan yang hipertensi saat hamil, tetapi juga perempuan yang mengalami hipertensi sebelum kehamilan. Pada ibu hamil dilakukan skrining untuk menentukan stratifikasi faktor risiko hipertensi pada kehamilan dan rencana penanggulangannya. Rekomendasi tata laksana hipertensi pada kehamilan merujuk pada PNPK komplikasi kehamilan.

b.       Antenatal dengan Riwayat Diabetes

Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan harus ditentukan klasifikasinya yaitu diabetes melitus tipe 2 dengan kehamilan atau

Diabetes mellitus gestasional

c.        Antenatal dengan Riwayat Talasemia 

Setiap pasangan dengan riwayat keluarga talasemia, dan berencana memiliki anak dianjurkan untuk melakukan skrining. Pada kehamilan, penjaringan atau skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan ANC. Jika ibu merupakan pembawa sifat atau ”carrier” talasemia, maka skrining kemudian dilanjutkan pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin normal maka skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah janin merupakan pengidap atau ”carrier” talasemia maka disarankan mengikuti konseling genetik dan jika diperlukan melanjutkan pemeriksaan skrining pada janin (pranatal diagnosis). Pemeriksaan bayi baru lahir tidak umum dilakukan tetapi dapat dilakukan bila kedua orangtuanya adalah pembawa sifat talasemia. Untuk pasangan dengan yang salah satunya “carrier”, atau keduanya “carrier” atau salah satunya penyandang atau keduanya penyandang diberikan edukasi komprehensif tentang kondisi yang mungkin dialami oleh anak yang akan dilahirkan. Diagnosis Prenatal adalah kegiatan pemeriksaan yang bertujuan mendiagnosis janin apakah menderita talasemia mayor/minor/ normal. Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada janin dari pasangan yang keduanya adalah pembawa sifat talasemia.

Pada kasus ini selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium tahap awal yang dapat dilakukan adalah:

1)       Pemeriksaan darah: Haemoglobin, Hematokrit, MCV, MCH, dan RDW. 

2)       Bila tidak ada fasilitas cell counter dapat dilakukan pemeriksaan Haemoglobin, Hematokrit, dan morfologi sediaan merah dengan sediaan hapus (hitung sel darah merah) untuk secara manual menghitung MCV dan MCH

 

6.       Program Kesehatan Jiwa

Ibu hamil yang sehat mentalnya merasa senang dan bahagia, mampu menyesuaikan diri terhadap kehamilannya sehingga dapat menerima berbagai perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, dan dapat tetap aktif melakukan aktivitas sehari-hari.

Masalah atau gangguan kesehatan jiwa yang dialami oleh ibu hamil tidak saja berpengaruh terhadap ibu hamil tersebut, tetapi mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janinnya saat didalam kandungan, setelah melahirkan, bayinya, masa kanak dan masa remaja.

Beberapa masalah dan gangguan kesehatan jiwa pada ibu hamil yang dapat terjadi antara lain:

a.       Stres

b.       Gangguan Kecemasan Menyeluruh

c.        Gangguan Panik

d.       Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)

e.        Gangguan Bipolar

f.         Gangguan Somatoform

g.       Gangguan Stres Paska Trauma

h.       Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan NAPZA

i.         Gangguan Depresi 

j.         Gangguan Skizofrenia

Pemeriksaan kesehatan jiwa pada ibu hamil yang dapat dilaksanakan saat melaksanakan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan primer sebagai berikut: 

a.       Melaksanakan skrining (deteksi dini) masalah kesehatan jiwa pada ibu hamil saat pemeriksaan kehamilan melalui wawancara klinis. Jangan lupa menanyakan faktor risiko gangguan kesehatan jiwa, riwayat masalah kesehatan jiwa yang pernah dialami dan penggunaan NAPZA. Pemeriksaan kesehatan jiwa pada ibu hamil minimal dilakukan pada trimester pertama dan trimester ketiga. Apabila pada trimester pertama ditemukan masalah/gangguan jiwa, maka akan dievaluasi setiap kunjungan.

b.       Jika gangguan jiwa tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan primer, segera merujuk ke RS atau ahli jiwa di wilayah kerja fasilitas pelayanan kesehatan primer.

c.        Kelola stres dengan baik dengan cara: rekreasi, senam ibu hamil, jalan sehat, relaksasi, curhat dengan orang yang tepat, makanan berserat, berpikir positif, kurangi tuntutan diri sendiri, ekspresikan stres, duduk santai, tidak membandingkan diri dengan orang lain, menghitung anugrah, melatih pernafasan, mendengarkan musik dan sebagainya.

d.       Mempromosikan gaya hidup Ceria yaitu cerdas intelektual, emosional dan spiritual, empati dalam berkomunikasi yang efektif, rajin beribadah sesuai agama dan keyakinan, interaksi yang bermanfaat bagi kehidupan, asih, asah dan asuh tumbuh kembang dalam keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan primer sedini mungkin mempersiapkan kondisi kejiwaan ibu hamil agar tetap sehat selama masa kehamilan, melahirkan bayi dan ibu yang sehat paska melahirkan.

 

7.       Pelayanan Keguguran  

Keguguran merupakan kematian janin dalam kandungan sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu. Ibu yang mengalami keguguran wajib mendapat pelayanan kesehatan asuhan pascakeguguran yang berupa pelayanan konseling dan pelayanan medis.  

Konseling dalam asuhan pasca keguguran dilakukan setidaknya untuk 3 (tiga) tujuan, yaitu:

1.       Membantu perempuan mengambil keputusan terkait tatalaksana klinis yang sesuai dengan kebutuhannya

2.       Memberikan dukungan psikososial kepada perempuan dan mengidentifikasi adanya kebutuhan layanan psikososial lebih lanjut

3.       Membantu perempuan merencanakan kehamilan selanjutnya dan mengambil keputusan terkait penggunaan kontrasepsi pasca keguguran sesuai kebutuhannya

Pelayanan konseling harus dilakukan baik sebelum dan sesudah pelayanan medis, meliputi:

1.       Konseling dukungan psikososial;

Selama konseling, petugas kesehatan perlu:

a.       Melakukan penapisan masalah psikologis, seperti depresi dan ansietas

b.       Mengidentifikasi perempuan dengan kondisi psikososial khusus 

c.        Menggali suasana perasaan perempuan, khususnya rasa berduka, kecemasan, dan rasa tertekan 

d.       Mengidentifikasi rencana tindak lanjut yang dibutuhkan (termasuk pemberian obat dan rujukan)

e.        Memberikan dukungan emosional 

f.         Meminta persetujuan (informed consent) untuk pemberian layanan atau rujukan

2.       Konseling prapelayanan medis

Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui dan diputuskan oleh pasien terkait asuhan pasca keguguran yang akan ia terima. Hal yang pertama berkaitan dengan tata laksana klinis, khususnya evakuasi hasil konsepsi. Untuk itu, selama konseling diberikan, petugas kesehatan perlu:

a.       Mengidentifikasi kebutuhan tatalaksana medis berdasarkan kondisi medis pasien

b.       Menjelaskan berbagai pilihan tatalaksana medis yang dapat dilakukan beserta manfaat/keunggulan dan risiko/kekurangannya 

c.        Mengidentifikasi kebutuhan rujukan untuk tatalaksana medis lebih lanjut

d.       Meminta persetujuan (informed consent) untuk dilakukannya tatalaksana medis atau rujukan

Pasien akan lebih dapat menerima tata laksana klinis yang diberikan ketika itu datang dari pilihannya sendiri. Dengan demikian, informasi yang perlu dijelaskan terkait hal ini meliputi: 

a.       Pilihan metode atau prosedur klinis yang diperlukan untuk menatalaksana masalah pasien 

b.       Apa yang akan dilakukan selama dan setelah prosedur berlangsung

c.        Apa yang mungkin akan dirasakan oleh pasien (kram seperti menstruasi, nyeri, dan perdarahan)

d.       Lama berlangsungnya proses tersebut

e.        Berbagai pilihan pengelolaan nyeri, risiko dan komplikasi terkait prosedur yang dilakukan

f.         Kapan pasien dapat kembali melakukan aktivitas, termasuk berhubungan seksual 

g.       Perawatan lanjutan 

Petugas Kesehatan kemudian memberikan rekomendasi tata laksana yang paling sesuai berdasarkan usia kehamilan dan kondisi medis pasien, serta keuntungan serta kerugian dari berbagai pilihan prosedur yang ada. 

3.       Konseling perencanaan kehamilan (diberikan sampai dengan 14 hari pascakeguguran) 

Tenaga kesehatan harus menjelaskan kepada pasien bahwa proses ovulasi dan kesuburan pada perempuan dapat kembali dalam 8 hari setelah terjadinya keguguran (bahkan lebih awal pada beberapa kasus). Karena itu, setiap pasien yang mendapatkan asuhan pascakeguguran perlu mendapat konseling tentang perencanaan kehamilan. Hal tersebut penting untuk membantu pasien memutuskan apakah ia ingin segera hamil kembali, menunda kehamilan, atau bahkan menghindari kehamilan sama sekali. Hal ini termasuk informasi terkait pilihan metode kontrasepsi pasca keguguran yang tersedia dan yang paling sesuai dengan kebutuhannya. 

Konseling perencanaan kehamilan dapat dilakukan sebelum maupun sesudah evakuasi hasil konsepsi, namun jika kondisi memungkinkan dan tidak membahayakan, sebaiknya konseling kontrasepsi diberikan sebelum tatalaksana dilakukan. Hal tersebut dilakukan karena ada metode yang dapat langsung diberikan saat evakuasi hasil konsepsi dilakukan, yaitu Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).

Pelayanan medis pascakeguguran dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan oleh dokter atau dokter spesialis yang memiliki kompetensi dan kewenangan, meliputi:

1.     tindakan pengeluaran hasil konsepsi secara farmakologis dan/atau operatif; (termasuk pematangan serviks, pemberian antibiotika profilaksis, dan pencegahan infeksi)

2.     tata laksana nyeri; dan

3.     tata laksana pascatindakan pengeluaran sisa hasil konsepsi: pemeriksaan jaringan dan tatalaksana komplikasi.

Ketentuan mengenai pelayanan medis pascakeguguran mengacu pada standar pelayanan kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

 

BAB IV

PELAYANAN KESEHATAN MASA PERSALINAN

 

Pelayanan Kesehatan Persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan. Persalinan adalah sebuah proses melahirkan bayi oleh seorang ibu yang sangat dinamis. Meskipun 85% persalinan akan berjalan tanpa penyulit namun komplikasi dapat terjadi selama proses persalinan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah setiap tempat penyelenggara pelayanan persalinan harus memiliki sumber daya dan kemampuan untuk mengenali sedini mungkin dan memberikan penanganan awal bagi penyulit yang timbul.

Persalinan dilakukan sesuai dengan standar persalinan normal atau standar persalinan komplikasi. Standar persalinan normal adalah Asuhan Persalinan Normal  (APN) sesuai standard dan memenuhi persyaratan, meliputi:

1.       Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan

2.       Tenaga adalah tim penolong persalinan, terdiri dari dokter, bidan dan perawat, apabila ada keterbatasan akses dan tenaga medis, persalinan dilakukan oleh tim  minimal 2 orang tenaga kesehatan yang terdiri dari bidan-bidan, atau bidan-perawat. 

3.       Tim penolong mampu melakukan tata laksana  awal penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

 Sedangkan Standar persalinan komplikasi mengacu pada Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan.

Pelayanan persalinan harus memenuhi 7 (tujuh) aspek yang meliputi:

1.       membuat keputusan klinik; 

2.       asuhan sayang ibu dan sayang bayi, termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan resusitasi bayi baru lahir;

3.       pencegahan infeksi; 

4.       pencegahan penularan penyakit dari ibu ke anak;

5.       persalinan bersih dan aman;

6.       pencatatan atau rekam medis asuhan persalinan; dan

7.       rujukan pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir.

 


- 78 -

A.     Jenis dan Skema Rujukan Persalinan

Dalam pelayanan obstetri, terutama pada periode sekitar persalinan, maka terdapat 4 kategori rujukan yang mungkin terjadi: rujukan primer, konsultasi, transfer dan emergensi.

Jenis skema rujukan

Penjelasan

Rujukan

Primer

Sebuah keadaan dimana ibu membutuhkan rujukan, baik konsultasi maupun tatalaksana lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan, berupa SDM, sarana prasarana, penunjang diagnosis dan obat-obatan

Rujukan

Konsultasi

Sebuah keadaan dimana ibu membutuhkan konsultasi dan atau penatalaksanaan lebih lanjut dengan level pelayanan spesialistis berdasarkan penilaian bidan/dokter dari pelayanan persalinan  di FKTP yang menangani sebelumnya. Jika kondisi memungkinkan, maka ibu akan mendapatkan manfaat dari jejaring rujukan pelayanan persalinan, dimana fasyankes pelayanan rujukan akan bekerja sama dengan pelayanan primer  dalam mengelola pasien.

Rujukan

Transfer

Sebuah keadaan dimana ibu membutuhkan rujukan transfer untuk mendapatkan penatalaksanaan selanjutnya di tingkat pelayanan yang lebih tinggi, atau ke level pelayanan yang sederajat pada keadaan dimana fasyankes semula mengalami kendala dalam pemberian layanan. sesuai dengan penilaian bidan/dokter dari tingkat pelayanan yang lebih rendah berdasarkan kriteria yang ada.

Rujukan

Emergensi

Sebuah keadaan dimana ibu membutuhkan rujukan emergensi segera, untuk segera mendapatkan tata laksana di level pelayanan yang lebih tinggi sesuai dengan penilaian bidan/dokter yang menangani di level pelayanan yang lebih rendah, sesuai dengan kriteria yang ada

B.     Jejaring Rujukan Persalinan

Pelayanan persalinan adalah sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan persalinan yang dapat mengakomodasi kebutuhan ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir untuk mendapatkan luaran kehamilan yang optimal. Sistem tersebut akan memperhatikan tata kelola klinis, tata kelola program dan tata kelola manajemen dalam penyelenggaraan pelayanan persalinan di dalam jejaring pelayanan persalinan di tingkat kabupaten/kota dan pengampu di tingkat regional.

Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal  di tingkat masyarakat, FKTP (Puskesmas, klinik, praktik mandiri bidan, dll) dan FKRTL (RS) sebagai fasilitas kesehatan rujukan diupayakan agar dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan, serta perlu dipantau secara teratur. Paket pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di tiap tingkat dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam upaya menyelenggarakan pelayanan persalinan yang optimal, maka setiap tingkatan harus berada dalam suatu jejaring rujukan persalinan yang berfungsi.

 

Tabel 5: Paket pelayanan kesehatan maternal dan neonatal/BBL di tiap tingkat

 

Tingkat 

Pelayanan Kesehatan Maternal

Pelayanan Kesehatan BBL

FKRTL –  RS kabupaten/ pelayanan rujukan

a.   Semua pelayanan di tingkat yankes dasar

b.   Pelayanan gawat-darurat obstetri 

c.    Penanganan komplikasi pada masa kehamilan, persalinan pada masa nifas, termasuk bedah sesar, transfusi darah, induksi persalinan, histerektomi

d.   Pencegahan penularan

HIV/sifilis/hepatitis B dari ibu ke anak dan tata laksananya

a.   Semua pelayanan neonatal di FKTP

b.   Resusitasi neonatal di

RS

c.    Penanganan neonatal sakit berat

FKTP          

Puskesmas

/ pelayanan kesehatan dasar/ primer

a.   Semua pelayanan di tingkat masyarakat

b.   Pemantauan kehamilan dan penilaian kesehatan maternal dan janin (minimal 6 kali kunjungan), termasuk status gizi

c.    Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 

d.   Deteksi komplikasi obstetri dan gangguan kesehatan lainnya dan penanganan

dini/stabilisasi

e.    Pelayanan rujukan ke FKRTL 

f.     Deteksi dini dan pencegahan penularan

HIV/sifilis/hepatitis B dari ibu ke anak

a.   Pelayanan neonatal esensial dan semua pelayanan di tingkat masyarakat

b.   Resusitasi neonatal

c.    IMD dan ASI eksklusif

d.   Pencegahan/pengobatan infeksi pada BBL

e.    Imunisasi

f.     Perawatan metoda kanguru

g.   Identifikasi BBL dengan gejala sakit dan penanganan

dini/stabilisasi

menggunakan MTBM 

h.   Rujukan

Masyarakat

a. Pemberian informasi/penyuluhan/konsel

Promosi      dan    dukungan untuk:

Tingkat 

Pelayanan Kesehatan Maternal

Pelayanan Kesehatan BBL

 

ing

b.   Pelayanan KB, anjuran untuk melahirkan di faskes

c.    Edukasi tentang persalinan yang aman dan perawatan

BBL normal

d.   Cara mengenali tanda bahaya, persiapan keadaan gawatdarurat dan ke mana mencari pertolongan

e.    P4K

f.     Kelas ibu hamil

a.   IMD, ASI eksklusif dan pemeriksaan rutin

b.   menjaga suhu tubuh

BBL tetap hangat

c.    merawat tali pusat dan mencegah infeksi

d.   perawatan preterm/bayi kecil

e.    mengenali adanya masalah/penyakit dan segera mencari pertolongan 

f.     memperoleh akte kelahiran

 

 

Jejaring rujukan persalinan yang dimaksud hendaknya memenuhi kondisi –kondisi sebagai berikut:

1.       Input, tersedianya:

a.       Dasar hukum yang mengikat setiap komponen dalam jejaring rujukan untuk bertanggung jawab dalam menjalankan masingmasing tugas dan kewajibannya, dalam bentuk peraturan bupati/walikota.

b.       Perjanjian kerja sama yang mengatur:

1)       Level pelayanan persalinan di wilayah tersebut yang disepakati dan ditetapkan oleh semua pihak terkait.

2)       Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk tersedianya level pelayanan persalinan yang sesuai – termasuk penyediaan sarana, prasarana dan aturan.

3)       Tugas dan kewajiban setiap pihak, termasuk tugas dan kewajiban pembinaan terkait peningkatan kualitas pelayanan persalinan bagi setiap level pelayanan yang ada di bawahnya.

c.        Forum yang dapat memfasilitasi komunikasi dan koordinasi di    tingkat daerah kabupaten/kota, yang melibatkan juga unsur masyarakat madani

d.       Tersedianya sistem informasi yang memadai, baik sebagai sarana     komunikasi maupun sistem yang dapat menyediakan informasi bagi pengambilan keputusan – Sistem Informasi

Rujukan Terintegrasi (Sisrute)

e.        Sistem pembiayaan yang selalu terbarukan, dan dapat menyesuaikan dengan dinamika yang terjadi di lapangan.

2.       Proses

a.       Berjalannya pemantauan kualitas pelayanan secara mandiri dan terukur di setiap fasyankes yang datanya dapat digunakan untuk upaya peningkatan kualitas baik di internal maupun di dalam jejaring rujukan.

b.       Berjalannya kajian-kajian kasus di setiap level pelayanan, yang pembelajarannya dapat dikomunikasikan pada forum koordinasi yang tersedia di tingkat regional.

c.        Berjalannya komunikasi pra rujukan dan komunikasi rujukan balik yang memungkinkan penyelenggaraan pelayanan yang berkesinambungan.

d.       Berjalannya pembinaan keterampilan petugas kesehatan sesuai dengan kebutuhan, menggunakan berbagai metode seperti: pelatihan, magang, on-the-job training, diskusi kasus, pemantauan simulasi emergensi dan lain-lain.

3.       Output

Ditetapkan indikator-indikator spesifik yang menunjukkan keberhasilan pelayanan rujukan berbasis jejaring rujukan persalinan di wilayah.

 

 

BAB V

PELAYANAN KESEHATAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN

 

Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu selama masa nifas (6 jam sampai dengan 42 hari sesudah melahirkan) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif. Ibu nifas dan bayi baru lahir dipulangkan setelah 24 jam pasca melahirkan, sehingga sebelum pulang diharapkan ibu dan bayinya mendapat 1 kali pelayanan pasca persalinan. 

Pelayanan pasca persalinan terintegrasi adalah pelayanan yang bukan hanya terkait dengan pelayanan kebidanan tetapi juga terintegrasi dengan program-program lain yaitu dengan program gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular, imunisasi, jiwa dan lain lain. Sedangkan pelayanan pasca persalinan yang komprehensif adalah pelayanan pasca persalinan diberikan   mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (termasuk laboratorium), pelayanan keluarga berencana pasca persalinan,  tata laksana kasus, Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE),  dan rujukan bila diperlukan.

Pelayanan pasca persalinan diperlukan karena dalam periode ini merupakan masa kritis, baik pada ibu maupun bayinya yang bertujuan:

a.       Menjaga kesehatan  ibu dan bayinya, baik secara fisik maupun psikologis.

b.       Deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit pasca persalinan. 

c.        Memberikan KIE, memastikan pemahaman serta kepentingan kesehatan, kebersihan diri, nutrisi, Keluarga Berencana (KB), menyusui, pemberian imunisasi dan asuhan bayi baru lahir pada ibu beserta keluarganya. 

d.       Melibatkan ibu, suami, dan keluarga dalam menjaga kesehatan ibu nifas dan bayi baru lahir 

e.        Memberikan pelayanan KB sesegera mungkin setelah bersalin.  

Pelayanan pascapersalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) sesuai kompetensi dan kewenangan. Pelayanan pascapersalinan dilaksanakan  minimal  4 (empat) kali dengan waktu kunjungan ibu dan bayi baru lahir bersamaan yaitu: 

a.       Pelayanan pertama dilakukan pada waktu 6 jam sampai dengan 2 hari  setelah persalinan.

b.       Pelayanan kedua dilakukan pada waktu 3-7  hari setelah persalinan.

c.        Pelayanan ketiga  dilakukan pada waktu  8-28  hari setelah persalinan.

d.       Pelayanan keempat dilakukan pada waktu 29-42 hari setelah persalinan untuk ibu. 

1.       Pelayanan Pascapersalinan Bagi Ibu

Lingkup pelayanan pascapersalinan bagi ibu meliputi: 

a.         Anamnesis

b.         Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu

c.         Pemeriksaan tanda-tanda anemia

d.         Pemeriksaan  tinggi fundus uteri

e.         Pemeriksaan kontraksi uteri

f.          Pemeriksaan kandung kemih dan saluran kencing

g.         Pemeriksaan lokhia dan perdarahan

h.         Pemeriksaan jalan lahir

i.          Pemeriksaan payudara dan pendampingan pemberian ASI Ekslusif

j.          Identifikasi risiko tinggi dan komplikasi pada masa nifas

k.         Pemeriksaan status mental ibu

l.          Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan

m.       Pemberian KIE dan konseling

n.         Pemberian kapsul vitamin A

 

Langkah-langkah pelayanan pascapersalinan  meliputi:

a.         Pemeriksaan dan tata laksana menggunakan algoritma tata laksana terpadu masa nifas;

b.        Identifikasi risiko dan komplikasi;

c.         Penanganan risiko dan komplikasi, 

d.        Konseling; dan 

e.         Pencatatan pada Buku KIA dan Kartu Ibu/Rekam medis

 

Saat kunjungan nifas, semua ibu harus diperiksa menggunakan bagan tata laksana terpadu pada ibu nifas. Manfaat bagan/algoritma:   

a.       Memperbaiki perencanaan dan manajemen pelayanan kesehatan 

b.       Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan 

c.        Keterpaduan tatalaksana kasus 

d.       Mengurangi kehilangan kesempatan (missed opportunities)  

e.        Alat bantu bagi tenaga kesehatan 

f.         Pemakaian obat yang tepat 

g.        Memperbaiki penanganan komplikasi secara dini  

h.       Meningkatkan rujukan kasus tepat waktu 

i.         Konseling pada saat memberikan pelayanan 

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/penunjang lainnya, dokter menegakkan diagnosis kerja atau diagnosis banding, sedangkan bidan/perawat membuat klasifikasi masa pasca persalinan normal/ tidak normal pada ibu nifas.

 

2.       Pelayanan Pasca Persalinan Pada Bayi Baru Lahir

Pelayanan kesehatan bayi baru lahir dimulai segera setelah bayi lahir sampai 28 hari.  Pelayanan pasca persalinan pada bayi baru lahir dimulai sejak usia 6 jam sampai 28 hari.

Pelayanan neonatal esensial yang dilakukan setelah lahir 6 (enam) jam sampai 28 (dua puluh delapan) hari meliputi: 

a.         menjaga bayi tetap hangat; 

b.         pemeriksaan neonatus menggunakan Manajemen Terpadu Bayi

Muda (MTBM);

c.         bimbingan pemberian ASI dan memantau kecukupan ASI;

d.         perawatan metode Kangguru (PMK);

e.         pemantauan peertumbuhan neonatus;

f.          masalah yang paling sering dijumpai pada neonatus 

Pelayanan neonatal esensial dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali kunjungan, yang meliputi: 

             1 (satu) kali pada umur 6-48 jam; (KN 1)

             1 (satu) kali pada umur 3-7 hari (KN 2); dan 

             1 (satu) kali pada umur 8-28 hari. (KN 3) 

 

            a.     Skrining Bayi Baru Lahir

Deteksi dini kelainan bawaan melalui skrining bayi baru lahir (SBBL) merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan yang lebih baik. Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah tes yang dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital dari bayi yang sehat. Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan intervensi secepatnya.

Salah satu penyakit yang bisa dideteksi dengan skrining pada bayi baru lahir di Indonesia antara lain Hipotiroid Kongenital (HK).  Hipotiroid Kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium. Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK)  adalah skrining/uji saring untuk memilah bayi yang menderita hipotiroid kongenital dari bayi yang bukan penderita. SHK dilakukan optimal pada saat bayi berusia 4872 jam (kunjungan neonatus). Pelaksanaan SHK mengacu pada pedoman yang ada.

Tabel 6: Jenis Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir

No 

Jenis Pemeriksaan/ Pelayanan

KN 1/

PNC 1

KN 2/

PNC 2

KN 3/

PNC 3

6 - 48 jam

3 hr - 7 jam

8 - 28 jam

1.

Pemeriksaan menggunakan formulir MTBM 

v

v

v

2.

Bagi Daerah yang sudah

melaksanakan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) 

 

 

 

 

-        Pemeriksaan SHK 

-

v

-

 

-        Hasil tes SHK

-

v

v

 

-        Konfirmasi Hasil SHK

-

v

v

3.

Tindakan (terapi/rujukan/umpan balik) 

v

v

v

4.

Pencatatan di buku KIA dan kohort bayi 

v

v

v

Keterangan tabel:

                        v      :  pemeriksaan rutin

 

Pada pelayanan ini, bayi baru lahir mendapatkan akses pemeriksaan kesehatan oleh tenaga kesehatan pada Polindes, Poskesdes, Puskesmas, praktik mandiri bidan, klinik pratama, klinik utama, Posyandu dan atau kunjungan rumah dengan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) Pemeriksaan Bayi Baru Lahir dengan pendekatan MTBM dilakukan dengan menggunakan formulir pencatatan bayi muda 0 - 2 bulan dan bagan MTBS. Penggunaan bagan MTBM dan formulir MTBM dalam pelayanan bayi baru lahir memungkinkan menjaring adanya gangguan kesehatan secara dini. Terutama untuk deteksi dini tanda bahaya dan penyakit penyebab utama kematian pada bayi baru lahir. Dengan adanya deteksi dan pengobatan dini, tentunya membantu menghindari bayi baru lahir dari risiko kematian. 

Penggunaan algoritma dan formulir pencatatan bayi muda kurang dari 2 bulan dalam pelayanan bayi baru lahir memungkinkan menjaring adanya gangguan kesehatan  secara dini. Terutama untuk deteksi dini tanda bahaya dan penyakit penyebab utama kematian pada bayi baru lahir. Dengan adanya deteksi dan pengobatan dini, tentunya membantu menghindari bayi baru lahir dari risiko kematian. 

 

            b.     Indikator Cakupan 

1)       Cakupan Kunjungan Nifas 1 (KF1)

Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6-48 jam setelah bersalin sesuai standar .

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

 

Jumlah ibu nifas yang mendapat pelayanan sesuai standar pada masa 6-48 jam   setelah bersalin oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu  tertentu  

------------------------------------------------------------------------------------------------X 100

Jumlah seluruh sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1  tahun   

 

2)       Cakupan Kunjungan Nifas Lengkap (KF lengkap)

Cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 4x dengan distribusi waktu 6 jam - hari ke 2 (KF1), hari ke 3 - hari ke 7 (KF2),  hari ke 8 - 28 (KF3) dan hari ke 29-42 (KF4)  setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

 

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jumlah ibu nifas yang mendapat pelayanan pada masa 6 jam sampai dengan  

 

42 hari pasca bersalin sesuai standar oleh tenaga kesehatan paling sedikit 4x dengan distribusi waktu 6 jam - hari ke 2 (KF1), hari ke 3 - hari ke 7 (KF2),   hari ke 8 - 28 (KF3)  dan hari ke 29-42 (KF4) setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu  tertentu  

-------------------------------------------------------------------------------------X 100  

Jumlah seluruh sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1  tahun 

 

 

 

 

 

 

3)       Cakupan Pelayanan KB pascapersalinan

Adalah cakupan pelayanan KB pascapersalinan dengan metode kontrasepsi modern.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

 

Jumlah PUS yang mengikuti KB pascapersalinan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu  

------------------------------------------------------------------------------------------------X 100                                   

Jumlah seluruh sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1  tahun                                                   

 

4)       Cakupan Kunjungan Neonatal 1 (KN1)

Adalah cakupan pelayanan bayi baru lahir  pada masa 6-48 jam hari setelah lahir  sesuai standar.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

 

Jumlah bayi baru lahir yang mendapat pelayanan sesuai standar pada 6-48 jam    setelah lahir oleh tenaga kesehatan  di suatu wilayah kerja pada kurun waktu  tertentu

------------------------------------------------------------------------------------------------X 100

 

Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1  tahun 

 

5)       Cakupan Kunjungan Neonatal Lengkap  (KN Lengkap)

Adalah Cakupan neonatus mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusiwaktu: 1 x pada usia 6-48 jam, 1x pada usia 3  - 7 hari, dan 1 x pada usia 8 - 28 hari setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

 

Jumlah bayi baru lahir yang mendapat pelayanan sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusiwaktu: 1 x pd usia 6-48 jam, 1x pada usia 3  - 7 hari, dan 1 x  pada usia 8 - 28 hari setelah lahir oleh tenaga kesehatan  di suatu wilayah kerja

 

pada kurun waktu tertentu

------------------------------------------------------------------------------------------------X 100        Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1  tahun         

 

 

 

 

 

 

BAB VI

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB

 

A.        Peran Kementerian Kesehatan

1.       Menyusun pedoman umum dan petunjuk teknis pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

2.       Melakukan advokasi, sosialisasi, dan koordinasi kepada lintas program,  dan lintas sektor terkait.

3.       Melakukan orientasi dan fasilitasi teknis bagi pengelola program di tingkat Provinsi.

4.       Menyediakan dan mendistribusikan buku pedoman dan media KIE pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

5.       Memenuhi sarana dan prasarana terkait pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

6.       Melakukan monitoring dan evaluasi .

 

B.        Peran Dinas Kesehatan Daerah Provinsi

1.       Melakukan advokasi, sosialisasi, dan koordinasi di tingkat Provinsi.

2.       Melakukan peningkatan kapasitas teknis dan manajemen bagi pengelola program di tingkat Provinsi.

3.       Meningkatkan kerjasama dengan lintas program dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

4.       Membangun kemitraan dengan lintas sektor terkait di tingkat Provinsi untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

5.       Menyediakan dan mendistribusikan pedoman dan media KIE pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

6.       Melakukan pencatatan dan pelaporan.

7.       Melakukan monitoring dan evaluasi.

 

 

C.        Peran Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota

1.       Melakukan advokasi, sosialisasi, dan koordinasi di tingkat kabupaten/kota.

2.       Melakukan peningkatan kapasitas teknis dan manajemen bagi pengelola program di tingkat kabupaten/kota.

3.       Meningkatkan kerjasama dengan lintas program dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

4.       Bersama dengan organisasi profesi melakukan pembinaan baik fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. 

5.       Membangun kemitraan dengan lintas sektor terkait di tingkat kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

6.       Menyediakan pedoman dan media KIE terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

7.       Membangun jejaring rujukan pelayanan. 

8.       Melakukan pencatatan dan pelaporan 

9.       Melakukan monitoring dan evaluasi.

 

D.       Peran Puskesmas

1.       Melaksanakan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

2.       Melakukan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor.

3.       Membangun kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sekolah, panti, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kader untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

4.       Melakukan sosialisasi dan KIE tentang pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

5.       Melakukan pencatatan dan pelaporan.

6.       Melakukan monitoring dan evaluasi.

 

E.        Peran Lintas Sektor

1.       Membangun jejaring dan bekerjasama untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.

2.       Menggerakkan dan melaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis

Masyarakat (UKBM) melalui Posyandu, Posbindu, Poskesdes, Poskestren, dan UKS.

3.       Melaksanakan hasil kesepakatan yang sudah disepakati di tingkat pusat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VII 

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

 

Pemberdayaan Masyarakat merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan individu, keluarga serta masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, Persalinan, dan masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan Kesehatan Seksual yang optimal. 

Pemberdayaan masyarakat untuk menggalang peran serta masyarakat dlam mengelola Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). UKBM merupakan wahana pemberdayaan masyarakat yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, dengan pembinaan sektor kesehatan, lintas sektor dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan melalui:

1.       Posyandu, posyandu remaja dan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat lainnya;

2.       program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi; 

3.       pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak;

4.       penyelenggaraan kelas ibu; 

5.       promosi program keluarga berencana;

6.       rumah tunggu kelahiran; dan

7.       pemberdayaan dukun bayi dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir. Pemberdayaan masyarakat ini akan berhasil apabila ada peran aktif dari masyarakat dengan mengutamakan pendekatan promotif dan preventif. Sebagai pemberi pelayanan atau kuratif seperti yang tecantum dalam PMK tentang masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan dan masa sesudah melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan pelayanan Kesehatan seksual ini adalah tenaga Kesehatan, sementara untuk promotif dn preventif bisa dilakukan oleh tenaga Kesehatan dengan dibantu oleh kader. Peran kader seperti dikatakan dalam PMK Nomor 8 tahun 2019 adalah sebagai berikut:

1.       penggerak masyarakat untuk berperan serta dalam upaya kesehatan sesuai kewenangannya; 

2.       penggerak masyarakat agar memanfaatkan UKBM dan pelayanan kesehatan dasar; 

3.       pengelola UKBM; 

4.       penyuluh kesehatan kepada masyarakat; 

5.       pencatat kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan; dan 

6.       pelapor jika ada permasalahan atau kasus kesehatan setempat pada tenaga kesehatan.

Kader bisa berperan dalam semua lini kegiatan pemberdayaan masyarakat antara lain:

1.       Posyandu maka peran Kader mengacu pada sistim 5 meja/ 5 langkah. yaitu:

Meja/ Langkah 

Kegiatan

Pelaksana

pertama

pendaftaran

Kader

kedua

penimbangan

Kader

ketiga

pencatatan

Kader

keempat

penyuluhan

Kader

kelima

Pelayanan kesehatan

Petugas kesehatan

 

2.       Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, peran kader adalah

a.       Pemantauan intensif setiap ibu hamil, mengingatkan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan Kesehatan serta menemukan secara dini tanda bahaya pada ibu hamil, ibu yang mau bersalin, ibu nifas serta bayi baru lahir

b.       Pengelolaan donor darah, ambulance desa, tubulin/dasolin, amanat persalinan.

c.        Membantu petugas Kesehatan mendata ibu hamil di desanya

d.       Melakukan penyuluhan kepada ibu hamil, ibu nifas mengenai tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas

e.        Membantu tenaga Kesehatan dalam memfasilitasi ibu hamil dan keluarganya untuk menyepakati isi stiker, termasuk KB pasca persalinan

f.         Membantu memotivasi suami ibu hamil untuk mendampingi pada saat periksa hamil, bersalinharus di fasilitas pelayanan Kesehatan

g.        Membantu memotivasi untuk melakukan IMD (inisiasi Menyusus Dini) dan pemberian ASI ekslusif pada bayi sampai usia 6 bulan.

3.       Pemanfaatan Buku KIA

Peran Kader dalam kegiatan ini adalah untuk dapat memberikan penjelasan kepada ibu hamil, ibu yang mau bersalin dan ibu nifas akan pentingnya menjaga Kesehatan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir seperti yang tercantum dalam buku KIA, sehingga buku KIA dapat berguna untuk menambah dan memperkuat informasi ibu dan keluarganya sejak kehamilan pertama. 

4.       Penyelenggaraan Kelas Ibu

Peran kader disini lebih kepada menggerakan ibu hamil atau ibu yang mempunyai balita serta masyarakat pada umumnya untuk mengikuti kelas ibu yang merupakan sarana belajar kelompok bagi ibu hamil dan bagi ibu yang mempunyai balita untuk berdiskusi dan bertukar pengalaman dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, serta bagi ibu yang mempunyai anak usia 0 – 5 tahun penetahuan yang diberikan tentang pemenuhan pelayanan Kesehatan, gizi, dan perkembangan dan pertumbuhan anak. 

Kelas Ibu dibagi dua ada Kelas Ibu hamil dan Kelas Ibu Balita.

5.       Promosi program keluarga berencana

Peran kader lebih kepada memotivasi ibu sejak masa hamil serta keluarganya tentang pentingnya ber KB terutama KB pasca persalinan

6.       Rumah Tunggu Kelahiran

Pada kegiatan pemberdayaan masyarakat di Rumah Tunggu Kelahiran, maka peran kader adalah kader dapat memberi tahu kepada petugas kesehatan setiap ibu hamil yang rumahnya atau akses ibu hamil tersebut jauh dari fasilitas Kesehatan, sehingga petugas kesehatan dapat mengidentifikasi ibu hamil yang sudah mendekati persalinan untuk menempati RTK sampai waktu kelahirannya tiba. Kader juga dapat memberi tahu petugas Kesehatan jika ada ibu hamil yang resiko tinggi sesuai dengan tanda bahaya yang ada di buku KIA untuk ditempatkan di RTK, sehingga bila terjadi kegawat daruratan yang membutuhkan perawatan lebih lanjut, maka akan segera bisa ditangani. 

Pemanfaatan RTK ini bersinergi dengan P4K, karena  diawali dengan P4K, maka ibu hamil terdata dan terpantau karena tenaga Kesehatan dapat mengidentifikasi ibu hamil mana saja yang memerlukan Rumah Tunggu Kelahiran (RTK)

7.       Pemberdayaan dukun bayi dalam mendampingi ibu dan bayi baru lahir Merupakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara bidan dengan dukun, dimana pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga Kesehatan yang kompeten dengan tetap melibatkan dukun pada kegiatan terbatas dan tidak membahayakan ibu dan bayinya, seperti perawatan

ibu nifas, perawatan bayi dan lain-lain. Peran kader adalah untuk mendata ibu hamil yang berada di wilayahnya termasuk ibu hamil resiko tinggi, menyarankan ibu hamil agar bersalin di fasilitas Kesehatan dengan tetap menyertakan dukun sebagai pendamping ibu hamil tersebut. Memberikan pengertian kepada masyarakat dan dukun pentingnya bersalin di fasiilitas pelayanan Kesehatan, memotivasi dukun untuk bekerjasama dengan bidan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VIII

PENCATATAN DAN PELAPORAN

 

A.       Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil

Setelah memberikan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil kepada sasaran pelayanan, tenaga kesehatan harus mencatatkan hasil pemeriksaan pada rekam medis dan media pencatatan lainnya sesuai masalah/penyakit, misalnya:  

1.       Pelayanan kesehatan pada remaja dicatat pada rekam medik family folder, kohort kesehatan usia sekolah dan remaja, dan Rapor Kesehatanku-Buku Catatan Kesehatan (SD,SMP/ SMA). 

2.       Pelayanan kesehatan pada calon pengantin dicatat pada: 

a.     Rekam medik family folder dan kohort pelayanan kesehatan usia reproduksi untuk disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan.

b.    Kartu Calon Pengantin Sehat untuk diberikan kepada masingmasing calon pengantin.

c.     Surat Keterangan Pemeriksaan Kesehatan calon pengantin untuk persyaratan pengurusan pernikahan. 

3.       Pelayanan kesehatan pada Pasangan Usia Subur (PUS) dicatat pada rekam medik family folder dan kohort pelayanan kesehatan usia reproduksi.

4.       Pencatatan untuk kelompok sasaran usia reproduksi dengan penyakit yang menjadi fokus program pencegahan dan penanggulangan penyakit (antara lain: anemia, KEK, TB dan HIV), maka pencatatan dapat dilakukan pada Kartu Calon Pengantin Sehat, kohort pelayanan kesehatan usia reproduksi, dan format pencatatan program terkait, sehingga dapat dilakukan intervensi lebih lanjut secara terpadu lintas program.

Rekapan pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi pada catin dan PUS di Puskesmas dilakukan setiap akhir bulan dan dilaporkan melalui sistem pelaporan yang berlaku di puskesmas (Sistem Informasi Puskesmas/SIP). 

 

B.       Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Hamil

1.       Pencatatan

Pencatatan pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir yang sudah ada yaitu: 

a.       Kartu Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan 

b.       Kohort ibu yang merupakan kumpulan data-data dari kartu ibu. 

c.        Buku KIA (dipegang ibu).  

d.       Pencatatan dari program yang sudah ada (catatan dari imunisasi, malaria, gizi, KB, TB, dan lain-lain) 

Formulir harus diisi lengkap setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik. 

            2.     Pelaporan 

Pelaporan pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir pelaporan yang sudah ada, yaitu: 

a.       LB3 KIA 

b.       PWS KIA 

c.        PWS Imunisasi 

d.       Untuk lintas program terkait, pelaporan mengikuti formulir yang ada pada program tersebut. 

Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal di wilayah kerja Puskesmas, melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan antenatal terpadu setiap awal bulan ke Puskesmas atau disesuaikan dengan kebijakan daerah masing-masing. Puskesmas menghimpun laporan rekapitulasi dari tenaga kesehatan di wilayah kerjanya dan memasukkan ke dalam Register KIA untuk keperluan pengolahan dan analisa data serta pembuatan laporan PWS KIA.

Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Puskesmas untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu serta digunakan untuk pertemuan dengan lintas sektor. 

Dinas kesehatan kabupaten/kota menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh Puskesmas di wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisa data serta pembuatan grafik PWS KIA tingkat kabupaten/kota setiap bulan. Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke dinas kesehatan provinsi setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu.

Dinas kesehatan provinsi menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh kabupaten/kotadi wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisa data. Hasil pengolahan dan analisa data dilaporkan ke Pusat Data dan Surveilens Kementerian Kesehatan dengan tembusan ke Bagian Program dan Informasi Sekretariat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat setiap 3 bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh dinas kesehatan provinsi untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu. 

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan bersama Bagian

Program dan Informasi Sekretariat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh provinsi per kabupaten/kota. Sementara itu melalui Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat memberi umpan balik ke kepala dinas kesehatan provinsi melalui gubernur.  

Lintas program yang terkait pelayanan antenatal terpadu bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan ke penanggung jawab program masing-masing secara berjenjang (dari Puskesmas sampai Pusat) dan memberikan tembusan ke penanggung jawab program KIA.

 

C.       Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Persalinan 

1.       Pencatatan Pelayanan Masa Persalinan 

Pencatatan Pelayanan Masa Persalinan selain menggunakan formulir yang sudah ada, juga menggunakan suatu formulir untuk mencatat kemajuan persalinan, yaitu :

a.       Kartu Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan.

b.       Partograf

c.        Buku KIA 

Pencatatan-pencatatan tersebut harus diisi lengkap setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik.

2.       Pelaporan

Pelaporan pelayanan masa persalinan menggunakan formulir pelaporan yang sudah ada, yaitu LB3 KIA

 

D.      Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah

Melahirkan/Pascapersalinan

1.       Pencatatan Pelayanan Masa Sesudah Melahirkan/Pasca Persalinan

Bagi Ibu 

Pencatatan Pelayanan Pasca Persalinan selain menggunakan formulir yang sudah ada, juga menggunakan suatu formulir untuk mencatat hasil pemeriksaan  pada tata laksana terpadu masa nifas seperti formulir pencatatan MTBM, yaitu :

a.       Kartu Ibu atau rekam medis lainnya yang disimpan di fasilitas pelayanan kesehatan.

b.       Formulir Pemeriksaan Ibu Nifas

c.        Kohort Ibu 

d.       Buku KIA 

2.       Pencatatan Pelayanan Masa  Sesudah Melahirkan/Pasca Persalinan

Bagi Bayi Baru Lahir

a.       Formulir pencatatan bayi muda kurang dari 2 bulan (formulir

MTBM)

b.       Register rawat jalan bayi muda kurang dari 2 bulan 

c.        Register Kohort Bayi

d.       Buku KIA

Pencatatan-pencatatan tersebut harus diisi lengkap setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus disimpan dan dijaga dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya. Pada keadaan tertentu dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik.

Pelayanan Kunjungan nifas ke-4 pada bayi   tetap dicatat namun tidak dilaporkan karena tidak masuk dalam indikator kunjungan neonatal.

3.       Pelaporan

Pelaporan pelayanan masa sesudah melahirkan/pasca persalinan bagi ibu dan bayi baru lahir  menggunakan formulir pelaporan yang sudah ada, yaitu LB3 KIA dan LB3 KB.

 

Gambar Alur Pelaporan

 

 

Pada pelayanan pasca persalinan ke 4, ibu datang bersama dengan bayinya. Pelayanan pada ibu dan bayi dicatat menggunakan form yang ada dan dilaporkan menggunakan form LB3 KIA, kecuali pelayanan pasca persalinan bagi bayi baru lahir pada kunjungan ke 4 tidak dilaporkan karena tidak masuk dalam indikator. 

Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan pasca persalinan di wilayah kerja Puskesmas, melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan pascapersalinan setiap awal bulan ke Puskesmas atau disesuaikan dengan kebijakan daerah masing-masing. Puskesmas menghimpun laporan rekapitulasi dari tenaga kesehatan di wilayah kerjanya dan memasukkan ke dalam LB3 KIA dan KB untuk keperluan pengolahan dan analisais data serta pembuatan laporan PWS KIA. Hasil pengolahan dan analisis data dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Puskesmas untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan pasca persalinan serta digunakan untuk pertemuan dengan lintas sektor.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menghimpun hasil pengolahan dan analisis data dari seluruh Puskesmas di wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisis data serta pembuatan grafik PWS KIA tingkat kabupaten/kota setiap bulan. Hasil pengolahan dan analisis data dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi setiap bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan pasca persalinan.

Dinas Kesehatan Provinsi menghimpun hasil pengolahan dan analisis data dari seluruh kabupaten/kota di wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisis data di tingkat provinsi. Hasil pengolahan dan analisis data dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh dinas kesehatan provinsi untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu.

Lintas program yang terkait pelayanan pasca persalinan bertanggung jawab untuk melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan ke penanggung jawab program masing-masing secara berjenjang (dari Puskesmas sampai Pusat) dan memberikan tembusan ke penanggung jawab program KIA.

Pelaporan hasil pelayanan pasca persalinan dilakukan setiap bulan, dengan jadwal:

a.     Puskesmas memasukan data sampai tanggal 25 dan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota paling lambat tanggal 30 setiap bulan.

b.    Laporan dari Dinas Kesehatan Kab/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya, setiap bulan.

c.     Laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi ke pusat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, setiap bulan.

 

 

 

 

 

BAB IX

PENUTUP

 

Pelayanan Kesehatan Pada Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, dan Pelayanan Kesehatan Seksual sangat penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan ibu dan anak. Pelayanan kesehatan tersebut diberikan secara komprehensif dan berkualitas yang diberikan kepada sasarannya sehingga dapat mempersiapkan dan menjalani kehamilan yang sehat, bersalin dengan selamat, serta melahirkan bayi yang sehat. Setiap tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan yang komprehensif, agar dapat mendeteksi dini masalah dan penyakit serta melakukan tindak lanjut secara adekuat.

 

 

MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA,

                ttd.

 

BUDI G. SADIKIN

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN II

PERATURAN MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2021

TENTANG 

PENYELENGGARAAN PELAYANAN

KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL,

MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA

SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN

KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN

KESEHATAN SEKSUAL

 

 

PEDOMAN PELAYANAN KONTRASEPSI

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Setiap orang berhak untuk menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat sesuai dengan norma agama. Hak reproduksi perorangan sebagai bagian dari pengakuan akan hakhak asasi manusia yang diakui secara internasional dapat diartikan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab kepada diri, keluarga dan masyarakat mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan waktu kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.  

Dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga secara eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi. Pelayanan kontrasepsi merupakan bagian dari program Keluarga Berencana. Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.  Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak, dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi.  Pelayanan kontrasepsi adalah serangkaian kegiatan terkait dengan pemberian, pemasangan/pencabutan suatu metode kontrasepsi dan tindakan-tindakan lain dalam upaya mencegah kehamilan.

Dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kontrasepsi, pada lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada huruf N yaitu Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, disebutkan salah satu sub urusan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat adalah menyusun standarisasi pelayanan KB.  Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 tahun 2014 telah diatur tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, namun diperlukan revisi yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan program, diantaranya penyeragaman nama metode kontrasepsi sesuai hasil kesepakatan dengan pihak terkait, adaptasi pedoman-pedoman KB dari WHO, serta penyesuaian dengan Pedoman Standarisasi Pelayanan KB.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PERSYARATAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN YANG MEMBERIKAN PELAYANAN KONTRASEPSI

 

A.       Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), maka pelayanan kontrasepsi dapat diberikan pada Fasyankes tingkat dasar dan tingkat lanjut sebagai berikut:

a.      Tempat praktik mandiri tenaga kesehatan (praktik mandiri dokter/ dokter keluarga dan praktik mandiri bidan);

b.      Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas); 

c.      Klinik; 

d.      Rumah Sakit.

 

B.       Sumber Daya Manusia

Dalam menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi, tenaga kesehatan yang diperlukan di Fasyankes adalah dokter, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya yang terlatih dan memiliki kewenangan dalam melaksanakan pelayanan kontrasepsi. Tenaga yang diperlukan untuk pelayanan kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7: Tenaga Kesehatan Berdasarkan Metode Pelayanan Kontrasepsi

No

Pelayanan

Tenaga

1

Tubektomi

(minilaparatomi)

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan

 

2

Tubektomi laparoskopi oklusi tuba

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang terlatih

3

Vasektomi

Dokter Spesialis Urologi/ Dokter Spesialis Bedah/Dokter yang mendapat pelatihan untuk melayani vasektomi

4

AKDR

Dokter

Bidan yang telah mendapat pelatihan pemasangan dan pencabutan AKDR

5

Implan

Dokter

Bidan yang telah mendapat pelatihan pemasangan dan pencabutan implan

6

Kontrasepsi

Suntik

Progestin

Dokter

Bidan 

Perawat*

No

Pelayanan

Tenaga

7

Pil

Dokter

Bidan

Perawat*

8

Kondom

Dokter

Bidan

Perawat

Tenaga non Kesehatan

9

Konseling

Dokter

Bidan

Perawat

 

Ket: 

(*) Kewenangan diberikan berdasarkan pendelegasian sesuai dengan regulasi  yang berlaku

Untuk meningkatkan kualitas pemberian konseling maka tenaga kesehatan sebaiknya mendapatkan pelatihan Komunikasi Inter Personal

(KIP)/konseling menggunakan (ABPK) ber KB.

 

C.       Alat dan Obat Kontrasepsi

Pemerintah menyediakan berbagai pilihan alat dan obat kontrasepsi (alokon) agar setiap pasangan usia subur dapat dengan mudah dan aman memilih, memperoleh dan menggunakan alat dan obat kontrasepsi.

Adapun alokon yang tersedia sebagai berikut:

1.       Kondom;

2.       Pil Kombinasi;

3.       Kontrasepsi Suntik Progestin;

4.       Implan;

5.       Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) copper T  (CuT 380A);

6.       Alat dan obat kontrasepsi sesuai kebijakan pemerintah.

Selain jenis alokon yang disediakan oleh pemerintah (program), juga terdapat beberapa jenis alokon lainnya yang beredar di Indonesia, antara lain:

1.       Kontrasepsi Pil Progestin

2.       Suntik Kombinasi

3.       Implan I Batang 

4.       AKDR Levonorgestrel (AKDR-LNG)

5.       lainnya

Untuk mekanisme distribusi alokon yang disediakan oleh pemerintah ke Fasyankes diatur oleh Peraturan Kepala BKKBN. Contoh pemberian alokon program pada setiap kunjungan dapat dilihat dalam Tabel 8 di bawah ini:

 

Tabel 8: Contoh Pemberian Alat dan obat Obat Kontrasepsi pada setiap kunjungan

No

Jenis Kontrasepsi

Pemberian Per kunjungan

Jumlah

Waktu

1.

Kondom

1 lusin

2 bln

2.

Pil Kombinasi

1 strip

28 hari

3.

Kontrasepsi     Suntik     Progestin      (Depot

Medroksiprogesteron Asetat 150 mg/3ml)

1 vial

3 bln

4.

Implan (Levonogestrel 75 mg)

1 bh

3 tahun

5.

Alat Kontrasepsi Dalam Rahim copper CuT

380A (AKDR-Cu)

1 bh

 

*untuk jenis kontrasepsi, jumlah dan waktu pemberian dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk mendapatkan alokon program, maka Fasyankes yang memberikan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi agar mendaftarkan ke Organisasi Perangkat Daerah KB (OPD KB) kabupaten/kota setempat untuk mendapatkan nomor kode fasilitas kesehatan (K/0/KB). Selain mendapatkan alokon, fasyankes yang telah terdaftar di OPD KB akan mendapatkan sarana penunjang pelayanan KB, formulir pencatatan dan pelaporan KB termasuk informed consent (sesuai pelayanan yang diberikan) serta mendapatkan prioritas dalam pelatihan pelayanan kontrasepsi bagi tenaga kesehatan. Fasyankes yang telah terdaftar/teregistrasi di OPD KB wajib melaporkan hasil pelayanan KB termasuk pelayanan di jaringan dan jejaringnya setiap bulan sesuai peraturan yang berlaku.

D.     Pembiayaan

Pembiayaan pelayanan kontrasepsi dapat bersumber dari APBN, APBD atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembiayaan pelayanan kontrasepsi dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan mengenai standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan  program jaminan kesehatan.

 

BAB III

STANDARISASI PELAYANAN KONTRASEPSI

 

A.     Pra Pelayanan 

1.       Komunikasi, Informasi dan Edukasi

a.       Pelayanan KIE dilakukan di lapangan oleh tenaga penyuluh KB/PLKB dan kader serta tenaga kesehatan. Pelayanan KIE dapat dilakukan secara berkelompok ataupun perorangan.

b.       Tujuan untuk memberikan pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku terhadap perencanaan keluarga baik untuk menunda, menjarangkan/membatasi kelahiran melalui penggunaan kontrasepsi.

c.        KIE dapat dilakukan melalui pertemuan, kunjungan rumah dengan menggunakan/memanfaatkan media antara lain media cetak, media sosial, Mobil Unit Penerangan (MUPEN), dan Public Service Announcement (PSA).

d.       Penyampaian materi KIE disesuaikan dengan kearifan dan budaya lokal.

 

2.       Konseling 

Konseling dilakukan untuk memberikan berbagai masukan dalam metode kontrasepsi dan hal-hal yang dianggap perlu untuk diperhatikan dalam metode kontrasepsi yang menjadi pilihan klien berdasarkan tujuan reproduksinya. Konseling ini melihat lebih banyak pada kepentingan klien dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkannya. Tindakan konseling ini disebut sebagai informed choice. Petugas kesehatan wajib menghormati keputusan yang diambil oleh klien. 

Dalam memberikan konseling, khususnya bagi klien yang baru, hendaknya dapat diterapkan enam langkah yang sudah dikenal dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan SATU TUJU tersebut tidak perlu dilakukan secara berturut-turut karena petugas harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan klien. Beberapa klien membutuhkan lebih banyak perhatian pada langkah yang satu dibanding dengan langkah yang lainnya. Kata kunci SATU TUJU adalah sebagai berikut: 

a.       SA: SApa dan SAlam kepada klien secara terbuka dan sopan. Berikan perhatian sepenuhnya kepada mereka dan berbicara di tempat yang nyaman serta terjamin privasinya. Yakinkan klien untuk membangun rasa percaya diri. Tanyakan kepada klien apa yang perlu dibantu serta jelaskan tujuan dan manfaat dari pelayanan yang akan diperolehnya.

b.       T: Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya. Bantu klien untuk berbicara mengenai pengalaman Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, tujuan, kepentingan, harapan, serta keadaan kesehatan dan kehidupan keluarganya. Tanyakan kontrasepsi yang diinginkan oleh klien. Berikan perhatian kepada klien apa yang disampaikan sesuai dengan kata-kata, gerak isyarat dan caranya. Coba tempatkan diri kita di dalam hati klien. Perlihatkan bahwa kita memahami. Dengan memahami pengetahuan, kebutuhan dan keinginan klien, kita dapat membantunya.

c.        U: Uraikan kepada klien mengenai pilihannya dan beritahu apa pilihan reproduksi yang paling mungkin, termasuk pilihan beberapa jenis kontrasepsi. Bantulah klien pada jenis kontrasepsi yang paling dia inginkan, serta jelaskan pula jenisjenis kontrasepsi lain yang ada. Juga jelaskan alternatif kontrasepsi lain yang mungkin diingini oleh klien. Uraikan juga mengenai risiko penularan HIV-AIDS dan pilihan metode ganda.

d.       TU: BanTUlah klien menentukan pilihannya. Bantulah klien berfikir mengenai apa yang paling sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Doronglah klien untuk menunjukkan keinginannya dan mengajukan pertanyaan. Tanggapilah secara terbuka. Petugas membantu klien mempertimbangkan kriteria dan keinginan klien terhadap setiap jenis kontrasepsi. Tanyakan juga apakah pasangannya akan memberikan dukungan dengan pilihan tersebut. Jika memungkinkan diskusikan mengenai pilihan tersebut kepada pasangannya. Pada akhirnya yakinlah bahwa klien telah membuat suatu keputusan yang tepat. Petugas dapat menanyakan apakah Anda sudah memutuskan pilihan jenis kontrasepsi? Atau apa jenis kontrasepsi terpilih yang akan digunakan?

e.        J: Jelaskan secara lengkap bagaimana menggunakan kontrasepsi pilihannya. Setelah klien memilih jenis kontrasepsinya, jika diperlukan, perlihatkan alat/obat kontrasepsinya. Jelaskan alat/obat kontrasepsi tersebut digunakan dan bagaiamana cara penggunaannya. Sekali lagi doronglah klien untuk bertanya dan petugas menjawab secara jelas dan terbuka. Beri penjelasan juga tentang manfaat ganda metode kontrasepsi, misalnya kondom yang dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS). Cek pengetahuan klien tentang penggunaan kontrasepsi pilihannya dan puji klien apabila dapat menjawab dengan benar.

f.         U: Perlunya dilakukan kunjungan ulang. Bicarakan dan buatlah perjanjian kapan klien akan kembali untuk melakukan pemeriksaan lanjutan atau permintaan kontrasepsi jika dibutuhkan. Perlu juga selalu mengingatkan klien untuk kembali apabila terjadi suatu masalah.

Keputusan pemilihan kontrasepsi sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien. Keluarga Berencana merupakan program yang berfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak pertama (postponing), menjarangkan anak (spacing) atau membatasi (limiting) jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan kembalinya fase kesuburan (fecundity).

*Tidak termasuk sebagai Tindakan Pemberian pelayanan Kontrasepsi

Metode kontrasepsi berdasarkan kategori dalam program pemerintah serta masa perlindungan yang diberikan dibagi menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (non-MKJP). Selain itu kategori lain yang biasa digunakan yaitu kontrasepsi hormonal dan non-hormonal serta kontrasepsi modern dan tradisional. Untuk metode Sadar Masa Subur dan senggama terputus dalam hal ini tidak termasuk sebagai tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi.

 

Tabel 9 : Kategori Metode Kontrasepsi

 

No.

METODE

Masa perlindungan

Kandungan

Modern/

Tradisional

MKJP

Non MKJP

Hormo nal

Non-

Hormon al

Modern

Tradisio nal

1.

AKDR Copper T

 

 

 

2. 

AKDR LNG

 

 

 

3.

Implan

 

 

 

4.

Tubektomi

 

 

 

5.

Vasektomi

 

 

 

6.

Suntikan

 

 

 

7.

Pil

 

 

 

8.

Kondom

 

 

 

9.

Metode

Amenorhe

Laktasi (MAL)

 

 

 

10.

Sadar          Masa

Subur

 

 

 

11.

Senggama

Terputus

 

 

 

 

Dalam salah satu alat yang digunakan adalah Alat Bantu Pengambil Keputusan (ABPK) ber-KB yang merupakan lembar balik yang dapat membantu petugas melakukan konseling sesuai standar dengan adanya tanda pengingat mengenai keterampilan konseling yang perlu dilakukan dan informasi yang perlu diberikan disesuaikan dengan kebutuhan klien. ABPK mengajak klien bersikap lebih partisipatif dan membantu mengambil keputusan. ABPK juga mempunyai beberapa fungsi yaitu: 

a.       Membantu pengambilan keputusan metode kontrasepsi;

b.       Membantu pemecahan masalah dalam penggunaan kontrasepsi;

c.        Alat bantu kerja bagi provider (tenaga kesehatan);

d.       Menyediakan referensi/info teknis;

e.        Alat bantu visual untuk pelatihan provider (tenaga kesehatan) yang baru bertugas.

 

3.       Penapisan

Penapisan klien merupakan upaya untuk melakukan kajian tentang kondisi kesehatan klien dengan menggunakan alat bantu berupa diagram lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Kontrasepsi

(KLOP)

Kondisi kesehatan akan menentukan pilihan metode kontrasepsi yang diinginkan dan tepat untuk klien. Tujuan utama penapisan klien adalah:

a.       Ada atau tidak adanya kehamilan;

b.       Menentukan keadaan yang membutuhkan perhatian khusus misalnya menyusui atau tidak menyusui pada penggunaan KB pasca persalinan;

c.        Menentukan masalah kesehatan yang membutuhkan pengamatan dan pengelolaan lebih lanjut misalnya klien dengan HIV.

 

Klien tidak selalu memberikan informasi yang benar tentang kondisi kesehatannya, sehingga petugas kesehatan harus mengetahui bagaimana keadaan klien sebenarnya, bila diperlukan petugas dapat mengulangi pertanyaan yang berbeda. Perlu juga diperhitungkan masalah sosial, budaya atau agama yang mungkin berpengaruh terhadap respon klien tersebut termasuk pasangannya. Untuk sebagian besar klien bisa diselesaikan dengan cara anamnesis terarah, sehingga masalah utama dikenali atau kemungkinan hamil dapat dicegah. 

Beberapa metode kontrasepsi tidak membutuhkan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan panggul, kecuali AKDR, tubektomi, dan vasektomi dan pemeriksaan laboratorium untuk klien dilakukan apabila terdapat indikasi medis. 

 

4.       Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan 

Persetujuan tindakan tenaga kesehatan merupakan persetujuan tindakan yang menyatakan kesediaan dan kesiapan klien untuk berKB. Persetujuan tindakan medis secara tertulis diberikan untuk pelayanan kontrasepsi seperti suntik KB, AKDR, implan, tubektomi dan vasektomi, sedangkan untuk metode kontrasepsi pil dan kondom dapat diberikan persetujuan tindakan medis secara lisan. 

Setiap pelayanan kontrasepsi harus memperhatikan hak-hak reproduksi individu dan pasangannya, sehingga harus diawali dengan pemberian informasi yang lengkap, jujur dan benar tentang metode kontrasepsi yang akan digunakan oleh klien tersebut.

Penjelasan persetujuan tindakan tenaga kesehatan sekurangkurangnya mencakup beberapa hal berikut:

a.       Tata cara tindakan pelayanan;

b.       Tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;

c.        Alternatif tindakan lain;

d.       Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e.        Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

 

B.     Pelayanan Kontrasepsi

Menurut waktu pelaksanaannya, pelayanan kontrasepsi dilakukan pada:

1.       masa interval, yaitu pelayanan kontrasepsi yang dilakukan selain pada masa pascapersalinan dan pascakeguguran

2.       pascapersalinan, yaitu pada 0 - 42 hari sesudah melahirkan

3.       pascakeguguran, yaitu pada 0 - 14 hari sesudah keguguran

4.       pelayanan kontrasepsi darurat, yaitu dalam 3 hari sampai dengan 5 hari pascasenggama yang tidak terlindung dengan kontrasepsi yang tepat dan konsisten.

Tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi meliputi pemasangan atau pencabutan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), pemasangan atau pencabutan implan, pemberian suntik, pil, kondom, pelayanan tubektomi dan vasektomi serta pemberian konseling Metode Amenore Laktasi (MAL), dengan rincian sebagai berikut:

 

            1.     Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) copper T

a.       Jangka waktu pemakaian

Jangka waktu pemakaian berjangka panjang dapat hingga 10 tahun, serta sangat efektif dan bersifat reversibel.

b.       Batas usia pemakai

Dapat dipakai oleh perempuan pada usia reproduksi.

c.        Waktu Pemasangan

Waktu pemasangan AKDR copper T berdasarkan kondisi klien:

                                   1)     Memiliki siklus menstruasi teratur

a)       Jika klien mulai dalam 12 hari setelah permulaan menstruasinya maka tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika klien mulai lebih dari 12 hari setelah permulaan menstruasinya, klien dapat dipasang AKDR copper T kapan saja asal tidak hamil dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan. 

2)       Beralih dari metode lain

a)       Jika klien menggunakan metode secara konsisten dan benar atau jika sudah jelas klien tidak hamil maka AKDR copper T dapat segera digunakan. Tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan. 

b)       Jika klien beralih dari suntik maka klien dapat dipasang AKDR copper T saat suntik ulangan seharusnya diberikan dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.

3)       Segera setelah melahirkan 

a)       Kapan saja dalam 48 jam setelah melahirkan termasuk melahirkan dengan operasi caesar (pemberi pelayanan memerlukan pelatihan khusus untuk pemasangan AKDR copper T setelah melahirkan).

b)       Jika lebih dari 48 jam setelah melahirkan maka tunda hingga 4 minggu atau lebih setelah melahirkan. 

4)       Waktu pemasangan AKDR copper T berdasarkan kondisi menyusui atau tidak menyusui:

a)       ASI eksklusif atau hampir eksklusif

(1)      Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan:

(a)      Jika AKDR copper T tidak dipasang dalam 48 jam pertama setelah melahirkan dan belum menstruasi, AKDR copper T dapat dipasang kapanpun antara 4 minggu dan 6 bulan. Tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.

(b)      Jika telah menstruasi, AKDR copper T dapat dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur.

(2)      Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstruasi AKDR copper T dapat dipasang kapan saja sepanjang klien tidak hamil dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.

(b)      Jika telah menstruasi, AKDR copper T dapat dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur.

b)       ASI tidak eksklusif atau tidak menyusui:

Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan: 

(1)      Jika siklus menstruasi belum kembali AKDR copper T dapat dipasang dengan ketentuan telah dipastikan tidak hamil serta tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan. 

(2)      Jika siklus menstruasi telah kembali AKDR copper T dapat dipasang seperti yang dianjurkan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur.

5)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui): 

Klien dapat dipasang AKDR copper T kapan saja dengan ketentuan telah dipastikan tidak hamil serta tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.

6)       Setelah keguguran: 

a)       Segera, jika dilakukan pemasangan dalam 12 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan tidak ada infeksi. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika lebih dari 12 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan tidak ada infeksi, klien dapat dipasang kapanpun asal tidak hamil dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan. 

c)        Jika ada infeksi maka klien dibantu untuk memilih metode lain. AKDR copper T dapat dipasang bila infeksi telah teratasi.

d)       Pemasangan setelah keguguran trimester 2 memerlukan pelatihan spesifik atau menunggu hingga 4 minggu setelah keguguran.

 

7)       Setelah menggunakan pil kontrasepsi darurat

AKDR copper T dapat dipasang dalam hari yang sama dengan klien meminum pil, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

d.       Efektivitas 

Alat ini dapat efektif segera setelah pemasangan. Memiliki efektivitas tinggi berkisar 0,6-0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125-170 kehamilan). Metode jangka panjang hingga 10 tahun sehingga tidak perlu mengingat-ingat setiap hari seperti pada metode pil.

e.        Kembalinya kesuburan

Kembalinya kesuburan tinggi setelah AKDR copper T dilepas.

f.         Jenis 

AKDR copper T (CuT-380A) adalah suatu rangka dari plastik yang lentur dan berukuran kecil, berbentuk huruf T yang diselubungi oleh kawat halus yang terbuat dari tembaga (Cu) yang dipasang didalam rahim.  

g.        Cara kerja

1)       Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii.

2)       Mencegah sperma dan ovum bertemu, AKDR membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk melakukan fertilisasi.

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis AKDR Copper T aman dan efektif bagi hampir semua perempuan, termasuk perempuan yang :

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun

3)       Baru saja mengalami keguguran (jika tidak ada bukti terjadi infeksi)

4)       Sedang menyusui

5)       Melakukan pekerjaan fisik yang berat

6)       Pernah mengalami kehamilan ektopik

7)       Pernah mengalami Penyakit Radang Panggul (PRP)

8)       Menderita anemia

9)       Menderita penyakit klinis HIV ringan atau tanpa gejala baik sedang atau tidak dalam terapi antiretroviral 

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis

Biasanya, wanita dengan kondisi berikut sebaiknya tidak menggunakan AKDR Copper T : 

1)       Antara 48 jam dan 4 minggu pascapersalinan

2)       Penyakit trofoblas gestasional nonkanker (jinak)

3)       Menderita kanker ovarium

4)       Memiliki risiko individual sangat tinggi untuk IMS pada saat pemasangan

5)       Mengidap penyakit klinis HIV berat atau lanjut

6)       Menderita systemic lupus erythematosus dengan trombositopenia berat

Pada kondisi tersebut diatas, saat metode yang lebih sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan berkualifikasi yang dapat menilai kondisi dan situasi klien secara hati-hati dapat memutuskan bahwa klien dapat menggunakan AKDR Copper T pada kondisi tersebut diatas.  Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien, dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Penatatalaksanaan

Penatalaksanaan meliputi :

1)       Persiapan alat dan bahan untuk pemasangan/pencabutan AKDR copper T.

2)       Langkah – langkah pemasangan Pemasangan AKDR copper

T.

3)       Langkah – langkah Pencabutan AKDR copper T.

k.       Efek Samping dan Penanganan

Efek Samping

Penanganan

Menstruasi irregular/tidak teratur

1)    Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan pertama penggunaan.

2)    Pengobatan     jangka        pendek,     boleh

 

Efek Samping

Penanganan

 

diberikan NSAID seperti Ibuprofen diberikan 2x400 mg selama 5 hari atau indometasin diberikan 2x25 mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi.

3) Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. 

Menstruasi yang dan lama

banyak

1)   Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah penggunaan beberapa bulan.

2)   Pengobatan    jangka        pendek,    boleh diberikan:

         Asam traneksamat 3x500 mg selama 5 hari, dimulai sejak perdarahan berlangsung.

         Asam mefenamat 3X500 mg selama 5 hari

         Anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen diberikan 2x400 mg selama 5 hari atau indometasin diberikan 2x25 mg selama 5 hari. Anti inflamasi lainnya – kecuali aspirin- boleh digunakan.

 

 

3)

Sarankan untuk meminum obat penambah zat besi atau makanan yang mengandung zat besi untuk mencegah anemia.

 

 

4)

Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi.

  Kram         dan

nyeri perut

1)

Kram dan nyeri perut dapat dirasakan beberapa hari setelah insersi AKDR copper T.

 

Efek Samping

 

Penanganan

 

2)

Kram perut biasa terjadi dalam 3 sampai 6 bulan setelah penggunaan AKDR, khususnya saat menstruasi. Kondisi ini tidak berbahaya.

 

3)

Aspirin 500 mg, ibuprofen 400 mg, parasetamol 500-1000 mg atau penghilang nyeri lainnya. Aspirin tidak dapat digunakan jika ada perdarahan hebat.

Anemia

1)

Awasi klien dengan gejala anemia atau dengan Hb kurang dari 9 g/dl atau hematokrit kurang dari 30.

 

2)

Berikan preparat zat besi jika dibutuhkan.

 

3)

Jelaskan     pentingnya mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi.

Pasangan dapat merasakan benang AKDR copper T saat senggama

1)

2)

Jelaskan jika hal itu kadang terjadi jika benang dipotong kurang pendek.

Jika pasangan tetap merasa terganggu, maka:

       Benang dapat dipotong lebih pendek sehingga benang tidak keluar ke kanalis servikalis. Pasangan tidak akan dapat merasakan benang tetapi klien tidak akan bisa mengecek benang AKDR.

       Jika klien tetap ingin dapat mengecek benang AKDR, disarankan untuk memasang AKDR yang baru. 

(Untuk mencegah ketidaknyamanan, benang AKDR di potong 3 cm dari serviks)

Nyeri hebat di perut bawah (curiga penyakit

1)

Beberapa gejala penyakit radang panggul juga menyerupai gejala kehamilan ektopik. Jika kehamilan ektopik tidak terbukti, nilai sebagai penyakit radang panggul dan

Efek Samping

Penanganan

radang panggul)

berikan pengobatan yang tepat atau rujuk.

2)    Obati jika didapatkan gonore, clamidia dan infeksi bakteri anaerob. Sarankan menggunakan kondom untuk sementara.

3)    Tidak perlu mencabut AKDR jika klien tetap ingin memakainya. Jika AKDR ingin dicabut, lakukan setelah pemberian antibiotik.

 

l.         Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

Penanganan

Nyeri hebat di perut bawah

(curiga kehamilan

ektopik)  

1)   Waspadai gejala kehamilan ektopik karena dapat mengancam jiwa.

2)   Rujuk fasyankes tingkat lanjut.

Perforasi uteri

1) Jika perforasi dicurigai terjadi saat insersi, hentikan prosedur secepatnya (keluarkan AKDR jika telah dilakukan insersi). Observasi klien sebaikbaiknya:

         Satu jam pertama, klien harus bed rest dan cek tanda vital tiap 5 sampai 10 menit.

         Jika klien tetap stabil setelah 1 jam, cek tanda perdarahan intra-

abdomen seperti hematokrit rendah atau hemoglobin jika memungkinkan dan tanda vital. Observasi beberapa jam lagi, jika tidak ada tanda dan gejala, klien dapat pulang ke rumah tetapi hindari seks selama 2 minggu. Bantu klien untuk memilih metode lainnya.

 

Komplikasi

Penanganan

 

Jika didapatkan nadi cepat dan penurunan tekanan darah, nyeri baru atau peninngkatan intensitas nyeri sekitar uterus, segera rujuk.

2) Jika perforasi uteri dicurigai terjadi 6 minggu atau lebih setelah insersi, segera rujuk ke fasyankes tingkat lanjut

AKDR copper T keluar sebagian

(ekspulsi sebagian)

Keluarkan AKDR dan diskusikan dengan klien apakah tetap ingin menggunakan AKDR atau metode lainnya. (AKDR yang baru dapat langsung dipasang saat itu)

AKDR copper T keluar sempurna

(ekspulsi lengkap)

1)   Diskusikan dengan klien apakah tetap ingin menggunakan AKDR atau metode lainnya. (AKDR yang baru dapat langsung dipasang saat itu)

2)   Jika klien curiga terjadi ekspulsi lengkap tapi tidak tau kapan tepatnya terjadi, sarankan untuk melakukan xray atau USG untuk menilainya. Sarankan metode lain selama proses penilaian. 

AKDR patah

Rujuk ke fasyankes tingkat lanjut

Benang hilang

1)   Cek benang dengan prosedur medis yang aman. Sekitar setengah dari kasus hilang benang dapat ditemukan di kanalis servikalis.

2)   Jika benang tidak dapat ditemukan, pastikan tidak ada kehamilan sebelum melakukan tindakan invasif. Segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki USG.

Perdarahan pervaginam yang tidak dapat

1) Evaluasi riwayat sebelumnya dan lakukan pemeriksaan pelvis. Diagnosis dan obati dengan tepat. Bila tidak ada

Komplikasi

Penanganan

dijelaskan

       perbaikan     Rujuk     ke      Fasyankes

Tingkat Lanjut.

2)   AKDR tetap dapat digunakan selama proses evaluasi.

3)   Jika penyebabnya adalah penyakit radang panggul atau infeksi menular seksual, AKDR tetap dapat digunakan selama pengobatan.

Kehamilan

Jelaskan bahwa AKDR dapat mengancam kehamilan dan keluarkan AKDR segera selama benang AKDR masih terlihat.

Pada wanita yang hamil saat AKDR copper T masih terpasang dapat mengalami keguguran, kelahiran prematur atau

infeksi

Rujuk ke Fasyankes Tingkat Lanjut.

 

m.      Kriteria Rujukan

1)       Apabila SDM, sarana dan peralatan pelayanan AKDR copper T tidak tersedia dirujuk ke fasyankes lain yang memadai atau ke fasyankes tingkat lanjut.

2)       Apabila terdapat penyulit yang masuk dalam kriteria 3 WHO.

3)       Kontrol AKDR pascaplasenta dengan sectio caesaria atau AKDR dengan penyulit dapat dirujuk balik ke Fasyankes yang merujuk.

 

            2.     AKDR Levonorgestrel (AKDR LNG) 

a.       Jangka waktu pemakaian

Jangka waktu pemakaian berjangka panjang, efektif untuk pemakaian 5 tahun dan bersifat reversibel.

b.       Batas usia pemakai

Dapat dipakai oleh perempuan pada usia reproduksi.

c.        Waktu Pemasangan

1)       Pada kondisi menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal:

a)       Jika klien mulai dalam 7 hari setelah permulaan menstruasinya, maka tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika klien mulai lebih dari 7 hari setelah permulaan menstruasinya, klien dapat dipasang AKDR LNG kapan saja asal tidak hamil dan memerlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah pemasangan.

2)       Saat beralih dari metode hormonal: 

a)       Jika metode sebelumnya digunakan secara konsisten dan benar serta klien tidak hamil maka AKDR LNG dapat segera digunakan dan tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya.

b)       Jika klien beralih dari suntik maka AKDR LNG dapat dipasang saat suntik ulangan seharusnya diberikan dan tidak memerlukan metode kontrasepsi tambahan.

c)        Jika IUD LNG dipasang dalam 7 hari setelah permulaan menstruasi, tidak perlu metode kontrasepsi tambahan. 

d)       Jika dipasang lebih dari 7 hari setelah permulaan menstruasi, maka diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.

3)       Segera setelah melahirkan (tanpa memandang status menyusui):

a)       Dapat dipasang kapan saja dalam 48 jam setelah melahirkan, perlu pelatihan khusus.

b)       Jika lebih dari 48 jam, tunda hingga setidaknya 4 minggu setelah melahirkan.

4)       Berdasarkan kondisi menyusui atau tidak menyusui:

a)       ASI eksklusif atau hampir eksklusif :

(1) Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan

(a)      Jika AKDR LNG tidak dipasang dalam 48 jam pertama setelah melahirkan dan belum menstruasi, AKDR LNG dapat dipasang kapan saja antara 4 minggu dan 6 bulan. Tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.

(b)      Jika telah menstruasi, AKDR LNG dapat dipasang seperti yang dianjurkan kepada wanita dengan siklus mentruasi normal.

(2) Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan

(a)      Jika belum menstruasi maka AKDR LNG dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil dan memerlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah pemasangan.

(b)      Jika telah menstruasi maka pemasangan AKDR LNG sesuai dengan pemasangan pada siklus menstruasi teratur.

                                              b)           ASI tidak eksklusif atau tidak menyusui:

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan:  Jika AKDR LNG tidak dipasang dalam 48 jam pertama setelah melahirkan, maka pemasangan ditunda hingga 4 minggusetelah melahirkan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan: 

(a)      Jika siklus menstruasi belum kembali AKDR LNG dapat dipasang jika dapat dipastikan klien tidak hamil, namun memerlukan metode kontrasepsi tambahan hingga 7 hari pertama setelah pemasangan.

(b)      Jika siklus menstruasi telah kembali AKDR LNG dapat dipasang sesuai dengan siklus menstruasi teratur.

5)       Kondisi setelah keguguran: 

a)       Segera, jika dilakukan pemasangan dalam 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan jika tidak terjadi infeksi. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika lebih dari 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2 dan tidak terjadi infeksi, klien dapat dipasang kapanpun asal tidak hamil namun memerlukan metode kontrasepsi tambahan 7 hari pertama setelah pemasangan.

c)        Jika terjadi infeksi maka klien dibantu untuk memilih metode lain. Jika tetap akan menggunakan AKDR LNG maka dapat dipasang bila infeksi telah teratasi.

d)       Pemasangan AKDR LNG setelah keguguran trimester 2 memerlukan pelatihan khusus atau menunggu hingga 4 minggu setelah keguguran.

6)       Kondisi tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):  

Klien dapat dipasang AKDR LNG kapan saja asal tidak hamil dan memerlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah pemasangan.

7)       Kondisi setelah menggunakan pil kontrasepsi darurat: 

a)       AKDR LNG dapat dipasang dalam 7 hari setelah permulaan menstruasi berikutnya atau kapan saja asal tidak hamil. Berikan metode kontrasepsi tambahan atau kontrasepsi oral untuk digunakan mulai dari hari setelah selesai menggunakan pil darurat sampai dengan AKDR LNG dipasang.

b)       AKDR LNG seharusnya tidak dipasang dalam 6 hari pertama setelah minum pil kontrasepsi darurat karena kandungannya berinteraksi. Jika AKDR LNG dipasang lebih dulu, dan keduanya ada di dalam tubuh, satu atau keduanya mungkin menjadi kurang efektif.

d.       Efektivitas 

Kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita dalam 1 tahun pertama penggunaan AKDR LNG. Risiko kecil kehamilan masih berlanjut setelah tahun pertama pemakaian.  

e.        Kembalinya kesuburan

Kembalinya kesuburan tinggi setelah AKDR dilepas.

f.         Jenis

AKDR LNG adalah suatu alat berbahan plastik berbentuk T yang secara terus-menerus melepaskan sejumlah kecil levonogestrel setiap hari yaitu 20µg/hari yang dipasang dalam rahim.

 

 

g.        Cara kerja

1)       Mencegah terjadinya pembuahan dengan menghambat bertemunya ovum dan sperma.

2)       Menghambat motilitas sperma sehingga mengurangi jumlah sperma yang mencapai tuba fallopii.

3)       Menekan pertumbuhan lapisan uterus (endometrium).

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis AKDR LNG aman dan efektif bagi hampir semua perempuan, termasuk perempuan yang:

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan yang berumur lebih dari 40 tahun

3)       Baru saja mengalami keguguran (jika tidak ada bukti terjadi infeksi)

4)       Sedang menyusui

5)       Melakukan pekerjaan fisik yang berat

6)       Pernah mengalami kehamilan ektopik

7)       Pernah mengalami penyakit radang panggul (PRP)

8)       Menderita anemia

9)       Menderita penyakit klinis HIV ringan atau tanpa gejala baik dengan atau tanpa pengobatan antiretroviral

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis

Biasanya perempuan dengan kondisi berikut sebaiknya tidak menggunakan AKDR-LNG :

1)       Antara 48 jam dan 4 minggu pascapersalinan

2)       Penggumpalan darah vena dalam di kaki atau paru akut

3)       Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak muncul kembali

4)       Sirosis berat atau tumor hepar berat

5)       Penyakit tropoblas gestasional nonkanker (jinak)

6)       Menderita kanker ovarium

7)       Memiliki risiko individual sangat tinggi untuk IMS pada saat pemasangan

8)       Mengidap penyakit klinis HIV berat atau lanjut

9)       Menderita systemic lupus erythematosus dengan antibodi antifosfolipid positif (atau tidak diketahui), dan tidak dalam terapi imunosupresif.

Namun, pada kondisi khusus, saat metode yang lebih sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan berkualifikasi yang dapat menilai kondisi dan situasi klien secara hati-hati dapat memutuskan bahwa klien dapat menggunakan AKDR-LNG pada kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien, dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut

j.         Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pelayanan AKDR LNG meliputi :

1)       Persiapan alat dan bahan untuk pemasangan/pencabutan AKDR LNG.

2)       Langkah – langkah pemasangan Pemasangan AKDR LNG.

3)       Langkah – langkah Pencabutan AKDR LNG.

 

k.       Efek samping dan penatalaksanaan

Efek Samping

Penatalaksanaan

Perubahan           pola

menstruasi

1)   Menstruasi lebih sedikit atau lebih pendek

2)   Menstruasi jarang

3)   Menstruasi tidak teratur

4)   Tidak menstruasi

5)   Menstruasi memanjang

Dilakukan edukasi dengan menjelaskan bahwa perubahan menstruasi umumnya bukan tanda penyakit dan efek samping akan berkurang beberapa bulan pertama setelah pemasangan. Klien dapat kembali jika efek samping dirasakan sangat mengganggu.

Jerawat

Dilakukan edukasi dengan menjelaskan bahwa beberapa efek samping dapat terjadi dan umumnya berkurang beberapa bulan pertama setelah pemasangan. Klien dapat kembali jika

Nyeri Kepala

Nyeri atau nyeri tekan payudara

Mual

Efek Samping

Penatalaksanaan

Peningkatan          berat badan

efek samping dirasakan sangat mengganggu. Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan aspirin 500 mg, ibuprofen 400 mg, parasetamol (500 –

1000 mg)

Pusing

Perubahan     suasana

hati

 

l.         Komplikasi dan penanganan

Komplikasi

Penanganan

Tusukan (perforasi) pada dinding rahim oleh AKDR LNG yang digunakan pada pemasangan

1)   Jika perforasi dicurigai terjadi saat insersi, hentikan prosedur secepatnya (keluarkan AKDR jika telah dilakukan insersi). Observasi klien sebaikbaiknya:

         Satu jam pertama, klien harus bed rest dan cek tanda vital tiap 5 sampai 10 menit.

         Jika klien tetap stabil setelah 1 jam, cek tanda perdarahan intraabdomen seperti hematokrit rendah atau hemoglobin jika memungkinkan dan tanda vital. Observasi beberapa jam lagi, jika tidak ada tanda dan gejala, klien dapat pulang ke rumah tetapi hindari seks selama 2 minggu. Bantu klien untuk memilih metode lainnya.

         Jika didapatkan nadi cepat dan penurunan tekanan darah, nyeri baru atau peningkatan intensitas nyeri sekitar uterus, segera rujuk.

2)   Jika perforasi uteri dicurigai terjadi 6 minggu atau lebih setelah insersi, segera rujuk ke fasyankes tingkat lanjut

Komplikasi

Penanganan

Nyeri hebat perut bagian bawah

 

pada

3)   Bila dicurigai penyakit radang panggul, lakukan pengobatan sesegera mungkin, tidak perlu melepas AKDR jika klien tetap ingin menggunakannya. Jika infeksi tidak membaik, pertimbangkan untuk melepas AKDR dan sambil diberikan antibiotik. Lakukan pengawasan.

4)   Bila curiga kista ovarium, klien dapat melanjutkan menggunakan AKDR LNG selama evaluasi dan pengobatan, dilakukan pengobatan atau rujuk bila kista membesar dengan tidak normal, terpelintir atau pecah.

5)   Bila dicurigai kehamilan ektopik rujuk ke fasyankes tingkat lanjut. 

AKDR

sebagian seluruhnya

keluar atau

1)   Bila keluar sebagian, lepas AKDR, dapat dipasang kembali bila klien tidak hamil. Jika klien tidak ingin melanjutkan penggunaan AKDR, bantu memilih metode lain.

2)   Bila keluar seluruhnya atau benang tidak di temukan sedangkan klien tidak tahu apakah AKDR keluar atau tidak, rujuk untuk USG atau x-ray, sementara berikan metode kontrasepsi tambahan untuk klien.

Sangat jarang

         Keguguran

         Kelahiran prematur infeksi wanita yang menggunakan AKDR LNG

atau pada hamil sedang

Rujuk apabila fasilitas kesehatan tidak memungkinkan melakukan penanganan sesuai prosedur.

 

 

m.      Kriteria Rujukan

1)       Apabila SDM, sarana dan peralatan pelayanan AKDR LNG tidak tersedia dirujuk ke fasyankes lain yang memadai atau ke fasyankes tingkat lanjut.

2)       Apabila terdapat penyulit yang masuk dalam kriteria 3 WHO.

3)       Kontrol AKDR pasca plasenta dengan sectio caesaria atau AKDR dengan penyulit dapat dirujuk balik ke Fasyankes yang merujuk.

 

            3.     Implan

a.       Jangka waktu pemakaian

Implan merupakan metode kontrasepsi hormonal yang dipasang di bawah kulit, bersifat tidak permanen dan dapat mencegah terjadinya kehamilan selama 3 - 5 tahun.

b.       Batas usia pemakai

Implan dapat dipergunakan oleh wanita usia reproduktif.

c.        Waktu pemasangan

1)       Kondisi menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal:

Implan dapat dipasang setiap saat selama menstruasi atau di antara siklus menstruasi bila dipastikan tidak ada kehamilan. 

a)       Jika implan dipasang dalam 7 hari awal siklus menstruasi tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan. 

b)       Jika dipasang lebih dari 7 hari awal siklus menstruasi maka diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.

2)       Berganti dari metode hormonal lain

a)       Jika metode hormonal digunakan secara konsisten dan benar, atau yakin tidak hamil, implan dapat dipasang segera. Tidak perlu menunggu periode menstruasi berikutnya dan tidak perlu kontrasepsi tambahan.

b)       Jika metode sebelumnya adalah kontrasepsi suntik, implan harus dipasang ketika suntikan ulang seharusnya  diberikan. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

3)       Segera setelah melahirkan

a)       Menyusui eksklusif atau mendekati eksklusif:

(1)      Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan: 

(a)      Jika        belum      menstruasi,      implan        dapat dipasang kapan saja dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

(b)      Jika        telah      menstruasi,      implan        dapat dipasang sesuai siklus menstruasi teratur.

(2)      Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstruasi, implan dapat dipasang kapan saja jika dipastikan tidak hamil dan diperlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari setelah pemasangan.

(b)      Jika siklus menstruasi telah kembali, implan dapat dipasang sesuai anjuran pemasangan pada siklus menstruasi teratur. 

 

b)       Tidak menyusui:

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan, implan dapat dipasang. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan: 

(a)      Jika        belum      menstruasi,      implan        dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil dan diperlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari setelah pemasangan.

(b)      Jika siklus menstruasi telah kembali, implan dapat dipasang sesuai anjuran pemasangan pada siklus menstruasi teratur. 

4)       Setelah keguguran

a)       Implan dapat dipasang segera setelah keguguran. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan jika dipasang dalam 7 hari pasca keguguran.  

b)       Jika lebih dari 7 hari setelah keguguran, implan dapat dipasang asal tidak hamil dan diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.

5)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):

Implan dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemasangan.

6)       Setelah penggunaan kontrasepsi darurat:

a)       Implan dapat dipasangan pada hari yang sama dengsn penggunaan kontrasepsi darurat, namun perlu metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika tidaksegera memulai, namun masih ingin menggunakan implan maka implan dapat dipasang kapan saja asal tidak hamil. 

d.       Efektivitas 

Implan merupakan salah satu kontrasepsi yang memiliki efektifitas tinggi. Sangat kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita yang menggunakan implan selama tahun pertama (1 per 1.000 wanita). Kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita selama penggunaan implan. Tetap ada risiko rendah terjadinya kehamilan selama tahun pertama penggunaan dan selama menggunakan implan. Efektivitas berkurang pada wanita yang menggunakan obat yang meningkatkan produksi enzim hati misalnya anti epilepsi (fenobarbital, fenitoin, karbamazepin) dan antibiotika (rifampisin dan griseofulvin).

e.        Kembalinya kesuburan

Setelah implan dicabut maka kadar serum LNG dalam beberapa hari sudah menghilang. Kesuburan akan segera pulih seperti sebelum pemasangan implan. Dalam beberapa penelitian dilaporkan bahwa tidak ada efek jangka panjang pada kesuburan perempuan setelah penggunaan implan.

f.         Jenis 

Implan merupakan batang plastik yang lentur seukuran batang korek api yang melepaskan progestin yang menyerupai progesteron alami ditubuh wanita. Jenis implan yang tersedia adalah implan 2 batang Levonorgestrel 75 mg dan implan 1 batang Etonogestrel 68 mg. 

g.        Cara kerja

1)       Menghambat pelepasan sel telur dari ovarium (ovulasi).

2)       Mengentalkan lendir serviks (menghambat bertemunya sperma dan sel telur).

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan dapat menggunakan implan secara aman dan efektif termasuk perempuan yang :

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun

3)       Baru saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik

4)       Merokok, tanpa bergantng pada usia perempuan maupun jumlah rokok yang dihisap

5)       Sedang menyusui

6)       Menderita anemia atau riwayat anemia

7)       Menderita varises vena

8)       Terkena HIV, sedang atau dalam tidak dalam terapi antiretroviral

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis 

Perempuan dengan kondisi berikut sebaiknya tidak menggunakan implan :

1)       Penggumpalan darah akut pada vena dalam di kaki atau paru

2)       Perdarahan vaginal yang tidak dapat dijelaskan sebelum evaluasi terhadap kemungkinan kondisi serius yang mendasari

3)       Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh

4)       Sirosis hati atau tumor hati berat

5)       Systemic lupus erythematosus dengan antibodi antifosfolipid positif (atau tidak diketahui), dan tidak dalam terapi imunosupresif.

Namun, pada kondisi khusus, saat metode yang lebih sesuai tidak tersedia atau tidak dapat diterima oleh klien, penyedia layanan berkualifikasi akan memutuskan bila klien dapat menggunakan implan pada kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien, dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Penatalaksanaan  

Penatalaksanaan pelayanan kontrasepsi implan meliputi :

1)       Persiapan alat dan bahan pemasangan/pencabutan kontrasepsi implan.

2)       Pemasangan kontrasepsi implan.

3)       Pencabutan kontrasepsi implan.

k.       Efek Samping dan Penanganan

Efek Samping

Penanganan

Menstruasi irregular teratur)

(tidak

1)     Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah setahun pemasangan.

2)     Pengobatan jangka pendek, Ibuprofen diberikan3x800 mg selama 5 hari, atau asam mefenamat diberikan 3x500 mg, selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi.

3)     Jika obat diatas tidak membantu, dapat diberikan:

         Kontrasepsi pil kombinasi yang mengandung progestin levonorgestrel, diminum 1 pil sehari selama 21 hari.

         Ethynyl estradiol, diberikan 1 x50µg selama 21 hari.

4)     Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi.

Tidak menstruasi

ada

Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya.

Menstruasi yang banyak dan lama

1) Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan

 

Efek Samping

Penanganan

 

berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan.

2)     Pengobatan jangka pendek, Ibuprofen diberikan 3 x 800mg selama 5 hari, atau asam mefenamat diberikan 3x500mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. Kombinasi dengan kontrasepsi oral 50µg ethynyl estradiol dapat memberikan hasil lebih baik.

3)     Sarankan untuk meminum obat penambah zat besi untuk mencegah anemia.

4)     Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi.

Nyeri perut

Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya.

Jerawat

Jika klien ingin menghentikan implan karena jerawat, dapat dipertimbangkan penggantian metode kontrasepsi dengan kontrasepsi oral kombinasi.

Perubahan berat badan

Die

t dan konsul gizi.

Nyeri payudara

1)

Rekomendasikan            menggunakan

supportive bra (saat aktivitas dan tidur)

 

2)

Kompres panas atau dingin.

 

3)

Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya.

Perubahan mood dan hasrat

seksual

1)

Berikan dukungan yang sepantasnya jika perubahan tersebut mempengaruhi hubungan dengan

Efek Samping

 

Penanganan

 

 

pasangan.

 

2)

Jika terjadi perubahan mood (suasana hati) yang berat seperti depresi mayor, maka harus mendapatkan perawatan segera.

Nyeri setelah pemasangan atau pencabutan

1)

2)

Cek balutan pada lengan apakah terlalu ketat.

Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya.

 

l.         Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

Penanganan

Infeksi            pada

tempat insersi

1)   Jangan mencabut implant.

2)   Bersihkan area yang terinfeksi dengan sabun dan air atau antiseptic.

3)   Berikan antibiotik oral selama 7-10 hari, minta klien kembali jika antibiotik telah habis, dan jika tetap terjadi infeksi, cabut implan.

Ekspulsi

Tidak ada

Jika tidak ada infeksi, ganti kapsul melalui insisi baru dekat dengan kapsul lainnya atau sarankan untuk mengganti implan.

Nyeri hebat          di perut bawah

1)     Biasanya diakibatkan berbagai hal seperti pembesaran folikel ovarium atau kista.

2)     Klien dapat terus menggunakan implan selama penilaian.

3)     Tidak ada pengobatan khusus, dan biasanya        menghilang     dengan sendirinya.

4)     Jika dicurigai sebagai salah satu gejala kehamilan ektopik, dengan gejala lain

Komplikasi

Penanganan

 

berupa:

       Perdarahan pervaginam yang tidak normal, atau tidak menstruasi.

       Pusing.

       Lemas, pingsan.

5) Segera dirujuk ke Fasyankes tingkat lanjut.

Sakit           kepala

hebat

Implan segera dicabut.

 

m.      Kriteria Rujukan

1)       Apabila SDM, sarana dan peralatan pelayanan implan tidak tersedia dirujuk ke Fasyankes yang memadai atau ke Fasyankes tingkat lanjut. 

2)       Pencabutan implan dengan penyulit antara lain perlengketan atau kapsul implan tidak teraba.

 

            4.     Kontrasepsi Suntik Progestin (KSP)

a.       Jangka waktu pemakaian

Jangka waktu pemakaian adalah 2 bulan sekali untuk NET-EN dan 3 bulan sekali untuk DMPA.

b.       Batas usia pemakai

Dapat digunakan oleh wanita usia reproduksi.

c.        Waktu pemberian

1)       Menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal, kapanpun dapat diberikan pada bulan tersebut asalkan tidak hamil:

a)       Dalam 7 hari awal siklus menstruasi, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Setelah 7 hari awal siklus menstruasi, diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.

2)       Setelah melahirkan

a)       ASI Eksklusif atau hampir eksklusif

(1)      Kurang dari 6 minggu setelah melahirkan dan menyusui penuh: Tidak dianjurkan kecuali tidak tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima.

(2)      6 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan dan menstruasi belum kembali: Dapat diberikan kapan saja dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

(3)      Lebih dari 6 minggu setelah melahirkan dan siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.

                                              b)     ASI tidak eksklusif

(1)      Kurang dari 6 minggu setelah melahirkan: tunda pemberian suntikan, kecuali tidak tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima. 

(2)      Lebih dari 6 minggu setelah melahirkan:

(a)  Jika menstruasi belum kembali: Dapat diberikan asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.

(b)  Siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.

 

                                              c)     Tidak menyusui

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan Suntik dapat dapat diberikan kapan saja, tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan

(a)      Jika belum menstruasi, dapat memulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.

(b)      Jika        siklus       menstruasi telah       kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.

 

 

4)       Setelah keguguran

a)       Dapat diberikan segera setelah keguguran. Jika mulai menggunakan dalam 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika memulainya lebih dari 7 hari setelah keguguran, dapat diberikan kapan saja asal tidak hamil, namun perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntik.

5)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):

Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian suntik.

6)       Setelah pemakaian kontrasepsi darurat

a)       Klien dapat diberikan suntik pada hari yang sama dengan pemberian kontrasepsi darurat, tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya namun perlu menggunakan kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setalah suntikan.

b)       Jika tidak memulai segera, tetapi kembali untuk mendapatkan suntik, klien dapat memulai kapan saja asal tidak hamil.

d.       Efektivitas

Efektivitas KSP tergantung pada teratur tidaknya klien mendapat suntik. Risiko kehamilan akan meningkat bila klien melewatkan suatu suntikan. Pada penggunaan biasa, terjadi sekitar 4 kehamilan per 100 wanita yang menggunakan kontrasepsi suntik progestin pada tahun pertama. Ketika klien mendapat suntikan dengan tepat waktu, kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita yang menggunakan kontrasepsi suntik progestin pada tahun pertama penggunaan (2 per 1.000 wanita).

e.        Kembalinya kesuburan

Kembalinya kesuburan sekitar 4 bulan lebih lama untuk DMPA jika dibandingkan dengan hampir semua metode lain.


- 139 -

f.         Sediaan

Jenis yang tersedia adalah Depot Medroxyprogesterone acetate (DMPA): injeksi depo 150 mg/3 ml dan injeksi depo 150 mg/1 ml, yang diberikan secara IM setiap 3 bulan.

Terdapat juga kontrasepsi suntik progestin dengan kandungan norethindrone enanthate (NET–EN) yang diberikan secara IM setiap 2 bulan.

g.        Cara kerja

1)       Menekan ovulasi.

2)       Membuat lendir serviks menjadi kental sehingga penetrasi sperma terganggu.

3)       Perubahan pada endometrium berupa atrofi sehingga implantasi terganggu.

h.       Yang boleh menggunakan berdasaran kriteria kelayakan medis hampir semua perempuan dapat dengan aman dan efektif menggunakan KSP, termasuk perempuan yang:

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan berusia lebih dari 40 tahun

3)       Baru saja mengalami keguguran

4)       Merokok tanpa melihat usia wanita maupun jumlah rokok yang dihisap

5)       Sedang menyusui, mulai segera setelah 6 minggu setelah melahirkan

6)       Terkena HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral.

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasaran kriteria kelayakan medis

Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak memakai KSP

1)       Menyusui dan melahirkan kurang dari 6 minggu sejak melahirkan (pertimbangkan risiko kehamilan selanjutnya dan kemungkinan terbatasnya akses lanjutan untuk mendapatkan suntik)

2)       Tekanan darah sangat tinggi (tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih atau tekanan diastolik 100 mmHg atau lebih)

3)       Mengalami penggumpalan darah akut pada vena dalam di kaki atau paru

4)       Riwayat penyakit jantung atau sedang menderita penyakit jantung terkait obstruksi atau penyempitan pembuluh darah (penyakit jantung iskemik)

5)       Riwayat stroke

6)       Memiliki faktor risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri  seperti diabetes dan tekanan darah tinggi

7)       Mengalami perdarahan vaginal yang tidak diketahui sebelum evaluasi kemungkinan kondisi medis serius yang mendasari

8)       Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh

9)       Diabetes selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah arteri, penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes

10)    Menderita sirosis hati atau tumor hati

11)    Menderita systemic lupus erythematosus (SLE) dengan antibodi antifosfolipid positif (atau tidak diketahui) dan tidak dalam terapi imunosupresif, atau trombositopenia berat.

Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KSP dengan kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Penatalaksanaan 

                     Penatalaksanaan kontrasepsi suntik progestin meliputi :

1)       Persiapan alat dan bahan pelayanan kontrasepsi.

2)       Cara penyuntikan kontrasepsi.

 

 

 

 

k.       Efek Samping dan Penanganan

Efek Samping

                        Penanganan

Menstruasi irregular teratur)

(tidak

1)     Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan pasca pemasangan.

2)     Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan  asam mefenamat 2x500 mg selama 5 hari atau valdecoxib diberikan 1x40 mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi.

3)     Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi. 

Tidak menstruasi

ada

Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya.

Menstruasi yang banyak dan lama

1)     Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan.

2)     Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan asam mefenamat diberikan 3x500 mg selama 5 hari, atau valdecoxib diberikan 1x40 mg selama 5 hari atau ethynyl estradiol diberikan 1x50µg selama 21 hari dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. 

3)     Jika perdarahan mengancam kesehatan, sarankan untuk mengganti metode kontrasepsi.

4)     Sarankan untuk meminum obat penambah zat besi untuk mencegah anemia.

5)     Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang

Efek Samping

                        Penanganan

 

tidak    berhubungan       dengan kontrasepsi.

Kembung atau rasa tidak

nyaman di perut

Pertimbangkan solusi yang tersedia secara lokal.

Perubahan berat badan

Die

t dan konsul gizi.

Perubahan mood

(suasana hati) dan hasrat seksual

1)

Berikan dukungan yang sepantasnya jika    perubahan tersebut mempengaruhi     hubungan   dengan pasangan.

 

2)

Jika terjadi perubahan mood (suasana hati)  yang berat seperti depresi mayor, maka harus mendapatkan perawatan segera.

Nyeri kepala  biasa

1)

Aspirin 500 mg atau ibuprofen 400 mg atau parasetamol 500-1000 mg atau penghilang nyeri lainnya.

 

l.         Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

 

Penanganan

Perdarahan pervaginam yang tidak         dapat dijelaskan penyebabnya

2)

3)

Rujuk atau evaluasi riwayat sebelumnya dan lakukan pemeriksaan pelvis, diagnosis dan obati dengan tepat

Jika penyebab perdarahan tidak dapat ditemukan, ganti metode kontrasepsi (selain implan dan AKDR).

 

4)

Jika perdarahan disebabkan infeksi menular seksual atau penyakit radang panggul, klien tetap dapat melanjutkan metode ini.

Kondisi kesehatan yang serius

seperti

1)

2)

3)

Stop suntikan kontrasepsi.

Ganti metode kontrasepsi.

Rujuk ke Fasyankes tingkat lanjut.

Komplikasi

Penanganan

 

penyempitan pembuluh darah, penyakit hati yang berat, hipertensi yang berat,

penyumbatan vena di tungkai atau paru, stroke, kanker payudara atau kerusakan arteri penglihatan, ginjal atau system saraf pusat

karena diabetes

 

 

Curiga kehamilan

1)     Evaluasi kehamilan.

2)     Stop     suntikan     jika terkonfirmasi.

kehamilan

 

m.      Kriteria Rujukan

Pemberian kontrasepsi suntik dilakukan di fasyankes tingkat dasar sehingga tidak memerlukan rujukan. Rujukan dilakukan apabila terjadi komplikasi yang tidak dapat ditangani pada fasyankes tingkat dasar.

 

           5.     Kontrasepsi Suntik Kombinasi (KSK) 

a.       Jangka waktu pemakaian

Jangka waktu pemakaian adalah 1 bulan sekali.

b.       Batas usia pemakai

Dapat digunakan oleh wanita usia reproduksi.

c.        Waktu Pemberian

1) Menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal, kapanpun dapat diberikan pada bulan tersebut asalkan tidak hamil:

a)        Dalam 7 hari awal siklus menstruasi, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Setelah 7 hari awal siklus menstruasi, diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.

c)        Jika berganti dari AKDR, dapat segera mulai menggunakan KSK.

2)       Setelah melahirkan

a)        Asi eksklusif atau hampir eksklusif

(1)      Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan: Tunda suntik sampai dengan 6 bulan setelah melahirkan.

(2)      Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstruasi, dapat dimulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu motode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.

(b)      Jika telah menstruasi pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur. 

b)       ASI tidak eksklusif

(1)      Kurang dari 6 minggu setelah melahirkan: tunda pemberian suntikan, kecuali tidak tersedia metode lain yang lebih tepat atau tidak dapat diterima. 

(2)      Lebih dari 6 minggu setelah melahirkan:

(a)      Jika menstruasi belum kembali: Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian.

(b)      Siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.

c)        Tidak menyusui

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan Suntik dapat mulai digunakan kapanpun antara hari ke 21 – 28 setelah melahirkan, tidak perlu metode kontrasepsi tambahan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan

(a)      Jika belum menstruasi, dapat memulai kapan saja asal tidak hamil. Perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntikan.

(b)      Jika siklus menstruasi telah kembali: Pemberian disarankan seperti pada kondisi dengan siklus menstruasi teratur.

 

3)       Setelah keguguran

a)        Dapat diberikan segera setelah keguguran. Jika mulai menggunakan dalam 7 hari setelah keguguran trimester 1 atau 2, tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Jika memulainya lebih dari 7 hari setelah keguguran, dapat diberikan kapan saja asal tidak hamil, namun perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setelah suntik.

4)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui):

Dapat diberikan kapan saja asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah pemberian suntik.

5)       Setelah pemakaian kontrasepsi darurat

a)        Klien dapat diberikan suntik pada hari yang sama dengan pemberian kontrasepsi darurat, tidak perlu menunggu menstruasi berikutnya namun perlu menggunakan kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama setalah suntikan.

b)       Jika tidak memulai segera, tetapi kembali untuk mendapatkan suntik, klien dapat memulai kapan saja asal tidak hamil.

d.       Efektivitas

Sangat efektif (0,3 kehamilan per 100 perempuan) selama tahun pertama penggunaan bila pemberian tepat waktu. Efektivitas berkurang jika digunakan dengan obat epilepsi dan tuberkulosis.

 

e.        Kembalinya kesuburan 

Kehamilan dapat terjadi rata-rata lima bulan setelah suntikan dihentikan, 1 bulan lebih lama dibanding metode yang lain.

f.         Sediaan

1)       Sediaan yang terdiri dari kombinasi 25 mg Depot Medroksiprogesteron Asetat dan 5 mg Estradiol sipinoat yang diberikan IM /bulan.

2)       Sediaan yang mengandung 50 mg Norentindron Enantat dan 5 mg Estradiol Valerat yang diberikan injeksi IM/bulan.

g.        Cara kerja

1)       Menekan ovulasi,

2)       Membuat lender serviks menjadi kental sehingga penetrasi sperma terganggu.

3)       Perubahan pada endometrium berupa atrofi sehingga implantasi terganggu.

4)       Penghambatan transportasi gamet oleh tuba.

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan dapat dengan aman dan efektif menggunakan KSK, termasuk perempuan yang:

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan berusia lebih dari 40 tahun

3)       Baru saja mengalami abortus atau keguguran

4)       Merokok berapa pun jumlah batang rokok yang dihisap per hari dan berumur kurang dari 35 tahun

5)       Merokok kurang dari 15 batang per hari dan berumur lebih dari 35 tahun

6)       Anemia atau mempunyai riwayat anemia.

7)       Menderita varises vena.

8)       Terkena HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Krteria Kelayakan

Medis

Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak memakai KSK

1)       Tidak menyusui dan melahirkan kurang dari 3 minggu, tanpa risiko tambahan terbentuknya penggumpalan darah di vena dalam (TVD – Trombosis Vena Dalam)

2)       Tidak menyusui dan melahirkan antara 3 dan 6 minggu pasca persalinan dengan risiko tambahan yang memungkinkan terbentuknya TVD

3)       Sedang menyusui antara 6 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan

4)       Usia 35 tahun atau lebih dan merokok lebih dari 15 batang per hari

5)       Tekanan darah tinggi tekanan sistolik ≥160 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 100 mmHg

6)       Penyakit infeksi atau tumor hati berat

7)       Usia 35 tahun atau lebih dengan sakit kepala migrain tanpa  aura

8)       Usia kurang dari 35 tahun dengan sakit kepala migrain yang telah muncul atau memberat saat memakai KSK

9)       Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak muncul kembali

10)    Diabetes selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah arteri, penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes

11)    Faktor risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri seperti usia tua, merokok, diabetes, dan tekanan darah tinggi

12)    Sedang dalam terapi lamotrigine. KSK dapat mengurangi efektivitas lamotrigin

Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KSK dengan kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Penatalaksanaan 

                   Penatalaksanaan Kontrasepsi Suntik Kombinasi meliputi:

1)       Persiapan alat dan bahan untuk pelayanan kontrasepsi. 

2)       Cara penyuntikan kontrasepsi.

 

k.       Efek samping

Efek samping yang umum terjadi antara lain amenore, mual, pusing, dan perdarahan pervaginam.

Efek Samping

Penanganan

Menstruasi irregular teratur)

(tidak

1)     Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan pasca pemasangan.

2)     Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan  asam mefenamat 2x500mg selama 5 hari atau valdecoxib diberikan 1x40mg selama 5 hari, dimulai sejak kondisi tersebut terjadi.

3)     Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi.

Tidak menstruasi

ada

Yakinkan klien jika kondisi ini tidak berbahaya.

Menstruasi yang banyak dan lama

1)    Yakinkan klien jika kondisi tersebut tidak berbahaya dan biasanya akan berkurang atau berhenti setelah beberapa bulan.

2)    Pengobatan jangka pendek, boleh diberikan  asam mefenamat diberikan 3x500mg selama 5 hari, atau valdecoxib diberikan 1x40 mg selama 5 hari atau ethynyl estradiol diberikan 1x50µg selama 21 hari dimulai sejak kondisi tersebut terjadi. 

3)    Jika perdarahan mengancam kesehatan, sarankan untuk mengganti metode kontrasepsi.

4)    Sarankan      untuk         meminum   obat

Efek Samping

Penanganan

 

penambah zat besi untuk mencegah anemia.

5) Jika kondisi ini terus berlangsung, pertimbangkan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kontrasepsi.

Kembung atau rasa tidak

nyaman di perut

Pertimbangkan solusi yang tersedia secara local.

Perubahan berat badan

Die

t dan konsul gizi.

Perubahan mood

(suasana hati) dan hasrat seksual

1)

Berikan dukungan yang sepantasnya jika    perubahan tersebut mempengaruhi     hubungan   dengan pasangan.

 

2)

Jika terjadi perubahan mood (suasana hati)  yang berat seperti depresi mayor, maka harus mendapatkan perawatan segera.

Nyeri kepala  biasa

1)

Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 500-1000mg atau penghilang nyeri lainnya.

 

l.         Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

Penanganan

Perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya

2)     Rujuk ke fasyankes tingkat lanjut atau evaluasi riwayat sebelumnya dan lakukan pemeriksaan pelvis, diagnosis dan obati dengan tepat.

3)     Jika penyebab perdarahan tidak dapat ditemukan, ganti metode kontrasepsi

(selain implan dan AKDR)

4)     Jika perdarahan disebabkan infeksi menular seksual atau penyakit radang panggul, klien tetap dapat

Komplikasi

Penanganan

 

melanjutkan metode ini.

Kondisi kesehatan yang serius

seperti penyempitan pembuluh darah, penyakit hati yang berat, hipertensi yang berat,

penyumbatan vena di tungkai atau paru, stroke, kanker payudara atau kerusakan arteri penglihatan, ginjal atau system saraf pusat

karena diabetes

5)     Stop suntikan kontrasepsi.

6)     Ganti metode kontrasepsi.

7)     Rujuk ke Fasyankes tingkat lanjut.

Curiga kehamilan

Evaluasi kehamilan.

Stop suntikan     jika    kehamilan terkonfirmasi.

 

m.      Kriteria Rujukan

1)       Apabila prasarana dan peralatan pada Fasyankes tingkat dasar tidak memadai untuk menangani efek samping atau komplikasi.

2)       Apabila terjadi komplikasi dan telah dilakukan penanganan di Fasyankes tingkat dasar tetapi komplikasi tidak teratasi atau makin memberat maka dilakukan rujukan ke fasyankes tingkat lanjut.

 

           6.     Kontrasepsi Pil Kombinasi (KPK)

a.       Jangka waktu pemakaian

Pil kombinasi harus diminum setiap hari. 

b.       Batas usia pemakai

Dapat dipakai pada semua wanita usia reproduktif.

c.        Waktu Pemberian

1)       Menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal

a)        Dalam 5 hari setelah dimulainya pendarahan menstruasi, dapat dimulai. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Lebih dari 5 hari sejak dimulainya pendarahan menstruasi, dapat dimulai asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 pertama setelah memulai penggunaan.

2)       Setelah melahirkan 

a)        ASI eksklusif atau hampir eksklusif

(1)      Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan

 Klien dapat mulai menggunakan 6 bulan setelah melahirkan atau ketika ASI tidak lagi menjadi sumber nutrisi utama bayi. 

(2)      Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan

(a)      Jika belum menstruasi dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil, perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil.

(b)      Jika belum menstruasi klien dapat mulai menggunakan seperti yang dianjurkan pada klien yang memiliki siklus menastruasi teratur. 

b)       ASI tidak eksklusif

(1)      Kurang dari 6 minggu setelah melahirkan:

(a)      KPK dapat dimulai 6 minggu setelah melahirkan.

(b)      Jika klien belum menstruasi, berikan metode kontrasepsi tambahan selama periode hingga 6 minggu setelah melahirkan. 

(2)      Lebih dari 6 minggu setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil namun diperlikan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil. 

(b)      Jika telah menstruasi, mulai menggunakan KPK sesuai anjuran pada klien yang memiliki siklus menstruasi teratur.

                                             c)     Tidak menyusui

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan:

 KPK dapat digunakan hari ke 21 – 28 setelah melahirkan dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil namun diperlikan metode kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil. 

(b)      Jika telah menstruasi, mulai menggunakan KPK sesuai anjuran pada klien yang memiliki siklus menstruasi teratur.

3)       Pasca keguguran

KPK dapat dimulai dalam 7 hari setalah keguguran, tidak perlu kontrasepsi tambahan. Bila dimulai lebih dari 7 hari setalah keguguran maka yakinkan tidak hamil dan diperlukan kontrasepsi tambahan untuk 7 hari pertama minum pil. 

4)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui)

KPK dapat dimulai setiap saat asalkan tidak hamil dan perlu menggunakan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah memulai penggunaan.

5)       Beralih dari metode hormonal lain

a)        Jika metode hormonal digunakan secara konsisten dan benar atau jika tidak hamil, KPK dapat segera dimulai dan tidak perlu menunggu periode menstruasi berikutnya.

b)        Jika metode sebelumnya adalah kontrasepsi suntik, KPK harus dimulai ketika suntikan ulang seharusnya diberikan. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

 

d.       Efektivitas 

Efektivitas pil kombinasi tergantung pada klien. Kehamilan terjadi sekitar 7 dari 100 klien pada penggunaan secara biasa di tahun pertama. Efektivitas akan meningkat bila tidak ada kekeliruan dalam meminum pil kombinasi yang dilakukan pada waktu tang sama yaitu kurang dari 1 kehamilan per 100 wanita. 

e.        Kembalinya kesuburan

Tingkat kesuburan akan segera kembali bila penggunaan pil dihentikan.

f.         Jenis

Jenis yang tersedia di program adalah pil kombinasi monofasik yaitu yang mengandung levonorgestrel 150 µg dan etinilestradiol 30 µg. Disamping itu terdapat jenis lain yaitu bifasik, trifasik dan kuadrifasik

g.        Cara kerja

1)       Menekan ovulasi

2)       Lendir serviks mengental sehingga sulit dilalui sperma

3)       Pergerakan tuba terganggu sehingga transportasi telur juga terganggu

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan dapat menggunakan KPK secara aman dan efektif, termasuk perempuan yang :

1)       Telah atau belum memiliki anak

2)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun

3)       Setelah melahirkan dan selama menyusui, setelah periode waktu tertentu.

4)       Baru saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik

5)       Merokok – jika usia di bawah 35 tahun

6)       Menderita anemia atau riwayat anemia

7)       Menderita varises vena

8)       Terkena HIV, sedang atau tidak dalam terapi antiretroviral

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis 

Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak memakai KPK:

1)       Tidak menyusui dan kurang dari 3 minggu setelah melahirkan, tanpa risiko tambahan kemungkinan terjadinya penggumpalan darah pada vena dalam (TVD)

2)       Tidak menyusui dan antara 3 hingga 6 minggu pascapersalinan dengan risiko tambahan kemungkinan terjadinya TVD

3)       Terutama menyusui antara 6 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan

4)       Usia 35 tahun atau lebih dan merokok kurang dari 15 batang per hari

5)       Tekanan darah tinggi (tekanan sistolik ≥ 140 atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg)

6)       Riwayat tekanan darah tinggi, dan tekanan darah tidak dapat diukur (termasuk tekanan darah tinggi terkait kehamilan)

7)       Riwayat jaundis saat menggunakan KPK sebelumnya

8)       Penyakit kandung empedu (sedang atau diobati secara medis)

9)       Usia 35 tahun atau lebih dengan sakit kepala migrain tanpa aura

10)    Usia kurang dari 35 tahun dengan sakit kepala migrain tanpa aura yang muncul atau memberat ketika menggunakan KPK

11)    Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh

12)    Diabetes selama lebih dari 20 tahun atau mengalami kerusakan pembuluh darah, penglihatan, ginjal, atau sistem saraf karena diabetes

13)    Faktor risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular arteri seperti usia tua, merokok, diabetes, dan tekanan darah tinggi

14)    Sedang dalam terapi barbiturat, carbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin, primidone, topiramate, rifampisin, atau rifabutin. Sebaiknya memakai metode kontrasepsi tambahan karena obat-obatan tersebut mengurangi efektivitas KPK.

15)    Sedang dalam terapi lamotrigin. KPK dapat mengurangi efektivitas lamotrigin.

Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan terpercaya akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KPK dengan kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Efek Samping dan Penanganan

Efek Samping

 

Penanganan

Menstruasi tidak teratur atau perdarahan

pervaginam

1)

2)

Minum pil setiap hari pada jam yang sama.

Ibuprofen 3 x 800 mg selama 5 hari.

 

3)

NSAID.

 

4)

Bila perdarahan tidak berhenti sarankan menggunakan metode kontrasepsi lain.

Tidak menstruasi

1)

Lakukan konseling bahwa terkadang setelah pemakaian kontrasepsi pil menstruasi menjadi tidak teratur dan bahkan tidak menstruasi.

 

2)

Pastikan pil diminum setiap hari.

 

3)

Pastikan klien tidak hamil.

Sakit       kepala       biasa

(bukan migraine)

1)

Aspirin 500 mg atau ibuprofen

400 mg atau parasetamol 5001000 mg.

 

2)

Bila sakit kepala berlanjut maka konseling untuk memilih kontrasepsi jenis lain.

Mual atau pusing

Untuk mengatasi mual minum pil menjelang tidur atau saat makan.

Payudara nyeri

1) Sarankan        menggunakan      bra

Efek Samping

 

Penanganan

 

 

yang sesuai baik saat aktivitas ataupun

 

2)

Tidur.

 

3)

Kompres hangat atau dingin.

 

4)

Aspirin 500 mg atau ibuprofen

400 mg atau parasetamol 5001000 mg atau penghilang nyeri lainnya.

Perubahan berat badan

1)

Evaluasi pola makan dan konsul

 

2)

gizi bila perlu.

Perubahan mood dan

aktivitas seksual

 

Lakukan konseling bila keluhan berlanjut   sarankan    memilih kontrasepsi lain.

Jerawat

1)

Jerawat      umumnya   timbul bersamaan dengan penggunaan pil.

 

2)

Bila klien telah menggunakan pil kombinasi selama beberapa bulan dan jerawat tetap ada maka berikan pil dengan kombinasi lain jika ada atau sarankan memilih kontrasepsi jenis lain.

Gastritis

1)

Pil diminum setelah makan

 

2)

Jika diperlukan dapat diberikan antasida.

 

k.       Komplikasi dan Penanganan

Jarang ditemukan komplikasi.

l.         Kriteria Rujukan

Pemberian kontrasepsi pil dilakukan di Fasyankes tingkat dasar sehingga tidak memerlukan rujukan. 

 

           7.     Kontrasepsi Pil Progestin (KPP)

a.       Jangka waktu pemakaian

Pil harus diminum setiap hari. 

b.       Batas usia pemakai

Dapat dipakai pada semua wanita usia reproduktif.

c.        Waktu pemberian

1)       Menstruasi teratur atau berganti dari metode non hormonal

a)        Dalam 5 hari setelah permulaan menstruasi, dapat dimulai dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

b)       Lebih dari 5 hari sejak permulaan menstruasi, dapat dimulai asalkan tidak hamil. Diperlukan metode kontrasepsi tambahan selama 7 pertama setelah memulai penggunaan.

2)       Setelah melahirkan 

a)        ASI eksklusif atau hampir eksklusif

(1)      Kurang dari 6 bulan setelah melahirkan

 Klien dapat mulai memulai pil kapan saja sesudah melahirkan dan tidak memerlukan metode kontrasepsi  tambahan. 

(2)      Lebih dari 6 bulan setelah melahirkan

(a)      Jika belum menstruasi dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil, perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil.

(b)      Jika belum menstruasi klien dapat mulai menggunakan seperti yang dianjurkan pada klien yang memiliki siklus menastruasi teratur. 

b)       ASI tidak eksklusif

(1)      Jika belum menstruasi, KPP dapat dimulai kapan saja asal tidak hamil, namun perlu metode kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil. 

(2)      Jika klien belum menstruasi, anjurkan seperti klien yang memiliki siklus menstruasi teratur. 

c)        Tidak menyusui

(1)      Kurang dari 4 minggu setelah melahirkan: KPP dapat dimulai kapan saja dan tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

(2)      Lebih dari 4 minggu setelah melahirkan:

(a)      Jika belum menstrusi, dapat digunakan kapan saja asal tidak hamil namun diperlukan metode kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil. 

(b)      Jika telah menstruasi, mulai menggunakan KPK sesuai anjuran pada klien yang memiliki siklus menstruasi teratur.

3)       Pasca keguguran

KPP dapat dimulai dalam 7 hari setalah keguguran, tidak perlu kontrasepsi tambahan. Bila dimulai lebih dari 7 hari setalah keguguran maka yakinkan tidak hamil dan diperlukan kontrasepsi tambahan untuk 2 hari pertama minum pil. 

4)       Tidak menstruasi (tidak berhubungan dengan melahirkan atau menyusui)

KPK dapat dimulai setiap saat asalkan tidak hamil dan perlu menggunakan metode kontrasepsi tambahan selama 7 hari pertama setelah memulai penggunaan.

5)       Beralih dari metode hormonal lain

a)        Jika metode hormonal digunakan secara konsisten dan benar atau jika tidak hamil, KPK dapat segera dimulai dan tidak perlu menunggu periode menstruasi berikutnya.

b)       Jika metode sebelumnya adalah kontrasepsi suntik, KPK harus dimulai ketika suntikan ulang seharusnya diberikan. Tidak diperlukan metode kontrasepsi tambahan.

 

d.       Efektivitas 

Pada wanita menyusui, terjadi sekitar 1 kehamilan per 100 wanita pada tahun pertama, sedangkan pada wanita yang tidak menyusui jika penggunaan biasa terjadi sekitar 7 hingga 10 kehamilan per 100 wanita. Penggunaan setiap hari pada waktu yang sama akan dapat meningkatkan efektifitas. 

e.        Kembalinya kesuburan

Tingkat kesuburan akan segera kembali bila penggunaan pil dihentikan.

f.         Jenis

Jenis yang tersedia adalah:

1)       0,5 mg lynestrenol dengan kemasan 28 pil

2)       300 µg levonorgestrel atau 350 µg norethindrone dengan kemasan 35 pil

g.        Cara kerja

1)       Menekan sekresi gonadotropin dan sintesis steroid seks di ovarium.

2)       Endometrium mengalami transformasi lebih awal sehingga implantasi lebih sulit.

3)       Lender serviks mengental sehingga menghambat penetrasi sperma.

4)       Pergerakan tuba terganggu sehingga transportasi telur dan sperma juga terganggu.

h.       Yang boleh menggunakan berdasarkn Kriteria Kelayakan Medis Hampir semua perempuan dapat menggunakan KPP secara aman dan efektif termasuk perempuan yang:

1)       Sedang menyusui (dapat mulai segera setelah 6 minggu melahirkan)

2)       Telah atau belum memiliki anak

3)       Perempuan usia reproduksi, termasuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun

4)       Baru saja mengalami keguguran, atau kehamilan ektopik

5)       Merokok, tanpa melihat usia perempuan maupun jumlah rokok yang dihisap

6)       Menderita anemia atau riwayat anemia

7)       Menderita varises vena

8)       Terkena HIV, sedang atau tidak sedang dalam terapi antiretroviral

i.         Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan kriteria kelayakan medis 

Perempuan dengan kondisi di bawah ini sebaiknya tidak memakai KPP :

1)       Mengalami penggumpalan darah akut pada vena dalam

(trombosis vena dalam) di kaki atau paru

2)       Menderita kanker payudara lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tidak kambuh

3)       Menderita sirosis hati atau tumor hati berat

4)       Menderita systemic lupus erythematosus (SLE) dengan antibodi antifosfolipid positif (atau tidak diketahui)

5)       Sedang dalam terapi barbiturat, carbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin, primidone, topiramate, rifampisin, atau rifabutin. Sebaiknya memakai metode kontrasepsi tambahan karena obat-obatan tersebut mengurangi efektivitas KPP.

Pada kondisi tersebut diatas, saat tidak ada kontrasepsi lain yang lebih sesuai atau tidak dapat diterima klien, penyedia layanan akan memutuskan bila klien dapat menggunakan KPP dengan kondisi tersebut diatas. Penyedia layanan perlu mempertimbangkan seberapa berat kondisi klien dan pada kebanyakan kondisi apakah klien mempunyai akses untuk tindak lanjut.

j.         Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Kontrasepsi Pil progestin meliputi cara dan waktu konsumsi pil serta apabila terjadi lupa minum pil.

k.       Efek Samping

Efek Samping

Penanganan

Menstruasi tidak teratur atau

perdarahan pervaginam

1)   Minum pil setiap hari pada jam yang sama.

2)   Ibuprofen 3 x 800mg selama 5 hari.

3)   NSAID.

4)   Bila perdarahan tidak berhenti sarankan menggunakan metode kontrasepsi lain.

Tidak menstruasi

1)   Lakukan konseling bahwa terkadang setelah pemakaian kontrasepsi pil menstruasi menjadi tidak teratur dan bahkan tidak menstruasi.

2)   Pastikan pil diminum setiap hari.

Efek Samping

Penanganan

 

3) Pastikan klien tidak hamil.

Sakit      kepala      biasa

(bukan migraine)

1)   Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 5001000mg.

2)   Bila sakit kepala berlanjut maka konseling untuk memilih kontrasepsi jenis lain.

Mual atau pusing

Untuk mengatasi mual minum pil menjelang tidur atau saat makan.

Payudara nyeri

1)   Sarankan menggunakan bra yang sesuai baik saat aktivitas ataupun tidur.

2)   Kompres hangat atau dingin.

3)   Aspirin 500mg atau ibuprofen 400mg atau parasetamol 5001000 mg.

Perubahan berat badan

1)     Evaluasi pola makan dan konsul.

2)     gizi bila perlu.

Perubahan mood dan

aktivitas seksual

 

Lakukan konseling bila keluhan berlanjut    sarankan    memilih kontrasepsi lain. 

Jerawat

1)   Jerawat umumnya timbul bersamaan dengan penggunaan pil.

2)   Bila klien telah menggunakan pil progestin selama beberapa bulan dan jerawat tetap ada maka berikan pil dengan kombinasi lain jika ada atau sarankan memilih kontrasepsi jenis lain.

Gastritis

1)   Pil diminum setelah makan.

2)   Jika diperlukan dapat diberikan antasida.

 

 

l.         Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

Penanganan

Amenorea

 

Lakukan anamnesis dan periksaan untuk menentukan kehamilan. Apabila klien hamil maka pil segera dihentikan. Amenorea dapat terjadi karena efek hormonal. 

Mual,          muntah dan pusing

 

Apabila klien tidak hamil maka sarankan untuk minum pil saat makan atau sebelum tidur.

Perdarahan pervaginam

Dilakukan konseling untuk meminum pil pada waktu yang sama dan jelaskan bahwa perdarahan umum terjadi pada 3 bulan pertama dan akan segera berhenti. Bila perdarahan tetap terjadi maka sarankan untuk mengganti metode kontrasepsi.

 

m.      Kriteria Rujukan

1)    Apabila SDM, dan kontrasepsi pil tidak tersedia di rujuk ke Fasyankes yang memadai.

2)    Apabila prasarana dan peralatan di Fasyankes tingkat dasar tidak memadai untuk menangani komplikasi

3)    Apabila terjadi komplikasi dan telah dilakukan penanganan di Fasyankes tingkat dasar tetapi komplikasi tidak teratasi atau makin memberat maka dilakukan rujukan ke

Fasyankes tingkat lanjut. 

8.       Kondom

a.       Batas usia pemakai

Dapat dipakai pada semua laki-laki usia reproduktif.

b.       Waktu pemakaian

Digunakan setiap kali berhubungan seksual.

c.        Efektivitas 

Kondom memiliki efektivitas baik apabila dipakai dengan baik dan benar pada setiap kali berhubungan seksual. Secara ilmiah angka kegagalan kondom yaitu 2-12 kehamilan per 100 perempuan per tahun.

d.       Jenis 

Jenis kondom yang tersedia antara lain kondom biasa, berkontur, beraroma dan tidak beraroma.

e.        Cara kerja

Kondom menghalangi terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dengan cara menampung sperma di ujung selubung karet yang dipasang pada penis sehingga sperma tidak tercurah ke saluran reproduksi perempuan.

f.         Kriteria Kelayakan Medis 

Semua pria dapat secara aman menggunakan kondom pria kecuali mereka dengan reaksi alergi berat terhadap karet lateks

g.        Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kondom meliputi cara penggunaan kondom.

h.       Efek Samping dan Penanganan

Efek Samping 

Penanganan

Kondom      rusak          atau diperkirakan bocor (sebelum berhubungan)

Buang dan pakai kondom baru atau gunakan kondom dan spermisida.

Kondom bocor atau dicurigai ada curahan di vagina saat berhubungan

Pertimbangkan penggunaan kontrasepsi  darurat.

Reaksi alergi

1)    Ganti metode kontrasepsi atau jika tersedia gunakan kondom yang terbuat dari lamb skin atau gut.

2)    Terapi alerginya jika mengganggu.

Mengurangi          kenikmatan hubungan seksual

Gunakan kondom yang lebih tipis atau anjurkan metode kontrasepsi lain.

 

i.         Komplikasi dan Penanganan Tidak ada komplikasi.

j.         Kriteria Rujukan

Pemberian kondom dilakukan di Fasyankes tingkat dasar sehingga tidak memerlukan rujukan. 

9.       Metode Amenore Laktasi (MAL)

a.       Profil

MAL adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif, artinya hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan ataupun minuman apa pun lainnya. MAL dapat dipakai sebagai kontrasepsi bila:

1)       Ibu belum menstruasi; 

2)       Bayi harus disusui ASI secara penuh atau mendekati penuh dan sering disusui siang dan malam.;  3) umur bayi kurang dari 6 bulan.

b.       Cara kerja

Penundaan/penekanan ovulasi.

c.        Efektivitas

Efektivitas tergantung pada pengguna. Risiko terbesar terjadi kehamilan terjadi ketika wanita tidak dapat memberikan ASI penuh atau mendekati penuh bagi bayinya. Pada penggunaan biasa terjadi 2 kehamilan dari 100 wanita yang menggunakan MAL pada 6 bulan pertama setelah melahirkan. Efektivitas meningkat bila digunakan secara konsisten dan benar.

d.       Kriteria Kelayakan Medis

Semua perempuan menyusui dapat secara aman menggunakan MAL,

tetapi perempuan dengan kondisi berikut mungkin ingin mempertimbangkan metode kontrasepsi lain :

1)       Terinfeksi HIV 

2)       Menggunakan obat-obat tertentu selama menyusui (termasuk obat yang mengubah suasana hati, reserpin, ergotamin, anti-metabolit, siklosporin, kortikosteroid dosis tinggi, bromokriptin, obat-obat radioaktif, lithium, dan antikoagulan tertentu)

3)       Bayi baru lahir memiliki kondisi yang membuatnya sulit untuk menyusu (termasuk kecil masa kehamilan atau prematur dan membutuhkan perawatan neonatus intensif, tidak mampu mencerna makanan secara normal, atau memiliki deformitas pada mulut, rahang, atau palatum)

e.        Keterbatasan

Perlu persiapan sejak perawatan kehamilan, sulit dilaksanakan karena kondisi sosial, efektivitas selama masih memberikan ASI eksklusif. MAL dapat digunakan hanya sampai kembalinya menstruasi atau sampai dengan 6 bulan, kemudian harus dilanjutkan dengan pemakaian metode kontrasepsi lainnya.

 

10. Tubektomi

Tubektomi merupakan metode kontrasepsi melalui prosedur bedah untuk perempuan yang tidak ingin hamil lagi.

a.       Batas usia 

Tindakan dapat dilakukan pada wanita usia reproduksi.

b.       Efektivitas 

Efektivitasnya terkait dengan teknik tubektominya. Metode dengan efektivitas tertinggi adalah tubektomi minilaparotomi pasca persalinan. Pada tahun pertama penggunaan terjadi kurang dari 1 kehamilan per 100 (5 per 1000) perempuan, sedangkan setelah 10 tahun penggunaan terjadi sekitar 2 kehamilan per 100 perempuan (18-19 per 1000 perempuan).

c.        Kembalinya kesuburan

Metode kontrasepsi ini bersifat permanen, hanya dapat dikembalikan dengan prosedur operasi rekanalisasi.

d.       Jenis

1.     Minilaparotomi

2.     Laparoskopi

3.     Tubektomi yang dilakukan bersamaan dengan operasi caesar

4.     Tubektomi yang dilakukan post partum spontan

 

 

e.        Cara kerja

Cara kerjanya adalah dengan mengoklusi tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum.

f.         Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Yang dapat menjalani tubektomi :

1)       Perempuan yang sudah memiliki anak >2

2)       Perempuan yang sudah memiliki jumlah anak ≤ 2, usia anak terkecil minimal diatas 2 tahun

3)       Perempuan yang pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius

4)       Perempuan yang paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini

5)       Pascapersalinan/pasca keguguran

g.        Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis

Kondisi berikut sebaiknya tidak menjalani tubektomi :

1)       Perempuan dengan perdarahan pervaginam yang belum terjelaskan

2)       Perempuan dengan infeksi sistemik atau pelvik yang akut

3)       Perempuan yang kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas dimasa depan

4)       Perempuan yang belum memberikan persetujuan tertulis

h.       Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pelayanan tubektomi meliputi :

1)       Persiapan sarana, alat dan bahan

2)       Langkah-langkah (prosedur) pelayanan tubektomi

i.         Efek Samping dan Penanganan Tidak ada efek samping.

j.         Komplikasi dan Penanganan

Efek Samping

Penanganan

Infeksi 

Dapat diberikan antibiotik dan bila terdapat abses dapat dilakukan drainase.

Demam pasca operasi

Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.

Luka pada kandung kemih

atau intestinal

Dilakukan konsultasi dan penanganan luka. 

Hematoma

Gunakan packs yang hangat dan lembab

Emboli gas

Resusitasi dan tatalaksana emboli

Nyeri         pada          lokasi

pembedahan

Tatalaksana sesuai dengan derajat nyeri dan pastikan apakah ada infeksI

Perdarahan superfisial

Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan temuan.

 

k.       Kriteria Rujukan

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) maka prosedur ini hanya dilakukan pada Fasyankes tingkat lanjut.

 

11. Vasektomi

Vasektomi merupakan metode kontrasepsi melalui suatu sayatan kecil pada skrotum untuk lelaki yang tidak menginginkan anak lagi. Metode ini memerlukan suatu sayatan kecil pada skrotum sehigga pemberian konseling dan informed consent mutlak diperlukan.

a.       Batas usia pemakai

Vasektomi dapat dilakukan pada laki-laki usia subur.

b.       Efektivitas 

1)       Risiko kehamilan istri setelah suami menjalani vasektomi adalah 1 dari 2.000 pria yang telah mengalami azospermia setelah vasektomi atau PVSA menunjukkan sperma tidak bergerak (rare non-motile sperm / RNMS).

2)       Pada kondisi tidak dapat dilakukan analisis sperma dengan masih adanya sperma pada ejakulat atau tidak patuh menggunakan kondom hingga 20 kali ejakulasi maka kehamilan terjadi pada 2-3 per 100 perempuan pada tahun pertama penggunaan. 

3)       Tindakan vasektomi ulang terkadang diperlukan pada ≤ 1 % vasektomi.

c.        Kembalinya kesuburan

Reversal vasectomi dan teknik pengambilan sperma ditambah fertilisasi in vitro (bayi tabung) dapat menjadi pilihan pasangan untuk mendapatkan kembali kesuburan. Hal–hal tersebut tidak selalu berhasil dan memiliki biaya tinggi.

d.       Cara kerja

Mengikat dan memotong setiap saluran vas deferens sehingga sperma tidak bercampur dengan semen. Semen dikeluarkan, tetapi tidak dapat menyebabkan kehamilan. 

e.        Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Dengan konseling dan informed consent yang tepat, semua pria dapat menjalani vasektomi secara aman. Termasuk pria yang :

1)       Sudah memiliki jumlah anak > 2 

2)       Sudah memiliki jumlah anak ≤ 2, usia anak terkecil minimal diatas 2 tahun

3)       Mempunyai istri usia reproduksi 

4)       Menderita penyakit sel sabit

5)       Berisiko tinggi terinfeksi HIV atau IMS lainnya

6)       Terinfeksi HIV, sedang dalam pengobatan antiretroviral atau tidak

 

f.         Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pelayanan vasektomi meliputi :

1)       Persiapan sarana, alat dan bahan.

2)       Langkah-langkah (prosedur) pelayanan vasektomi.

g.        Efek Samping dan Penanganan Tidak ada efek samping.

h.       Komplikasi dan Penanganan

Komplikasi

 

Penanganan

Saat dilakukan anastesi

 

Reaksi hipersensitivitas

1)

Pemberian anestesi lokal secara perlahan-lahan dengan dosis sesuai berat badan.

 

2)

Bila terjadi penyulit seperti diatas, lakukan langkah tindakan:

         Hentikan pemberian anestesi

         Baringkan klien dalam posisi Trendelenburg dengansudut miring tidak melebihi 15°.

         Evaluasi tanda-tanda vital. Jaga agar saluran napas tetapterbuka, jika ada sumbatan harus dibersihkan dan pasang spatel lidah, beri oksigen dengan tekanan gas serendah mungkin dan harus dimonitor dengan gas meter. 

 

3)

Reaksi alergi biasanya responsif terhadap pemberian antihistamin. Reaksi yang lebih hebat mungkin memerlukan glukokortikoid sistemik seperti metilprednisolon atau

 

Komplikasi

Penanganan

 

deksametason.

Penyulit pada sistem kardiovaskular,

misalnya     aritmia, depresi miokard, atau hipotensi, dan fibrilasi ventikula.

 

Aritmia jantung akan mereda setelah beberapa waktu bila hemodinamik dapat dipertahankan. Untuk aritmia dengan curah jantung yang minimal atau pada kasus asystole, diperlukan resusitasi jantung paru. Hipotensi diatasi dengan pemberian cairan, vasokonstriktor perifer seperti fenilefrin. Klien ditidurkan dalam posisi mendatar dengan tungkai diangkat 30-40 cm. Bila curah jantung menurun, berikan juga inotropik seperti dopamine.

Penyulit pada susunan saraf pusat, misalnya rasa ringan kepala, rasa metalik pada mulut, rasa kaku pada lidah dan bibir, ucapan tak jelas atau tinnitus.

Keracunan SSP oleh anestesi lokal diperberat oleh hiperkarbia. Cara mengatasinya diberikan diazepam i.v.(0,1 mg/kg) atau  tiopental (2 mg/kg) untuk mengatasi kejang

Pada Saat Tindakan

Jika pemberian larutan anestesi tidak cukup/tepat maka akan menimbulkan rangsangan peritonium dengan gejala nyeri, mual, muntah, sampai syok.

Tambahkan anestesi, tetapi tidak melebihi dosis maksimal.

 

 

Dapat terjadi perdarahan yang berlebihan.

Perdarahan berlebih hal ini dapat dicegah dan diatasi dengan cara hemostatis yang cermat.

Pasca Tindakan

Infeksi

Jika       luka       basah,       kompres

 

Komplikasi

Penanganan

 

(menggunakan zat yang tidak merangsang), jika luka kering gunakan salep antiseptik.

Hematoma

 

Jika perdarahan tidak terlalu progresif, penanganan cukup dengan cara konservatif yakni dikompres menggunakan es batu. Jika perdarahan progresif, maka harus dioperasi dan jika tidak dapat ditangani, segera Rujuk.

Granuloma sperma

 

1)   Edukasi untuk tidak ejakulasi selama 1 minggu pasca prosedur untuk pencegahan granuloma sperma

2)   Bila      asimptomatik    dilakukan observasi

3)   Bila nyeri dapat diberikan analgetik. Bila rasa nyeri persisten dapat dilakukan eksisi sperma granuloma dan mengikat kembali vas deferens.

 

Penyumbatan pembuluh darah (blood clot)

 

1)

2)

Biasanya akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu.

Jika penyumbatan besar akan membutuhkan     penanganan bedah, segera Rujuk.

Abses

1)

Lakukan prosedur antiseptik.

 

2)

Drainase abses.

 

3)

Berikan antibiotik selama 7-10 hari.

 

4)

Jika   terjadi         sepsis,          segera dirujuk.

Nyeri yang berlangsung lebih dari 1 bulan

1)

Disarankan untuk menggunakan pakaian dalam yang dapat

Komplikasi

Penanganan

 

menyangga skrotum.

2)     Dikompres dengan air hangat.

3)     Boleh diberikan antinyeri.

4)     Jika tidak ada perbaikan, segera

Rujuk.

Jangka Panjang

 

Antibodi sperma

 

Terbentuk jika spermatozoa masuk ke dalam jaringan. Sampai saat ini tidak ditemui penyulit yang disebabkan antibodi sperma.

Rekanalisasi spontan

Melakukan kembali VTP, lakukan interposisi yakni dibuat barier vasia antara puntung testikuler dan puntung abdominal.

 

i.         Kriteria Rujukan

Apabila SDM, sarana dan peralatan pelayanan vasektomi tidak tersedia maka dirujuk ke fasyankes yang memadai atau fasyankes tingkat lanjut. 

 

12. Sadar Masa Subur

a.       Profil

Efektif bila dipakai dengan tertib, klien harus belajar mengetahui kapan masa suburnya berlangsung. Dapat menggunakan metode kalender yaitu mengetahui masa subur dengan mencatat hari dari siklus menstruasi, atau melalui  pengamatan tanda kesuburan melalui metode lendir serviks, atau metode suhu basal. 

b.      Cara kerja

Pasangan secara sukarela menghindari sanggama pada masa subur klien.

c.       Keuntungan/Manfaat

Tidak ada efek samping atau risiko kesehatan serta tanpa biaya 

d.      Efektivitas

Efektivitas tergantung dari kemauan dan disiplin pasangan,

Risiko terbesar kehamilan terjadi ketika pasangan senggama

tanpa menggunakan metode lain. Pada pengguna biasa terjadi sekitar 25 kehamilan dari 100 wanita yang menggunakan metode ini pada tahun pertama. Efektifitas meningkat apabila digunakan secara konsisten dan benar.

e.       Kriteria Kelayakan Medis

1) Kriteria Kelayakan Medis untuk Metode Berbasis Kalender

Semua perempuan dapat menggunakan metode berbasis kalender. Tidak ada kondisi medis yang menghalangi penggunaan metode ini, namun beberapa kondisi dapat membuat metode ini lebih sulit untuk digunakan secara efektif.

Hati-hati: konseling tambahan atau khusus mungkin dibutuhkan untuk memastikan penggunaan yang tepat dari metode ini.

Tunda: penggunaan seharusnya ditunda hingga kondisi dievaluasi atau diperbaiki. Berikan klien metode lain untuk digunakan hingga klien dapat mulai metode berbasis kalender.

 

Pada situasi berikut gunakan hati-hati dengan metode berbasis kalender:

Siklus menstruasi yang tidak teratur (Ketidakteraturan siklus menstruasi umum terjadi pada perempuan muda pada beberapa tahun pertama setelah menstruasi pertama dan pada perempuan yang lebih tua yang mendekati menopause. Mengidentifikasi masa subur mungkin sulit.)

 

Pada situasi berikut Tunda dalam memulai penggunaan metode berbasis kalender:

a)        Baru saja melahirkan atau sedang menyusui (Tunda hingga klien mendapat minimal 3 siklus menstruasi dan siklusnya teratur lagi. Untuk beberapa bulan setelah siklus yang teratur kembali, gunakan dengan perhatian.)

b)       Baru saja mengalami keguguran (Tunda hingga permulaan menstruasi bulan berikutnya)

c)        Perdarahan vagina yang tidak teratur (Tunda hingga siklusnya menjadi lebih teratur)

Pada situasi berikut Tunda atau gunakan dengan Hatihati metode berbasis kalender:

Menggunakan obat yang membuat siklus menstruasi menjadi tidak teratur (contohnya, antidepresan tertentu, medikasi tiroid, penggunaan antibiotik tertentu dalam jangka panjang, atau penggunaan obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) dalam jangka panjang seperti aspirin atau ibuprofen)

 

                                  2)   Kriteria Kelayakan Medis untuk Metode Berbasis Gejala:

Semua perempuan dapat menggunakan metode berbasis gejala. Tidak ada kondisi medis yang menghalangi penggunaan metode ini, namun beberapa kondisi dapat membuat metode ini lebih sulit untuk digunakan secara efektif

Pada situasi berikut gunakan Hati-hati dengan metode berbasis gejala:

a)        Baru saja mengalami aborsi atau keguguran

b)       Siklus menstruasi baru saja dimulai atau menjadi kurang teratur atau berhenti karena usia yang lebih tua (Ketidakteraturan siklus menstruasi umum terjadi pada perempuan muda di beberapa tahun pertama setelah menstruasi pertamanya dan pada perempuan yang lebih tua yang mendekati menopause.

Mengidentifikasi masa subur mungkin sulit.)

c)        Kondisi kronis yang meningkatkan suhu tubuh klien

(untuk metode suhu tubuh basal dan simptotermal)

 

Pada situasi berikut Tunda dalam memulai penggunaan metode berbasis gejala:

a)        Baru saja melahirkan atau sedang menyusui (Tunda hingga sekresi normal kembali biasanya minimal 6 bulan setelah melahirkan untuk perempuan menyusui dan minimal 4 minggu setelah melahirkan untuk perempuan yang tidak menyusui. Untuk beberapa bulan setelah siklus kembali teratur, gunakan

perhatian.)

b)       Kondisi akut yang meningkatkan suhu tubuh (untuk metode suhu tubuh basal dan symptothermal) Pada situasi berikut Tunda atau gunakan dengan Hatihati metode berbasis gejala:

Menggunakan obat apapun yang mengubah sekresi serviks, contohnya antihistamin, atau obat yang meningkatkan suhu tubuh, contohnya antibiotik.

 

                       f.     Keterbatasan

Pada metode kalender harus mencatat siklus menstruasi dan lebih efektif bila digunakan pada klien yang memiliki siklus menstruasi yang teratur, sedangkan pada metode suhu basal tergantung pada kondisi kesehatan klien.

 

13.    Sanggama terputus

a.       Profil

Metode kontrasepsi tradisional, dimana pria mengeluarkan alat kelamin (penis) nya dari vagina sebelum mencapai ejakulasi 

b.      Cara kerja

Alat kelamin (penis) dikeluarkan sebelum ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina sehingga tidak ada pertemuan antara sperma dan ovum dan kehamilan dapat dicegah

c.       Keuntungan/manfaat

Tidak ada efek samping atau risiko kesehatan serta tanpa biaya.

d.      Efektivitas

Efektivitas tergantung dari kemauan dan disiplin pasangan, Pada pengguna biasa terjadi sekitar 27 kehamilan dari 100 wanita yang menggunakan metode ini pada tahun pertama. Efektifitas meningkat apabila digunakan secara konsisten dan benar.

e.       Yang boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan Medis Semua pria dapat melakukan metode senggama terputus. Tidak ada kondisi medis yang dapat menghalangi penggunaan metode ini.

Senggama terputus dapat dipakai untuk :

1)       Tidak mempunyai metode lain

2)       Jarang berhubungan seksual

3)       Keberatan menggunakan metode lain

4)       Pasangan yang memerlukan kontrasepsi dengan segera

5)       Pasangan yang memerlukan metode sambil menunggu metode yang lain

f.        Yang tidak boleh menggunakan berdasarkan Kriteria Kelayakan

Medis

Senggama terputus tidak dapat dipakai untuk :

1)       Pria dengan pengalaman ejakulasi dini

2)       Pria yang sulit melakukan senggama terputus

g.       Keterbatasan

Efektivitas sangat bergantung pada kesediaan pasangan untuk melakukan sanggama terputus setiap melaksanakannya, memutus kenikmatan dalam berhubungan seksual

 

14.    Pelayanan Kontrasepsi Darurat

Kontrasepsi darurat digunakan dalam 5 hari pascasanggama yang tidak terlindung dengan kontrasepsi yang tepat dan konsisten. 

                       a.     Jenis kontrasepsi darurat

1)       Pil kontrasepsi darurat

Pil Kontrasepsi Darurat membantu mencegah kehamilan bila diminum dalam jangka waktu 5 hari setelah hubungan seksual tanpa perlindungan. Semakin cepat diminum setelah hubungan seksual, semakin baik.

2)       AKDR copper T

Metode ini sangat efektif untuk mencegah kehamilan. Metode ini dapat dipakai dalam 5 hari pasca senggama yang tidak terlindung sebagai kontrasepsi darurat.

                       b.     Indikasi kontrasepsi darurat

1)       Perkosaan

2)       Senggama tanpa menggunakan kontrasepsi

3)       Penggunaan kontrasepsi yang tidak tepat dan tidak konsisten:

a)        Kondom tidak digunakan dengan benar, terlepas atau bocor

b)       Diafragma pecah, robek atau diangkat terlalu cepat;

c)        Salah hitung masa subur;

d)       Gagal putus senggama karena terlanjur ejakulasi;

e)        Ekspulsi AKDR;  

f)         Lupa minum 3 (tiga) atau lebih pil kombinasi atau baru mulai minum kontrasepsi pil kombinasi 3 (tiga) hari atau lebih setelah selesai menstruasi;

g)        Terlambat lebih dari 1 (satu) minggu untuk suntik KB yang setiap bulan; dan/atau

h)       Terlambat lebih dari 4 (empat) minggu untuk suntik KB yang tiga bulanan.

 

                       c.     Panduan pemberian kontrasepsi darurat

Tipe Kontrasepsi

Hormon dan Pil

Formulasi

Jumlah Tablet yang

Diminum

Pertama kali

12 jam kemudian

Progestin

Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi progestin

1.5 mg LNG

1

0

0.75 mg LNG

2

0

Kontrasepsi pil progestin

0.03 mg LNG

50*

0

0.0375        mg

LNG

40*

0

0.075          mg

norgestrel

40*

0

Estrogen dan progestin

Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi estrogen-progestin

0.05 mg EE +

0.25 mg LNG

2

2

Kontrasepsi pil kombinasi (estrogenprogestin)

0.02 mg EE +

0.1 mg LNG

5

5

0.03 mg EE +

0.15 mg LNG

4

4

0.03 mg EE +

0.125 mg LNG

4

4

0.05 mg EE +

0.25 mg LNG

2

2

0.03 mg EE +

0.3              mg

norgestrel

4

4

Tipe Kontrasepsi

Hormon dan Pil

Formulasi

Jumlah Tablet yang

Diminum

Pertama kali

12 jam kemudian

 

0.05 mg EE +

0.5              mg

norgestrel

2

2

Ulipristal acetate

Pil khusus untuk kontrasepsi darurat berisi Ulipristal acetate

30               mg

ulipristal acetate

1

0

Tipe Kontrasepsi

AKDR 

Jenis Sediaan

Waktu Pemberian

 

AKDR copper T

AKDR Cu T-

380A 

Dalam 5 hari pasca

sanggama

yang tidak

menggunakan kontrasepsi

 

Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Dalam Penggunaan

Kontrasepsi (Menurut WHO 2015), 2018 Keterangan:

                       *)     Jumlah pil yang banyak, namun aman

LNG = levonogestrel

EE = etinil estradiol

Pencantuman kadar obat dinyatakan dalam satuan milligram (mg), mikrogram (µg atau mcg), maka kesetaraannya adalah 1 mg = 1000 µg = 1000 mcg

 

                       d.            Kriteria Kelayakan Medis Kontrasepsi Darurat

1)  Pil kontrasepsi darurat

Kondisi

KPK

LNG

UPA

Kehamilan

1

1

2

Menyusui

1

1

1

Riwayat kehamilan ektopik

1

1

1

Obesitas* (BMI ≥30 kg/m²)

2

2

2

Riwayat penyakit kardiovaskular berat (penyakit jantung iskemik, serangan cerebrovascular atau kondisi tromboembolik lainnya)

2

2

2

Kondisi

KPK

LNG

UPA

Migrain

2

2

2

Pemyakit hati berat (termasuk

Jaundice)

2

2

2

Penginduksi CYP3A4 (seperti rifampicin, fenitoin, fenobarbital, carbamazepine, efavirenz, fosphenyotin, nevirapine, oxcarbazepine, primidone, rifabutin, St John’s

wort/hypericum perforatum)

1

1

1

Penggunaan       pil       kontrasepsi

berulang

1

1

1

Perkosaan 

1

1

1

Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Dalam Penggunaan

Kontrasepsi (Menurut WHO 2015), 2018 Keterangan:

KPK =  Kontrasepsi Pil Kombinasi

LNG = levonogestrel

UPA = ulipristal asetat

*) Pil kontrasepsi darurat dapat menjadi kurang efektif pada wanita dengan BMI ≥30 kg/m² dibandingkan dengan wanita dengan BMI <25 kg/m². Walaupun demikian, tidak ada kekhawatiran mengenai keamanan.

 

2) AKDR Copper T

Metode ini sangat efektif untuk mencegah kehamilan. Metode ini dapat dipakai dalam 5 hari pasca sanggama yang tidak terlindung sebagai Kontrasepsi Darurat.

 

 

Kondisi

AKDR copper T

Kehamilan

4

Perkosaan

 

a.         Risiko tinggi IMS

3

b.          Risiko rendah IMS

1

Sumber: Diagram Lingkaran Kriteria Kelayakan Medis Dalam Penggunaan Kontrasepsi (Menurut WHO 2015), 2018

Kriteria kelayakan untuk insersi AKDR-Cu secara umum juga dapat diterapkan untuk insersi AKDR-Cu sebagai kontrasepsi darurat.

 

15. Pasca Pelayanan

Konseling pasca pelayananan dari tiap metode kontrasepsi sangat dibutuhkan. Konseling ini bertujuan agar klien dapat mengetahui berbagai efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi. Klien diharapkan juga dapat membedakan masalah yang dapat ditangani sendiri di rumah dan efek samping atau komplikasi yang harus mendapat pelayanan medis. Pemberian informasi yang baik akan membuat klien lebih memahami tentang metode kontrasepsi pilihannya dan konsisten dalam penggunaannya.

 

Konseling Pasca Pelayanan

Alat Kontrasepsi

Konseling

Alat Kontrasepsi Dalam

Rahim (AKDR)

a.  Penjelasan mengenai kemungkinan mengalami kram dan nyeri dan terdapat perubahan pola menstruasi yang merupakan efek samping tersering dari AKDR, seperti menstruasi dalam jumlah banyak dan lama, menstruasi tidak teratur, nyeri menstruasi yang lebih hebat.

b.  Gejala ini biasanya membaik setelah beberapa bulan pasca insersi AKDR.

c.   Klien dapat kembali setiap saat jika ada sesuatu yang dirasakan mengganggu sehubungan dengan pemasangan AKDR.

Implan 

a.     Penjelasan agar klien menjaga lokasi pemasangan implan kering selama 4 hari dan dapat melepas kassa setelah 2 hari, sedangkan melepas plester atau perekat setelah 3 hingga 5 hari.

b.    Penjelasan  tentang rasa nyeri, memar

 

Alat Kontrasepsi

 

Konseling

 

 

atau bengkak setelah anestesi hilang dan akan membaik dengan sendirinya. 

 

c.

Penjelasan mengenai kemungkinan ada perubahan pola menstruasi yang merupakan efek samping tersering, seperti:

         Menstruasi ireguler yang lebih dari 8 hari atau sepanjang tahun pertama.

         Menstruasi regular, kemudian jarang atau tidak ada menstruasi.

 

d.

Nyeri menstruasi yang lebih hebat

Gejala ini biasanya membaik setelah beberapa bulan. 

 

e.

Kemungkinan terjadi beberapa efek samping yang bukan merupakan tandatanda penyakit.

 

f.

Klien dapat kembali  setiap saat jika ada sesuatu yang dirasakan mengganggu sehubungan dengan  metode kontrasepsi yang digunakan.

Kontrasepsi Suntik 

a.

Penjelasan mengenai kemungkinan ada perubahan pola menstruasi yang

merupakan efek samping tersering, seperti  menstruasi ireguler, menstruasi memanjang, menstruasi sering atau bahkan tidak ada menstruasi. Gejala ini biasanya membaik setelah beberapa bulan. 

 

b.

Penjelasan mengenai efek samping yang bukan merupakan tanda-tanda penyakit.

 

c.

Klien dapat kembali  setiap saat jika ada sesuatu yang dirasakan mengganggu sehubungan dengan  metode kontrasepsi yang digunakan.

 

Alat Kontrasepsi

Konseling

Kontrasepsi Pil 

Sampaikan kepada klien untuk selalu minum pil tepat waktu dan apabila terjadi efek samping setelah konsumsi pil dapat berkonsultasi ke faskes terdekat.

Kondom

Pada saat kunjungan ulang ditanyakan apakah terdapat masalah pada penggunaan kondom. Bila masalah yang timbul karena kekurangtahuan cara penggunaan kondom maka berikan konseling ulang hingga klien paham. Apabila terdapat ketidaknyamanan dalam menggunaka kondom maka dapat dianjurkan untuk memilih jenis kontrasepsi lain.

Tubektomi

Sampaikan kepada klien informasi berikut:

a.     Jagalah luka operasi tetap kering hingga pembalut dilepaskan. Mulai lagi aktivitas normal secara bertahap.

b.    Hindari hubungan intim hingga merasa nyaman.

c.     Hindari mengangkat benda-benda berat dan bekerja keras selama 1 minggu.

d.    Apabila nyeri maka minumlah 1 atau 2 tablet analgetik. 

e.     Jadwalkanlah sebuah kunjungan pemeriksaan secara rutin antara 7-14 hari setelah pembedahan.

f.      Kembalilah setiap waktu apabila terdapat keluhan. 

Vasektomi

Informasikan kepada klien hal-hal berikut:

a.     Pertahankan band aid selama 3 hari.

b.    Pada masa penyembuhan luka jangan menarik atau menggaruk luka.

c.     Boleh mandi setelah 24 jam namun daerah luka tidak boleh basah. Setelah 3 hri luka boleh dicuci dengan air dan


-  182 -

Alat Kontrasepsi

Konseling

 

sabun.

d.    Pakailah penunjang skrotum.

e.     Jika nyeri, berikan 1-2 tablet analgetik (paracetamol atau ibuprofen) setiap 4-5 jam.

f.      Hindari mengangkat barang berat dan kerja keras selama 3 hari.

g.     Boleh bersanggama setelah hari ke 2 atau 3. Untuk mencegah kehamilan pakailah kondom atau kontrasepsi lain selama 3 bulan atau sampai ejakulasi 15-20 kali.

h.    Periksa semen 3 bulan pasca vasektomi atau sesudah 15-20 kali ejakulasi.

Penjelasan secara lebih rinci termasuk langkah-langkah dalam memberikan pelayanan kontrasepsi pada tiap metode akan diatur lebih lanjut dalam Pedoman Teknis.


-  183 --183-

BAB IV

MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keseluruhan upaya yang dilaksanakan berdampak terhadap kemajuan program KB, termasuk pelayanan kontrasepsi yang mencakup ketersediaan pelayanan, keterjangkauan pelayanan, dan kualitas pelayanan kontrasepsi tersebut berdasarkan kebijakan yang berlaku. Kegiatan ini pada hakikatnya dapat terselenggara melalui jaga mutu pelayanan kontrasepsi melalui peningkatan dan penguatan peran tim (lintas sektor) di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dengan menggunakan indikator-indikator pelayanan yang sudah ditetapkan. 

Selain itu, kegiatan pencatatan dan pelaporan merupakan suatu proses untuk mendapatkan data dan informasi yang merupakan substansi pokok dalam sistem informasi dan dibutuhkan untuk monitoring dan evaluasi serta untuk kepentingan operasional program. Data dan informasi tersebut juga merupakan bahan pengambilan keputusan, perencanaan, pemantauan dan penilaian serta pengendalian program. Oleh karena itu data dan informasi yang dihasilkan harus akurat, tepat waktu dan dapat dipercaya. Dalam upaya memenuhi harapan dan informasi yang dihasilkan merupakan data dan informasi yang berkualitas, maka selalu dilakukan langkah-langkah penyempurnaan sesuai dengan perkembangan program dengan visi dan misi program baru serta perkembangan kemajuan teknologi informasi.

Pencatatan dan pelaporan pelayanan kontrasepsi ditujukan kepada kegiatan dan hasil kegiatan operasional yang meliputi: 

1.       Kegiatan pelayanan kontrasepsi

2.       Hasil kegiatan pelayanan kontrasepsi

3.       Pencatatan keadaan dan mutasi Alat dan Obat Kontrasepsi (Alokon)

Mekanisme pencatatan dan pelaporan pelayanan kontrasepsi di fasyankes secara rinci akan  diatur dalam pedoman teknis.

-184-

BAB V

PENUTUP

Pelayanan kontrasepsi sangat penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan keluarga. Pelayanan kontrasepsi diberikan oleh tenaga kesehatan yang terlatih/sesuai dengan kewenangannya. Pelayanan kontrasepsi yang diatur dalam kebijakan yang disertai dengan pedoman teknis akan memudahkan tenaga kesehatan dalam upaya memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai standar sehingga pelayanan yang diberikan lebih berkualitas.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

           ttd.

BUDI G. SADIKIN

No comments:

Post a Comment

Manajemen Telusur

DOKUMEN TELUSUR POKOK Rencana Strategis ( Renstra )   >>>>>>>>>> View Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dan ...