PERATURAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
97 TAHUN 2014
TENTANG
PELAYANAN
KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL,
PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH
MELAHIRKAN, PENYELENGGARAAN PELAYANAN KONTRASEPSI, SERTA PELAYANAN KESEHATAN
SEKSUAL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
18, Pasal 25, dan Pasal 28
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan
Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual; |
|
|
Mengingat |
: 1.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5063); 3.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584); 4.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); |
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
(Lembaran Negara Republik Indonesia Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5291);
7. Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5559);
8. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2013 (Berita
Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
9. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI
KESEHATAN TENTANG
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL,
PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN, PENYELENGGARAAN PELAYANAN
KONTRASEPSI, SERTA
PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL.
.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum
hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi hamil sehat.
2. Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga melahirkan.
3. Pelayanan
Kesehatan Masa Melahirkan, yang selanjutnya disebut Persalinan adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya
persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan.
4. Pelayanan
Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan ditujukan pada ibu selama masa nifas dan pelayanan yang
mendukung bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2 (dua) tahun.
5. Pelayanan
Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
ditujukan pada kesehatan seksualitas.
6. Audit
Maternal Perinatal adalah serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau
kesakitan ibu, perinatal dan neonatal guna mencegah kesakitan atau kematian
serupa di masa yang akan datang.
7. Pemerintah
Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan, Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintah daerah.
9. Menteri
adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan
Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual bertujuan untuk:
a. menjamin
kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas;
b. mengurangi
angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir;
c. menjamin
tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-hak reproduksi; dan
d. mempertahankan
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang
bermutu, aman, dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal
3
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan, sarana,
prasarana, dan penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan
Kesehatan Seksual.
Pasal
4
(1) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan
Seksual diselenggarakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan.
(2) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah
Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan
Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai standar.
BAB II
...
BAB
II
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM
HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN
Bagian
Kesatu
Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil
Pasal
5
(1) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilakukan untuk mempersiapkan perempuan dalam
menjalani kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi
yang sehat.
(2) Pelayanan
Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada:
a. remaja;
b. calon
pengantin; dan/atau
c. pasangan
usia subur.
(3) Kegiatan
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemeriksaan
fisik;
b. pemeriksaan
penunjang;
c. pemberian
imunisasi;
d. suplementasi
gizi;
e. konsultasi
kesehatan; dan
f. pelayanan
kesehatan lainnya.
Pasal
6
(1) Pemeriksaan
fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a paling sedikit
meliputi:
a. pemeriksaan
tanda vital; dan
b. pemeriksaan
status gizi.
(2) Pemeriksaan
...
(2) Pemeriksaan
status gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dilakukan terutama
untuk:
a. menanggulangi
masalah Kurang Energi Kronis (KEK); dan
b. pemeriksaan
status anemia.
Pasal
7
Pemeriksaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) huruf b merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan berdasarkan
indikasi medis, terdiri atas:
a. pemeriksaan
darah rutin;
b. pemeriksaan
darah yang dianjurkan;
c. pemeriksaan
penyakit menular seksual;
d. pemeriksaan
urin rutin; dan
e. pemeriksaan
penunjang lainnya.
Pasal
8
(1) Pemberian
imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c dilakukan dalam
upaya pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit Tetanus.
(2) Pemberian
imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mencapai status T5
hasil pemberian imunisasi dasar dan lanjutan.
(3) Status
T5 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan agar wanita usia subur memiliki
kekebalan penuh.
(4) Dalam
hal status imunisasi belum mencapai status T5 saat pemberian imunisasi dasar
dan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberian imunisasi tetanus
toxoid dapat dilakukan saat yang bersangkutan menjadi calon pengantin.
(5) Ketentuan
mengenai Pemberian imunisasi tetanus toxoid sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
...
Pasal
9
(1) Pemberian
suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d bertujuan
untuk pencegahan anemia gizi.
(2) Pemberian
suplementasi gizi untuk pencegahan anemia gizi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dalam bentuk pemberian edukasi gizi seimbang dan tablet tambah
darah.
Pasal
10
(1) Konsultasi
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf e berupa pemberian
komunikasi, informasi, dan edukasi.
(2) Komunikasi,
informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh
tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan.
(3) Tenaga
nonkesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi guru usaha kesehatan
sekolah, guru bimbingan dan konseling, kader terlatih, konselor sebaya, dan
petugas lain yang terlatih.
(4) Komunikasi,
informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain diberikan
melalui ceramah tanya jawab, kelompok diskusi terarah, dan diskusi interaktif
dengan menggunakan sarana dan media komunikasi, informasi, dan edukasi.
Pasal
11
(1) Materi
pemberian komunikasi informasi dan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dilakukan sesuai tahap perkembangan mental dan kebutuhan.
(2) Materi
pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi untuk remaja meliputi :
a. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);
b. tumbuh
kembang Anak Usia Sekolah dan Remaja;
c. kesehatan
reproduksi;
d. imunisasi;
e. kesehatan
jiwa dan NAPZA;
f. gizi;
g. penyakit
menular termasuk HIV dan AIDS;
h. Pendidikan
Keterampilan......
h. Pendidikan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS);dan
i. kesehatan
intelegensia.
(3) Materi
pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi untuk calon pengantin dan pasangan
usia subur (prakonsepsi) meliputi : a. informasi
pranikah meliputi:
1. kesehatan
reproduksi dan pendekatan siklus hidup;
2. hak
reproduksi;
3. persiapan
yang perlu dilakukan dalam persiapan pranikah; dan
4. informasi
lain yang diperlukan;
b. informasi tentang keadilan dan
kesetaraan gender dalam pernikahan termasuk peran laki-laki dalam
kesehatan.
(4) Persiapan
pranikah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 3 antara lain
persiapan fisik, persiapan gizi, status imunisasi Tetanus Toxoid, dan menjaga
kesehatan organ reproduksi.
Bagian
Kedua
Pelayanan
Kesehatan Masa Hamil
Pasal
12
(1)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil bertujuan untuk
memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas
sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan
melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas.
(2)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga sebelum
mulainya proses persalinan
(3)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui pelayanan antenatal terpadu.
(4)
Pelayanan antenatal terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) merupakan pelayanan kesehatan komprehensif dan berkualitas yang
dilakukan melalui:
a. pemberian
pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasi dan gizi agar kehamilan
berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan cerdas;
b. deteksi
dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan;
c. penyiapan
persalinan yang bersih dan aman;
d. perencanaan
...
d. perencanaan
antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi penyulit/komplikasi;
e. penatalaksanaan
kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan; dan
f. melibatkan
ibu hamil, suami, dan keluarganya dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/komplikasi.
Pasal
13
(1)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan
sekurang-kurangnya 4 (empat) kali selama masa kehamilan yang dilakukan: a. 1
(Satu) kali pada trimester pertama;
b. 1
(Satu) kali pada trimester kedua; dan
c. 2
(Dua) kali pada trimester ketiga
(2)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
dan kewenangan.
(3)
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai standar dan dicatat dalam buku
KIA.
(4)
Ketentuan mengenai buku KIA dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Persalinan
Pasal
14
(1)
Persalinan harus dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2)
Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada ibu bersalin dalam bentuk 5 (lima) aspek dasar meliputi:
a. membuat
keputusan klinik;
b. asuhan
sayang ibu dan sayang bayi;
c. pencegahan
infeksi;
d. pencatatan
(rekam medis) asuhan persalinan; dan
e. rujukan
pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir.
(3)
Persalinan ...
(3) Persalinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar Asuhan Persalinan Normal (APN).
Bagian
Keempat
Pelayanan
Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
Pasal
15
(1)
Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
meliputi:
a. pelayanan
kesehatan bagi ibu; dan
b. pelayanan
kesehatan bayi baru lahir.
(2)
Pelayanan kesehatan bagi ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 3 (tiga) kali selama masa nifas.
(3)
Pelayanan kesehatan bagi ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan waktu pemeriksaan meliputi:
a. 1
(Satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 3 (tiga) hari
pascapersalinan;
b. 1
(Satu) kali pada periode 4 (empat) hari
sampai dengan 28
(dua puluh delapan) hari pascapersalinan; dan
c. 1
(Satu) kali pada periode 29 (dua puluh
sembilan) hari sampai dengan 42 (empat
puluh dua) hari pascapersalinan.
(4)
Kegiatan Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemeriksaan
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu;
b. pemeriksaan
tinggi fundus uteri;
c. pemeriksaan
lokhia dan perdarahan;
d. pemeriksaan
jalan lahir;
e. pemeriksaan
payudara dan anjuran pemberian ASI Eksklusif;
f. pemberian
kapsul vitamin A;
g. pelayanan
kontrasepsi pascapersalinan;
h. konseling;
dan
i. penanganan
risiko tinggi dan komplikasi pada nifas.
(5)
Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
perundangan-undangan.
Pasal
16 ...
Pasal
16
(1)
Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf g bertujuan untuk menjaga
jarak kehamilan berikutnya atau membatasi jumlah anak yang dilaksanakan dalam
masa nifas
(2)
Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui pemilihan metode kontrasepsi sesuai pilihan
pasangan suami istri, sesuai indikasi, dan tidak mempengaruhi produksi Air Susu
Ibu.
Pasal
17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB
III
PENYELENGGARAAN
PELAYANAN KONTRASEPSI
Pasal
18
(1)
Penyelenggaan Pelayanan Kontrasepsi dilakukan
dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi agama, norma budaya,
etika, serta segi kesehatan.
(2)
Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pergerakan
pelayanan kontrasepsi;
b. pemberian
atau pemasangan kontrasepsi; dan
c. penanganan
terhadap efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi.
Pasal
19
(1)
Pergerakan pelayanan kontrasepsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dilakukan sebelum pelayanan sampai
pasangan usia subur siap untuk memilih metode kontrasepsi.
(2)
Pergerakan pelayanan ...
(2) Penggerakan pelayanan kontrasepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkesinambungan oleh
tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
20
(1) Pemberian
atau pemasangan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf
b harus didahului oleh konseling dan persetujuan tindakan medik (Informed Consent).
(2) Konseling
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan atau tempat pelayanan lain.
(3) Konseling
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang metode kontrasepsi.
(4) Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan secara lengkap dan cukup
sehingga pasien dapat memutuskan untuk memilih metoda kontrasepsi yang akan
digunakan (informed choise).
Pasal
21
(1)
Penanganan terhadap efek samping, komplikasi,
dan kegagalan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c
dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat berupa konseling, pelayanan sesuai
standar, dan/atau rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan.
(2)
Efek samping sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan efek yang tidak diinginkan akibat penggunaan alat kontrasepsi tetapi
tidak menimbulkan akibat yang serius.
(3)
Komplikasi kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan gangguan kesehatan ringan sampai berat bagi klien yang
terjadi akibat proses pemberian/pemasangan metode kontrasepsi.
(4)
Kegagalan kontrasepsi ...
(4)
Kegagalan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kejadian kehamilan pada akseptor KB aktif yang pada saat
tersebut menggunakan metode kontrasepsi.
(5)
Dalam hal terjadi kegagalan kontrasepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tenaga kesehatan harus memberikan konseling
kepada ibu dan pasangannya untuk mencegah dampak psikologis dari kehamilan yang
tidak diinginkan.
Pasal
22
(1)
Pilihan metode kontrasepsi yang dilakukan oleh
pasangan suami istri harus mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi
kesehatan, dan norma agama.
(2)
Pilihan metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengikuti metode kontrasepsi rasional sesuai dengan fase yang
dihadapi pasangan suami istri meliputi :
a. menunda
kehamilan pada pasangan muda atau ibu yang belum berusia 20 (dua puluh) tahun;
b. menjarangkan
kehamilan pada pasangan suami istri yang berusia antara 20 (dua puluh) sampai
35 (tiga puluh lima) tahun; atau
c. tidak
menginginkan kehamilan pada pasangan suami istri yang berusia lebih dari 35
(tiga puluh lima) tahun.
Pasal
23
(1)
Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dapat berupa:
a. metode
kontrasepsi jangka pendek; dan
b. metode
kontrasepsi jangka panjang
(2)
Metode kontrasepsi jangka pendek sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi suntik, pil, dan kondom.
(3)
Pemberian pelayanan ...
(3)
Pemberian pelayanan metode kontrasepsi jangka
pendek berupa pil dan kondom sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas lain.
(4)
Metode kontrasepsi jangka panjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR),
Alat Kontrasepsi Bawah Kulit atau implan, Metode Operasi Pria (MOP), dan Metode
Operasi Wanita (MOW) harus dilaksanakan sesuai standar di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(1)
Pemberian pelayanan Metode kontrasepsi jangka
pendek berupa suntik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan metode
kontrasepsi jangka panjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
(2)
Dalam hal pasangan suami istri memilih metode
kontrasepsi jangka pendek berupa pil sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemberian pelayanan untuk pertama kalinya harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
Pasal
24
(1)
Kontrasepsi darurat diberikan kepada ibu tidak
terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.
(2)
Pelayanan kontrasepsi darurat pada ibu yang
tidak terlindungi kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kondom
bocor, lepas atau salah menggunakannya;
b. diafragma
pecah, robek atau diangkat terlalu cepat;
c. kegagalan
senggama terputus (misal : ejakulasi di vagina atau pada genitalia externa)
d. salah
hitung masa subur;
e. AKDR
ekspulsi;
f. lupa
minum pil KB lebih dari 2 tablet;
g. terlambat
lebih dari 1 minggu untuk suntik KB yang setiap bulan; dan
h. terlambat
lebih dari 2 minggu untuk suntik KB yang tiga bulanan
(3)
Pemberian kontrasepsi ...
(3) Pemberian
kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan sesuai standar.
Pasal
25
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Pelayanan
Kontrasepsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB
IV
PELAYANAN
KESEHATAN SEKSUAL
Pasal
26
(1)
Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan agar
setiap perempuan menjalani kehidupan seksual dengan pasangan yang sah yang
memungkinkan pasangan dapat menikmati hubungan seksual secara sehat, aman,
tanpa paksaan dan diskriminasi, terbebas dari kekerasan, rasa takut, malu dan
rasa bersalah.
(2)
Kesehatan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kehidupan seksual yang:
a. terbebas
dari infeksi menular seksual;
b. terbebas
dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;
c. terbebas
dari kekerasan fisik dan mental;
d. mampu
mengatur kehamilan; dan
e. sesuai
dengan etika dan moralitas.
Pasal
27
(1)
Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan.
(2)
Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat terintegrasi dengan pelayanan kesehatan atau program
promosi kesehatan lainnya,
(3)
Pelayanan Kesehatan Seksual yang terintegrasi
pada pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
pada:
a.
Pelayanan ...
a. pelayanan
kesehatan peduli remaja;
b. pelayanan
kesehatan reproduksi dan pelayanan kontrasepsi;
c. pelayanan
antenatal; dan
d. pelayanan
kesehatan pada infeksi menular seksual.
(4)
Pelayanan Kesehatan Seksual yang terintegrasi
pada program promosi kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain pada iklan layanan masyarakat, promosi kesehatan bagi remaja dan
dewasa muda, dan program promosi kesehatan lainnya.
(5)
Dalam hal Pelayanan Kesehatan Seksual terintegrasi
dengan promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), diharapkan remaja dan dewasa muda mengerti tentang keadaan seksualnya
sehingga dapat melindungi dirinya dari kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi
yang tidak aman, IMS termasuk HIV dan AIDS dan kemungkinan menderita kemandulan
melalui perilaku seksual yang bertanggungjawab, termasuk abstinen secara suka
rela.
Pasal
28
(1)
Pelayanan Kesehatan Seksual yang dilaksanakan
pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dilakukan dalam bentuk: a. keterampilan sosial;
b. komunikasi,
informasi, dan edukasi;
c.
konseling;
d. pengobatan;
dan
e.
perawatan.
(2)
Keterampilan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk pendidikan keterampilan hidup sehat (life skill education)
(3)
Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilaksanakan dengan pemberian informasi tentang perilaku penyimpangan
seksual atau gangguan seksualitas dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Pasal
29
(1)
Pelayanan seksual dalam bentuk keterampilan
sosial, komunikasi, informasi, dan edukasi, serta konseling sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf c merupakan pelayanan seksual dasar yang dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
(2)
Pelayanan kesehatan ...
(2)
Pelayanan kesehatan dalam bentuk pengobatan dan
perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e hanya
dilakukan oleh dokter terlatih.
(3)
Dalam hal terdapat kasus kesehatan seksual yang
berat, dokter terlatih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus melakukan
rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB
V
DUKUNGAN
MANAJEMEN
Bagian
Kesatu
Pencatatan
dan Pelaporan
Pasal
30
(1)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu harus melakukan Pencatatan dan
Pelaporan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
(2)
Pencatatan dan Pelaporan pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pencatatan
dan pelaporan hasil pelayanan kesehatan ibu; dan
b. pencatatan
dan pelaporan kesakitan ibu
c. Pencatatan
dan pelaporan kematian ibu (surveilans kematian ibu).
(3)
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berjenjang.
Bagian
Kedua ...
Bagian
Kedua
Surveilans
Kesehatan Ibu dan Anak
Pasal
31
(1)
Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak merupakan
kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi tentang kejadian atau masalah kesehatan ibu dan anak dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan cakupan atau mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna menyelenggarakan pelayanan kesehatan ibu dan anak
secara efektif dan efisien.
(2)
Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) meliputi
a. pencatatan
dan pelaporan;
b. pemantauan
wilayah setempat; dan
c. audit
maternal perinatal;
d. respon
tindak lanjut
Pasal
32
Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) huruf a meliputi:
a. pelayanan
kesehatan ibu dan anak;
b. kelahiran
bayi;
c. kesakitan
ibu dan anak; dan
d. kematian
ibu dan anak.
Pasal
33
(1)
Pemantauan wilayah setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b dilakukan melalui kegiatan mengumpulkan,
mengolah, menganalisis dan menginterprestasi data serta menyebarluaskan
informasi ke penyelenggara program dan pihak
terkait untuk tindak lanjut.
(2)
Pemantauan wilayah ...
(2) Pemantauan wilayah
setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan mengumpulkan,
mengolah, menganalisis dan menginterprestasi data serta menyebarluaskan
informasi ke penyelenggara program dan instansi terkait untuk tindak lanjut.
Pasal
34
(1) Audit
maternal perinatal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c
dilakukan terhadap setiap kasus kematian
dan kesakitan ibu masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, dan bayi
baru lahir.
(2) Audit
maternal perinatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui
investigasi kualitatif mendalam mengenai penyebab dan situasi kematian maternal
dan perinatal.
(3) Audit
Maternal Perinatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh tim
di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
(4) Audit
Maternal Perinatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
meningkatkan dan menjaga mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak.
(5) Hasil
audit maternal perinatal merupakan dasar bagi pelaksanaan intervensi yang
terdiri atas:
a. peningkatan
pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi
secara memadai;
b. pertolongan
persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan
pascapersalinan dan kelahiran;
c. Pelayanan
Emergensi Kebidanan dan Neonatal Dasar (PONED) dan Pelayanan Emergensi
Kebidanan dan Neonatal Komprehensif
(PONEK) yang dapat dijangkau; dan/atau
d. Rujukan
yang efektif untuk kasus risiko tinggi dan komplikasi yang terjadi.
Pasal
35
Respon tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) huruf d dilakukan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi
pemantauan wilayah setempat dan audit maternal perinatal melalui
menyebarluaskan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait
untuk tindak lanjut.
Bagian
Ketiga ...
Bagian
Ketiga
Penyeliaan
Fasilitatif
Pasal
36
(1) Dalam
rangka pembinaan, penjagaan mutu, dan perencanaan terhadap pelayanan kesehatan
ibu, dilakukan supervisi dalam bentuk penyeliaan fasilitatif.
(2) Penyeliaan
fasilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
berkesinambungan dengan menggunakan instrumen berupa daftar tilik sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
(3) Daftar
tilik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi standar kemampuan tenaga
kesehatan dan standar manajemen fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan.
Bagian
Keempat
Perencanaan
Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu
Pasal
37
(1) Dalam
rangka Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu, dilakukan Perencanaan
Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu yang dilakukan secara terpadu.
(2) Perencanaan
Percepatan Penurunan Angka
Kematian Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis
bukti.
(3) Berbasis
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi hasil survelans kesehatan ibu
dan anak serta data, informasi kesehatan dan kajian ilmiah lain yang valid dan
terkini.
Bagian
Kelima ...
Bagian
Kelima
Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Terpadu
Pasal
38
(1)
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu merupakan
kegiatan pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan semua pelayanan kesehatan
dalam lingkup kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan ibu dan anak,
keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan
infeksi menular seksual termasuk penanggulangan HIV dan AIDS, dan pelayanan
kesehatan reproduksi lainnya.
(2)
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada
tiap tahapan siklus kehidupan yang dimulai dari tahap konsepsi, bayi dan anak,
remaja, usia subur dan usia lanjut.
(3)
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
(4)
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan reproduksi melalui upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilatif.
Pasal
39
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pencatatan dan pelaporan, Surveilans
Kesehatan Ibu dan Anak, Penyeliaan Fasilitatif, Perencanaan Percepatan
Penurunan Angka Kematian Ibu, dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 38 diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB VI
...
BAB
VI
SUMBER
DAYA KESEHATAN
Bagian
Kesatu
Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Pasal
40
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan
Pelayanan Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual sesuai dengan standar.
Pasal
41
(1) Fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama wajib mampu melakukan upaya promotif,
preventif, stabilisasi kasus dan merujuk kasus yang memerlukan rujukan.
(2) Merujuk
kasus yang memerlukan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam
kondisi stabil dan tepat waktu.
(3) Rujukan
sebagaimana pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Merujuk
kasus yang memerlukan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui Puskesmas PONED dan/atau langsung ke fasilitas pelayanan
tingkat lanjutan.
Bagian
Kedua
Sumber
Daya Manusia
Pasal
42
(1) Sumber
daya manusia dalam pelayanan Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan, dan penyelenggaraan pelayanan
kontrasepsi, meliputi tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan.
(2) Sumber
daya manusia dalam pelayanan kesehatan seksual harus tenaga kesehatan.
(3) Tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan tenaga yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam
hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tenaga kesehatan lain yang terlatih dapat
menerima penugasan.
(5) Penugasan
...
(5) Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh kepala dinas kesehatan setempat setelah
memperoleh pertimbangan dari organisasi profesi terkait.
Pasal
43
(1) Tenaga
nonkesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan, dan penyelenggaraan pelayanan
kontrasepsi, merupakan tenaga yang terlatih.
(2) Pelayanan
kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah
melahirkan, dan penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, yang diberikan oleh
tenaga nonkesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berupa pelayanan
promotif dan preventif.
Pasal
44
(1)
Selain memberikan Pelayanan Kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual, tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 harus melakukan penanganan
komplikasi meliputi komplikasi:
a. obstetri;
b. penyakit
menular dan penyakit tidak menular; dan
c. masalah
gizi.
(2)
Penanganan komplikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai standar.
Bagian
Ketiga
Ketersediaan
obat dan perbekalan kesehatan
Pasal
45
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat
dan perbekalan kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum
hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan
pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual.
(2) Obat
dan ...
(2) Obat
dan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
(3) Perbekalan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan semua bahan dan
peralatan medik yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual.
(4) Peralatan
medik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dalam keadaan siap pakai dan
dengan memperhatian keselamatan dan keamanan pasien (patient safety).
BAB
VII
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Pasal
46
(1)
Dalam rangka membantu mempercepat pencapaian
derajat kesehatan ibu yang optimal diperlukan peran serta masyarakat baik
secara perseorangan maupun terorganisasi.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa :
a. program
perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi;
b. penyelenggaraan
kelas ibu hamil;
c. kemitraan
bidan dan dukun; dan
d. rumah
tunggu kelahiran.
(3)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikembangkan dalam bentuk lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat.
Pasal
47
(1)
Program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
huruf a merupakan suatu kegiatan dalam rangka meningkatkan cakupan dan mutu
pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.
(2)
Program perencanaan ...
(2)
Program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui upaya peningkatan peran aktif suami, keluarga dan
masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan menghadapi
komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas termasuk perencanaan penggunaan alat
kontrasepsi pasca persalinan.
(3)
Kegiatan program perencanaan persalinan dan
pencegahan komplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pendataan
dan pemetaan sasaran ibu hamil;
b. penyiapan
donor darah;
c. penyiapan
tabungan ibu bersalin (tabulin) dan dana sosial ibu bersalin (dasolin);
d. penyiapan
ambulans (transportasi);
e. pengenalan
tanda bahaya kehamilan dan Persalinan; dan
f. penandatanganan
amanat Persalinan.
Pasal
48
(1)
Penyelenggaraan kelas ibu hamil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b bertujuan untuk meningkatan
pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai kehamilan, persalinan, perawatan
nifas, keluarga berencana, perawatan bayi baru lahir dan senam hamil.
(2)
Penyelenggaraan kelas ibu hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana untuk belajar
kelompok bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka, dan penyelenggaraannya harus
dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan masa hamil (antenatal) dan diikuti
oleh seluruh ibu hamil, pasangan dan atau keluarga.
(3)
Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa fasilitas pelayanan kesehatan, posyandu, balai desa dan rumah penduduk.
Pasal
49
(1)
Kemitraan antara bidan dan dukun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf c dapat dilakukan untuk meningkatkan
cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(2)
Kemitraan ...
(2)
Kemitraan antara bidan dan dukun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan pada daerah tertentu dengan
mempertimbangkan kendala sosial budaya.
(3)
Kemitraan antara bidan dan dukun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam kesepakatan secara tertulis antara
kedua pihak dan sekurang-kurangnya diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat.
Pasal
50
(1) Rumah
tunggu kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf d merupakan
tempat atau ruangan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara bagi ibu
hamil dan pendampingnya sebelum maupun sesudah masa persalinan
(2) Rumah
tunggu kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dalam rangka
menurunkan kematian ibu karena keterlambatan mendapatkan pertolongan dan
meningkatkan mutu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di daerah yang
sulit akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal
51
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi, Penyelenggaraan Kelas Ibu Hamil, Kemitraan Bidan dan Dukun,
serta Rumah Tunggu Kelahiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50 diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB
VIII
PENDANAAN
Pasal
52
(1) Pendanaan
pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.
(2) Pemerintah
sebagaimana ...
(2) Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkewajiban mengalokasikan pendanaan
pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual melalui Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).
(3) Pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban mengalokasikan pendanaan
pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
(4) Pendanaan
yang bersumber dari masyarakat serta swasta dan sumber lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB
IX
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
53
(1) Menteri
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan program pelayanan
kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah
melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan
seksual.
(2) Pembinaan
dan Pengawasan yang dimaksud pada ayat (1) berupa standarisasi, bimbingan
teknis, serta monitoring dan evaluasi.
(3) Pembinaan
dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali dalam
setahun.
Pasal
54
(1) Pemerintah
daerah provinsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pelayanan Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual di kabupaten/kota melalui koordinasi, advokasi, monitoring
dan evaluasi.
(2) Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali
setahun.
(2)
Pasal 55 ...
Pasal
55
(1) Pemerintah
daerah kabupaten/kota melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan Kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual
diwilayahnya dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan dan penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pembinaan
dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali
setahun.
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
56
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada
tanggal 30 Desember 2014
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR
135
LAMPIRAN
I
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
97 TAHUN 2014
TENTANG
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM
HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN
MASA
SESUDAH MELAHIRKAN,
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KONTRASEPSI, SERTA PELAYANAN
KESEHATAN SEKSUAL.
PELAYANAN
ANTENATAL TERPADU
I. PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Secara nasional, akses masyarakat kita terhadap pelayanan
kesehatan ibu cenderung semakin membaik. Dimana tren Angka Kematian Ibu (AKI)
di Indonesia saat ini telah berhasil diturunkan dari 390/100.000 kelahiran
hidup (data SDKI tahun 1990) menjadi 359 / 100.000 kelahiran hidup (data SDKI
tahun 2012). Namun demikian, jika dibandingkan dengan target Millenium
Development Goals(MDG) 5 pada tahun 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran
hidup, sehingga Indonesia masih memerlukan upaya dan kerja keras untuk mencapainya
Faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu,secara
garis besar dapat dikelompokkanmenjadi penyebab langsung dan penyebab tidak
langsung. Penyebab langsung kematian ibu adalah faktor yang berhubungan dengan
komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas seperti perdarahan,
preeklampsia/eklampsia, infeksi, persalinan macet dan abortus.Penyebab tidak
langsung kematian ibu adalah faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil
seperti EMPAT TERLALU (terlalu muda,
terlalu tua, terlalu sering melahirkan dan terlalu dekat jarak kelahiran)
menurut SDKI 2002 sebanyak 22.5%, maupun yang mempersulit proses penanganan
kedaruratan kehamilan, persalinan dan nifas seperti TIGA TERLAMBAT (terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil
keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan dan terlambat dalam
penanganan kegawatdaruratan). Faktor lain yangberpengaruh adalah ibu hamil yang
menderita penyakit menular seperti malaria, HIV/AIDS, tuberkulosis, sifilis;
penyakit tidak menular sepertihipertensi, diabetes mellitus,jantung, gangguan
jiwa; maupun yang mengalami kekurangan gizi.
Selain itu masih terdapat masalahdalam penggunaan
kontrasepsi. Menurut data SDKI Tahun 2012, angka unmet-need8,5 %. Kondisi ini merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan kesakitan dan kematian ibu.
Malaria pada kehamilan seringkali menimbulkan komplikasi
yang berbahaya bagi ibu, janin dan bayinya. Berdasarkan data Riskesdas tahun
2013 bahwa proporsi ibu hamil malaria dengan pemeriksaan RDT sebesar 1,9%
dimana 1,3% spesies parasit Plasmodium
Falcifarum, 0,4% Plasmodium Vivax, dan 0,2% Mix (Campuran
Plasmodium Falcifarum dan Vivax). Dimana hal ini dapat berpotensi menyumbang
kematian ibu di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, kegiatan yang telah
dilakukan meliputi pemberian kelambu berinsektisida, skrining malaria dengan
menggunakan RDT / mikroskopis, dan pengobatan sedini mungkin bagi ibu hamil
yang positif malaria dengan menggunakan Kina/ ACT. Berdasarkan data P2PL tahun
2013, dari 26 provinsi endemis malaria merah dan kuning (kecuali provinsi DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali) bahwa ibu hamil
yang diberikan kelambu berinsektisida sebesar 81% (391.640 ibu hamil), ibu
hamil yang dilakukan skrining dengan menggunakan RDT/ Mikroskopis sebesar
74,64% (337.796 ibu hamil), ibu hamil yang positif malaria sebanyak 940 ibu
hamil dan yang diobati sebesar 744 ibu hamil. Hal ini menunjukkan masih ada missed opportunity ibu hamil di daerah
endemis malaria merah dan kuning yang belum mendapatkan pelayanan antenatal
terpadu dengan malaria secara optimal.
Masalah lain adalah HIV pada ibu hamil, selain mengancam
keselamatan ibu juga dapat menular kepada bayinya (mother-to-child transmission). Menurut data Kementerian Kesehatan
tahun 2013, dari 100.296 ibu hamil yang
menjalani test HIV, sebanyak 3.135 (3,1%) ibu hamil dinyatakan positif HIV.
Sifilis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang
juga perlu mendapat perhatian. Ibu hamil yang menderita sifilis berpotensi
untuk melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Data Kementerian Kesehatan,
dari bulan Januari – Juni 2013, sebanyak 10.353 ibu hamil yang dites sifilis ,
sebanyak 264 (2,5%) ibu hamil dinyatakan
positif sifilis.
Penyakit menular lain yang masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat adalah Tuberkulosis (TB). Pada ibu hamil TB dapat
memperburuk kesehatan dan status gizi ibu, serta mempengaruhi tumbuh kembang janindan
risiko tertular pada bayinya.
Penyakit
kronis seperti hipertensi, diabetes mellitus, jantung, asma berat, dan gangguan
jiwa sangat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu, janin dan bayi baru lahir. Penanganan penyakit kronis pada ibu hamil
masih belum seperti yang diharapkan dan datanya juga belum terekam dengan baik.
Kekurangan
gizi pada ibu hamil juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
perlu mendapat perhatian khusus. Kurang asupan zatbesi pada perempuan khususnya
ibu hamil dapat menyebabkan anemia yang akan menambah risiko perdarahan dan
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, prevalensi anemia pada pada ibu
hamil sekitar 37,1% (Riskesdas2013). Di samping kekurangan asupan zat besi,
anemia juga dapat disebabkan karena kecacingan dan malaria. Masalah gizi yang
lain adalah kurang energi kronik (KEK) dan konsumsi garam beryodium yang masih
rendah. Berdasarkan data Riskesdas
2013 bahwa prevalensi risiko ibu hamil KEK sebesar 24,2%.
Selain
penangananmasalah kehamilan dan komplikasi yang menyertainya, perlu diupayakan
peningkatan kualitas bayi yang akan dilahirkan, melalui kegiatan brain booster meliputi stimulasi otak
janin dan asupan gizi seimbang pada ibu
hamil.
Masalah
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan masalah global yang terkait dengan
kesehatan dan hak asasi manusia. Ibu hamil yang mendapat kekerasan secara fisik
dan psikis baik dari suami maupun orang-orang terdekatnya dapat mempengaruhi
kehamilan dan perkembangan janin.
Indikator yang
digunakan untuk menggambarkan akses ibu hamil terhadap pelayanan antenatal adalah cakupan K1 - kontak pertama
dan K4- kontak 4 kali dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, sesuai
standar.Berdasarkan data Riskesdas bahwa cakupan ibu hamil yang
memperoleh pelayanan antenatal telah meningkat dari 92,7% pada tahun 2010
menjadi 95,2% pada tahun 2013. Cakupan persalinan yang ditolong tenaga
kesehatan juga meningkat dari 79,0% pada tahun 2010 menjadi 86,9% pada tahun
2013.Walaupun demikian, masih terdapat disparitas
antarprovinsi dan antar kabupaten/kota yang variasinya cukup besar. Selain
adanya kesenjangan, juga ditemukan ibu hamil yang tidak menerima pelayanan
dimana seharusnya diberikan pada saat kontak dengan tenaga kesehatan(missed opportunity).
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut di atas, makapelayanan antenatal di fasilitas
kesehatan pemerintah maupun swasta dan praktik perorangan/kelompokperlu
dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu, mencakup upaya promotif,
preventif, sekaligus kuratif dan rehabilitatif, yang meliputi pelayanan KIA,
gizi, pengendalian penyakit menular (imunisasi, HIV/AIDS, TB, malaria, penyakit
menular seksual), penanganan penyakit tidak menular serta beberapa program
lokal dan spesifik lainnya sesuai dengan kebutuhan program.
B.
TUJUAN
Pelayanan antenatal terpadu
adalah pelayanan antenatal
komprehensif dan berkualitas yang diberikan kepada semua ibu hamil.
Tujuan umum:
Untuk memenuhi
hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga
mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamatdan melahirkan
bayi yang sehat dan berkualitas.
Tujuan khusus adalah :
1.
Menyediakan
pelayanan antenatal terpadu, komprehensif dan berkualitas, termasuk konseling
kesehatan dan gizi ibu hamil, konseling KB dan pemberian ASI.
2.
Menghilangkan “missed opportunity” pada ibu hamil dalam
mendapatkan pelayanan antenatal terpadu, komprehensif, dan berkualitas.
3.
Mendeteksi secara
dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita ibu hamil.
4.
Melakukan intervensi
terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu hamil sedini mungkin.
5.
Melakukan rujukan
kasus ke fasiltas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan yang ada
C.
SASARAN PELAYANAN
DAN PENGGUNA BUKU PEDOMAN
1.
Sasaranpelayanan:
Semua ibu
hamil ditargetkan menjadi sasaran pelayanan antenatal terpadu.
2.
Pengguna buku
pedoman
a.
Tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan keluarga
berencana
b.
Fasilitas kesehatan pemerintah
dan swasta
yang menyediakan pelayanan
antenatal
c.
Lintas program
terkait di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota
d.
Institusi pendidikan
dan pelatihan tenaga kesehatan (perguruan tinggi, Poltekkes, STIKes, RS,
Bapelkes, Pusat Pelatihan, dan lainnya).
e.
Organisasi profesi
terkait.
D.
Indikator
1.
Kunjungan pertama
(K1)
K1 adalah
kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi,
untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar.
Kontak
pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya
sebelum minggu ke 8.
2.
Kunjungan ke-4 (K4)
K4 adalah ibu
hamil dengan kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar
(1-1-2).
Kontak 4 kali
dilakukan sebagai berikut: minimal satu
kali pada trimester I(0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester ke2(>12
- 24 minggu), dan minimal 2 kali pada trimester ke-3 (> 24 minggu sampai
dengan kelahiran). Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai kebutuhan
dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan.
3.
Penanganan
Komplikasi (PK)
PK adalah
penanganan komplikasi kebidanan, penyakit menular maupun tidak menular serta
masalah gizi yang terjadi pada waktu
hamil, bersalin dan nifas. Pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai kompetensi.
Komplikasi
kebidanan, penyakit dan masalah gizi yang sering terjadi adalah: perdarahan,
preeklampsia/eklampsia, persalinanmacet, infeksi, abortus, malaria, HIV/AIDS,
sifilis, TB, hipertensi, diabetesmeliitus, anemia gizi besi (AGB) dan kurang
energi kronis (KEK).
E.
TARGET
Dalam Rencana
Strategi Kementerian Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan target untuk
Kunjungan Antenatal dan Penanganan Komplikasi sebagai berikut:
TAHUN |
T |
ARGET NASION |
AL |
K1 |
K4 |
PK |
|
2010 |
95 |
84 |
58,5 |
2011 |
96 |
88 |
63 |
2012 |
97 |
90 |
67 |
2013 |
98 |
93 |
71,5 |
2014 |
100 |
95 |
75 |
II. PELAYANAN ANTENATAL TERPADU
A.
KONSEP PELAYANAN
Pelayanan
kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan persalinan,
pelayanan nifas dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan
antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya,
ibu bersalin dan bayi baru lahir serta ibu nifas.
Dalam
pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus dapat memastikan bahwa
kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini masalah dan penyakit yang dialami ibu hamil, melakukan intervensi
secara adekuat sehingga ibu hamil siap untuk menjalani persalinan normal.
Setiap
kehamilan, dalam perkembangannya mempunyai risiko mengalami penyulit atau
komplikasi. Oleh karena itu, pelayanan antenatal harus dilakukan secara rutin,
sesuai standar dan terpadu untuk pelayanan antenatal yang berkualitas.
Pelayanan antenatal terpadumerupakan
pelayanan kesehatan komprehensif dan berkualitas yang dilakukan melalui :
a. pemberian
pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasidan gizi agar kehamilan
berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan cerdas
b. deteksi
dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
c. penyiapan
persalinan yang bersih dan aman;
d. perencanaan
antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi
penyulit/komplikasi.
e. penatalaksanaan
kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan.
f. Melibatkanibu
hamil, suami dan keluarganyadalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/komplikasi.
Kerangka konseppelayanan antenatal
komprehensif dan terpadu
Dalam melakukan pemeriksaan antenatal, tenaga kesehatan
harus Memberikan pelayanan yang
berkualitas sesuai standar terdiri dari:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi
badan
Penimbangan
berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi
adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang kurang dari 9
kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya
menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin.
Pengukuran
tinggi badan pada pertama kali kunjungan dilakukan untuk menapis adanya faktor
risiko pada ibu hamil. Tinggi badan ibu hamil kurang dari 145 cm meningkatkan
risiko untuk terjadinya CPD (Cephalo
Pelvic Disproportion)
2. Ukur Tekanan darah
Pengukuran
tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi
adanya hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) pada kehamilan dan preeklampsia
(hipertensi disertai edema wajah dan atau tungkai bawah; dan atau
proteinuria)
3. Nilai status Gizi (Ukur lingkar
lengan atas /LiLA)
Pengukuran
LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama oleh tenaga kesehatan di trimester I
untuk skrining ibu hamilberisiko KEK. Kurang energi kronis disini maksudnya ibu
hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa
bulan/tahun) dimana LiLA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
4. Ukur Tinggi fundus uteri
Pengukuran
tinggi fundus pada setiap kali kunjungan
antenatal dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan
umur kehamilan. Jika tinggi fundus tidak sesuai dengan umur kehamilan,
kemungkinan ada gangguan pertumbuhan janin. Standar pengukuran menggunakan pita
pengukursetelah kehamilan 24 minggu
5. Tentukan presentasi janin dan
denyut jantung janin (DJJ)
Menentukan presentasi janin
dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya setiap kali kunjungan
antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk
mengetahui letak janin. Jika, pada trimester III bagian bawah janin bukan
kepala, atau kepala janin belum masuk ke
panggul berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada masalah
lain.
Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan
selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. DJJ lambat kurang dari 120
kali/menit atau DJJ cepat lebih dari 160 kali/menit menunjukkan adanya gawat janin.
6. Skrining Status
Imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan
Untuk mencegah
terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil
harus mendapat imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil diskrining
status imunisasi T-nya. Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, disesuai dengan
status imunisasiTibu saat ini. Ibu hamil minimalmemiliki status imunisasi
T2agar mendapatkan perlindungan terhadap infeksi tetanus. Ibu hamil dengan
status imunisasi T5 (TTLong Life)
tidak perlu diberikan imunisasi TT lagi.
Pemberian imunisasi TT
tidak mempunyai interval maksimal, hanya terdapat
interval minimal. Interval minimal pemberian imunisasi TT dan lama
perlindungannya dapat dilihat pada tabelberikut :
Imunisasi
TT |
Selang
waktu minimal pemberian imunisasi |
Lama Perlindungan |
TT1 |
|
Langkah awal pembentukan kekebalan tubuh
terhadap penyakit tetanus |
TT2 |
1 bulan setelah TT1 |
3 Tahun |
TT3 |
6 bulan setelah TT2 |
5 Tahun |
TT4 |
12 bulan setelah TT 3 |
10 Tahun |
TT5 |
12 bulan setelah TT4 |
≥25 Tahun |
7. Beri Tablet tambah darah (tablet
besi)
Untuk mencegah anemia
gizi besi, setiap ibu hamil harus
mendapat tablet tambah darah (tablet zat besi)dan Asam Folat minimal 90 tablet
selama kehamilan yang diberikan sejak kontak pertama.
8. Periksa laboratorium (rutin dan
khusus)
Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada ibu hamil adalah pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus.
Pemeriksaan laboratorium rutin adalah pemeriksaan laboratorium yang harus
dilakukan pada setiap ibu hamil yaitu golongan darah, hemoglobin darah, dan
pemeriksaan spesifik daerah endemis/epidemi (malaria, HIV, dll). Sementara
pemeriksaan laboratorium khusus adalah pemeriksaan laboratorium lain yang
dilakukan atas indikasi pada ibu hamil yang melakukan kunjungan antenatal.
Pemeriksaan
laboratorium dilakukan pada saat antenatal tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan
golongan darah
Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil
tidak hanya untuk mengetahui jenis golongan darah ibu melainkan jugauntuk
mempersiapkan calon pendonor darah yang sewaktu-waktu diperlukan apabila
terjadi situasi kegawatdaruratan.
b. Pemeriksaan
kadar Hemoglobin darah (Hb)
Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu hamil dilakukan
minimal sekali pada trimester pertama dan sekali pada trimester ketiga.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui ibu hamil tersebut menderita anemia
atau tidak selama kehamilannya karena kondisi anemia dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang janin dalam kandungan. Pemeriksaan kadarhemoglobin darah ibu
hamil pada trimester kedua dilakukan atas indikasi.
c. Pemeriksaan
protein dalam urin
Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan
pada trimester kedua dan ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mengetahui adanya proteinuria pada ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu
indikator terjadinya pre-eklampsia pada ibu hamil.
d. Pemeriksaan
kadar gula darah.
Ibu hamil yang dicurigai menderita diabetes melitus harus
dilakukan pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal sekali pada
trimester pertama, sekali pada trimester kedua, dan sekali pada trimester
ketiga.
e. Pemeriksaan
darah Malaria
Semua ibu hamil di daerah endemis Malariadilakukan
pemeriksaan darah Malaria dalam rangka skrining pada kontak pertama. Ibu hamil
di daerah non endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah Malaria apabila ada
indikasi.
f. Pemeriksaan
tes Sifilis
Pemeriksaan tes sifilis dilakukan di daerah dengan risiko
tinggi dan ibu hamil yang diduga menderita sifilis. Pemeriksaaan sifilis
sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada kehamilan.
g. Pemeriksaan
HIV
Di daerah epidemi
HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan wajib menawarkan tes
HIVkepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan.
Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan
IMS dan TB secara inklusif pada
pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau
menjelang persalinan
Teknik penawaran ini disebut Provider Initiated Testing and Councelling (PITC)atau Tes HIV atas
Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK).
h. Pemeriksaan
BTA
Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai
menderita tuberkulosis sebagai pencegahan agar infeksi tuberkulosis tidak
mempengaruhi kesehatan janin.
Selain pemeriksaaan tersebut diatas, apabila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya di fasilitas rujukan.
Mengingat kasus perdarahan dan preeklamsi/eklamsi
merupakan penyebab utama kematian ibu, maka diperlukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat deteksi risiko ibu hamil oleh bidan termasuk bidan desa
meliputi alat pemeriksaan laboratorium rutin (golongan darah, Hb), alat
pemeriksaan laboratorium khusus (gluko-protein urin), dan tes hamil.
9. Tatalaksana/penanganan Kasus
Berdasarkan
hasil pemeriksaan antenatal di atas dan hasil pemeriksaan laboratorium, setiap
kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani sesuai dengan standar
dan kewenangan tenaga kesehatan. Kasus-kasus yang tidak dapat ditangani dirujuk
sesuai dengan sistem rujukan.
10. Temu wicara (konseling)
Temu wicara
(konseling) dilakukan pada setiap kunjungan antenatal yang meliputi : a.
Kesehatan ibu
Setiap ibu
hamil dianjurkan untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin ke tenaga
kesehatan dan menganjurkan ibu hamil agar beristirahat yang cukup selama
kehamilannya (sekitar 9-10 jam per hari) dan tidak bekerja berat.
b.
Perilaku hidup
bersih dan sehat
Setiap ibu
hamil dianjurkan untuk menjaga kebersihan badan selama kehamilan misalnya
mencuci tangan sebelum makan, mandi 2 kali sehari dengan menggunakan sabun,
menggosok gigi setelah sarapan dan sebelum tidur serta melakukan olah raga
ringan.
c.
Peran suami/keluarga
dalam kehamilan dan perencanaan persalinan
Setiap ibu
hamil perlu mendapatkan dukungan dari keluarga terutama suami dalam
kehamilannya. Suami, keluarga atau masyarakat perlu menyiapkan biaya
persalinan, kebutuhan bayi, transportasi rujukan dan calon donor darah. Hal ini
penting apabila terjadi komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas agar segera
dibawa ke fasilitas kesehatan.
d.
Tanda bahaya pada
kehamilan, persalinan dan nifas serta kesiapan menghadapi komplikasi
Setiap ibu
hamil diperkenalkan mengenal tanda-tanda bahaya baik selama kehamilan, persalinan,
dan nifas misalnya perdarahan pada hamil muda maupun hamil tua, keluar cairan
berbau pada jalan lahir saat nifas, dsb. Mengenal tanda-tanda bahaya ini
penting agar ibu hamil segera mencari pertolongan ke tenaga kesehtan kesehatan.
e.
Asupan gizi seimbang
Selama hamil,
ibu dianjurkan untuk mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan pola gizi
yang seimbang karena hal ini penting untuk proses tumbuh kembang janin dan
derajat kesehatan ibu. Misalnya ibu hamil disarankan minum tablet tambah darah
secara rutin untuk mencegah anemia pada kehamilannya.
f.
Gejala penyakit
menular dan tidak menular.
Setiap ibu
hamil harus tahu mengenai gejala-gejala penyakit menular dan penyakit tidak
menular karena dapat mempengaruhi pada kesehatan ibu dan janinnya.
g.
Penawaran untuk
melakukan tes HIV dan Konseling di daerah Epidemi meluas dan terkonsentrasi
atau ibu hamil dengan IMS dan TB di daerah epidemic rendah.
Setiap ibu
hamil ditawarkan untuk dilakukan tes HIV dan segera diberikan informasi
mengenai resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya. Apabila ibu hamil tersebut
HIV positif maka dilakukan konseling Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA). Bagi ibu hamil yang negatif diberikan penjelasan untuk menjaga tetap
HIV negatif diberikan penjelasan untuk menjaga HIV negative selama hamil,
menyusui dan seterusnya.
h.
Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) dan pemberian ASI ekslusif
Setiap ibu
hamil dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayinya segera setelah bayi lahir
karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh yang penting untuk kesehatan bayi.
Pemberian ASI dilanjutkan sampai bayi berusia 6 bulan.
i.
KB paska persalinan
Ibu hamil diberikan
pengarahan tentang pentingnya ikut KB setelah persalinan untuk menjarangkan
kehamilan dan agar ibu punya waktu merawat kesehatan diri sendiri, anak, dan
keluarga.
j.
Imunisasi
Setiap ibu
hamil harus mempunyai status imunisasi (T) yang masih memberikan perlindungan
untuk mencegah ibu dan bayi mengalami tetanus neonatorum.
Setiap ibu
hamil minimal mempunyai status imunisasi T2 agar terlindungi terhadap infeksi
tetanus.
k.
Peningkatan
kesehatan intelegensia pada kehamilan (Brain
booster)
Untuk dapat
meningkatkan intelegensia bayi yang akan dilahirkan, ibu hamil dianjurkan untuk
memberikan stimulasi auditori dan pemenuhan nutrisi pengungkit otak (brain booster) secara bersamaan pada
periode kehamilan.
B.
JENIS PELAYANAN
Pelayanan
antenatal terpadu diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten yaitu dokter,
bidan dan perawat terlatih, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pelayanan
antenatal terpadu terdiri dari:
1. Anamnesa
Dalam
memberikan pelayanan antenatal terpadu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan ketika melakukan anamnesa, yaitu:
a.
Menanyakan keluhan
atau masalah yang dirasakan oleh ibu saat ini.
b.
Menanyakan
tanda-tanda penting yang terkait dengan masalah kehamilan dan penyakit yang
kemungkinan diderita ibu hamil: o
Muntah berlebihan
Rasa mual dan muntah bisa muncul pada
kehamilan muda terutama pada pagi hari namun kondisi ini biasanya hilang
setelah kehamilan berumur 3 bulan. Keadaan ini tidak perlu dikhawatirkan,
kecuali kalau memang cukup berat, hingga tidak dapat makan dan berat badan
menurun terus. o Pusing
Pusing biasa muncul pada kehamilan muda.
Apabila pusing sampai mengganggu aktivitassehari-hari maka perlu diwaspadai. o Sakit kepala
Sakit kepala yang hebat yang timbul padaibu
hamil mungkin dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin. o Perdarahan
Perdarahan waktu
hamil, walaupun hanya sedikit sudah merupakan tanda bahaya sehingga ibu hamil
harus waspada.
o Sakit perut hebat
Nyeri perut yang
hebat dapat membahayakan kesehatan ibu dan janinnya.
o Demam
Demam tinggi lebih dari 2 hari atau keluarnya
cairan berlebihan dari liang rahim dan kadang-kadang berbau merupakan salah
satu tanda bahaya pada kehamilan. o
Batuk lama
Batuk lama lebih dari 2 minggu, perlu ada
pemeriksaan lanjut dan dapat dicurigai ibu hamil menderita TB. o Berdebar-debar
Jantung berdebar-debar pada ibu hamil
merupakan salah satu masalah pada kehamilan yang harus diwaspadai. o
Cepat lelah
Dalam dua atau tiga bulan pertama kehamilan,
biasanya timbul rasa lelah, mengantuk yang berlebihan dan pusing, yang biasanya
terjadi pada sore hari. Kemungkinan ibu menderita kurang darah. o Sesak nafas atau sukar
bernafas
Pada akhir bulan ke delapan ibu hamil sering
merasa sedikit sesak bila bernafas karena bayi menekan paru-paru ibu. Namun
apabila hal ini terjadi berlebihan maka perlu diwaspadai. o Keputihan yang berbau
Keputihan yang berbau merupakan salah satu
tanda bahaya pada ibu hamil. o Gerakan janin
Gerakan bayi mulai dirasakan ibu pada
kehamilan akhir bulan keempat. Apabila gerakan janin belum muncul pada usia
kehamilan ini, gerakan yang semakin berkurang atau tidak ada gerakan maka ibu
hamil harus waspada. o Perilaku
berubah selama hamil, seperti gaduh gelisah, menarik diri, bicara sendiri,
tidak mandi, dsb.
Selama kehamilan, ibu bisa mengalami perubahan
perilaku. Hal ini disebabkan karena perubahan hormonal. Pada kondisi yang
mengganggu kesehatan ibu dan janinnya maka akan dikonsulkan ke psikiater. o Riwayat kekerasan
terhadap perempuan (KtP) selama kehamilan
Informasi mengenai
kekerasan terhadap perempuan terutama ibu hamil seringkali sulit untuk digali.
Korban kekerasan tidak selalu mau berterus terang pada kunjungan pertama, yang
mungkin disebabkan oleh rasa takut atau belum mampu mengemukakan masalahnya
kepada orang lain, termasuk petugas kesehatan. Dalam keadaan ini, petugas
kesehatan diharapkan dapat mengenali korban dan memberikan dukungan agar mau
membuka diri.
c.
Menanyakan status
kunjungan (baru atau lama), riwayat kehamilan yang sekarang, riwayat kehamilan
dan persalinan sebelumnya dan riwayat
penyakit yang diderita ibu hamil.
d.
Menanyakan status
imunisasiTetanus ibu hamil
e.
Menanyakan jumlah
tablet tambah darah (tablet Fe) yang dikonsumsi ibu hamil
f.
Menanyakanobat-obat
yang dikonsumsi seperti: antihipertensi, diuretika,antivomitus, antipiretika,
antibiotika, obat TBdan sebagainya.
g.
Di daerah endemis
malaria, tanyakan gejala malaria dan riwayat pemakaian obat malaria.
h.
Di daerah risiko
tinggi IMS, tanyakan gejala IMS dan riwayat penyakit pada pasangannya.
Informasi ini penting untuk langkah-langkah penanggulangan penyakit menular
seksual.
i.
Menanyakan pola
makan ibu selama hamil yang meliputi jumlah, frekuensi dan kualitas asupan
makanan terkait dengan kandungan gizinya.
j.
Menanyakankesiapanmenghadapipersalinandanmenyikapi
kemungkinan terjadinya komplikasi dalam kehamilan, antara lain: o
Siapa yang akan menolong persalinan?
Setiap
ibu hamil harus bersalin ditolong tenaga kesehatan. o Dimana akan bersalin?
Ibu hamil dapat bersalin diPoskesdes,
Puskesmas atau di rumah sakit? o
Siapa yang mendampingi ibu saat bersalin?
Pada saat
bersalin, ibu sebaiknya didampingi suami atau keluarga terdekat.
Masyarakat/organisasi masyarakat, kader, dukun dan bidan dilibatkan untuk
kesiapan dan kewaspadaan dalam menghadapi persalinan dan
kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal
o Siapa yang akan
menjadi pendonor darah apabila terjadi pendarahan?
Suami, keluarga dan masyarakat menyiapkan
calon donor darah yangsewaktu-waktu dapat menyumbangkan darahnya untuk
keselamatan ibu melahirkan. o
Transportasi apa yang akan digunakan jika
suatu saat harus dirujuk?
Alat transportasi bisa berasal dari masyarakat
sesuai dengan kesepakatan bersama yang dapat dipergunakan untuk mengantar calon
ibu bersalin ke tempat persalinan termasuk tempat rujukan. Alat transportasi
tersebut dapat berupa mobil, ojek, becak, sepeda, tandu, perahu, dsb. o
Apakah sudah disiapkan biaya untuk
persalinan?
Suami diharapkan
dapat menyiapkan dana untuk persalinan ibu kelak. Biaya persalinan ini dapat
pula berupa tabulin (tabungan ibu bersalin) atau dasolin (dana sosial ibu
bersalin) yang dapat dipergunakan untuk membantu pembiayaan mulai antenatal,
persalinan dan kegawatdaruratan.
Informasi
anamnesa bisa diperoleh dari ibu sendiri, suami, keluarga, kader ataupun sumber
informasi lainnya yang dapat dipercaya.
Setiap ibu
hamil, pada kunjungan pertama perlu
diinformasikan bahwa pelayanan antenatal selama kehamilan minimal 4 kali dan
minimal 1 kali kunjungan diantar oleh suami.
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan
dalam pelayanan antenatal terpadu, meliputi berbagai jenis pemeriksaan termasuk
menilai keadaan umum (fisik) dan psikologis (kejiwaan) ibu hamil.
Tabel 2. Jenis
Pemeriksaan Pelayanan Antenatal Terpadu.
N o |
Jenis Pemeriksaan |
TrimesterI |
Trimester II |
Trimester III |
1 |
Keadaan Umum |
ü |
ü |
ü |
2 |
Suhu tubuh |
ü |
ü |
ü |
3 |
Tekanan darah |
ü |
ü |
ü |
4 |
Berat badan |
ü |
ü |
ü |
6 |
LiLA |
ü |
|
|
N o |
Jenis Pemeriksaan |
TrimesterI |
Trimester II |
Trimester III |
7 |
TFU |
|
ü |
ü |
8 |
Presentasi Janin |
|
ü |
ü |
9 |
DJJ |
|
ü |
ü |
10 |
Pemeriksaan Hb |
ü |
¬ |
ü |
11 |
Golongan darah |
ü |
|
|
12 |
Protein urin |
|
¬ |
¬ |
13 |
Gula darah/reduksi |
¬ |
¬ |
¬ |
14 |
Darah Malaria |
ü¬ |
¬ |
¬ |
15
|
BTA |
¬ |
¬ |
¬ |
16
|
IMS/ Sifilis |
¬ |
¬ |
¬ |
17
|
Serologi HIV |
ü¬¬ |
¬ |
¬ |
18
|
USG |
¬ |
¬ |
¬ |
Ket :
ü : rutin :
dilakukan pemeriksaan rutin
¬ : khusus :
dilakukan pemeriksaan atas indikasi
ü¬ : pada daerah endemis akan
menjadi pemeriksaan rutin
ü¬¬ : pada daerah epidemic meluas dan terkonsentrasi
atau ibu hamil dengan IMS dan TB akan menjadi pemeriksaan rutin
Pemeriksaan
laboratorium/penunjang dikerjakan sesuai tabel di atas. Apabila di fasilitas
tidak tersedia, maka tenaga kesehatan harus merujuk ibu hamil ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
3. Penanganan dan Tindak Lanjut kasus.
Berdasarkan
hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium/ penunjang
lainnya, dokter menegakkan diagnosa kerja atau diagnosa banding, sedangkan
bidan/perawat dapat mengenali keadaan normal dan keadaan bermasalah/tidak
normal pada ibu hamil.
Berikut ini
adalah penanganan dan tindak lanjut kasus pada pelayanan antenatal
terpadu.
Tabel 3. Penanganan dan Tindak Lanjut Kasus
No |
Hasil pemeriksaan |
Penanganan dan Tindak Lanjut Kasus |
1 |
Ibu hamil dengan perdarahan
antepartum |
Keadaan emergensi, rujuk untuk
penanganan perdarahan sesuai
standar |
2 |
Ibu hamil dengan demam |
o Tangani demam sesuai
standar o Jika dalam 2 hari masih
demam atau keadaan umum memburuk, segera rujuk |
3 |
Ibu hamil dengan hipertensi
ringan ( tekanan darah≥140/90 mmHg) tanpa proteinuria |
o Tangani hipertensi sesuai standar o Periksa ulang dalam 2 hari, jika tekanan darah
meningkat, segera rujuk. o Jika ada gangguan janin, segera rujuk. o Konseling gizi, diet makanan untuk hipertensi dalam
kehamilan |
4 |
Ibu hamil dengan hipertensi
berat (diastole ≥ 110 mmHg) tanpa proteinuria |
Rujuk untuk penanganan
hipertensi berat sesuai standar. |
5 |
Ibu hamil dengan pre
eklampsia, o
Hipertensi disertai o
Edema wajah atau tungkai bawah, dan atau o
Proteinuria (+) |
Keadaan emergensi, rujuk untuk
penanganan pre-eklampsia sesuai standar. |
6 |
Ibu hamil BB Kurang (kenaikan BB < 1 Kg/bulan), atau Ibu hamil risiko KEK (LiLA < 23,5 cm) |
Rujuk untuk penanganan ibu hamil
risiko KEK sesuai standar. |
No |
Hasil pemeriksaan |
Penanganan dan Tindak Lanjut Kasus |
7 |
Ibu hamil BB Lebih
(kenaikan BB > 2Kg/bulan). |
Rujuk untuk pemeriksaan
lebih lanjut. |
8 |
Ibu hamil dengan status
imunisasi tetanus kurang dari T5 |
Rujuk untuk mendapatkan
suntikan vaksin TT sesuai status imunisasinya |
9 |
TFU tidak sesuai dengan
umur kehamilan. |
Rujuk untuk penanganan
gangguan pertumbuhan janin. |
10 |
Kelainan letak janin pada trimester III. |
Rujuk untuk penanganan
kehamilan dengan kelainan letak janin. |
11 |
Gawat Janin |
Rujuk untuk penanganan
gawat janin |
12 |
Ibu hamil dengan anemia |
o Rujuk untuk penanganan anemia sesuai standar o Konseling gizi, diet makanan kaya zat besi dan protein |
13 |
Ibu hamil dengan diabetes mellitus (DM). |
o Rujuk untuk penanganan DM sesuai standar o Konseling gizi, diet makanan untuk ibu hamil DM |
14 |
Ibu hamil dengan Malaria |
o Konselingtidurmenggunakan kelambu berinsektisida o Memberikan pengobatan sesuai kewenangan o Rujuk untuk penanganan lebih lanjut pada malariadengan
komplikasi. |
15 |
Ibu hamil dengan Tuberkulosis (TB) |
o Rujuk untuk penanganan TB sesuai standar o Konseling gizi, diet makanan untuk ibu hamil TB o Pemantauan minum obat TB o Tawarkan Tes HIV |
16 |
Ibu hamil dengan IMS/ Sifilis |
o
Rujuk untuk penanganan IMS termasuk
Sifilis pada ibu hamil dan suami sesuai standar |
No |
Hasil pemeriksaan |
Penanganan dan Tindak Lanjut Kasus |
|
|
o Tawarkan tes HIV |
17 |
Ibu hamil dengan HIV |
o Konseling rencana persalinan o Rujuk untuk penanganan HIV sesuai standar o Konseling gizi, diet makanan untuk ibu hamil HIV o Konseling pemberian makan bayi yang lahir dari ibu
dengan HIV |
17 |
Ibu hamil kemungkinan ada
masalah kejiwaan |
o Rujuk untuk pelayanan
kesehatan jiwa. o Pantau hasil rujukan
balik o Kerjasama dengan fasilitas rujukan selama kehamilan |
18 |
Ibu hamil yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga |
Rujuk ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) terhadap korban kekerasan |
Pada setiap
kunjungan antenatal, semua pelayanan yang meliputi anamnesa, pemeriksaan dan
penanganan yang diberikan serta rencana tindak-lanjutnyaharus diinformasikan
kepada ibu hamil dan suaminya. Jelaskan
tanda-tandabahaya dimana ibu hamil harus segera datang untuk mendapat
pertolongan dari tenaga kesehatan.
Apabila
ditemukan kelainan atau keadaan tidaknormal pada kunjungan antenatal,
informasikan rencana tindak lanjut termasuk perlunya rujukan untuk penanganan
kasus, pemeriksaan laboratorium/penunjang, USG, konsultasi atau perawatan, dan
juga jadwal kontrol berikutnya, apabila diharuskan datang lebih cepat.
Ibu hamil yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
adalah ibu hamil yang mengalami segala bentuk tindak kekerasan yang berakibat,
atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan;
termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena
kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan
pribadi.
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) terhadap korban kekerasan
merupakan tempat dilaksanakannya pelayanan kepada korban kekerasan baik di
rumah sakit umum pemerintah dan swasta termasuk rumah sakit POLRI secara
komprehensif oleh multidisipliner dibawah satu atap (one stop services)
4. Pencatatan hasil pemeriksaan antenatal
terpadu.
Pencatatan
hasil pemeriksaan merupakan bagian dari standar pelayanan antenatal terpadu
yang berkualitas. Setiap kali pemeriksaan, tenaga kesehatan wajib mencatat
hasilnya pada rekam medis, Kartu Ibu dan Buku KIA.
Pada saat ini
pencatatan hasil pemeriksaan antenatal masih sangat lemah, sehingga
data-datanya tidak dapat dianalisa untuk peningkatan kualitas pelayanan
antenatal.
Dengan
menerapkan pencatatan sebagai bagian dari standar pelayanan, maka kualitas
pelayanan antenatal dapat ditingkatkan.
5. Komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) yang efektif.
KIE yang
efektif termasuk konseling merupakan bagian dari pelayanan antenatal terpadu
yang diberikan sejak kontak pertama untuk membantu ibu hamil dalam mengatasi
masalahnya
Tabel
4. Materi KIE efektif dalam pelayanan antenatal terpadu
No |
Materi KIE |
Isi pesan |
1
|
Persiapan
persalinan dan kesiagaan menghadapi komplikasi |
o Tanda-tanda bahaya dalam kehamilan, persalinan dan nifas. o Tabulin o Tempat persalinan o Transportasi rujukan o Penolong persalinan o Calon donor darah o Pendamping persalinan o Suami SIAGA (siap antar jaga) |
2
|
Inisiasi
menyusu dini dan ASI eksklusif |
o
Skin to skin contact untuk IMD o
Kolostrum o Rawat gabung o ASI saja 6 bulan o Tidak diberi susu formula o Keinginan untuk menyusui o Penjelasan pentingnya ASI o Perawatan puting susu |
3
|
KB
paska persalinan |
o Metode yang sesuai dalam masa nifas |
No |
Materi KIE |
Isi pesan |
4
|
Masalah
gizi |
o
Suplementasi tablet besi o Mengkonsumsi garam beryodium o
Mengkonsumsi makanan padat kalori dan kaya zat besi o Pemberian makanan tambahan |
5
|
Imunisasi
TT pada ibu hamil |
o Pentingnya imunisasi TT pada ibu hamil
sebagai upaya pencegahan dan perlindungan ibu dan bayi terhadap tetanus |
6
|
Masalah
penyakit kronis dan penyakit menular. |
o Upaya pencegahan. o Mengenali gejala
penyakit o Menerapkan PHBS o Kepatuhan minum obat. |
7
|
Kelas
ibu |
o Setiap ibu hamil
menggunakan buku KIA o Bertukar pengalaman
diantara ibu hamil o Senam
hamil |
8
|
Brain booster |
o Berkomunikasi dengan janin o Musik untuk
menstimulasi janin o Nutrisi gizi seimbang bagi ibu hamil. |
9
|
Informasi
HIV/AIDS (PPIA/PMTCT)
dan IMS |
o Definisi HIV, AIDS dan IMS o Penularan HIV dan IMS o Pentingnya tes HIV |
10
|
Informasi
KtP |
o Pengertian kekerasan
terhadap perempuan o Bentuk-bentuk KtP o Akibat KtP o Pencegahan dan
penanganan KtP |
III. PENYELENGGARAAN
PELAYANAN ANTENATAL TERPADU
Untuk
menyelenggarakan pelayanan antenatal terpadu diperlukan suatu manajemen
berbasis data. Kementerian Kesehatan menetapkan norma, standar, prosedur dan
kriteria (NSPK) untuk pelayanan antenatal terpadu, termasuk melakukan advokasi,
fasilitasi, pendampingan, koordinasi, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan
dan pelayanan antenatal terpadu.
A.
INPUT
Input yang
diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan antenatal terpadu antara lain
meliputi:
1. Adanya
norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) pelayanan antenatal terpadu.
2. Adanya
perencanaan dan penganggaran tahunantingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota
untuk penyelenggaraan pelayanan
antenatal terpadu di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Adanyasarana
dan fasilitas kesehatan sesuai standar dalam menyelenggarakan
pelayanan antenatal terpadu.
4. Adanya logistik yang dibutuhkan untuk mendukung
penyelenggaraan pelayanan antenatal terpadu.
5. Adanyatenaga pengelola program KIA yang sesuai untuk
mengelola pelayanan antenatal terpadu di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
6. Adanya tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan
antenatal terpadu sesuai standar.
7. Adanya informasi sistem dan tempat rujukan bagi
masing-masing kasus dalam pelaksanaanpelayanan antenatal terpadu.
8. Adanya informasi status endemisitas dan daerah berisiko
tinggi penyakit yang mempengaruhi kehamilan.
9. Adanya pedoman pelaksanaan program terkait dengan
pelayanan antenatal terpadu.
B.
PROSES
1. Sosialisasi
norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) pelayanan antenatal terpadu secara
berjenjang.
2. Penyusunan
perencanaan dan penganggaran program KIA tahunantingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota untuk penyelenggaraan
pelayanan antenatal terpadu di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Melaksanakan pelayanan antenatal terpadu disarana dan
fasilitas kesehatan.
4. Menggunakan
logistik sesuai kebutuhan dalam penyelenggaraan pelayanan antenatal terpadu.
5. Standarisasi
pengelola program KIA dalam penyelenggaraan pelayanan antenatal terpadu di
tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
6. Standarisasi
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan antenatal terpadu.
7. Menggunakan
informasi, sistem dan tempat rujukan kasus dalam pelaksanaanpelayanan antenatal
terpadu.
8. Menggunakan
informasi endemisitas dan daerah berisiko tinggi
terjadinya penyakit terkait kehamilan dalam memberikan pelayanan antenatal
terpadu.
9. Menggunakanpedoman pelaksanaan program terkait dalam
menyelenggarakan pelayanan antenatal terpadu.
C.
OUTPUT
1. Tersosialisasinya norma, standar, prosedur dan kriteria
(NSPK) pelayanan antenatal terpadu.
2. Terlaksananya pelayanan antenatal terpadu di fasilitas
pelayanan kesehatan sesuai perencanaan yang didukung anggaran tahunan di
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
3. Terlaksananya pelayanan antenatal terpadu disarana dan
fasilitas kesehatan yang telah terstandar.
4. Digunakannya logistik pendukung yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan pelayanan antenatal terpadu.
5. Tenaga pengelola program KIA mampu mengelola pelayanan
antenatal terpadu di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
6. Tenaga kesehatan mampu memberikan pelayanan antenatal
terpadu sesuai standar.
7. Digunakannya informasi sistem dan tempat rujukan dalam
pelaksanaanpelayanan antenatal terpadu.
Pelayanan
antenatal terpadu terlaksana sesuai dengan status endemisitas dan daerah
berisiko tinggi penyakit yang mempengaruhi kehamilan.
8. Digunakan informasi endemisitas dan daerah berisiko
tinggi terjadinya penyakit terkait kehamilan dalam memberikan pelayanan
antenatal
9. Digunakan pedoman pelaksanaan program terkait dalam
menyelenggarakan pelayanan antenatal terpadu.
IV.
PENCATATAN
DAN PELAPORAN A.
PENCATATAN :
Pencatatan
pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir yang sudah ada yaitu :
1.
Kartu Ibu atau rekam
medis lainnya yang disimpan di fasilitas kesehatan
2.
Kohort ibu : merupakan
kumpulan data-data dari kartu ibu.
3.
Buku KIA(dipegang
ibu).
4.
Pencatatan dari
program yang sudah ada (catatan dari
Imunisasi,
dari malaria, gizi, KB, TB, dll)
Formulir harus
diisi lengkap setiap kali selesai memberikan pelayanan. Dokumen ini harus
disimpan dan dijaga dengan baik karena akan digunakan pada kontak berikutnya.
Pada keadaan tertentu dokumen ini diperlukan untuk kegiatan audit medik.
B.
PELAPORAN
Pelaporan
pelayanan antenatal terpadu menggunakan formulir pelaporan yang sudah ada,
yaitu
• LB3 KIA
• PWS KIA
• PWS Imunisasi
• Untuk lintas program terkait, pelaporan mengikuti
formulir yang ada pada program tersebut
Tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal di wilayah kerja Puskesmas,
melaporkan rekapitulasi hasil pelayanan antenatal terpadu setiap awal bulan ke
Puskesmas atau disesuaikan dengan kebijakan daerah masing-masing.
Puskesmas
menghimpun laporan rekapitulasi dari tenaga kesehatan di wilayah kerjanya dan
memasukkan ke dalam Register KIA untuk keperluan pengolahan dan analisa data
serta pembuatan laporan PWS KIA.
Hasil
pengolahan dan analisa data dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setiap
bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Puskesmas untuk memantau
pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu
serta digunakan untuk pertemuan dengan lintas sektor.
Dinas
kesehatan kabupaten/kota menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari
seluruh Puskesmas di wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisa data
serta pembuatan grafik PWS KIA tingkat kabupaten/kota setiap bulan.
Hasil
pengolahan dan analisa data dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi setiap
bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan
pelayanan antenatal terpadu.
Dinas
Kesehatan Provinsi menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh
kabupaten/kotadi wilayahnya untuk keperluan pengolahan dan analisa data.
Hasil
pengolahan dan analisa data dilaporkan ke Pusat Data dan
Surveilens
Kementerian Kesehatan dengan tembusan ke Bagian PI Setditjen Bina Gizi dan KIA
setiap 3 bulan. Sementara itu grafik PWS KIA digunakan oleh dinas kesehatan
provinsi untuk memantau pencapaian target dan melihat tren pelaksanaan
pelayanan antenatal terpadu.
Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan bersama bagian PI Setditjen Bina Gizi dan KIA
menghimpun hasil pengolahan dan analisa data dari seluruh provinsi per
kabupaten/kota. Sementara itu melalui Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA
memberi umpan balik ke Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melalui Gubernur.
Lintas program
yang terkait pelayanan antenatal terpadu bertanggung jawab untuk melaporkan
rekapitulasi hasil pelayanan ke
penanggung jawab program masing-masing secara berjenjang (dari Puskesmas sampai
Pusat) dan memberikan tembusan ke penanggung jawab program KIA.
V. PENUTUP
Pelayanan
Antenatal Terpadu merupakan pelayanan antenatal komprehensif dan berkualitas
yang diberikan kepada semua ibu hamil untuk memenuhi hak setiap ibu hamil
memperoleh pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga mampu menjalani
kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat
dan berkualitas.
Pelayanan
antenatalterpadu tersebut mencakup pelayanan promotif, preventif, sekaligus
kuratifdan rehabilitatif yang meliputi pelayanan KIA, gizi, pengendalian
penyakit menular (imunisasi, HIV/AIDS, TB, malaria, penyakit menular seksual),
tidak menular (hipertensi, diabetes mellitus), ibu hamil yang mengalami
kekerasan selama kehamilan serta program spesifik lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
Setiap tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta harus dapat
memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap ibu hamil agar dapat memastikan
kehamilan berlangsung normal, mendeteksi dini masalah dan penyakit yang dialami
ibu hamil serta melakukan intervensi secara adekuat.
Pedoman
pelayanan antenatal terpadu, merupakan pedoman yang dinamis, sehingga dapat
disesuaikan dengan perkembangan program dan kebutuhan spesifik daerah.
Lampiran
Konsep alur pelayanan antenatal terpadu di Puskesmas
Catatan : - Poli KIA hanya merujuk pemeriksaan
laboratorium rutin ANC
- Poli
KIA hanya melakukan penapisan ibu hamil berdasarkan keluhan dan gejala klinis
- Alur
pelayanan disesuaikan dengan kondisi wilayah masingmasing.
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
NILA
FARID MOELOEK
LAMPIRAN
II
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
97 TAHUN 2014
TENTANG
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL,
PERSALINAN, DAN
MASA SESUDAH MELAHIRKAN, PENYELENGGARAAN PELAYANAN
KONTRASEPSI, SERTA PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL.
PENYELENGGARAAN
PELAYANAN KONTRASEPSI
A. Keluarga Berencana dan Pelayanan
Kontrasepsi
Setiap orang berhak untuk menentukan kehidupan
reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang
menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat sesuai dengan
norma agama (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 72 ayat
(2))
Hak reproduksi perorangan sebagai bagian dari
pengakuan akan hakhak asasi manusia yang diakui secara internasional dapat
diartikan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan (tanpa memandang
perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, dll) mempunyai hak yang sama untuk
memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab (kepada diri, keluarga dan
masyarakat) mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan waktu
kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.
Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui
promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu
pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah
anak, dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan cara,
alat, dan obat kontrasepsi.
Pelayanan kontrasepsi adalah pemberian atau pemasangan
kontrasepsi maupun tindakan-tindakan lain yang berkaitan kontrasepsi kepada
calon dan peserta Keluarga Berencana yang dilakukan dalam fasilitas pelayanan
KB.
B. Hal-hal penting dalam pemberian
pelayanan kontrasepsi
Dalam melakukan pemberian pelayanan kontrasepsi,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
1. Konseling
dan persetujuan tindakan medis
2. Perencanaan
keluarga dan penapisan klien
3. Pencegehan
infeksi
4. Persyaratan
medis dalam penggunaan kontrasepsi
5. Infeksi
menular seksual dalam dan kontrasepsi
6. Remaja
dan kontrasepsi
7. Kontrasepsi
untuk perempuan berusia lebih dari 35 tahun
8. Kontrasepsi
pasca persalinan
9. Kontrasepsi
pasca keguguran
10. Kontrasepsi
darurat
1. Konseling dan persetujuan tindakan medis
Konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam
pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Konseling yang baik dapat membuat klien
merasa puas, membantu klien dalam menggunakan kontrasepsinya lebih lama dan
meningkatkan keberhasilan KB serta mempengaruhi interaksi antara tenaga
kesehatan dan klien yang dapat meningkatkan hubungan dan kepercayaan yang sudah
ada.Teknik konseling yang baik dan informasi yang memadai harus diterapkan dan
dibicarakan secara interaktif sepanjang kunjungan klien dengan cara yang sesuai
dengan budaya yang ada. Dengan adanya informasi yang lengkap dan cukup akan
memberikan keleluasaan kepada klien dalam memutuskan untuk memilih kontrasepsi
(Informed Choice) yang akan
digunakannya.
Sikap petugas kesehatan dalam melakukan konseling
yang baik terutama bagi calon klien KB baru
a. Memperlakukan
klien dengan baik
b. Interaksi
antara petugas dan klien
c. Memberikan
informasi yang baik dan benar kepada klien
d. Menghindari
pemberian informasi yang berlebihan
e. Membahas
metode yang diingini klien
f. Membantu
klien untuk mengerti dan mengingat
Langkah-langkah dalam memberikan konseling KB
Dapat diterapkan enam langkah yang sudah dikenal
dengan kata
kunci SATU TUJU sebagai berikut:
§ SA
: SApa dan SAlam kepada
klien secara terbuka dan sopan T : Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya
§ U :
Uraikan kepada klien mengenai
pilihannya dan beritahu apa pilihan reproduksi yang paling mungkin, termasuk
pilihan beberapa jenis kontrasepsi
§ TU
: BanTUlah klien menentukan pilihannya
§ J
: Jelaskan secara lengkap bagaimana menggunakan
kontrasepsi pilihannya
§ U :
perlunya dilakukan kunjungan Ulang
Tempat dan Pemberi Pelayanan Konseling
Tidak semua sarana kesehatan dapat dijangkau oleh
klien, oleh karena itu tempat pelayanan konseling ada 2 (dua) jenis tempat
pelaksanaan konseling, yaitu :
a. Konseling
KB di lapangan
Dilaksanankan oleh : petugas di lapangan ( PPLKB,
PLKB, PKB, PPKBD, Sub PPKBD, dan Kader yang sudah
mendapatkan pelatihan konseling yang standar
Informasi yang diberikan, mencakup :
1) Pengertian
manfaat perencanaan keluarga
2) Proses
terjadinya kehamilan/reproduksi sehat
3) Informasi
berbagai kontrasepsi yang benar dan lengkap (cara kerja, manfaat, kemungkinan
efek samping, komplikasi, kegagalan, kontra indikasi, tempat kontrasepsi bisa
diperoleh, rujukan, serta biaya)
4) Informasi
tentang berbagai metode kontrasepsi
b. Konseling
KB di fasilitas kesehatan
Dilaksanakan oleh petugas medis dan paramedis terlatih
di fasilitas kesehatan, yaitu : Dokter, Bidan, Perawat serta Bidan di desa.
Dilakukan di fasilitas kesehatan dan diupayakan agar diberikan secara
perseorangan di ruangan khusus.
Informasi yang diberikan, mencakup :
§ Memberikan
informasi kontrasepsi yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan klien
§ Memastikan
bahwa kontrasepsi pilihan klien telah sesuai dengan kondisi kesehatannya
§ Membantu
klien memilih kontrasepsi lain seandainya yang dipilih ternyata tidak sesuai
dengan kondisi kesehatannya
§ Merujuk
klien seandainya kontrasepsi yang dipilih tidak tersedia di fasilitas kesehatan
atau jika klien membutuhkan bantuan medis dari ahli seandainya dalam
pemeriksaan ditemui masalah kesehatan lain
§ Memberikan
konseling pada kunjungan ulang untuk memastikan bahwa klien tidak mengalami
keluhan dalam penggunaan kontrasepsi pilihannya.
Informed Choice dan Informed Consent
Informed Choice adalah suatu kondisi
peserta/calon peserta KB yang memilih kontrasepsi didasari oleh pengetahuan
yang cukup setelah mendapat informasi yang lengkap melalui Komunikasi Inter
Personal / Konseling (KIP/K).
Dalam hal ini petugas kesehatan dapat menggunakan Alat
Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB. ABPK ber-KB membantu petugas dalam
melakukan konseling sesuai standar dan sekaligus mengajak klien bersikap lebih
partisipatif dan membantu klien untuk mengambil keputusan.
Informed
Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh klien atau keluarganya
atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap klien tersebut. Informasi yang diberikan
harus disampaikan
selengkaplengkapnya, jujur dan benar
tentang metode kontrasepsi yang akan digunakan oleh calon/klien KB. Setiap
tindakan medis yang mengandung risiko harus dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, yaitu klien yang
bersangkutan dalam keadaan sadar dan sehat mental. Dengan dilakukannya tindakan
medis termasuk kontrasepsi mantap (kontap),
maka pengaruhnya
terhadap lembaga perkawinan cukup besar sehingga izin harus dari kedua
belah pihak. Hal ini berbeda dengan tindakan medis lainnya yang tidakmenyangkut
organ reproduksi yang izinnya terutama diberikan oleh pihak yang akan mengalami
tindakan tersebut.
2. Perencanaan keluarga dan penapisan klien
Dalam menentukan metode kontrasesi yang akan
digunakan klien, perlu dilakukan perencanaan keluarga dan penapisan klien.
Dalam perencanaan keluarga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
• Seorang
perempuan bisa melahirkan setelah ia mendapat haid pertama
• Kesuburan
seorang perempuan akan terus berlangsung sampai mati haid
• Kehamilan
yang terbaik dan risiko paling rendah risikonya adalah antara 20 – 35 tahun
• Persalinan
pertama dan kedua paling rendah risikonya
• Jarak
antara dua kelahiran sebaiknya 2 – 4 tahun
Dalam pelaksanaan perencanaan keluarga tersebut ada
tiga fase dalam pemilihan metode kontrasepsi rasional dengan urutan sebagai
berikut, yaitu:
Ganbar 1
Pemilihan Metode Kontrasepsi Rasional
Penapisan klien bertujuan untuk menentukan apakah ada
kehamilan atau tidak, keadaan yang membutuhkan perhatian khusus, dan masalah
penyakit lain yang membutuhkan pengamatan dan pengelolaan lebih lanjut (misal
Diabetes dan Tekanan darah tinggi).
3. Pencegahan infeksi
Pencegahan infeksi akan melindungi klien dan tenaga
kesehatan dari tertularnya penyakit infeksi. Beberapa hal yang merupakan cara
pelaksanaan kewaspadaan standar adalah:
§ Anggap
setiap orang dapat menularkan infeksi.
§ Cuci
tangan merupakan upaya penting untuk mencegah kontaminasi silang.
§ Gunakan
sepasang sarung tangan sebelum menyentuh apapun yang basah seperti kulit
terkelupas, membran mukosa, darah atau duh tubuh lain, serta alat–alat yang
telah dipakai dan bahan-bahan lain yang terkontaminasi, atau sebelum melakukan
tindakan invasif.
§ Gunakan
pelindung tubuh (misalnya kaca mata pelindung (goggles), masker dan celemek) untuk mengantisipas percikan duh
tubuh (sekrersi ataupun ekskresi), contohnya ketika membersihkan alat-alat
maupun bahan lainnya.
§ Gunakan
bahan antiseptik untuk membersihkan kulit maupun membran mukosa sebelum
melakukan operasi, membersihkan luka, atau menggosok tangan sebelum operasi
dengan bahan antiseptik
§ Laksanakan
budaya kerja yang aman seperti tidak memasang tutup jarum suntik (recapping), membeikan alat-alat tajam
dengan cara yang aman, bila mungkin, gunakan jarum tumpul untuk menjahit luka.
§ Buang
bahan-bahan terinfeksi setelah terpakai dengan aman setelah terpakai dengan
aman untuk mencegah cedera maupun penularan infeksi kepada masyarakat.
§ Lakukan
dekontaminasi terhadap instrument, sarung tangan, dan bahan laindengan larutan
klorin 0,5% dan dicuci bersih, kemudian distrilisasi atau dilakukan Disinfeksi
Tingkat Tinggi (DTT) dengan cara yang dianjurkan.
4. Persyaratan medis dalam penggunaan kontrasepsi
Dalam memberikan konseling, hal ini sangat penting
karena isu tentang mutu pelayanan dan akses yang mempengaruhi pemberian
kontrasepsi. Informasi tersebut antara lain tentang:
a. Efektifitas
berbagai metode kontrasepsi
b. Beberapa
kondisi medis yang akan meningkatkan risiko jika terjadi kehamilan
c. Kembalinya
kesuburan sesuai metode kontrasepsi
d. Kondisi
medis yang mempengaruhi pilihan metode kontrasepsi
Selain itu, untuk metode yang memerlukan prosedur
bedah, insersi atau pencabutan alat oleh tenaga terlatih perlu dilengkapi
dengan fasilitas yang cukup agar prosedur tersebut dapat dilaksanakan sesuai
dengan standar, termasuk prosedur pencegahan infeksi. a. Efektivitas
Dalam
pemilihan kontrasepsi klien perlu diberikan informasi
tentang:
• efektivitas
relatif dan berbagai metode kontraspeis yang tersedia
• efek
negatif kehamilan ayng tidak diinginkan pada kesehatan dan risiko kesehatan
potensial pada kehamilan dengan kondisi medis tertentu.
Tabel
1. Efektivitas Berbagai Metode Kontrasepsi
Tingkat
Efektivitas |
Metode
Kontraspesi |
Kehamilan per 100 perempuan dalam 12 bulan pertama pemakaian |
|
Dipakai
secara biasa |
Dipakai
secara tepat dan konsisten |
||
Sangat
efektif |
Implan Vasketomi Suntikan
kombinasi Suntikan
DMPA/NET-EN Tubketomi AKDR
CuT-380A Pil
Progesteron (pil laktasi) |
0,05 0,15 3 3 0,5 0,8 1,0 |
0,05 0,1 0,05 0,3 0,5 0,6 0,5 |
Efektif
dalam pemakaian biasa , sangat efektif jika dipakai secara tepat dan
konsisten |
Metode
Amenore Laktasi Pil
komtrasepsi kombinasi Pil Progesteron (bukan masa laktasi) |
2 8 - |
0,5 0,3 0,5 |
Efektif
jika dipakai secara tepat dan konsisten |
Kondom pria
Senggama
terputus Diafrgama +
spermisida KB Alamiah Kondom
perempuan Spermisida |
15 27 29 25 21 29 |
2 4 18 1-9 5 18 |
|
Tanpa
KB |
85 |
85 |
WHO, 2004.
Kunci: 0-1: sangat efektif; 2-9: Efektif; >9: kurang efektif
b. Beberapa
kondisi medis yang akan meningkatkan risiko jika terjadi kehamilan
Terdapat
keadaan-keadaan kesehatan pada wanita yang dapat
meningkat risikonya jika hamil seperti hipertensi
(>160/100 mmHg); diabetes dengan neuropati/neropati/retinopati; penyakit
jantung iskemik; stroke; penyakit jantung katup dengan hipertensi; karsinoma
payudara; karsinoma endomterium/ovarium; sirosis hepatis; hepatoma; penyakit
sel bulat sabit; penyakit trofoblas ganas; TBC; skistosomiasis dengan fibrosis
hati sehingga pada keadaan ini perlu dipilihkan metode kontraspsi yang lebih
efektif.
c. Kembalinya
kesuburan
Perlu dinformasikan bahwa semua metode kontrasepsi
kecuali metode kontrasepsi mantap tidak mengakitbatkan terhentinya kesuburan
wanita, kesuburan akan kembali lagi segera setelah pemakaian metode kontrasepsi
dihentikan kecuali suntikan DMPA dan NET-EN masing-masing 10 bulan dan 6 bulan
terhitung sejak kontrasepsi terakhir
5. Infeksi menular seksual dan kontrasepsi
Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) dan Infeksi Menular
Seksual (IMS) adalah penyakit yang mendapat perhatian penting pada kesehatan
masyarakat. Banyak perempuan yang telah mengalami ISR/IMS idak mendapatkan
perawatan dan pengobatan dengan tepat karena beberapa hal seperti:
§ Penderita
laki-laki maupun perempuan mungkin tidak bergejala
§ Penderita
yang menunjukkan gejala ISR/IMS sering tidak menyadari bahwa sedang terinfeksi
dan banyak perempuan tidak mendapatkan informasi tentang cairan vagina yang
yang tidak normal.
§ Penderita
merasa malu, penyakit yang diderita merupakan stigma sosial
Untuk itu, pelayanan kontrasepsi dapat sekaligus
memberikan pelayanan kepada ISR/IMS seperti:
§ pendidikan
tentang pencegahan IMS dan pengenalan gejala dan tanda ISR/IMS serta komplikasi
§ Konseling
mengani perilaku seksual berisiko, kepatuhan klien maupun pasangan untuk
berobat tuntas
§ Skrining
atau penapisan ISR/IMS
Petugas kesehatan perlu membekali diri dengan
keterampilan untuk melakukan investigasi atau skrining tanpa sikap yang
menghakimi dan membutan klien malu, marah, tersinggung atau tidak mau berterus
terang
§ Pengobatan
ISR/IMS
§ Merujuk
ke fasilitas yang lebih lengkap
§ Menyediakan
kontrasepsi dengan perlindungan ganda seperti kondom
Penting diingat bahwa konseling, edukasi dan pelayanan
kontrasepsi dan pengobatan IMS secara terpadu merupakan bagian penting untuk
pencegahan dan mengurangi insiden IMS.
6. Remaja dan kontrasepsi
Sebagian remaja sudah mengalami pematangan organ
reproduksi dan bisa bereproduksi namun secara sosial, mental dan emosi remaja
belum dewasa. Informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi
remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat ramah remaja juga masih
terbatas.
Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang
dibutuhkan remaja sudah waktunya diberikan untuk melindungi remaja dari
penularan IMS dan HIV/AIDS maupun kehamilan yang tidak diinginkan. Untuk itu
perlu diperhatikan hal berikut ini:
§ pelajari
dahulu prilaku seksual remaja, bagaimana riwayat perilaku seksualnya
§ Dasar
pemberian kontrasepsi remaja adalah untuk pencegahan kehamilan dan pencegahan
IMS
§ Kontrasepsi
pada remaja bersifat temporer dengan minimal efek samping dan terhindar
kesulitan pada pengembalian kesuburannya
§ Pertimbangan
skrining papsmear khusus bagi remaja yang seksual aktif lebih setahun atau yang
sering berganti pasangan seksual
7. Kontrasepsi untuk perempuan berusia lebih dari 35 tahun
Perempuan berusia lebih dari 35 tahun memerlukan
kontrasepsi yang aman dan efektif. Berikut metode kontrasepsi bagi wanita usia
lebih dari 35 tahun:
a. Pil
kombinasi/suntikan kombinasi sebaiknya tidak digunakan oleh perempuan > 35
tahun yang perokok. Pil ini dapat berfungsi sebagai terapi pada masa
perimenopause
b. Kontraspesi
progestin dapat digunakan pada masa perimenopause (usia 40 – 50 tahun) dapat
digunakan oleh perempuan perokok
c. AKDR
dapat digunakan oleh perempuan berusia > 35 ahun yang tidak terpapar oleh
IMS
d. Kondom
e. Kontrasepsi
Mantap
8. Kontrasepsi pasca persalinan
1) Kembalinya
kesuburan perempuan pada keadaan pasca persalinan tidak terduga dan kadang
dapat terjadi sebelum datangnya menstruasi. Rata-rata pada ibu yang tidak
menyusui, ovulasi terjadi pada 45 hari pasca persalinan atau lebih awal dan 2
dari 3 ibu yang tidak menyusui akan mengalami ovulasi sebelum datangnya
menstruasi.
2) KB
Pasca Persalinan yaitu penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai
dengan 42 hari setelah melahirkan.
3) Secara
umum, hampir semua metode kontrasepsi dapat digunakan sebagai metode KB pasca
persalinan.
4) Tujuan
pelayanan KB Pasca Persalinan adalah untuk mengatur jarak kelahiran, jarak
kehamilan, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga setiap
keluarga dapat merencanakan kehamilan yang aman dan sehat. Hal ini didukung juga oleh Hasil Kajian Health Technology Assesment (HTA)
Indonesia, tahun 2009.
5) KB
pada periode menyusui dengan rekomendasi sebagai berikut :
- Wanita
pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi sebelum
terjadi ovulasi pertama kali sekitar 155 ± 45 hari.
- Bahwa
Pemberian ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi.
- Metode
kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi Air Susu
Ibu.
- Kontrasepsi
pil progestin (progestin-only minipills) dapat mulai diberikan dalam 6
minggu pertama pasca persalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan
akses terhadap pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam
beberapa hari (setelah 3 hari) pasca persalinan.
- Kontrasepsi
suntikan progestin/ Depo Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu pertama
(7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak
menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi.
- Penggunaan
DMPA jangka panjang ( >2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang
sebesar 5-10% pertahun. Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan
lama penggunaan DMPA bagi wanita usia
1845 tahun.
- Tidak
terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko
kanker payudara.
- Kontrasepsi
implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa
laktasi, minimal 4 minggu pasca persalinan
- AKDR
pasca plasenta aman dan efektif, tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi
dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pasca persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan
dengan cara melakukan insersi AKDR dalam
10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus,
dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman.
- Jika
48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau
lebih pasca persalinan
- AKDR
4 minggu pasca persalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan
jenis non copper memerlukan penundaan
sampai 6 minggu pasca persalinan.
- Penggunaan
kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan
volume ASI pada wanita menyusui.
- Pada
negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat
direkomendasikan untuk digunakan.
- Metode
Amenorea Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pasca
persalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: amenorea, pemberian ASI
ekslusif, proteksi terbatas pada 6 bulan pertama. MAL dapat dipertimbangkan penggunaannya
pada daerah dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi.
6) AKDR
Pascaplacenta: dari seluruh alat dan obat kontrasepsi yang dapat digunakan pada
pasca persalinan, yang paling berpotensi untuk mencegah missed opportunity KB pasca persalinan adalah AKDR pascaplasenta,
yakni: pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dalam 10 menit setelah
plasenta lahir (atau sebelum penjahitan uterus pada operasi caesar).
7) Berikut
ini tabel perbandingan tingkat ekspulsi pada pemasangan AKDR dalam masa
nifas.
Tabel 2.
Perbandingan tingkat ekspulsi pada
pemasangan AKDR dalam masa nifas.
Waktu
Insersi AKDR |
Definisi |
Tingkat
Ekspulsi |
Observasi
|
Insersi dini pascaplasenta |
Insersi dalam 10 menit setelah pelepasan plasenta |
9,5-12,5 % |
Ideal:
tingkat ekspulsi rendah |
Insersi segera pascapersalinan |
Lebih dari 10 menit s.d. 48 jam pasca persalinan |
25 - 37 % |
Masih
aman |
Insersi tunda pascapersalinan |
Lebih dari 48 jam s.d. 4 minggu pasca persalinan |
TIDAK DIREKOMENDASI KAN |
Meningkatk an risiko perforasi dan ekspulsi |
Perpanjangan interval pascapersalinan |
Lebih dari 4 minggu pasca persalinan |
3 – 13% |
Aman |
Berbagai kekuatiran ibu tentang KB pasca persalinan
seperti gangguan produksi ASI dan belum mendapat haid pasca persalinan, sudah
dapat ditepis dan dijelaskan oleh tenaga kesehatan pemberi layanan pada saat
pelayanan antenatal sesuai dengan
rekomendasi pada Hasil Kajian Health Technology Assesment (HTA) Indonesia, tahun 2009, yang
menyatakan bahwa:
1) Wanita
pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum
terjadi ovulasi pertama kali sekitar ± 45 hari
2) Pemberian
ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi.
3) Metode
kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi ASI
4) Kontrasepsi
pil progestin dapat mulai diberikan dalam 6 minggu pertama pasca persalinan,
namun bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan
kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari)
pasca persalinan.
5) Kontrasepsi
suntikan progestin/Depo Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu pertama
(7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak
menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi.
6) Penggunaan
DMPA jangka panjang ( >2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang
sebesar 5-10% pertahun, namun WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama
penggunaan DMPA bagi wanita usia 1845
tahun.
7) Tidak
terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko
kanker payudara.
8) Kontrasepsi
implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa
laktasi, pemberiannya minimal 4 minggu pasca persalinan
9) AKDR
pascaplasenta aman dan efektif, namun tingkat ekspulsinya lebih tinggi
dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pasca persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan
dengan cara melakukan insersi AKDR dalam
10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus,
dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan
berpengalaman.. Jika 48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda
sampai ≥4 minggu pasca persalinan. AKDR 4 minggu pasca persalinan aman dengan
menggunakan AKDR copper T, sedangkan
jenis noncopper memerlukan penundaan
sampai 6 minggu pasca persalinan.
10) Penggunaan
kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan
volume ASI pada wanita menyusui.
11) Pada
negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan kontrasepsi, MAL
dapat direkomendasikan untuk digunakan
9. Kontrasepsi pasca keguguran
Pelayanan kontrasepsi pasca keguguran mencakup
hal-hal berikut ini:
1) konseling
tentang konrasepsi
2) Jaminan
tersedianya paskukan
3) Akses
terhadap asuhan lanjutan
4) Infromasi
tentang perlindungan IMS
Kontrasepsi pasca keguguran perlu dimulai segera
karena ovulasi dapat terjadi 11 hari sesudah terapi keguguran, saat konseling
disampaikan hal beikut:
1) klien
dapat hamil lagi sebelum haid berikutnya datang
2) ada
metode kontrasepsi yang aman: kontrasepsi bagi sesudah keguguran pada
trisemester I sama dengan kontraspesi pada masa interval; kontraspesi yang
sesudah keguguran trisemester II sama dengan yang dianjurkan pada masa pasca
persalinan
3) dimana
dan bagaimana data memperoleh pelayanan
10. Kontrasepsi darurat
a. Latar
belakang :
1) Kehamilan
yang Tidak Diinginkan (KTD) banyak berakhir dengan abortus
2) Aborsi,
baik aman maupun tidak aman berdampak pada peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI)
3) Salah
satu strategi Making Pregnancy Safer
(MPS) untuk menurunkan AKI adalah pencegahan KTD
4) Kontrasepsi
Darurat merupakan salah satu cara untuk KTD
5) Kontrasepsi
darurat lebih baik daripada tidak menggunakan metode KB sama sekali, tetapi
tetap kurang efektif dibandingkan dengan cara KB yang sudah ada
b. Batasan
:
1) Kontrasepsi
darurat adalah kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan bila digunakan segera
setelah hubungan seksual (sering disebut Kontrasepsi pasca senggama atau “ morning after pill” atau “morning after treatment”.
2) Kontrasepsi
darurat tidak boleh dipakai sebagai metode KB secara rutin atau terus menerus
c. Indikasi
:
1) Kesalahan
dalam pemakaian kontrasepsi, seperti:
-
Kondom bocor
-
Diafragma pecah, robek atau diangkat terlalu
cepat
-
Kegagalan senggama terputus
-
Salah hitung masa subur
-
AKDR ekspulsi
-
Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet atau 2
hari
-
Terlambat lebih dari 1 minggu untuk suntik KB
-
Terlambat lebih dari 1 minggu untuk suntik KB
tiga bulanan
-
Terlambat lebih dari 2 minggu untuk suntik KB
tiga bulanan
2) Perkosaan
3) Tidak
mengggunakan kontrasepsi
d. Kontra
Indikasi : Hamil
e. Efek
samping : Mual, muntah, perdarahan/ bercak
f. Jenis,
cara dan pemberian kontrasepsi darurat
Tabel 3
Pemberian Kontrasepsi Darurat
Cara |
Dosis |
Waktu
Pemberian |
I. Mekanik AKDR-Cu |
1 x pemasangan |
Dalam waktu < 7 hari pascasenggama |
II. Medik |
|
|
Pil Kombinasi |
2 x 2 tablet |
Dalam waktu 3 hari
pascasenggama dosis kedua 12 jam kemudian Dalam waktu 3 hari
pascasenggama dosis kedua 12 jam kemudian |
Progestin |
2 x 1 tablet |
Dalam waktu 3 hari
pascasenggama dosis kedua 12 jam kemudian |
Estrogen |
2,5 mg/dosis 10 mg/dosis 10 mg/dosis |
Dalam waktu 3 hari
pascasenggama 2x 1 dosis selama 5 hari
|
Mifepriston |
1 x 600 mg |
Dalam waktu 3 hari pascasenggama |
Danazol |
2 x 4 tablet |
Dalam waktu 3 hari pasca
senggama dosis kedua 12 jam kemudian |
Catatan:
Postinor
merupakan kontrasepsi yang khusus dikemas untuk kondar diregistrasi BPOM
melalui review MUI dan telah tersedia di apotik
g. Keterbatasan
:
1) Hanya
efektif jika digunakan dalam 72 jam
2) Pil
kombinasi dapat menyebabkan nausea, muntah, atau nyeri payudara
3) AKDR
hanya efektif jika dipasang 7 hari sesudah hubungan
h. seksual
• Pemasangan
AKDR memerlukan tenaga terlatih dan sebaiknua tidak digunakan ke pada klien
yang terpapar IMS.
i. Tahapan
Pelayanan Kontrasepsi Darurat
1) Konseling
2) Penilaian
sebelum pelayanan
3) Instruksi
untuk klien
4) Pengamatan
lanjut
C. Metode Kontrasepsi
Pelayanan kontrasepsi diberikan dengan menggunakan metode
kontrasepsi baik hormonal maupun non hormonal. Menurut jangka waktu
pemakaiannya kontrasepsi dibagi menjadi Metode Kontrasepsi jangka Panjang
(MKJP) dan Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non-MKJP) .
Tabel
4
Kategori
Metode Kontrasepsi
NO |
METODE |
Kandungan |
Masa perlindungan |
Tradisional/Modern
|
|||
Hormonal |
Non Hormo nal |
MKJP |
Non MKJP |
Tradisional
|
Modern |
||
1. |
Metode Amenorea Laktasi
(MAL) |
|
|
|
|
|
|
2. |
Keluarga Berencana Alamiah (KBA) |
|
|
|
|
|
|
3. |
Sanggam
terputus |
|
|
|
|
|
|
4. |
Metode
barier |
|
|
|
|
|
|
5. |
Kontraspsi Kombinasi (hormon Estrogen
dan Progesterone); 1) Pil
2) Suntik |
|
|
|
|
|
|
6. |
Kontrasepsi
Progestin: 1) Pil 2) Suntik |
|
|
|
|
|
|
3) Alat |
|
|
|
|
|
|
|
NO |
METODE |
Kandungan |
Masa perlindungan |
Tradisional/Modern
|
|||
Hormonal |
Non Hormo nal |
MKJP |
Non MKJP |
Tradisional
|
Modern |
||
|
Kontrasepsi
Bawah Kulit
(AKBK) |
|
|
|
|
|
|
7. |
Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim
(AKDR) |
|
|
|
|
|
|
8 |
Kontrasepsi
Mantap, Metode Operasi
Wanita (MOW) dan Metode Operasi
Pria (MOP) |
|
|
|
|
|
|
1. Metode Amenorea Laktasi (MAL)
a. Profil:
1) MAL
adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif, artinya
hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan ataupun minuman apa pun
lainnya.
2) MAL
dapat dipakai sebagai kontrasepsi bila:
3) menyusui
secara penuh (full breast feeding),
pemberiannya lebih dari 8 kali sehari, belum haid, umur bayi kurang dari 6
bulan.
4) Efektif
sampai 6 bulan
5) Harus
dilanjutkan dengan pemakaian metode kontrasepsi lainnya
b. Cara
Kerja: penundaan/penekanan ovulasi
c. Keuntungan/Manfaat:
Efektivitasnya tinggi, segera efektif, tidak
mengganggu sanggama d. Keterbatasan:
Perlu persiapan sejak perawatan kehamilan, sulit
dilaksanakan karena kondisi sosial, efektivitas hanya sampai kembalinya haid
atau sampai dengan 6 bulan
2. Keluarga Berencana
Alamiah (KBA)
a. Profil:
Efektif bila dipakai dengan tertib, Ibu harus
belajar mengetahui kapan masa suburnya barlangsung, pasangan secara sukarela
menghindari sanggama pada masa subur Ibu
b. Keuntungan/Manfaat:
Tidak ada efek samping sistemik dan tanpa biaya
c. Keterbatasan:
Keefektifan tergantung dari kemauan dan disiplin
pasangan, perlu ada pelatihan (butuh pelatih/guru KBA, bukan tenaga medis),
perlu pencatatan setiap hari
3. Sanggam terputus
a. Profil:
Metode KB tradisional, dimana pria mengeluarkan alat
kelamin
(penis) nya dari vagina sebelum mencapai ejakulasi
b. Cara
kerja:
Alat kelamin (penis) dikeluarkan sebelum ejakulasi
sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina sehingga tidak ada pertemuan antara
sperma dan ovum dan kehamilan dapat dicegah
c. Keuntungan/Manfaat:
Efektif bila dilaksanakan dengan benar, dapat
digunakan sebagai pendukung metode KB lainnya dan dapat digunakan setiap waktu
d. Keterbatasan:
Efektivitas sangat bergantung pada kesediaan pasangan
untuk melakukan sanggama terputus setiap melaksanakannya, memutus kenikmatan
dalam berhubungan seksual
4. Metode barier
Kondom
a. Profil:
§ Merupakan
selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks
(karet), plastik (vinil) atau bahan
alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat hubungan seksual; terbuat
dari karet sintetis yang tipis, berbentuk silinder, dengan muaranya berpinggir
tebal, yang bila digulung berbentuk rata atau atau mempunyai bentuk seperti
putting susu. Berbagai bahan telah ditambahkan pada kondom baik untuk
meningkatkan efektivitasnya (misalnya penambahan spermisida) maupun sebagai
aksesoris aktivitas seksual.
§ Tipe
kondom terdiri dari:
-
Kondom biasa
-
Kondom berkontur (bergerigi)
-
Kondom beraroma
-
Kondom tidak beraroma
§ Kondom
untuk pria sudah cukup dikenal namun kondom untuk wanita walaupun sudah ada,
belum populer dengan alasan ketidak nyamanan (berisik)
b. Cara
kerja:
§ Menghalangi
terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dengan cara mengemas sperma di ujung
selubung karet yang dipasang pada penis sehingga sperma tersebut tidak tercurah
ke dalam saluran reproduksi perempuan
§ Khusus
untuk kondom yang terbuat dari lateks dan vinil dapat mencegah penularan
mikroorganisme (IMS termasuk HBV dan HIV/AIDS) dari satu pasangan kepada
pasangan yang lain.
c. Keuntungan/Manfaat:
§ Murah
dan dapat dibeli secara umum, tidak perlu pemeriksaan kesehatan khusus, double protection (selain mencegah
kehamilan tetapi juga mencegah IMS termasuk
HIV-AIDS)
d. Keterbatasan:
Cara penggunaan sangat mempengaruhi keberhasilan
kontrasepsi, agak mengganggu hubungan seksual (mengurangi sentuhan langsung),
bisa menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan ereksi, malu membelinya di
tempat umum
5. Kontraspsi Kombinasi
(hormon Estrogen dan Progesterone); Pil dan Suntik Pil Kombinasi
a. Profil:
§ Monofasik:
21 tablet mengandung hormon aktif estrogen/progestin dalam dosis yang sama dan
7 tablet tanpa hormon
§ Bifasik:
21 tablet
mengandung hormon aktif
estrogen/progestin dalam dua dosis yang berbeda dan 7 tablet tanpa hormon
§ Trifasik:
21 tablet
mengandung hormon aktif
estrogen/progestin dalam tiga dosis yang berbeda dan 7 tablet tanpa hormon
b. Cara
kerja:
Menekan ovulasi; mencegah implantasi; mengentalkan
lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh sperma; pergerakan tuba terganggu
sehingga transportasi telur dengan sendirinya akan terganggu
c. Waktu
memulai:
Setiap saat selagi haid; setelah 6 bulan pemberian
ASI eksklusif; setelah 3 bulan bagi yang tidak menyusui; segera atau dalam 7
hari pasca keguguran
d. Keuntungan/Manfaat:
Siklus haid menjadi teratur, banyaknya darah haid berkurang
(mencegah anemia), tidak terjadi nyeri haid, mudah dihentikan setiap saat,
reversibel (kesuburan segera kembali setelah penggunaan pil dihentikan)
e. Keterbatasan:
Mahal, harus diminum setiap hari, mengurangi ASI pada
perempuan menyusui Suntikan Kombinasi
a. Profil:
§ 25
mg depo medroksiprogesteron asetat dam estradiol sipionat (Cyclofem)
disuntikkan IM dalam, sebulan sekali
§ 50
mg noretindron anantat dan 5 mg estradiol disuntikkan IM dalam, sebulan sekali
b. Cara
kerja:
Menekan ovulasi; membuat lendir serviks menjadi kental
sehingga penetrasi sperma terganggu; atrofi endometrium sehingga implantasi
terganggu; menghambat transportasi gamet oleh tuba
c. Waktu
memulai:
1) Suntikan
pertama diberikan dalam waktu 7 hari siklus haid.
2) Pada
ibu yang tidak haid, suntikan pertama dapat diberikan setiap saat asal
dipastikan ibu tidak hamil, namun selama 7 hari setelah suntukan tidak boleh
melakukan hubungan seksual.
3) Pada
ibu pasca persalinan 6 bulan, menyusui dan belum haid, suntikan pertama dapat
diberikan setiap saat asal dipastikan tidak hamil.
4) Pada
ibu pascapersalinan > 6 bulan, menyusui dan sudah mendapat haid, suntikan
pertama dapat diberikan pada siklus haid hari 1 sampai hari ke 7.
5) Pada
ibu pasca persalinan 3 minggu dan tidak menyusui, suntikan pertama dapat segera
diberikan.
6) Pada
ibu pascakeguguran suntikan dapat segera diberikan atau dalam waktu 7 hari.
d. Keuntungan:
Tidak diperlukan
pemeriksaan dalam dan tidak perlu
menyimpan obat suntik
e. Keterbatasan:
Harus kembali setiap 30
hari ke
tenaga kesehatan, kemungkinan keterlambatan pemulihan kesuburan
setelah penghentian pemakaian
6. Kontrasepsi Progestin: Pil, Suntik dan Alat Kontrasepsi Bawah
Kulit (AKBK) Pil Progestin
a. Profil
§ Metode
kontrasepsi dengan menggunakan progestin, yaitu bahan tiruan dari
progesteron
§ Ada
2 jenis kemasan pil progestin, yakni: o Kemasan
28 pil berisi 75 µg norgestrel
o Kemasan
35 pil berisi 300 µg levonorgestrel atau 350 µg norethindrone.
b. Cara
kerja:
Mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis
dan atrofi dan menghambat transportasi gamet oleh tuba.
c. Waktu
memulai:
1) Hari
1-5 siklus haid.
2) Bila
diatas hari ke-5 atau tidak haid, dapat digunakan tiap saat asal dipastikan
tidak hamil, namun jangan melakukan hubungan seksual atau menggunakan
kontrasepsi lain untuk waktu 2 hari.
3) Pada
ibu menyusui 6 minggu sampai 6 bulan pasca persalinan, tidak haid, dapat
dimulai setiap saat.
4) Pada
ibu menyusui 6 minggu sampai 6 bulan pasca persalinan, dan sudah dapat haid, dapat dimulai pada hari 1-5 siklus
haid.
5) Pada
ibu pasca keguguran dapat segera diberikan.
d. Keuntungan:
Tidak mempengaruhi produksi ASI, kembalinya
fertilitas segera jika pemakaian dihentikan, mudah digunakan dan nyaman dan
klien dapat menghentikan sendiri penggunaannya.
e. Keterbatasan:
Harus digunakan setiap hari dan
pada waktu yang sama, bila lupa satu pil saja, kegagalan menjadi lebih besar;
angka putus pemakaian (drop out) nya
cukup tinggi. Suntik Progestin
a. Profil
§ Metode
kontrasepsi dengan menggunakan progestin, yaitu bahan tiruan dari
progesteron:
§ Tersedia
dalam 2 jenis kemasan, yakni:
1) Depo
medroksiprogesteron asetat mengandung 150 mg DMPA, diberikan setiap 3 bulan
dengan suntikan intramuskular di bokong;
2) Depo
noretisteron enantat mengandung 200 mg noretindron enantat, diberikan setiap 2
bulan dengan cara disuntik intramuskular.
b. Waktu
memulai:
1) Suntikan
pertama diberikan dalam waktu 7 hari siklus haid
2) Pada
ibu yang tidak haid, suntikan pertama dapat diberikan setiap saat asal
dipastikan ibu tidak hamil, namun selama 7 hari setelah suntukan tidak boleh
melakukan hubungan seksual
3) Pada
ibu menyusui: setelah 6 minggu pasca persalinan, sementara pada ibu tidak
menyusui dapat menggunakan segera setelah persalinan.
c. Cara
kerja
Mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis
dan atrofi dan menghambat transportasi gamet oleh tuba.
d. Keuntungan
Tidak menekan produksi ASI, dapat digunakan oleh
perempuan usia > 35 tahun sampai perimenopause
e. Keterbatasan:
Klien sangat bergantung pada tempat sarana pelayanan
kesehatan untuk suntikan ulang, tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu, lambat
kembalinya kesuburan setelah penghentian pemakaian, rata-rata 4 bulan
Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK)
a. Profil
§ Alat
kontrasepsi bawah kulit yang mengandung progestin yang dibungkus dalam kapsul
silastik silikon polidimetri.
§ Ada
3 jenis yang tersedia:
1) Norplant,
terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3.4 cm, diameter
2,4 mm yang diisi dengan 36 mg levonorgestrel dan lama kerjanya 5 tahun;
2) Implanon,
terdiri dari satu batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40 mm, diameter
2mm yang diisi dengan 68 mg 3 keto desogestrel dan lama kerjanya 3 tahun;
3) Jadelle
dan Indoplant, terdiri dari dua batang berisi 75 mg Levonorgestrel dengan lama kerjanya 3 tahun.
b. Waktu
memulai:
§ Setiap
saat selama siklus haid
§ Setiap
saat di luar siklus haid asal diyakini tidak hamil, namun tidak melakukan
hubungan seksual dulu atau menggunakan kontrasepsi lain untuk jangka waktu 7 hari
c. Cara
kerja:
Lendir serviks menjadi kental, mengganggu proses
pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi implantasi; mengurangi
transportasi sperma; menekan ovulasi
d. Keuntungan:
Perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun),
pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah pencabutan, tidak memerlukan
pemeriksaan dalam, tidak mengganggu ASI
e. Keterbatasan:
Membutuhkan tindakan pembedahan minor untuk insersi
dan pencabutan, tidak dapat menghentikan sendiri pemakaian kontrasepsi,
melainkan harus pergi ke faskes untuk tindakan pencabutan
7. Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim (AKDR)
a. Profil:
Suatu alat kontrasepsi yang terbuat dari plastik
fleksibel, dipasang dalam rahim dengan menjepit kedua saluran yang menghasilkan
indung telur sehingga tidak terjadi pembuahan.
b. Waktu
memulai:
1) Setiap waktu dalam siklus haid (klien
pasti tidak hamil) 2) Pascaabortus: segera atau dalam waktu 7 hari 3) Pasca
persalinan:
o Dalam
10 menit setelah plasenta lahir (insersi dini pascaplasenta)
o Sampai
48 jam pertama setelah melahirkan (insersi segera pasca persalinan)
o Pada
4 minggu setelah melahirkan (perpanjangan interval pasca persalinan)
o Pada
waktu operasi sesarea (trans secarea)
4) Pascasanggama yang tidak terlindungi:
1-5 hari (kontrasepsi darurat)
Terkait dengan jenis kontrasepsi ini termasuk dalam
metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) dan waktu pemberiannya yang dapat
segera mungkin stelah persalinan, maka pemilihan metode ini sangat efektif dan
efisien dimana ibu pasca bersalin pulang ke rumah sudah langsung terlindungi
dengan kontrasepsi dengan Couple Years
Protection (CYP) yang panjang.
c. Cara
kerja:
Mencegah terjadinya fertilisasi, dimana tembaga
pada AKDR menyebabkan reaksi inflamasi steril, toksik buat sperma sehingga
tidak mampu untuk fertilisasi.
d. Keuntungan:
Efektivitas tinggi, efektif segera setelah
pemasangan, metode jangka panjang, tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI,
dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak
terjadi infeksi), dapat digunakan sampai menopause (1 tahun atau lebih setelah
haid terakhir)
e. Keterbatasan:
Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau
perempuan yang sering berganti pasangan, diperlukan prosedur medis termasuk
pemeriksaan pelvik, klien tidak dapat melepas AKDR sendiri, mungkin AKDR keluar
dari uterus tanpa diketahui, klien harus memeriksa posisi benang AKDR dari
waktu ke waktu dengan cara memasukkan jari ke dalam vagina (sebagian perempuan
tidak mau melakukan ini).
8. Kontrasepsi Mantap
Metode Operasi Wanita (MOW)
a. Profil:
Merupakan metode kontrasepsi mantap yang bersifat
sukarela bagi seorang wanita bila tidak ingin hamil lagi.
b. Cara
kerja:
Mengoklusi tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang
cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum.
c. Waktu
menggunakan:
Dapat dilakukan segera setelah persalinan atau
setelah operasi sesar, sementara untuk non-operasi sesar, idealnya dilakukan
dalam 48 jam pasca persalinan dengan minilaparotomi (jika tidak bisa dalam
waktu 2 hari pasca persalinan, ditunda sampai 4-6 minggu).
d. Keuntungan:
Efektivitasnya tinggi, tidak mempengaruhi proses
menyusui, tidak bergantung pada faktor senggama
e. Keterbatasan:
Harus dipertimbangkan sifat
permanen kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali, kecuali dengan
operasi rekanalisasi), rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah
tindakan, harus dilakukan oleh dokter yang terlatih, sedikit efek samping
seperti rasa sakit atau ketidak nyamanan dalam jangka pendek setelah
tindakan Metode Operasi Pria (MOP)
a. Profil:
§ Merupakan
prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria
§ Ada
2 jenis vasektomi yaitu: 1) Insisi
2) Vasektomi Tanpa Pisau (VTP).
b. Cara
kerja:
Mengoklusi vasa deferensia sehingga alur transportasi
sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi.
c. Waktu
pemberian:
Bisa dilakukan kapan saja
d. Keuntungan:
Efektivitasnya yang tinggi, sangat aman, morbiditas
dan mortalitas jarang, tinggi tingkat rasio efisiensi biaya dan lamanya
penggunaan kontrasepsi.
e. Keterbatasan:
tidak efektif segera (WHO menyarankan kontrasepsi
tambahan selama 3 bulan setelah prosedur, kurang lebih 20 kali ejakulasi),
komplikasi minor seperti infeksi, perdarahan, nyeri pasca operasi. Teknik tanpa
pisau merupakan pilihan mengurangi perdarahan dan nyeri dibandingkan
teknik insisi
D. Prosedur Klinik
a. Persiapan
b. Pencegahan
Infeksi
c.
Langkah-langkah pemasangan
d. Tindakan
setelah pemasangan
1. Pemasangan
dan Pencabutan AKDR Copper T 380A Pemasangan AKDR Copper T 380A
a. Persiapan:
Bahan dan Peralatan
-
Bivalve
speculum (kecil, sedang, atau besar)
-
Tenakulum
-
Sonde uterus
-
Forsep/korentang
-
Gunting
-
Mangkuk untuk larutan antiseptik
-
Sarung tangan (yang telah di DTT atau
distrilisasi atau sarung tangan periksa yang baru)
-
Cairan antiseptik (mis.: povidon iodin) untuk
membersihkan serviks
-
Kain kasa atau kapas
-
Sumber cahaya yang cukup untuk menerangi serviks
(lampu senter sudah cukup), dan
-
Copper T 380A IUD yang masih belum rusak dan
terluka
b. Pemasangan
Langkah 1.
-
Jelaskan kepada klien apa yang akan dilakukan
dan mempersilakan klien untuk mengajukan
pertanyaan
-
Sampaikan kepada klien kemungkinan akan merasa
sedikit sakit pada beberapa langkah waktu pemasangan dan nanti akan diberitahu
bila sampai pada langkah-langkah tersebut.
- Pastikan klien telah mengosongkan
kandung kencingnya.
Langkah 2
-
Periksa genitalia eksterna
-
Lakukan pemeriksaan speculum
-
Lakukan pemeriksaan panggul
Langkah 3
-
Lakukan pemeriksaan mikroskopik bila tersedia
dan ada indikasi .
Langkah 4
-
Masukkan lengan AKDR Copper T 380A di dalam
kemasan sterilnya
Langkah 5
-
Masukkan speculum dan usap vagina dan serviks
dengan larutan antiseptic
-
Gunakan tenakulum untuk menjepit serviks .
Langkah 6
-
Masukkan sonde uterus
Langkah 7
-
Pasang AKDR Copper T 380A
Tindakan setelah pemasangan
1) Buang
habis pakai yang terkontaminasi sebelum melepas sarung tangan.
2) Bersihkan
permukaan yang terkontaminasi.
3) Lakukan
dekontaminasi alat-alat dan sarung tangan dengan segera setelah selesai dipakai.
4) Ajarkan
pada klien bagaimana memeriksa benang AKDR (dengan menggunakan model bila
tersedia)
5) Minta
klien menunggu di klinik selama 15-30 menit setelah pemasangan AKDR
Langkah-langkah Pencabutan AKDR Copper T 380A
-
Menjelaskan kepada klien apa yang akan dilakukan
dan persilakan klien untuk bertanya.
-
Memasukkan spekulum untuk melihat serviks dan
benang AKDR.
-
Mengusap serviks dan vagina dengan larutan
antiseptik 2 sampai 3 kali.
-
Mengatakan pada klien bahwa sekarang akan
dilakukan pencabutan. Meminta klien untuk tenang dan menarik nafas panjang.
Memberitahu mungkin timbul rasa sakit, tapi itu normal
-
Pasang AKDR yang baru bila klien menginginkan
dan kondisinya memungkinkan
Pencegahan Infeksi
Pemasangan
Untuk mengurangi risiko infeksi pasca pemasangan
yang dapat terjadi pada klien, petugas klinik harus berupaya untuk menjaga
lingkungan yang bebas dari infeksi dengan cara sebagai berikut.
Untuk mengurangi risiko infeksi pasca pemasangan
yang dapat terjadi pada klien, petugas klinik harus berupaya untuk menjaga
lingkungan yang bebas dari infeksi dengan cara sebagai berikut.
-
Tidak melakukan pemasangan bagi klien dengan
riwayat IMS
-
Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
sebelum dan sesudah tindakan.
-
Bila perlu, minta klien untuk membersihkan
daerah genitalnya sebelum melakukan pemeriksaan panggul.
-
Gunakan instrumen dan pakai sepasang sarung
tangan yang telah di DTT (atau distrilisasi), atau dapat menggunakan sarung
tangan periksa sekali pakai
(disposable).
-
Setelah memasukkan spekulum dan memeriksa
serviks, usapkan larutan antiseptic beberapa kali secara merata pada serviks
dan vagina sebelum memulai tindakan - Masukkan AKDR dalam kemasan sterilnya.
-
Gunakan teknik "tanpa sentuh" pada
saat pemasangan AKDR untuk mengurangi kontaminasi kavum uteri.
-
Buang bahan-bahan terkontaminasi (kain kasa, kapas,
dan sarung tangan sekali pakai (disposable)
dengan benar.
-
Segera lakukan dekontaminasi peralatan dan bahan
pakai ulang dalam larutan klorin 0,5% setelah digunakan.
Pencabutan
Walaupun jarang dikaitkan dengan infeksi panggul,
pencabutan AKDR harus dilaksanakan dengan hati-hati. Untuk mengurangi risiko
pada petugas kesehatan selama pencabutan, tindakan pencegahan infeksi berikut
perlu dilakukan.
-
Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
sebelum dan setelah tindakan.
-
Bila perlu, minta klien untuk membersihkan
daerah genitalnya sebelum melakukan pemeriksaan panggul.
-
Gunakan instrumen dan pakai sepasang sarung
tangan yang telah di DTT (atau distrilisasi), atau dapat menggunakan sarung
tangan periksa sekali pakai
(disposable).
-
Usapkan larutan antiseptik beberapa kali secara
merata pada serviks dan vagina sebelum memulai tindakan.
-
Segera lakukan dekontaminasi peralatan dan
bahanbahan pakai ulang dalam Larutan klorin 0,5% setelah digunakan.
2. Pemasangan dan Pencabutan Implan
(Susuk KB) Pemasangan Implan
a. Persiapan • Bahan dan Peralatan
-
Meja periksa untuk berbaring klien.
-
Alat penyangga lengan (tambahan).
-
Batang implan dalam kantong.
-
Kain penutup steril (disinfeksi tingkat tinggi)
serta mangkok untuk tempat meletakkan implan.
-
Sepasang sarung tangan karet bebas bedak yang
sudah distril (atau didisinfeksi tingkat tinggi).
-
Sabun untuk mencuci tangan.
-
Larutan antiseptik untuk desinfeksi kulit
(misal: larutan betadin atau jenis golongan iodine lainnya), lengkap dengan
cawan/ mangkok anti karat.
-
Zat anestesi lokal (konsentrasi 1% tanpa
Epinefrin).
-
Semprit (5-10 ml) dan jarum suntik (22G) ukuran
2,5 sampai 4 cm (1-1,5 per inchi)
-
Trokar 10 dan mandrin.
-
Skalpel 11 atau 15
-
Kasa pembalut , band aid dan plaster
-
Kasa steril dan pembalut
-
Epinefrin untuk renjatan anafilaktik (harus
tersedia untuk keperluan darurat)
-
Klem penjepit atau forsep masquito
(tambahan)
-
Bak tempat instrument (tertutup)
• Persiapan pemasangan
-
Umum :
Kapsul implan dipasang tepat di bawah kulit di alas
lipat siku, di daerah medial lengan alas. Untuk tempat pemasangan kapsul,
pilihlah lengan klien yang jarang digunakan.
-
Langkah 1
Persilakan klien mencuci seluruh lengan dengan
sabun dan air yang mengalir serta membilasnya. Pastikan tidak terdapat sisa
sabun (sisa sabun menurunkan efektivitas antiseptik tertentu). Langkah ini
sangat penting bila klien kurang menjaga kebersihan dirinya untuk menjaga
kesehatannya dan mencegah penularan penyakit.
-
Langkah 2
Tutup tempat tidur klien (dan penyangga lengan
atau meja samping, bila ada) dengan kain bersih.
-
Langkah 3
Persilakan klien berbaring dengan lengan yang lebih
jarang digunakan (misalnya: lengan kiri) diletakkan pada lengan penyangga atau
meja samping. Lengan harus disangga dengan baik dan dapat digerakkan lurus atau
sedikit bengkok sesuai dengan posisi yang disukai klinisi untuk memudahkan
pemasangan
-
Langkah 4
Tentukan tempat pemasangan yang optimal, 8 cm di
atas lipatan siku.
-
Langkah 5
Siapkan tempat alat-alat dan buka bungkus steril
tanpa menyentuh alat-alat di dalamnya.
-
Langkah 6
Buka dengan hati-hati kemasan steril implan dengan
menarik kedua lapisan pembungkusnya dan jatuhkan seluruh kapsul dalam mangkok
steril.
b. Pemasangan
Sebelum membuat insisi, sentuh tempat insisi dengan
jarum atau skalpel (pisau bedah) untuk memastikan obat anestesi telah
bekerja.
-
Langkah 1
Pegang skalpel dengan sudut 45°, buat insisi dangkal
hanya untuk sekedar menembus kulit. Jangan membuat insisi yang panjang atau
dalam.
-
Langkah 2
Ingat kegunaan ke-2 tanda pada trokar.
Trokar harus dipegang dengan ujung yang tajam menghadap ke atas. Ada 2 tanda
pada trokar, tanda (1) dekat pangkal menunjukkan batas trokar dimasukkan ke
bawah kulit sebelum memasukkan setiap kapsul. Tanda (2) dekat ujung menunjukkan
batas trokar yang harus tetap di bawah kulit setelah memasang setiap kapsul.
-
Langkah 3
Dengan ujung yang tajam menghadap ke atas dan
pendorong didalamnya masukkan Ujung trokar melalui luka insisi dengan sudut
kecil. Mulai dari kiri atau kanan pada
pola seperti kipas, gerakkan trokar ke depan clan berhenti saat Ujung tajam
seluruhnya berada di bawah kulit (2-3 mm dari akhir Ujung tajam). Memasukkan
trokar jangan dengan paksaan. Jika terdapat tahanan, coba dari sudut
lainnya.
-
Langkah 4
Untuk meletakkan kapsul tepat di bawah kulit, angkat
trokar keatas, sehingga kulit terangkat. Masukkan trokar perlahan-lahan dan
hati-hati ke arah tanda dekat pangkal. Trokar harus cukup dangkal sehingga
dapat diraba dari luar dengan jari. Trokar harus selalu terlihat mengangkat
kulit selama pemasangan. Masuknya trokar akan lancar bila berada di bidang yang
tepat dibawah kulit.
-
Langkah 5
Saat
trokar masuk sampai tanda cabut pendorong dari trokar.
-
Langkah 6
Masukkan kapsul pertama kedalam trokar. Gunakan ibu
jari dan telunjuk atau pinset atau klem untuk mengambil kapsul dan memasukkan
ke dalam trokar. Bila kapsul di ambil dengan tangan, pastikan sarung tangan
tersebut bebas dari bedak atau partikel lain.
Dorong kapsul sampai seluruhnya masuk ke dalam trokar dan masukkan
kembali pendorong.
-
Langkah 7
Gunakan pendorong untuk pendorong kapsul ke arah
ujung trokar sampai terasa ada tahanan, tapi jangan mendorong dengan paksa.
(Akan terasa tahanan pada saat sekitar setengah bagian pendorong masuk ke dalam
trokar).
-
Langkah 8
Pegang pendorong dengan erat ditempatnya dengan
sampe terasa ada tahanan untuk menstabilkan.Tarik tabung trokar dengan
menggunakan ibu jari dan telunjuk ke arah luka insisi sampai tanda muncul di
tepi luka insisi dan pangkalnya menyentuh pegangan pendorong. Hal yang penting
pada langkah ini adalah menjaga pendorong tetap di tempatnya dan tidak
mendorong kapsul ke jaringan.
-
Langkah 9
Saat pangkal trokar menyentuh pegangan pendorong,
tanda harus terlihat ditepi luka insisi dan kapsul saat itu keluar dari trokar
tepat berada di bawah kulit. Raba ujung kapsul dengan jari untuk memastikan
kapsul sudah keluar seluruhnya dari trokar.
-
Langkah 10
Tanpa mengeluarkan seluruh trokar, putar ujung
dari trokar ke arah lateral kanan dan kembalikan lagi ke posisi semula untuk
memastikan kapsul pertama bebas.
Selanjutnya geser trokar sekitar 15-25 derajat.
-
Langkah 11
Pada pemasangan kapsul berikutnya, untuk
mengurangi risiko infeksi atau ekspulsi, pastikan bahwa ujung kapsul yang
terdekat lebih 5 mm dari tepi luka insisi.
-
Langkah 12
Sebelum mencabut trokar, raba kapsul untuk
memastikan kapsul semuanya telah terpasang.
-
Langkah 13
Ujung dari semua kapsul harus tidak ada pada
tepi luka insisi (sekitar 5 mm). Bila sebuah kapsul keluar atau terlalu dekat
dengan Iuka insisi, harus dicabut dengan hati-hati dan dipasang kembali di
tempat yang tepat.
-
Langkah 14
Setelah kapsul terpasang semuanya dan posisi
setiap kapsul sudah (diperiksa, keluarkan trokar pelan-pelan). Tekan tempat
insisi dengan jari menggunakan kasa selama 1 menit untuk menghentikan
perdarahan. Bersihkan tempat pemasangan dengan kasa berantiseptik.
Tindakan Setelah Pemasangan
Menutup luka insisi
1) Temukan
tepi kedua insisi dan gunakan band aid atau plester dengan kasa steril untuk
menutup Iuka insisi. Luka insisi tidak perlu dijahit karena dapat menimbulkan
jaringan parut.
2) Periksa
adanya perdarahan. Tutup daerah pemasangan dengan pembalut untuk hemostasis dan
mengurangi memar (perdarahan subkutan).
Perawatan klien
1) Buat
catatan pada rekam medik tempat pemasangan kapsul dan kejadian tidak umu yang
mungkin terjadi selama pemasangan.
2) Amati
klien lebih kurang 15 sampai 20 menit untuk kemungkinan perdarahan dari luka
insisi atau efek lain sebelum memulangkan klien. Beri petunjuk untuk perawatan
luka insisi setelah pemasangan, kalau bisa diberikan secara tertulis.
c. Langkah-langkah pencabutan
-
Langkah I
Tentukan lokasi insisi yang mempunyai jarak sama
dari ujung bawah semua kapsul (dekat siku), kira-kira 5 mm dari ujung bawah
kapsul. Bila jarak tersebut sama, maka
insisi dibuat pada tempat insisi waktu pemasangan. Sebelum menentukan lokasi, pastikan
tidak ada ujung kapsul yang berada di bawah insisi lama (Hal ini untuk mencegah
terpotongnya kapsul saat melakukan insisi).
-
Langkah 2
Pada lokasi yang sudah dipilih, buat insisi
melintang yang kecil lebih kurang 4 mm dengan rnenggunakan skalpel. Jangan
membuat insisi yang besar.
-
Langkah 3
Mulai dengan mencahut kapsul yang mudah diraba dari
luar atau yang terdekat tempat insisi.
-
Langkah 4
Dorong ujung kapsul ke arah insisi dengan jari
tangan sampai ujung kapsul tampak pada luka insisi. Saat Ujung kapsul tampak
pada luka insisi, masukkan klem lengkung (mosquito
atau Crile) dengan lengkungan
jepitan mengarah ke atas. kemudian jepit
ujung kapsul dengan klem tersebut
-
Langkah 5
Bersihkan
dan buka
jaringan ikat yang
mengelilingi kapsul dengan cara menggosok-gosok
pakai kasa steril untuk memaparkan ujung bawah kapsul.
-
Langkah 6
Jepit kapsul yang sudah terpapar dengan menggunakan
klem kedua Lepaskan klem pertama dan cabut kapsul secara pelan dan hati-hati
dengan klern kedua. Kapsul akan mudah dicabut oleh karena jaringan ikat yang
mengelilinginya tidak melekat pada karet silikon. Bila kapsul sulit dicabut,
pisahkan secara Hati-hati sisa jaringan ikat yang melekat pada kapsul dengan
menggunakan kasa atau skalpel.
-
Langkah 7
Pilih kapsul berikutnya yang tampak paling mudah
dicabut. Gunakan teknik yang sama untuk
mencabut kapsul berikutnya. Sebelum mengakhiri tindakan, hitung untuk memastikan
semua kapsul sudah dicabut. Tunjukkan semua kapsul tersebut pada klien. Hal ini
sangat penting untuk meyakinkan klien.
d. Tindakan setelah pencabutan
Menutup Luka Insisi
-
Bila klien tidak ingin melanjutkan pemakaian
implan lagi, bersihkan tempat insisi dan sekitarnya dengan menggunakan kasa
berantiseptik. Gunakan klem untuk memegang kedua tepi luka insisi selarna 10
sampai 15 detik untuk mengurangi perdarahan dari Iuka insisi, kemudian
dilanjutkan dengan membalut luka insisi.
-
Dekatkan kedua tepi Iuka insisi kemudian cukup
dengan band aid (plester untuk luka ringan) atau kasa steril dan plester. Luka
insisi tidak perlu dijahit, karena mungkin dapat menimbulkan jaringan parut.
Periksa kemungkinan adanya perdarahan.
Pencegahan Infeksi
Pemasangan dan Pencabutan Batang (Rod) Implan. Untuk
meminimalisasi risiko infeksi pada klien setelah pemasangan maupun pencabutan
implan, petugas klinik harus herupaya untuk menjaga lingkungan yang bebas dari
infeksi. Untuk itu petugas perlu melakukan hal-hal berikut.
1) Meminta
klien untuk membersihkan dengan sabun seluruh lengan yang akan dipasang implan
dan membilasnya hingga tidak ada sisa sabun yang tertinggal.
2) Cuci
tangan dengan sabun dan air hersih yang mengalir. Untuk pemasangan maupun
pencabutan batang, cuci tangan dengan sabun biasa selama 10-15 detik kemudian
dibilas dengan air bersih yang mengalir sudah cukup.
3) Pakai
kedua sarung tangan yang telah distrilisasi atau di DTT.
4) Siapkan
daerah pemasangan atau pencabutan dengan kapas yang telah diberi antiseptik:
gunakan forsep untuk mengusapkan kapas tersebut pada daerah
pemasangan/pencabutan implan.
5) Setelah
selesai pemasangan maupun pencabutan batang implan, dan sebelum melepas sarung tangan,
dekontaminasi instrumen dalam larutan klorin 0,5%. Sebelum membuang atau
merendam jarum dan alat suntik, isi lebih dahulu dengan larutan klorin (Setelah
pemasangan, pisahkan plinger dari trokar. Darah kering akan menyulitkan
waktu memisahkan plinger dan trokar).
6) Rendam
selama 10 menit; kemudian bilas secara dengan air bersih untuk menghindari
korosi pada alat-alat berbahan metal.
7) Kain
operasi (drape) harus dicuci sebelum
digunakan kembali. Setelah dipakai, taruh pada wadah kering dan bertutup kemudian
dibawa ke ruang pencucian.
8) Dengan
tetap memakai sarung tangan, buang bahanbahan terkontaminasi (kasa, kapas, dan
lain-lain) ke dalam wadah tertutup rapat atau kantung plastik yang tidak bocor.
Jarum dan alat suntik sekali pakai (disposable)
harus dibuang ke dalam wadah yang tahan tusuk.
9) Masukkan
kedua tangan yang masih memakai sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%.
Lepaskan sarung tangan dari dalam ke luar. Bila hendak membuang sarung tangan.
Taruh ke dalam wadah atau kantung plastik tahan bocor.
10) Bila
hendak dipakai ulang, dekontaminasi kedua sarung tangan dengan direndam dalam
larutan Morin 0,5%, selama 10 menit.
11) Setelah
semua langkah selesai, cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang dan
keringkan dengan handuk bersih dan kering atau dianginkan.
3. Kontrasepsi Suntik
a. Persiapan
-
Bahan dan Peralatan
-
Obat yang akan disuntikkan (Depo Provera®,
Cyclofem®).
-
Semprit suntik dan jarumnya (sekali pakai). - Alkohol 60-90% dan kapas
Pemasangan
Persiapan Klien
-
Karena kulit tidak mungkin distrilisasi,
antiseptik digunakan untuk meminimalkan jumlah mikroorganisme pada kulit tempat
suntikan harus dilaksanakan. Hal ini mutlak harus dilaksanakan untuk mengurangi
kemungkinan risiko infeksi pada lokasi suntik.
-
Periksa daerah suntik apakah bersih atau
kotor.
-
Bila lengan atas atau pantat yang akan disuntik
terlihat kotor, calon klien diminta membersihkannya dengan sabun dan air.
-
Biarkan daerah tersebut kering. Persiapan
yang Dilakukan Petugas
-
Langkah I
Cuci
tangan dengan sabun dan bilas dengan air mengalir.
Keringkan dengan handuk atau dianginkan.
-
Langkah 2 :
Buka dan buang tutup kaleng pada vial yang
menutupi karet. Hapus karet yang ada di bagian atas vial dengan kapas yang
telah dibasahi dengan alkohol 60-90%. Biarkan kering (pada Depo
Provera®/Cyclofem®).
-
Langkah 3 :
Bila menggunakan jarum dan semprit suntik
sekali pakai, segera buka plastiknya. Bila menggunakan jarum dan semprit suntik
yang telah distrilkan dengan DTT, pakai korentang/forsep yang telah diDTT untuk
mengambilnya.
-
Langkah 4 :
Pasang jarum pada semprit suntik dengan
memasukkan jarum pada mulut semprit penghubung
-
Langkah 5
Balikkan vial dengan mulut vial kebawah.
Masukkan cairan suntik dalam semprit. Gunakan jarum yang sama untuk menghisap
kontrasepsi suntik dan menyuntikkan pada klien.
b. Langkah-langkah
penyuntikan
Persiapan Daerah Suntikan
-
Langkah I
Bersihkan kulit yang akan disuntik den-an
kapas alkohol yang dibasahi oleh ethil
/isopropyl alokohol 60-90%.
-
Langkah 2
Biarkan
kulit tersebut kering sehelum dapat disuntik.
Teknik Suntikan
•
Kocok botol dengan baik, hindarkan terjadinya
gelembung-gelembung udara (pada Depo
Provera/Cyclofem). Keluarkan isinya.
•
Suntikkan secara intramuskular dalam di daerah
pantat (daerah gluteal). Apabila suntikan diberikan terlalu dangkal, penyerapan
kontrasepsi suntikan akan lambat dan tidak bekerja segera dan efektif.
•
Depo Provera (3ml/150mg atau 3ml/150mg)
diberikan setiap 3 bulan (12 minggu).
•
Cyclofem 25 mg Medroksi Progesteron Asetat dan 5
mg Estrogen Sipionat diberikan setiap bulan.
c. Tindakan
setelah penyuntikan
-
Jangan memijat daerah suntik. Jelaskan pada
klien bahwa obat akan terlalu cepat di serap.
-
Jangan masukkan kembali, dan jangan
membengkokkan atau mematahkannya. Buang jarum dan semprit dalam kotak/ tempat
tahan robekan/tusukan/ tembus, misalnya kotak kayu, botol plastik atau kaleng
yang mempunyai tutup. Botol bekas infus dapat dipakai tetapi ada kemungkinan
tertembus/robek.
-
Letakkan kotak tersebut pada tempat yang mudah
dijangkau dan mudah dibuka tanpa menggunakan benda tajam.
-
Kubur/bakar bila kotak tersebut telah 2/3
penuh.
4. Tubektomi
a. Persiapan
-
Klien
-
klien dianjurkan untuk mandi sebelum tindakan,
atau membersihkan daerah perut bawah hingga daerah kelamin dengan air dan
sabun. Rambut pubis cukup digunting dan dicukur sesaat akan operasi jika sangat
mengganggu daerah operasi. Klien dipakaikan baju operasi.
-
Bahan dan Peralatan
-
Operasi
b. Pencegahan Infeksi
•
Sebelum pembedahan
Operator dan petugas mencuci tangan dengan
menggunakan larutan antiseptik, lalu menggunakan pakaian operasi dan sarung
tangan steril.
Gunakan larutan antiseptik untuk membersihkan
vagina dan serviks. Usapkan larutan antiseptik pada daerah operasi mulai dari
tengah kemudian meluas ke daerah luar dengan gerakan memutar.
•
Selama pembedahan
Pergunakan instrumen, sarung tangan dan kain
penutup yang steril. Kerjakan dengan keterampilan yang tinggi untuk mengurangi
trauma/komplikasi (perdarahan)
•
Setelah pembedahan
Masih menggunakan sarung tangan, operator dan
petugas membuang limbah ke dalam wadah. Lakukan tindakan dekontaminasi pada
instrumen atau alat pembedahan sebelum dilakukan pencucian dengan larutan
klorin 0,5%. Cuci tangan stelah melepas sarung tangan.
c. Premedikasi dan Anastesi
•
Pemberian premedikasi sedapat mungkin dihindari,
jika klien cemas cari penyebabnya dahulu dan lakukan konseling kembali. Bila
diperlukan dapat diberikan 5 – 10 mg diazepam secara oral 30 – 45 menit sebelum
tindakan operasi.
•
Anestesi lokal yang menggunakan lidokain 1 %
dianggap lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum atau konduksi
(spinal/epidural) dibandingkan anestesi umum yang mungkin meningkatkan
komplikasi depersi pernapasan.
Tabel Obat untuk menghilangkan nyeri/sakit
Obat |
Regimen |
||
Dosis Umum |
Dosis
Maksimum |
||
|
Unit/kg |
Klien 40
-50Kg |
|
Atropin
|
0.01 mg |
0.4 mg |
0.6 mg |
Diazepam Midazolam
|
0.1 Mg 0.05 mg |
5 mg 2.5 mg |
10 mg 3 mg |
Meperidine Ketamin
|
1 Mg 0.5 mg |
50 mg 25 mg |
|
Lidokain 1
% • analgesik tuba • anastesi lokal |
Sampai 5
cc/tuba Maks 300
mg/20cc |
• 5 ml 1 % lidokain 1% untuk setiap
tuba 5ml 0.5 bupivakain lidokain gel 2% • lidokain 1% 20 cc (maks 300 mg). Bupivakain
0.5% 20 cc (maks 125 mg) |
Semua pemberian inravena sebaiknya menggunakan set
infus dan cairan seperti dekstrose, agram fisiologik atau ringer laktat. Obat
sebaiknya diberikan secara perlahan – lahan. Selalu menyediakan antdotum obat
sebelum tindakan operasi.
d. Peralatan resusitasi dan tindakan darurat
Sedapat mungkin harus tersedia:
•
Ambu Bag
•
Tangki oksigen dengan pengaturan aliran, selang
oksigen dan masker
•
Mesin penghisap lendir, pipa udara untuk hidung
(dua ukuran)
•
Pipa udara untuk mulut (dua ukuran)
•
Infus set dan cairan infus
•
Peralatan untuk tindakan bedah akut
e. Langkah-langkah
operasi.
- Minilaparotomi interval
Metode ini merupakan
penyederhanaan laparotomi terdahulu, hanya diperlukan sayatan
kecil (3cm) baik darah perut bawah (suprapubik) maupun subumbilikal. Tindakan
ini dapat dilakukan banyak lien, realtif murah, cukup aman dan efektif.
Konseiing PraBedah
-
Memperkenalkan diri
-
Anamnesa riwayat obstetri
-
Telaah catatan medik
-
Jelaskan teknik operasi, anastesi dan
kemungkinan rasa nyeri/ tidak enak
Persiapan PraBedah
- Langkah 1 |
: periksa
kelengkapan alat bedah |
- Langkah 2 |
: pasang tensi,
nadi, pernapasan |
- Langkah 3 |
: pasang wing
needle |
- Langkah 4 |
: Jika perlu tambahan premedikasi, setelah
dizepam oral, beri pethidin 1mg/kgBB intramuskular |
Aspesis dan Antiseptik
-
Langkah 1 :
pakai pakaian kamar opersai, topi dan masker
-
Langkah 2 :
Cuci dan sikat tangan dengan larutan antiseptik selama 3 menit
-
Langkah 3 : pakai sarung tangan steril/DTT
Pemeriksaan Pelvik dan Fiksasi Uterus
-
Langkah 1 : Usap geintalia eksterna dan perineum
dengankasa berantiseptik
dan lakukan
kateterisasi
-
Langkah 2 :
lakukan pemeriksaan pelvik secara bimanual, nilai posisi dan besar
uterus serta kelainan
pelvik
-
Langkah 3 :
Pasang spekulum dan nilai serviks dan vagna
kemudian lakukan tindakan asepsisi apda portio dan
vagina
-
Langkah 4 :
Pasang tenakulum pada jam 12 dan lakukan sonde
-
Langkah 5 :
pasang elevator uterus
-
Langkah 6 : Ikatkan gagang elevator pada gaagng
tenakulum untuk mempertahankan posisi uterus
-
Langkah 7 :
Lepas sarung tangan, paakai gaun operasi dan sarung tangan steril
Persiapan Lapangan Operasi dan Penentuan Tempat Insisi
- Langkah1
: Instruksikan kepada perawat untuk
menyuntikan diazepam 0.1 mg/Kg BB intravena, setelah 3 menit suntikan Ketamin
0.5 mg/KgBB intravena tunggu 3 menit
- Langkah
2 : tentukan tempat insisi pada dinding perut dengan menggerakkan elevator
uterus ke bawah sehingga fundus uteri menyentuh dinding perut 2 -3 cm datas
simfisis pubis
- Langkah
3 : Lakukan tindakan asepsis pada tempat
insisi
Membuka dinding abdomen
-
Langkah 1 :
suntikan secara infiltrasi 3 – 4 cc anastesi
lokal di bawah kulit, setelah 2 menit nilai efek
anastesi dengan pinset
-
Langkah 2 : lakukan insisi melintang pada kulit
dan
jaringan subkutan sepanjang 3 cm pada tempat yang
telah ditentukan
-
Langkah 3 : Pisahkan jaringan subkutan secara
tumpul sampai terlhat fasia
-
Langkah 4 :
Suntikan jarum ke fasia dan lakukan
infiltrasi anastesi lokal 3 cc sambi lmenarik
jarum
-
Langkah 5 : Jepit fasia (dengan kocher) pada 2
tempat dalam arah vertikal dengan jarak 2 cm, lakukan insisi dalam arah horisontal,
perlebar ke kiri dan dan ke kanan
-
Langkah 6 : Pisahkan jaringan otot secara tumpul
pada garis tengah dengan jari telunjuk dan klem
arteri sehingga tmapak peritonium dan lakukan
infiltrasi anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum.
-
Langkah 7 :
Jepit peritonium dengan 2
klem, transluminasi untuk
indentifikasi, sisihkan omentum dan usus dari peritonium dengan menggunakan
sisi tumpul gunting
-
Langkah 8 :
Gunting peritonium arah vertikal 2 cm ke atas dan 1 cm ke bawah
-
Langkah 9 :
Masukkan 2 buah bak (retraktor) pada tempat insisi peritonium dan
reganggkan untuk menampakkan uterus pada lapangan operasi
-
Langkah 10 :
bila omentum atau usus menghalangi lapang pandang, gunakan kasa gulung,
jepit ujung kasa dengan klem.
Mencapai Tuba
-
Langkah 1 : Gerakkan elevator uterus samapai
fundus uteri tampak pada lapangan operasi
-
Langkah 2 : Tampakkan salah satu kornu uteri dan
ligamen rotundum pada lapangan operasi dengan menggerakkan
elevator dan identifikasi tuba
-
Langkah 3 :
Jepit Tuba dengan pinset atau klem Babcock
dan tarik pelan-pelan keluar melalui lubang insisi
sampai terlihat fimbria
Memotong Tuba (Cara Pomeroy)
-
Langkah 1 :
Jepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sapai tuba melengkung , tentukan deaerah mesosalping
tanpa pembuluh darah
-
Langkah 2 :
Tusukkan jarum bulat dengan benang catgut
Nomor 0 pada jarak 2 cm dari puncak lengkungan dan ikat salah satu pangkal
lengkungan tuba
-
Langkah 3 :
Ikat kedua pangkal lengkungan tuba secar
bersama-sama dengan menggunakan benang yang sama
-
Langkah 4
: Potong tuba tepat diatas benang
-
Langkah 5 : Periksa perdarahan pada tunggul tuba dan
periksa lumen tuba untuk meyakinkan tuba telah terpotong
-
Langkah 6 :
Potong benang catgut 1 cm dari
tuba dan
masukkan kembai tuba ke dalam rongga abdomen
-
Langkah 7 :
Lakukan tindakan yang sama pada sisi tuba yang lain.
Menutup dinding abdomen
-
Langkah 1 : Periksa rongga abdomen (kemungkinan
perdarahan atau laserasi usus) dan keluarkan kasa
gulung
-
Langkah 2 :
jahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang chromic catgut no 1
-
Langkah 3 : Jahit subkutis dengan jahitan simpul
memakai benang plain catgut nomor 0
-
Langkah 4 : Jahit kulit dengan jahitan simpul
memakai benang sutera nomor 0
Tindakan Pasca Bedah
-
Langkah 1 :
Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen
sekitarnya dengan alkohol atau betadin, tutup luka
dengan kain steril dan plester
-
Langkah 2 :
Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen
sekitarnya dengan alkohol atau betadin tutup luka
dengan kain steril dan plester
-
Langkah 3 :
Lepaskan tenakulum dan elevator uterus
-
Langkah 4 :
Periksa tensi, nadi dan pernapasan
-
Langkah 5 :
Tanyakan klien tentang kleuhan subyektif
-
Langkah 6 : Pindahkan klien ke ruang pemulihan
dan amati 1 jam
-
Langkah 7 : Instruksi kepada perawat untuk
observasi
tensi, nadi, pernapasan mapun perdarahan luka
operasi dan vagina
Dekontaminasi
-
Langkah 1 :
Bersihkan sarung tangan dalam larutan
klorin 0.5%, lepaskan dan biarkan terendam dalam
larutan terebut selama 10 menit
-
Langkah 2 :
Lepaskan gaun operas, topi serta masker dan taruh pada tempat yang
tersedia
-
Langkah 3 :
Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun
-
Langkah 4 :
Periksa seluruh peralatan operasi yang telah
dipakai, remdam dalam larutan klorin 0.5 % selama
10 menit
-
Langkah 5 :
Periksa tabung dan jarum suntik yang telah dipakai, direndam dalam
larutan klorin 0.5% di tempat terpisah dari peralatan.
-
Langkah 6 :
Periksa kasa, sisa benang dan lain-lain yang telah terkontaminasi dengan
darah atau cairan tubuh telah dimasukkan dalam plastik tertutup
Minilaparatomi pasca persalinan
Lakukan konseling, persiapan prabedah serta tindakan
sepsis dan antisepsis.
Membuka Dinding Abdomen
-
Langkah 1 : Lakukan tindakan asepsis pada
lapngan operasi yakni sekitar pusar dengan betadin atau jodium alkohol kemudian
tutup dengan kain steril berlubang di tengah
-
Langkah 2 : Suntikkan secara infiltrasi 3-4 cc
anestesi lokal (lignokain 1%) pada tempat insisi, lapis demi lapis sampai
fasia, tunggu 2 menit dan nilai efek anestesi dengan menjepit kulit pakai
pinset chirurgis
-
Langkah 3 : Lakukan insisi melingtang pada kulit
dan
jaringan subkutan sepanjang 2- 3 cm tepat dibawah
pusar
-
Langkah 4 :
Insisi lapis demi lapis sampai hampir habis menemebus peritonium dijepit
dengan 2 klem, transluminasi untuk mengidentifikasi dan digunting selebar jari
sehingga bisa dimasuki jari telunjuk dan sebuah tampon tang.
Mencapai Tuba
-
Langkah 5 :
masukkan retraktor ke dalam
rongga
abdomen, tarik retraktor ke arah tuba yang akan
dicapai
-
Langkah 6 :
Jepit tuba dengan pinset atau klem babcock
dan tarik pelan–pelan keluar melalui lunbang
insisi sampai terlihat fimbria
-
Langkah 7 : Bila tuba tertutup omentum atau usus,
sisihkan dengan memakai kasa bulat yang dijepit kelm arteri dan posisi
klien trendelenberg
Oklusi Tuba (cara pomeroy)
-
Langkah 1 :
Jepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sapai tuba melengkung , tentukan deaerah mesosalping
tanpa pembuluh darah
-
Langkah 2 :
Tusukkan jarum bulat dengan benag Catgut Nomor 0 pada jarak 2 cm dari
puncak lengkungan dan ikat salah satu pangkal lengkungan tuba
-
Langkah 3 :
Ikat kedua pangkal lengkungan tuba secar
bersama-sama dengan menggunakan benang yang sama
-
Langkah 4
: Potong tuba tepat diatas benang
- Langkah 5 : Periksa perdarahan pada
tunggul tuba dan
periksa lumen tuba untuk meyakinkan tuba telah
terpotong
-
Langkah 6 : Potong benang catgut 1 cm dari tuba
dan
masukkan kembai tuba ke dalam rongga abdomen
-
Langkah 7 : Lakukan tindakan yang sama pada sisi
tuba yang lain.
Menutup dinding abdomen
-
Langkah 1 : Periksa rongga abdomen (kemungkinan
perdarahan atau laserasi usus) dan keluarkan kasa
gulung
-
Langkah 2 :
jahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 memakai benang chromic catgut no 1
-
Langkah 3 : Jahit subkutis dengan jahitan simpul
memakai benang plain catgut nomor 0
-
Langkah 4 : Jahit kulit dengan jahitan simpul
memakai benang sutera nomor 0
Tindakan Pasca Bedah
-
Langkah 1 :
Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen
sekitarnya
dengan alkohol atau betadin, tutup luka dengan kain steril dan plester
-
Langkah 2 :
Bersihkan luka insisi dan dinding abdomen sekitarnya dengan alkohol atau
betadin tutup luka dengan kain steril dan plester
-
Langkah 3 :
Lepaskan tenakulum dan elevator uterus
-
Langkah 4 :
Periksa tensi, nadi dan pernapasan
-
Langkah 5 :
Tanyakan klien tentang keluhan subyektif
-
Langkah 6 : Pindahkan klien ke ruang pemulihan
dan amati 1 jam
-
Langkah 7 : Instruksi kepada perawat untuk
observasi
tensi, nadi, pernapasan mapun perdarahan luka
operasi dan vagina
Dekontaminasi
-
Langkah 1 :
Bersihkan sarung tangan dalam larutan
klorin 0.5%, lepaskan dan biarkan terendam dalam
larutan tersebut selama 10 menit
-
Langkah 2 :
Lepaskan gaun operasi, topi serta masker dan taruh pada tempat yang
tersedia
-
Langkah 3 :
Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun - Langkah
4 : Periksa seluruh peralatan operasi
yang telah
dipakai, rendam dalam larutan klorin 0.5 % selama
10 menit
-
Langkah 5 :
Periksa tabung dan jarum suntik yang telah dipakai, direndam dalam
larutan klorin 0.5% di tempat terpisah dari peralatan.
-
Langkah 6 :
Periksa kasa, sisa benang dan lain-lain yang telah terkontaminasi dengan
darah atau cairan tubuh telah dimasukkan dalam plastik tertutup
f. Tindakan setelah operasi
Konseling dan Instruksi Pascabedah
-
Ingatkan pasien untuk menjaga daerah luka
operasi tetap kering
-
Jelaskan pada klien untuk tidak senggama selama
satu minggu pasca operasi, untuk kembali jika ada keluhan (nyeri atau
perdarahan), kontrol ulang satu minggu paska operasi
-
Jika sudah stabil, klien dapat dipulangkan 4-6
jam pasca operasi
3. Vasektomi
a. Persiapan
-
Klien
Klien sebaiknya mandi serta menggunkan
pakaian yang bersih dan longgar atau membersihkan daerah skrotum dan inguinal
sebelum masuk ruang tindakan. Klien dianjrkan juga membawa celana khusus untuk
menyangga skrotum. Rambut pubis cukup digunting pendek sesaat sebelum tindakan
operasi. Cuci bersih daerah operasi dengan sabun dan air kemudian ulangi seklai
lagi dengan larutan antiseptik.
-
Operasi
Karena vasektomi merupakan tindakan bedah minor dan kadang memerlukan insisi yang
kecil/ tanpa insisi sehingga hanya meliputi daerah superfisial, maka klien
dapat menggunakan pakaian sendiri asalkan bersih dan petugas tidak harus
menggunakan topi bedah, masker atau baju operasi.
b. Pencegahan
Infeksi
•
Sebelum tindakan
Cuci dan gosok skrotum, penis, dan daerah
pubis dengan sabun dan bilas dengan air yang bersih. Lalu olesi cairan
antiseptik pada daerah operasi. Operator mencuci tangan dengan larutan
antiseptik dan membilasnya dengan air yang bersih
•
Selama tindakan
Gunakan instrumen yang telah distrilisasi/ DTT
termasuk sarung tangan dan penutup. Lakukan tindakan dengan keterampilan tinggi
untuk mengurangi risiko komplikasi.
•
Setelah tindakan
Masih menggunakan sarung tangan, operator
membuang bahan-bahan yang terkontaminasi ke wadah bertutup. Lakukan tindakan
dekontaminasi dengan larutan klorin 0.5% pada instrumen atau alat yang masih
digunakan lagi. Lakukan dekontaminasi juga pada meja tindakan atau benda
lainnya yang mungkin terkontaminasi saat tindakan. Cuci tangan setelah melepas
sarung tangan.
c. Premedikasi
dan Anastesi
•
Pemberian premedikasi sedapat mungkin dihindari,
jika klien cemas cari penyebabnya dahulu dan lakukan konseling kembali. Bila
diperlukan dapat diberikan 5 – 10 mg diazepam secara oral 30 – 45 menit sebelum
tindakan operasi.
•
Anestesi lokal yang menggunakan lidokain tanpa
epinerfin dibandingkan anestesi umum yang mungkin meningkatkan komplikasi
depersi pernapasan.
d. Langkah-langkah
operasi
Teknik Vasektomi Standar
-
Langkah 1 :
Celana dibuka dan baringkan pasen dalam posisi terlentang
-
Langkah 2 :
Daerah kuit skrotum, penis, supra pubis, dan bagian dalam pangkal paha
kiri dan kanan dibersihkan dengan cairan yang
tidak menrangsang seperti larutan iodofor (betadine) 0.75% atau larutan
khlorheksidin
4%.
-
Langkah 3 : Tutuplah daerah yang telah
dibershkan tersebut dengan kain steril berlubang pada tempat skrotum
ditonjolkan keluar
-
Langkah 4 :
tepat di linea medianan diatas vas deferens, kulit skrotum diberi
anestesi lokal lalu jarum diteruskan masuk dan di daerah distal dan proksimal
vas deferens dideponir lagi masingmasing 0.5 ml.
-
Langkah 5 :
Kulit skrotum diiris longitudinal 1-2 cm, tepat diatas vas deferens yang
telah ditonjolkan ke permukaan kulit.
-
Langkah 6 :
Setelah kulit dibuka, vas deferens dipegang dengan klem, perdarahan
dirwat dengan cermat. Sebaiknya ditambah lagi
obat anestesi kedalam fasia vas
deferens dan baru kemudian fasia disayat longitudinal
sepanjang 0.5 cm. Setlah fasia vas deferens dibuka terlihat jelas vas
deferens yang berwarn putih dan
mengkilat.Lalu bebaskan Vas Deferens dan
fasianya dengan gunting halus
-
Langkah 7 :
Jepitlah vas deferens dengan klem ada tempat yang berjarak 1-2 cm dan
ikat dengan bedang kedua ujungnya. Setelah diikat jangan dipotong dulu.
Tariklah benang yang mengikat kedua
ujung vas deferens tersebut dan cek jika ada perdarahan. Jepit pada titik
perdarahan secukupnya.
-
Langkah 8
: Potonglah diantara dua ikatan tersebut sepanjang 1 cm. Gunakan benang
sutra no. 00 atau 1 untuk mengikat vas tersebut. Ikatan tidak boleh terlalu
longgar dan jangan juga terlalu keras.
-
Langkah 9 : Untuk mencegah rekanalisasi spontan dianjurkan adalah dengan
melaukukan reposisi interposisi fasia
vas deferens, yakni menjahit kembali fasia yang
terbuka sedemikian rupa, vas deferens
bagian distal terletak diluar fasia.
-
Langkah 10 :
Lakukan untuk vas deferens kanan dan kiri, setelah selesai tutuplah
kulit dengan 1-2 jahitan lain catgut No.000 kemudian rawat luka operasi, tutup
dengan kasa steril dan diplester.
Vasektomi Tanpa Pisau
-
Langkah 1 :
Celana dibuka dan baringkan aspien dalam posisi terlentang
-
Langkah 2 :
Rambut di sekitar skrotum dicukur sampai bersih
-
Langkah 3 :
Penis diplester ke dinding perut
-
Langkah 4 :
Daerah kulit skrotum, penis, supra pubis dan bagian dalam pangkal paha
kiri dan kanan dibersihkan dengan cairan yang
tidak merangsang seperti larutan iodofor
atau klorheksidin
-
Langkah 5 : Tutuplah daerah yang telah
dibershkan
tersebut dengan kain steril berlubang pada tempat
skrotum ditonjolkan keluar
-
Langkah 6 :
tepat di linea median diatas vas deferens, kulit skrotum diberi anestesi
lokal lalu jarum diteruskan masuk dan di daerah distal dan proksimal vas
deferens dideponir lagi masingmasing 0.5 ml.
-
Langkah 7 : Vas deferens dengan kulit skrotum
yang ditegangkan difiksasi di dalam lingkaran klem fiksasi pada garis tengah
skrotum. Kemudaian klem direbahkan ke bawah sehingga vas deferens mengarah ke
bawah kulit.
-
Langkah 8 :
Kemudian tusuk bagian yang paling menonjol dari vas deferens, tepat di
sebelah distal lingkaran klem dengan ujung klem diseksi dengan memnetuk
sudut 45 derajat. Sewaktu menusuk vas
deferen sebaiknya sampai kena vas deferens, kemudian klem diseksi ditarik, tutupkan
ujung-ujun gklem dan dalam keadaan tertutup ujung klem dimasukkan kembali dalam
lobang tusukkan,searah jalannya
vas deferens.
-
Langkah 9 : regangkan ujung-ujung klem
pelan-pelan. Semua lapisan jaringan dari kulit samapi dinding vas deferens akan
dapat dipisahkan dalam satu gerakan. Setelah itu dinding vas deferens yang
telah telanjang dapat terlihat.
-
Langkah 10 :
Dengan ujung klem diseksi menghadap ke bawah, tusukkan salah satu ujug
klem ke dalam dinding vas deferens dan ujung klem diputar menurut arah jarum
jam, sehingga ujung klem menghadap keatas. Ujung klem pelan-pelasn dirapatkan
dan pegang dinding anterior vas deferens. Lepaskan klem fiksasi dari kulit dan
pindahkan untuk memegang vas deferens yang telah terbuka. Pegang dan fiksasi
vas deferens yang telah telanjang dengan klem fiksasi lalu lepaskan klem
diseksi.
-
Langkah 11 :
Pada tempat vas deferens yang melengkung, jaringan sekitarnya dipisahkan
plen-pelan ke bawah dengan klem diseksi. Kalau lubang telah cukup luas,
lalu klem diseksi dimasukkan ke
dalam lubang tersebut. Kemudian buka
ujung-ujung klem-klem pelan-pelan pararel dengan arah vas deferens yang
diangkat. Diperlukan kira-kiran 2 cm vas deferens yang bebas. Vas deferens
dichrush secara lunak dengan klem diseksi, sbelum dilakukan ligasi dengan
benang sutra 3-0.
-
Langkah 12 :
Di antara du ligasi kira-kira 1 – 1.5 cm vas deferens dipotong dan
diangkat. Benang pada putung distal sementara tidak dipotong.
Kontrol perdarahan dan kembalikan putungputung vas
deferens dalam skrotum.
-
Langkah13 :
tarik pelan-pelan benang pada puntung yang distal. Pegang secara halus
fasia vas deferens dengan klem diseksi dan tutup lobang fasia dengan mengikat
sedemikian rupa sehingga puntung bagian epididimis tertutup dan puntung distal
ada di luar fasia. Apabila tidak ada perdarahan pada keadaan vas deferes tidak
tegang, maka benang yang terkahir dapat dipotong dan vas deferens dikembalikan
dalam skrotum.
-
Langkah 14 :
lakukan tindakan di atas untuk vas deferens sebelah yang lain, melalui
luka garis yang sama. Kalau tidak ada perdarahan, luka kulit tidakperlu dijahit
hanya diproksimasikan dengan band aid dan tensoplas.
e. Tindakan setelah operasi
Pasca tindakan vasektomi dianjurkan dilakukan hal
berikut:
-
Klien berbaring dahulu 15 menit - Amati rasa nyeri
maupun perdarahan - Pemberitahuan
nasihat :
• Luka
jangan basah
• Segera
kembali ke RS jika perdarahan, demam, nyeri hebat, muntah dan sesak nafas
• Hindari
bekerja berat/ sepeda sementara
• Jika
hubungan suami istri gunakan kondom sampai 15 kali ejakulasi/ 3 bulan paska
tindakan. Lalu disarankan periksa spermatozoa untuk memastikan tidak ada lagi
sperma yang ditemukan dalam air mani
-
Anjuran kontrol seminggu sampai 2 minggu pasca
tindakan, dilanjutkan dengan sebulan, tiga bulan dan setahun kemudian.
E. Jaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi
1. Mutu pelayanan Keluarga Berencana
Akses terhadap pelayanan KB yang bermutu merupakan
syarat pemenuhan kebutuhan dan hak kesehatan reproduksi sebagaimana tercantum
dalam program aksi dari ICPD Kairo, 1994. Termasuk di salamnya hak setiap orang
untuk memperoleh informasi dan akses terhadap berbagai metode kontrasepsi yang
aman, efektif, terjangkau dan akseptabel.
Peran dan tanggung jawab pria dalam KB perlu
ditingkatkan agar dapat mendukung kebutuhan kontrasepsi untuk istrinya,
meningkatkan komunikasi suami istri, meningkatkan penggunaan metode kontrasepsi
pria, meningkatkan upaya pencegahan IMS, dll. Pelayanan KB yang bermutu
meliputi hal-hal antara lain:
•
Pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan klien
•
Klien dilayani secara profesional dan memenuhi
standar pelayanan
•
Menjaga kerahasiaan dan privasi
•
Waktu tunggu yang singkat
•
Petugas memberikan informasi tentang berbagai
metode kontrasepsi yang tersedia
•
Petugas menjelaskan kemampuan fasilitas
kesehatan kepada klien dalam melayani berbagai pilihan kontrasepsi
•
Fasilitas pelayanan
harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan
•
Pelayanan tersedia pada waktu yang telah
ditentukan dan nyaman bagi klien
•
Bahan dan alat kontrasepsi tersedia dalam jumlah
yang cukup
•
Memiliki sistem superfisi yang dinamis dalam
rangka membantu menyelesaikan
•
Ada mekanisme umpan balik yang efektif dari
klien
•
Program yang berhasil memerlukan petugas
terlatih yang:
•
Mampu memberi informasi kepada klien dengan
sabar, penuh pengertian dan peka
•
Mempunyai pengetahuan, sikap positif, dan
keterampilan teknis untuk memberi pelayanan dalam bidang kesehatan reproduksi
•
Memenuhi standar pelayanan yang sudah ditentukan
•
Mempunyai kemampuan untuk mengenali dan
memecahkan masalah
•
Mempunyai sistem rujukan
•
Mempunyai kemampuan untuk melakukan penilaian
klinik yang baik
•
Mempunyai kemampuan member saran-saran untuk perbaikan
program
•
Mempunyai sistem pemantauan dan superfisi
berkala
•
Pelayanan yang bermutu membutuhkan:
a. Staf
terlatih dalam bidang konseling, pemberian informasi dan keterampilan teknis
b. Informasi
yang lengkap dan akurat untuk klien agar mereka dapat memilih sendiri metode
kontrasepsi yang paling sesuai
c. Suasana
lingkungan kerja di fasilitas kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan petugas
dalam memberikan pelayanan yang bermutu, khususnya dalam kemampuan teknis dan
interaksi interpersonal (petugas dank lien)
d. Petugas
dan klien mempunyai visi yang sama tentang pelayanan yang bermutu
Tabel
: Peran petugas dalam pelayanan KB di fasilitas kesehatan
Metode KB |
|
Petugas |
|
Dokter |
Bidan |
Perawat |
|
Pil Kombinasi |
v |
v |
v |
Pil Progestin |
v |
v |
v |
Suntikan Progestin |
v |
v |
K |
Suntikan Kombinasi |
v |
v |
K |
Implan |
v |
v |
K |
Tubektomi |
v |
K |
K |
Vasektomi |
v |
K |
K |
Kondom |
v |
v |
K |
Diafragma |
v |
v |
K |
Spermisida |
v |
v |
v |
AKDR |
v |
v |
K |
Kalender |
v |
v |
v |
Metode Amenorea Laktasi |
v |
v |
v |
Abstinensia |
v |
v |
v |
Tabel : Kemampuan fasilitas kesehatan untuk memberikan
pelayanan KB
Metode KB |
Fasilitas |
||
RS |
Puskesmas |
Posyandu |
|
Pil Kombinasi |
v |
v |
v |
Pil Progestin |
v |
v |
v |
Suntikan Progestin |
v |
v |
v |
Suntikan Kombinasi |
v |
v |
v |
Implan |
v |
v |
v |
Tubektomi |
v |
K |
K |
Vasektomi |
v |
v |
K |
Kondom |
v |
v |
v |
Diafragma |
v |
v |
v |
Spermisida |
v |
v |
v |
Metode KB |
|
Fasilitas |
|
RS |
Puskesmas |
Posyandu |
|
AKDR |
v |
v |
v |
Kalender |
v |
v |
v |
Metode Amenorea Laktasi |
v |
v |
v |
Abstinensia |
v |
v |
v |
V: memberikan pelayanan
K: konseling dan merujuk
2. Sistem Rujukan
Tujuan
Tujuan sistem rujukan di sini adalah untuk meningkatkan mutu,
cakupan dan efisiensi pelayanan kontrasepsi secara terpadu. Perhatian khusus
ditujukan untuk menunjang upaya penurunan angka kejadian efek samping,
komplikasi dan kegagalan penggunaan kontrasepsi.
Tata Laksana
Rujukan medik dapat berlangsung:
§ Internal
(antar petugas) di satu Puskesmas
§ Antara
puskesmas pembantu dan puskesmas
§ Antara
masyarakat dan puskesmas
§ Antara
satu puskesmas dan puskesmas lain
§ Antara
puskesmas dan rumah sakit, laboratorium, atau fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan
§ Internal
(antar bagian/unit pelayanan) di suatu rumah sakit
§ Antar
rumah sakit, laboratorium atau fasilitas kesehatan lain dan rumah sakit,
laboratorium atau fasilitas pelayanan lain.
Dalam melaksanakan rujukan harus diberikan:
§ Konseling
tentang kondisi klien yang menyebabkan perlu dirujuk
§ Konseling
tentang kondisi yang diharapkan diperoleh di tempat rujukan
§ Informasi
tentang fasilitas pelayanan kesehatan tempat rujukan dituju
§ Pengantar
tertulis kepada fasilitas pelayanan yang dituju mengenai kondisi klien saat ini
dan riwayat sebelumya serta upaya/tindakan yang telah diberikan
§ Bila
perlu, berikan upaya stabilisasi klien selama di perjalanan
§ Karena
kondisi klien, selama menuju tempat rujukan, klien didampingi perawat/bidan
§ Menghubungi
fasilitas kesehatan rujukan agar diberikan pertolongan segera saat klien tiba.
Fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, setelah memberikan
upaya penanggulangan dan kondisi klien telah membaik, harus segera
mengembalikan klien ke tempat fasilitas pelayanan asalnya dengan terlebih
dahulu memberikan:
§ Konseling
tentang kondisi klien sebelum dan sesudah diberi upaya penanggulangan
§ Nasihat
yang perlu diperhatikan oleh klien untuk melanjutkan penggunaan kontrasepsi
§ Pengantar
tertulis kepada fasilitas pelayanan yang merujuk mengenai kondisi klien dan
upaya penanggulangan yang telah diberikan serta saran-saran upaya pelayanan
lanjutan yang harus dilaksanakan, terutama tentang kelanjutan penggunaan
kontrasepsi
3. Persyaratan Minimal Fasilitas Pelayanan
Fasilitas pelayanan kontrasepsi merupakan salah satu mata
rantai fasilitas pelayanan medis KB yang terpadu dengan pelayanan kesehatan
umum fasilitas pelayanan kesehatan.
Fasilitas pelayanan KB diselenggarakan oleh tenaga
professional, yaitu dokter spesialis, dokter umum, bidan dan perawat kesehatan,
terutama bersifat statis, namun untuk wilayah yang sulit dijangkau dan pada
situasi tertentu dapat bersifat bergerak (mobile) Pengelompokann fasilitas
pelayanan KB (statis) berdasarkan kemampuan dan kewenangannya dibagi atas 4
kelas, yakni:
§ Fasilitas
Pelayanan KB Sederhana
§ Fasilitas
Pelayanan KB Lengkap
§ Fasilitas
Pelayanan KB Sempurna
§ Fasilitas
Pelayanan KB Paripurna
Klasifikasi Faskes KB Berdasarkan Lingkup Pelayanan
No |
Lingkup Pelayanan |
Faskes KB Sederhana |
Faskes KB Lengkap |
Faskes KB Sempurna |
Faskes KB Paripurna |
1. |
Konseling |
√ |
√ |
√ |
√ |
2. |
Pemberian Kondom |
√ |
√ |
√ |
√ |
3. |
Pelayanan
Pil KB |
√ |
√ |
√ |
√ |
No |
Lingkup Pelayanan |
Faskes KB Sederhana |
Faskes KB Lengkap |
Faskes KB Sempurna |
Faskes KB Paripurna |
4. |
Pelayanan Suntik KB |
√ |
√ |
√ |
√ |
5. |
Pelayanan IUD/Implan |
- |
√ |
√ |
√ |
6. |
Pelayanan Vasektomi/ MOP |
- |
- / √ |
√ |
√ |
7. |
Pelayanan Tubektomi/MOW
|
- |
- |
√ |
√ |
8. |
Rekanalisasi
dan penanggulangan Infertilitas
|
- |
- |
- |
√ |
9. |
Penanggulangan
Efek Samping
(sesuai kemampuan) dan upaya rujukan |
√ |
√ |
√ |
√ |
Berdasarkan Persyaratan Minimal Tenaga Kesehatan
Klasifikasi |
Tenaga |
|
Sederhana
|
Dokter/Bidan/Perawat
Kesehatan |
V |
Administrasi
|
V/0 |
|
Lengkap
|
Dokter/Bidan/Perawat
Kesehatan |
V |
Administrasi
|
V/0 |
|
Sempurna
|
Dokter |
VV |
Bidan |
VV |
|
Perawat
Kesehatan |
VV |
|
Administrasi
|
VV |
|
Paripurna
|
Dokter |
VV |
Bidan |
VV |
|
Perawat
Kesehatan |
VV |
|
Administrasi
|
VV |
V : Boleh terisi salah satu atau keduanya
VV : Harus terisi dan tidak bernilai nol “0”
V/0 : Boleh terisi atau boleh bernilai nol
“0” Klasifikasi Faskes KB
Berdasarkan Persyaratan Minimal Sarana
Faskes KB
Sederhana |
Lengkap |
Sempurna |
Paripurna |
Konseling
Kit |
Konseling Kit |
Konseling Kit |
Konseling Kit |
BP3K |
BP3K |
BP3K |
BP3K |
Tensimeter |
Tensimeter |
Tensimeter |
Tensimeter |
|
Timbangan Berat Badan |
Timbangan Berat Badan |
Timbangan Berat Badan |
|
Obgyn Bed |
Obgyn Bed |
Obgyn Bed |
|
IUD KIT |
IUD KIT |
IUD KIT |
|
Implant Removal Kit |
Implant Removal Kit |
Implant Removal Kit |
|
VTP Kit |
VTP Kit |
VTP Kit |
|
|
Minilaparotomi Kit/Laparoskopi |
Minilaparotomi Kit/Laparoskopi
|
4. Manajemen Pasokan Alat Kontrasepsi
a. Panduan Dasar Penyimpanan alat/obat
Kontrasepsi.
Tatacara penyimpanan
alat/obat kontrasepsi yang baik merupakan upaya menjaga agar kualitas alat/obat
kontrasepsi tersebut selalu dalam kondisi yang baik dan aman untuk digunakan
oleh klien KB.
Panduan
Dasar Penyimpanan alat/obat kontrasepsi:
1) Bersihkan
dan suci hamakan tempat penyimpanan alat/obat kontrasepsi secara teratur
2) Simpan
alat/obat kontrasepsi dalam keadaan kering, tidak lembab, mendapat ventilasi
udara yang baik, dan tidak terkena sinar matahari langsubng
3) Pastikan
bahwa alat pengaman bahaya kebakaran berada dalam kondisi baik, serta siap dan
mudah diambil/digunakan
4) Tempatkan
dus kondom yang terbuat dari karton agar dijauhkan dari sumber listrik/lampu,
untuk mencegah bahaya kebakaran
5) Tempatkan
dus pempimpanan alat/obat kontrasepsi (yang berada di gudang): +- 10 cm di atas
lantai; +-30 cm dari dinding, tinggi susunan dus tidak lebih dari 2,5m
6) Agar
diatur dus karton sedemikian rupa sehingga kartu identitas/label yang berisis
batas waktu kadaluwarsa atau waktu puatan di pabrik dapat mudah dilihat
7) Tempatkan
alat/obat kontrasepsi pada posisi yang memungkinkan untuk pendistribusian pada
sistem FEFO yasitu alokon yang lebih awal masa kadaluwarsanya agar lebih awal
didistribusikan/dipakai oleh klien
8) Tempatkan
tiap jenis alat/obat kontrasepsi secara terpisah, dan jauhkan dari bahan-bahan
yang mengandung insektisida, bahan kimia, arsip tua/lama, peralatan kantor dan
material lain
9) Pisahkan
alat dan obat kontrasepsi yang sampai pada batas waktu kadaluwarsa, sesuai dengan
ketentuan pemerintah atau pemberi bantuan.
10) Pastikan
bahwa penyimpanan alat/obat kontrasepsi benar-benar dalam posisi aman.
Untuk memastikan bahwa alat/obat kontrasepsi belum
sampai pada batas kadaluarsa pada waktu disalurkan ke klien, maka diterapkan
kebijakan FEFO (First Expired First Out) yang
harus diinformasikan ke seluruh jajaran petugas.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada FEFO:
1) Teliti
setiap dus alat/obat kontrasepsi yang tiba di gudang atau fasilitas pelayanan,
kapan waktu kadaluarsa
2) Letakkan
setiap dus alokon sesuai dengan urutan waktu kadaluwarsa. Letak dus paling atas
adalah dus alokon yang masa kadaluwarsanya paling dekat. Pastikan bahwa alokon
tersebut mudah dilihat dan mudah diambil oleh petugas
3) Umumkan
kepada petugas lain agar menggunakan alokon yang masa kadaluwarsanya paling
dekat terlebih dahulu, dan pan pastikan tidak menyebarkan alokon yang sudah
lewat tanggal kadaluwarsanya.
Pengamatan kualitas alat/obat kontrasepsi secara
visual dapat dilakukan apabila secara fisik terlihat adanya tandatanda
kelainan. Tanda-tanda kelainan yang dapat dikenali (agar jangan digunakan)
adalah sebagai berikut:
No |
Jenis alat/obat kontrasepsi |
Tanda-tanda
kelainan |
1 |
Pil KB |
§ Pil terlihat rusak (pecah-pecah,
rapuh/remuk, berubah warna) § Aluinium pembungkus rusak § Pada paket/strip ada pil yang
hilang § Pil terlihat buruk/rusak (ada
bintik cokelat, mudah
pecah) |
2 |
Kondom |
§ Kondom terlihat rusak § Kemasan kondom terbuka/bocor § Segel kemasan tidak utuh |
3 |
AKDR |
Kemasan
steril sudah trusak/erbuka |
4 |
Suntik
KB |
Cairan
memadat dan tidak bercampur homogeny walaupun sudah dikocok |
5 |
Implan |
§ KEmasan steril terlihat rusak § Satu kapsul atau lebih dalam
kemasan tersebut hilang atau berubah warna (tidak putih) § Satu kapsul atau lebih dalam
kemasan tersebut bengkok/tidak
lurus |
b. Panduan inventarisasi alat/obat
kontrasepsi
Guna mengetahui apakah alat/obat kontrasepsi yang
tersimpan dalam tempat penyimpanan di faskes masih berada dalam kualitas yang
baik dan aman untuk disalurkan ke klien, perlu dilakukan pengamatan mutu
terhadap fisik alat/obat kontrasepsi secara berkala. Pengamatan dilakukan
dengan menggunakan Daftar Tilik:
1) Manajemen
Inventarisasi
2) Kondisi
tempat penyimpanan
Efektivitas dan mutu alat/obat kontrasepsi dapat
terjaga dengan baik apabila disimpan dalam kondisi yang baik.
Penjagaan mutu dan kondisi penyimpanan alat/obat
kontrasepsi
No |
Jenis Kontrasepsi |
Kondisi
Penyimpanan |
Masa Kadaluwarsa |
1 |
Pil KB |
Simpan di tempat sejuk
dan kering dan jauhkan dari sinar matahari langsung |
5 tahun
|
2 |
Kondom |
Simpan
di tempat sejuk dan kering, |
3-5
tahun |
No |
Jenis Kontrasepsi |
Kondisi
Penyimpanan |
Masa Kadaluwarsa |
|
|
yaitu
suhu,40C dan jauhkan dari sinar matahari langsung, bahan kimia, dan bahan
yang mudah terbakar |
|
3 |
AKDR |
Lindungi
dari kelembaban, sinar matahari langsung, suhu 15-30 derajat C |
7 tahun
|
4 |
Norplan
|
Simpan
pada ruang bersuhu 15-30 derajat C, jauhkan dari temperatur tinggi |
3-5
tahun |
5 |
Suntik
KB |
Simpan
di tempat sejuk dan kering, suhu <30 derajat C |
5 tahun
|
|
|
Simpan pada ruang
bersuhu 15-30 derajat C, posisi vials tegak lurus menghadap ke atas, jauhkan dari sinar matahari langsung |
|
Untuk memastikan apakah alat/obat kontrasepsi dalam
kondisi baik, sebelum didistribusikan kepada klien, lakukan hal sebagai
berikut:
1) Petugas
melakukan pengecekan kondisi fisik atas alat/obat kontrasepsi yang diterima
2) Apabila
kondisi kontrasepsi baik, kemudian akan disimpan lebih dari 6 bulan, apabila
kondisi tempat penyimpanan kurang baik (terlalu panas/klembab), petugas perlu
melakukan pengecekan fisik secara berkala
(mingguan/bulanan)
3) Lakukan
pencatatan dan palporan atas temuan yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik
5. Penyeliaan Fasilitatif
a. Pengertian
Penyeliaan fasilitatif adalah suatu pendekatan
perbaikan kinerja melalui penyeliaan dengan fokus pada pemantauan sistematik,
pemecahan masalah bersama dan komunikasi dua arah antara penyelia dan yang
diselia
b. Tujuan
Menjaga proses jaga mutu berlangsung secara
berkesinambungan dengan cara mempertemukan harapan klien dengan kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan
c. Fokus
dan cara melakukan
Fokus penyeliaan fasilitatif adalah pada
sistem dan proses kinerja dengan memanfaatkan data/informasi untuk mengidentifikasi
dan menganalisis masalah serta menemukan akar penyebab masalah. Kemudian
diaplikasikan solusi terpilih untuk menjaga dan memperbaiki kualitas pelayanan, yang mencakup delapan
dimensi mutu: 1) Kompetensi teknis pelaksana pelayanan
2) Akses
klien terhadap fasilitas pelayanan
3) Efektivitas
pelayanan
4) Efisiensi
pelayanan
5) Hubungan
antar manusia (klien dan pelaksna pelayanan)
6) Kesinambungan
pelayanan
7) Keamanan
pelayanan
8) Kenyamana
npelayanan
d. Peran
Penyelia Fasilitatif:
1) Lakukan
pengamatan mendalam dengan cara menelusuri penyebab dan faktor yang
mempengaruhi timbulnya masalah
2) Menemukan
kekuatan dan kelemahan kinerja tanpa menghakimi objek selia dan berusaha
memberikan saran yang sesuai. Gunakan alat penyelia yang berupa daftar tilik
yang terstruktur dan sesuai dengan topic penilaian kinerja.
3) Memfokuskan
supervise pada proses dan sistem, bukan pada individu
4) Berorientasi
pada pedoman mendatang dan bukan melihat pada kesalahan yang telah terjadi
5) Melakukan
penyeliaan yang berkesinambungan dengan caea menganalisis hasil penyeliaan yang
lalu dan menindaklanjuti rekomendasi atau saran perbaikan
e. Waktu
Pelaksanaan
1) Penyelian
pasca pelatihan
-
Merupakan tindak lanjut pelatihan untuk evaluasi
efektivitas pelatihan dan menilai kinerja pasca pelatihan di lingkungan kerja
peserta latih
-
Dilakukan sebaiknya 3-4 bulan pascapelatihan
-
Pelaksana adalah petugas yang telah mendapat
pelatihan standarisasi dalam aspek klinis terkait dan mempunyai kompetensi
sebagai penyelia
-
Menggunakan instrument daftar tilik pelayanan KB
dan format pengisian kartu status peserta KB
-
Langkah-langkah yang dilakukan:
1. Menjelaskan
tujuan supervise fasilitatif
kepada pimpinan
2. Minta
izin
3. Mengamati
secara langsung kompetensi dan kualitas pelayanan
4. Mengkaji
kartu status peserta KB
5. Wawancara
dengan klien
2) Penyelian rutin berkala
-
Sasaran penyeliaan rutin berkala pada fasilitas
pelayanan kesehatan
-
Pelaksanaan sesuai dengan jadual yang
direncanakan
-
Pelaksana: tim yang terdiri dari petugas yang
dilatih standarisasi pelayanan KB, pengelola pelayanan KB dan petugas yang
paham tentang kontrasepsi. Sebaiknya opetugas penyelia adalah petugas yang
telah mengikuti magang atau pelatihan supervise fasilitatif yang telah memahami
prinsip kegiatan jaga mutu.
-
Menggunakan instrumen:
1. Daftar
tilik langkah baku pelayanan KB
2. Format
pengisian kartu status pelayanan KB
3. Peneglolaan
pelayanan KB
4. Alur
pelayanan akseptor KB
5. Daftar
tilik sarana/prasaranan adan alokon pelayanan KB
6. Ringkasan
laporan hasil penyelia
-
Langkah-langkah yang perlu dilakukan:
1. Penyeliaan
tentang keterampilan petugas
2. Penyeliaan
tentang pengelolaan pelayanan
3. Penyusunan
ringkasan laporan hasil penyeliaan
4. Tindak
lanjut penyeliaan fasilitatif
6. Monitoring dan Evaluasi
a. Peran
dan Tanggung Jawab
Tujuan sistem monitoring dan evaluasi adalah
untuk mengetahui sejauh mana keseluruhan upaya yang dilaksanakan berdampak
terhadap kemajuan program KB, termasuk pelayanan kontrasepsi yang mencakup
ketersediaan pelayanan, keterjangkauan pelayanan, dan kualitas pelayanan KB
tersebut berdasarkan kebijakan yang berlaku. Kegiatan ini pada hakikatnya dapat
terselenggara melalui peran yang dilaksanakan oleh Tim Jaga Mutu (lintas
sektor) dengan mempergunakan indikator-indikator pelayanan yang sudah
ditetapkan.
b. Sistem
Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan merupakan suatu
proses untuk mendapatkan data dan informasi yang merupakan substansi pokok
dalam sistem informasi dan dibutuhkan untuk kepentingan operasional program.
Data dan informasi tersebut juga merupakan bahan pengambilan keputusan,
perencanaan, pemantauan dan penilaian serta pengendalian program. Oleh karena
itu data dan informasi yang dihasiljkan harus akurat, tepat waktu dan dapat
dipercaya. Dalam upaya memenuhi harapan dan informasi yang dihasilkan merupakan
data dan informasi yang berkualitas, maka selalu dilakukan langkahlangkah
penyempurnaan sesuai dengan perkembangan program dengan visi dan misi program
baru serta perkembangan kemajuan teknologi informasi.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kontrasespi
Program KB ditujukan kepada kegiatan dan hasil kegiatan operasional yang
meliputi:
1) Kegiatan
pelayanan kontrasepsi
2) Hasil
kegiatan pelayanan kontrasepsi
3) Pencatatan
keadaan alat-alat kontrasepsi
Khusus untuk pencatatan dan pelaporan hasil kegiatan
pelayanan kontrasepsi, terkait dengan kebutuhan yang berbeda, dilakukan dalam
dua versi yakni: 1) sesuai dengan format dari BKKBN, dan 2) sesuai dengan
format dari Kementerian Kesehatan.
Mekanisme dan arus pencatatan dan pelaporan
pelayanan kontrasepsi:
1) Setiap
peserta KB baru dan peserta KB pindahan dibuatkan Kartu Peserta KB (K/I/KB/04),
disimpan oleh peserta KB dan dibawa ke faskes setiap kali sewaktu peserta KB
melakukan kunjungan ulang
2) Setiap
peserta KB baru dan peserta KB pindahan dibuatkan Kartu Status Peserta KB
(K/IV/KB/04), disimpan di faskes yang bersangkutan dan digunakan kembali
sewaktu peserta KB melakukan kunjungan ulang di faskes tersebut
3) Setiap
pelayanan KB yang dilakukan oleh Puskesmas harus dicatat dalam Kohor Pelayanan
KB dan Register Klinik KB (R/I/KB/04), dilakukan rekapitulasi pada setiap akhir
bulan, dan merupakan sumber data untuk pengisian Laporan Bulanan Klinik KB
(F/II/KB/2004)
4) Setiap
penerimaan dan pengeluaran jenis alat/obat kontrasepsi oleh faskes dicatat
dalam Register Alat Kontrasepsi Klinik KB (R/II/KB/2004), dilakukan
rekapitulasi pada setiap akhir bulan, dan merupakan sumber data untuk pengisian
Laporan Bulanan Klinik KB (F/II/KB/2004)
5) Pelayanan
kontrasepsi yang dilakukan di Pustu, Poskesdes/ Polindes dan Bidan/ Dokter
Praktik Mandiri setiap hari dicatat dalam Kohor KB, dilakukan rekapitulasi pada
setiap akhir bulan, dikirim ke Puskesmas penanggung jawab wilayah kerja yang
bersangkutan dan merupakan sumber data untuk pengisian Laporan Bulanan
Puskesmas
6) Pelayanan
kontrasepsi yang dilakukan di Bidan/ Dokter Praktik Mandiri setiap hari dicatat
dalam Buku Bantu Hasil Pelayanan Kontrasepsi pada Dokter/Bidan Praktik Swasta
(B/I/DBS/04), diambil oleh PDPKB dan merupakan sumber data untuk pengisian
Laporan Bulanan Petugas Penghubung Dokter/Bidan Praktik Mandiri (F/I/PHDBS/04)
yang kemudian menjadi sumber data untuk pengisian Laporan Bulanan Klinik KB
(F/II/KB/2004)
7) Setiap
bulan petugas Puskesmas membuat Laporan Hasil Pelayanan kontrasepsi yang ada di
seluruh wilayah kerjanya dengan merekapitulasi hasil pelayanan kontrasepsi yang
dilakukan oleh Puskesmas dan hasil pelayanan kontrasepsi yang dikirim dari
Pustu, Poskesdes/Polindes dan Bidan/Dokter Praktik Mandiri tang ada dalam wilayah
kerjanya.
8) Pelaporan
puskesmas dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan ditembuskan juga ke
SKPD KB
9) Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke Dinas kesehatan Provinsi.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
No comments:
Post a Comment