Tuesday, February 28, 2023

Demam Tifoid

Demam Tifoid

No ICPC-2 : D70 Gastrointestinal infection

No ICD-10 : A01.0 Typhoid fever

Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan  masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia,  tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian antara 0.6–5% (KMK, 2006). Selain tingkat insiden yang tinggi, demam tifoid terkait dengan berbagai aspek permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid.


Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

a. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapatterjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua.

b. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal

c. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah

d. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia

e. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.

Faktor Risiko

a. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.

b. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran

 



yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.

c. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.

d. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari- hari.

e. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.

f. Kondisi imunodefisiensi.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.

b. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)

c. Demam, suhu > 37,5oC.

d. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.

e. Ikterus

f. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis

g. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali

h. Delirium pada kasus yang berat Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut

a. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).

b. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

c. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen Pemeriksaan Penunjang

a. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis

Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.

b. Serologi

1) IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)®

 



a) Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi

b) Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam

2) Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)

a) Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi

b) Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam

3) Tes Widal tidak direkomendasi

a) Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.

b) Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.

c) Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over- diagnosis dan over-treatment.

c. Kultur Salmonella typhi (gold standard)

Dapat dilakukan pada spesimen:

1) Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi

2) Feses : Pada minggu kedua sakit

3) Urin :        Pada minggu kedua atau ketiga sakit

4) Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid

d. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase

Penegakan Diagnosis (Assessment) Suspek demam tifoid (Suspect case)

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

 



Demam tifoid klinis (Probable case)

Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.

Diagnosis Banding

Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam, demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.

Komplikasi

Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.

a. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)

Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.

b. Syok septik

Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi  halus  dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)

Komplikasi perdarahan ditandai denganhematoschezia. Dapat juga diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.

d. Hepatitis tifosa

Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.

e. Pankreatitis tifosa

Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Tanda ini dapat  dibantu  dengan  USG  atau CT Scan.

f. Pneumonia

Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos toraks

 

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:

1) Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi

2) Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

3) Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.

4) Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas

5) Kontrol dan monitor tanda vital  (tekanan  darah,  nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien

b. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal.

c. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik  lini pertama untuk  demam  tifoid  adalah  Kloramfenikol,  Ampisilin atau Amoksisilin  (aman  untuk  penderita  yang  sedang  hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).

d. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).


Tabel 3.2 Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid

ANTIBIOTIKA

DOSIS

KETERANGAN

 

atau IV, dosis tunggal selama 5 hari

anak.

Pemberian PO/IV

 

Ampisilin & Amoksisilin

 

Dewasa: (1.5-2) gr/hr selama 7-10 hari

Anak: 100 mg/kgbb/hari per oral atau intravena, dibagi 3

dosis, selama 10 hari.

 

Aman untuk penderita hamil Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis Tidak mahal

Pemberian PO/IV

Kotrimok- sazole (TMP- SMX)

Dewasa: 2x(160-800) selama 7-10 hari

Anak: Kotrimoksazol 4-6 mg/kgBB/hari, per oral, dibagi 2 dosis, selama 10

hari.

Tidak mahal Pemberian per oral

Kuinolon

Ciprofloxacin 2x500 mg selama 1 minggu Ofloxacin 2x(200-400) selama 1 minggu

Pefloxacin dan Fleroxacin lebih cepat menurunkan  suhu Efektif mencegah relaps dan kanker

Pemberian peroral Pemberian pada anak tidak

dianjurkan karena efek samping

pada pertumbuhan tulang

Sefiksim

Anak: 20 mg/kgBB/hari, per

oral, dibagi menjadi 2 dosis, selama 10 hari

Aman untuk anak Efektif

Pemberian per oral

Thiamfenik ol

Dewasa: 4x500 mg/hari

Anak: 50 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari bebas panas

Dapat dipakai untuk anak dan dewasa

Dilaporkan cukup sensitif

pada beberapa daerah


Rencana Tindak Lanjut

a. Bila pasien dirawat di rumah, dokter atau perawat dapat melakukan kunjungan follow up setiap hari setelah dimulainya tatalaksana.

b. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai setelah penggunaannya selama 1 minggu.

Indikasi Perawatan di Rumah

a. Persyaratan untuk pasien

1) Gejala klinis ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi atau komorbid yang membahayakan.

2) Kesadaran baik.

3) Dapat makan serta minum dengan baik.

4) Keluarga cukup mengerti cara-cara merawat dan tanda- tanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.

5) Rumah tangga pasien memiliki dan melaksanakan sistem pembuangan eksreta (feses, urin, cairan muntah) yang memenuhi persyaratan kesehatan.

6) Keluarga pasien mampu menjalani rencana tatalaksana dengan baik.

b. Persyaratan untuk tenaga kesehatan

1) Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien.

2) Dokter mengkonfirmasi bahwa penderita tidak memiliki tanda-tanda yang berpotensi menimbulkan komplikasi.

3) Semua kegiatan tata laksana (diet, cairan, bed rest, pengobatan) dapat dilaksanakan secara baik di rumah.

4) Dokter dan/atau perawat mem-follow up pasien setiap hari.

5) Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi secara lancar dengan keluarga pasien di sepanjang masa tatalaksana.

Konseling dan Edukasi

Edukasi pasien tentang tata cara:

a. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus diketahui pasien dan keluarganya.

b. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan,  pentahapan  mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien  telah  memahami serta mampu melaksanakan.

c. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan.

Pendekatan Community Oriented

Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:

a. Perbaikan sanitasi lingkungan

b. Peningkatan higiene makanan dan minuman

c. Peningkatan higiene perorangan

d. Pencegahan dengan imunisasi Kriteria Rujukan

a. Demam tifoid dengan keadaan umum yang berat (toxic typhoid).

b. Tifoid dengan komplikasi.

c. Tifoid dengan komorbid yang berat.

d. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.


Peralatan

Poliklinis set dan peralatan laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan serologi.


Prognosis

Prognosis adalah bonam, namun adsanationam dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi berulang.


Referensi

a. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)

b. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)

c. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)

d. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)

e. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)

 



f. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)

g. CDC. Typhoid fever. 2005.

www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm

(Center for Disease and Control, 2005)

h. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of  typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)

i. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)

j. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)

k. Summaries of infectious diseases. Dalam:  Red  Book  Online 2009. Section 3.

http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/ 3.117 (Anon., 2009)


Malabsorbsi Makanan

Malabsorbsi Makanan

No. ICPC-2 : D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10 : K90.9 Intestinal malabsorbtion, unspecified Tingkat Kemampuan 3A


Masalah Kesehatan

Malabsorbsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan pada proses absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Pada umumnya pasien datang dengan diare sehingga  kadang sulit membedakan apakah diare disebabkan oleh malabsorbsi atau sebab lain. Selain itu kadang penyebab dari diare tersebut tumpang tindih antara satu sebab dengan sebab lain termasuk yang disebabkan oleh malabsorbsi.

Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan malabsorbsi dan maldigesti pada seseorang. Malabsorbsi dan maldigesti dapat disebabkan oleh karena defisiensi enzim atau adanya gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi dan digesti zat tersebut.


Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien dengan malabsorbsi biasanya datang dengan keluhan diare kronis, biasanya bentuk feses cair mengingat gangguan pada usus halus tidak ada zat nutrisi yang terabsorbsi sehingga feses tak berbentuk. Jika masalah pasienkarena malabsorbsi lemak maka pasien akan mengeluh fesesnya berminyak (steatore).

Anamnesis yang tepat tentang kemungkinan penyebab dan perjalanan penyakit merupakan hal yang penting untuk menentukan apa terjadi malabsorbsi.

Faktor Risiko: -


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda anemia (karena defisiensi besi, asam folat, dan  B12):  konjungtiva  anemis,  kulit pucat, status gizi kurang. Dicari tanda dan gejala spesifik tergantung dari penyebabnya.

Pemeriksaan Penunjang

a. Darah perifer lengkap: anemia mikrositik hipokrom karena defisiensi besi atau anemia makrositik karena defisiensi asam folat dan vitamin B12.

b. Radiologi: foto polos abdomen


Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Diagnosis Banding

a. Pankreatititis

b. Penyakit Chrons pada illeum terminalis

c. Sprue Celiac

d. Penyakit whipple

e. Amiloidosis

f. Defisiensi laktase

g. Sindrom Zollinger-Ellison

h. Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon



Komplikasi Dehidrasi

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.

a. Tatalaksana tergantung dari penyebab malabsorbsi

b. Pembatasan nutrisi tertentu

c. Suplemen vitamin dan mineral

d. Suplemen enzim pencernaan

e. Tata laksana farmakologi: Antibiotik diberikan jika malabsorbsi disebakan oleh overgrowth bakteri enterotoksigenik: E. colli, K. Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.

Rencana Tindak Lanjut

Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi yang diberikan kepada pasien.

Konseling dan Edukasi

Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut membantu dalam hal pembatasan nutrisi tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan pasien selama pengobatan.

Kriteria Rujukan

Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit dalam untuk mencari penyebab malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.


Peralatan

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah perifer lengkap.


Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad bonam.

Referensi

Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke

4. Jakarta: FK UI. 2006. hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)


Intoleransi Makanan

Intoleransi Makanan

No. ICPC-2 : D29 Digestive syndrome/complaint other No. ICD-10 : K90.4 Malabsorption due to intolerance Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Intoleransi makanan adalah gejala-gejala yang terjadi akibat reaksi tubuh terhadap makanan tertentu. Intoleransi bukan merupakan alergi makanan. Hal ini terjadi akibatkekurangan enzim yang diperlukan untuk mencerna makanan tertentu. Intoleransi terhadap laktosa gula susu, penyedap Monosodium Glutamat (MSG), atau terhadap antihistamin yang ditemukan di keju lama, anggur, bir,dan daging olahan. Gejala intoleransi makanan kadang-kadang mirip dengan gejala yang ditemukan pada alergi makanan.

Hasil Anamnesis

Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah tenggorokan terasa gatal, nyeri perut, perut kembung, diare, mual, muntah, atau dapat disertai kram perut.

Faktor predisposisi

Makanan yang sering menyebabkan intoleransi, seperti:

a. Terigu dan gandum lainnya yang mengandung gluten

b. Protein susu sapi

c. Hasil olahan jagung

d. MSG


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri  tekan  abdomen, bising usus meningkat dan mungkin terdapat tanda-tanda dehidrasi. Pemeriksaan Penunjang : -

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding

Pankreatitis, Penyakit Chrons pada illeum terminalis, Sprue Celiac, Penyakit whipple, Amiloidosis, Defisiensi laktase, Sindrom Zollinger- Ellison, Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon

Komplikasi Dehidrasi


Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan dapat berupa

a. Pembatasan nutrisi tertentu

b. Suplemen vitamin dan mineral

c. Suplemen enzim pencernaan Rencana Tindak Lanjut

Setelah gejala menghilang, makanan yang dicurigai diberikan kembali untuk melihat reaksi yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk memperoleh penyebab intoleransi.

 



Konseling dan Edukasi

Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut membantu dalam hal pembatasan nutrisi tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan pasien selama pengobatan.

Kriteria Rujukan

Perlu dilakukan konsultasi ke layanan sekunder bila keluhan tidak menghilang walaupun tanpa terpapar.


Peralatan Laboratorium rutin


Prognosis

Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam dan sanasionamnya adalah dubia ad bonam karena tergantung pada paparan terhadap makanan penyebab.


Referensi

Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke

4. Jakarta: FK UI. 2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006).


Gastritis

Gastritis

No ICPC-2 : D07 Dyspepsia/indigestion

No ICD-10 : K29.7 Gastritis, unspecified

Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.


Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan

Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung.

Faktor Risiko

a. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makan yang besar

b. Sering minum kopi dan teh

c. Infeksi bakteri atau parasit

d. Pengunaan obat analgetik dan steroid

e. Usia lanjut

f. Alkoholisme

g. Stress

h. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron disease


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patognomonis

a. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.

b. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena.

c. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan,  kecuali  pada  gastritis kronis  dengan  melakukan pemeriksaan:

a. Darah rutin.

b. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan

Ureabreath test dan feses.

c. Rontgen dengan barium enema.

d. Endoskopi.


Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding

a. Kolesistitis

b. Kolelitiasis

c. Chron disease

d. Kanker lambung

e. Gastroenteritis

f. Limfoma

g. Ulkus peptikum

h. Sarkoidosis

i. GERD


Komplikasi

a. Pendarahan saluran cerna bagian atas

b. Ulkus peptikum

c. Perforasi lambung

d. Anemia


Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan

Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol  20  mg/kali,  Lansoprazol  30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari.

Konseling dan Edukasi

Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.

Kriteria rujukan

a. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.

b. Terjadi komplikasi.

c. terdapat alarm symptoms

Peralatan : - Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.

Referensi

Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.  eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.  (Sudoyo, et al., 2006).


Refluksgastroesofageal

Refluksgastroesofageal

No ICPC-2 : D84 Oesphagus disease

No ICD-10 : K21.9Gastro-oesophageal reflux disease without oesophagitis

Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui sfingter esofagus.

Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan

Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai muntah, atau timbul rasa asam di mulut. Hal ini terjadi terutama setelah makan dengan volume besar dan berlemak. Keluhan ini diperberat dengan posisi berbaring terlentang. Keluhan ini juga dapat timbul oleh karena makanan berupa saos tomat, peppermint, coklat, kopi, dan alkohol. Keluhan sering muncul pada malam hari.

Faktor risiko

Usia > 40 tahun, obesitas, kehamilan, merokok, konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan verapamil, pakaian yang ketat, atau pekerja yang sering mengangkat beban berat.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Tindakan untuk pemeriksaan adalah dengan pengisian kuesioner GERD. Bila

 



hasilnya positif, maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump Inhibitor).

Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi dengan PPI test, bila memberikan respon positif terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD dapat disimpulkan.

Standar baku untuk diagnosis definitif GERD adalah dengan endoskopi saluran cerna bagian atas yaitu ditemukannya mucosal break di esophagus namun tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki kompetensi tersebut.

Diagnosis Banding

Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis

Komplikasi

Esofagitis, Ulkus esophagus, Perdarahan esofagus, Striktur esophagus, Barret’s esophagus, Adenokarsinoma, Batuk dan asma, Inflamasi faring dan laring, Aspirasi paru.


Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI) dosis tinggi selama 7-14 hari.Bila terdapat perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2 x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 mg/hari.

b. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3 x 10 mg.

c. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka penggunaan H2 Blocker 2 x / hari: simetidin 400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau famotidin 20 mg.

 

ALGORITME TATA LAKSANA GERD PADA

PELAYANAN KESEHATAN LINI PERTAMA



Gambar 3.1 Algoritme tatalaksana GERD (Refluks esofageal)


Pemeriksaan penunjang dilakukan pada fasilitas layanan sekunder (rujukan) untuk endoskopi dan bila perlu biopsi

Konseling dan Edukasi

Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya hidup yaitu dengan mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan alkohol. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2 sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak.

Kriteria Rujukan

a. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil

b. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali

c. Adanya alarm symptom:

1) Berat badan menurun

2) Hematemesis melena

3) Disfagia (sulit menelan)

4) Odinofagia (sakit menelan)

5) Anemia


Peralatan Kuesioner GERD Prognosis

Prognosis umumnya bonam tetapi sangat tergantung dari kondisi pasien saat datang dan pengobatannya.

Referensi

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004.


ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)

ULKUS MULUT (AFTOSA, HERPES)

No ICPC-2 : D83. Mouth / tongue / lip disease

No ICD-10 : K12. Stomatitis and related lesions

K12.0. Recurrent oral aphtae

K12.1. Other form of stomatitis

Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)

Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan penyakit mukosa mulut tersering dan memiliki prevalensi sekitar 10 – 25% pada populasi. Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self-limiting, dan seringkali diabaikan oleh pasien. Namun, SAR juga  dapat  merupakan  gejala dari penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit Crohn, penyakit Coeliac, malabsorbsi, anemia defisiensi besi atau asam folat, defisiensi vitamin B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam mendiagnosis dan menatalaksana SAR sangat penting.

Stomatitis Herpes

Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada mukosa mulut akibat infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini  cukup sering ditemukan pada praktik layanan tingkat pertama sehari-hari. Beberapa diantaranya merupakan manifestasi dari kelainan imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat penting bagi para dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk dapat mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat dalam kasus stomatitis herpes.


Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan

Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)

a. Luka yang terasa nyeri pada mukosa bukal, bibir bagian dalam, atau sisi lateral dan anterior lidah.

b. Onset penyakit biasanya dimulai pada usia kanak-kanak, paling sering pada usia remaja atau dewasa muda, dan  jarang  pada usia lanjut.

c. Frekuensi rekurensi bervariasi, namun seringkali dalam interval yang cenderung reguler.

d. Episode SAR yang sebelumnya biasanya bersifat self-limiting.

e. Pasien biasanya bukan perokok atau tidak pernah merokok.

f. Biasanya terdapat riwayat penyakit yang sama di dalam keluarga.

g. Pasien biasanya secara umum sehat. Namun, dapat pula ditemukan gejala-gejala seperti diare, konstipasi, tinja berdarah, sakit perut berulang, lemas, atau pucat, yang berkaitan dengan penyakit yang mendasari.

h. Pada wanita, dapat timbul saat menstruasi.


Stomatitis Herpes

a. Luka pada bibir, lidah, gusi, langit-langit, atau bukal, yang terasa nyeri.

b. Kadang timbul bau mulut.

c. Dapat disertai rasa lemas (malaise), demam, dan benjolan pada kelenjar limfe leher.

d. Sering terjadi pada usia remaja atau dewasa.

e. Terdapat dua jenis stomatitis herpes, yaitu:

1) Stomatitis herpes primer, yang merupakan episode tunggal.

2) Stomatitis herpes rekurens, bila pasien telah mengalami beberapa kali penyakit serupa sebelumnya.

f. Rekurensi dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti: demam, paparan sinar matahari, trauma, dan kondisi imunosupresi seperti HIV, penggunaan kortikosteroid sistemik, dan keganasan.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Aftosa/Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)

Terdapat 3 tipe SAR, yaitu: minor, mayor, dan herpetiform.


Tabel 3.1 Tampilan klinis ketiga tipe SAR

 

Aftosa minor

Aftosa mayor

Aftosa herpetiform

 

Paling sering

Jarang

Jarang

 

Mukosa non- keratin (bukal, sisi dalam bibir, sisi lateral dan anterior

lidah)

Mukosa non-keratin dan mukosa mastikatorik (gingiva dan sisi dorsum lidah)

Mukosa                              non- keratin

 

Satu atau beberapa

Satu atau beberapa

Banyak, bahkan

hingga ratusan

 

Dangkal

Lebih dalam dari tipe minor

Dangkal

 

Bulat,                        berbatas

tegas

Bulat, berbatas tegas

Bulat, namun

dapat

 

 

berkonfluensi satu sama lain membentuk tampilan ireguler,

berbatas tegas

Diameter 5 7 mm

Diameter lebih besar dari

tipe minor

Diameter 1 2

mm

Tepi eritematosa

Kadang menyerupai

keganasan

Mukosa sekitar

eritematosa

Bagian tengah

berwarna putih kekuningan

Dapat bertahan beberapa minggu hingga bulan

 

 

Dapat temukan skar

 


Pemeriksaan fisik

a. Tanda anemia (warna kulit, mukosa konjungtiva)

b. Pemeriksaan abdomen (distensi, hipertimpani, nyeri tekan)

c. Tanda dehidrasi akibat diare berulang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain:

a. Darah perifer lengkap

b. MCV, MCH, dan MCHC Stomatitis Herpes

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:

a. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti kubah, berbatas tegas, berukuran 2 – 3 mm, biasanya multipel,  dan  beberapa  lesi dapat bergabung satu sama lain.

b. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi luar dan dalam, lidah, gingiva, palatum, atau bukal.

c. Mukosa sekitar lesi edematosa dan hiperemis.

d. Demam

e. Pembesaran kelenjar limfe servikal

f. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang mendasari Pemeriksaan penunjang

Tidak mutlak dan tidak rutin dilakukan.


Penegakan Diagnosis (Assessment)

Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)


Diagnosis SAR dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya penyakit sistemik yang mendasari.

Diagnosis Banding

a. Herpes simpleks

b. Sindrom Behcet

c. Hand, foot, and mouth disease

d. Liken planus

e. Manifestasi oral dari penyakit autoimun (pemfigus, SLE, Crohn)

f. Kanker mulut Stomatitis Herpes

Diagnosis stomatitis herpes dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis banding:

a. SAR tipe herpetiform

b. SAR minor multipel

c. Herpes zoster

d. Sindrom Behcet

e. Hand, foot, and mouth disease

f. Manifestasi oral dari penyakit autoimun (pemfigus, SLE, Crohn)


Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)

Pengobatan yang dapat diberikan untuk mengatasi SAR adalah:

a. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk membersihkan rongga mulut. Penggunaan sebanyak 3 kali setelah makan, masing- masing selama 1 menit.

b. Kortikosteroid topikal, seperti krim triamcinolone acetonide  0,1% in ora base sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan membersihkan rongga mulut.

Konseling dan Edukasi

Pasien perlu menghindari trauma pada mukosa mulut dan makanan atau zat dalam makanan yang berpotensi menimbulkan SAR, misalnya: kripik, susu sapi, gluten, asam benzoat, dan cuka.

Kriteria Rujukan

Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama perlu merujuk ke layanan sekunder, bila ditemukan:

a. Gejala-gejala ekstraoral yang mungkin terkait penyakit sistemik yang mendasari, seperti:

1) Lesi genital, kulit, atau mata

2) Gangguan gastrointestinal

3) Penurunan berat badan

4) Rasa lemah

5) Batuk kronik

6) Demam

7) Limfadenopati, Hepatomegali, Splenomegali

b. Gejala dan tanda yang tidak khas, misalnya:

1) Onset pada usia dewasa akhir atau lanjut

2) Perburukan dari aftosa

3) Lesi yang amat parah

4) Tidak adanya perbaikan dengan tatalaksana kortikosteroid topikal

c. Adanya lesi lain pada rongga mulut, seperti:

1) Kandidiasis

2) Glositis

3) Perdarahan, bengkak, atau nekrosis pada gingiva

4) Leukoplakia

5) Sarkoma Kaposi Stomatitis Herpes

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu:

a. Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan analgetik seperti Parasetamol atau Ibuprofen. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% juga memberi efek anestetik sehingga dapat membantu.

b. Pilihan antivirus yang dapat diberikan, antara lain:

1) Acyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:

a) dewasa: 5 kali 200 – 400 mg per hari, selama 7 hari

b) anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali pemberian, selama 7 hari

2) Valacyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:

a) dewasa: 2 kali 1 – 2 g per hari, selama 1 hari

b) anak   : 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali pemberian, selama 7 hari

3) Famcyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:

a) dewasa: 3 kali 250 mg per hari, selama 7 – 10 hari untuk episode tunggal3 kali 500 mg per hari, selama 7

– 10 hari untuk tipe rekurens

b) anak : Belum ada data mengenai keamanan dan efektifitas pemberiannya pada anak-anak

Dokter perlu memperhatikan fungsi ginjal pasien sebelum memberikan obat-obat di atas. Dosis perlu disesuaikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Pada kasus stomatitis herpes akibat penyakit sistemik, harus dilakukan tatalaksana definitif sesuai penyakit yang mendasari.

Pencegahan rekurensi pada stomatitis herpes rekurens

Pencegahan rekurensi dimulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor pencetus dan selanjutnya melakukan penghindaran. Faktor-faktor yang biasanya memicu stomatitis herpes rekurens, antara lain trauma dan paparan sinar matahari.

Peralatan

a. Kaca mulut

b. Lampu senter Prognosis

Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)

a. Ad vitam : Bonam

b. Ad functionam : Bonam

c. Ad sanationam : Dubia

Stomatitis Herpes

a. Ad vitam : Bonam

b. Ad functionam : Bonam

c. Ad sanationam : Dubia

Referensi

a. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis. In Cawson’s  Essentials  of  Oral  Pathology and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002)

b. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999)

c. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213. (Woo & Sonis, 1996)

d. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008).


Limfadenitis

Limfadenitis

No ICPC-2 : L04.9 Acute lymphadenitis, unspecified

No ICD-10 : B70 Lymphadenitis Acute

Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening. Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung atau mata.

Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan Tuberkulosis adalah penyebab paling umum dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa, riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.

Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan:

a. Pembengkakan kelenjar getah bening

b. Demam

c. Kehilangan nafsu makan

d. Keringat berlebihan,

e. Nadi cepat

f. Kelemahan

g. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas.

h. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness)

Faktor Risiko:

a. Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri streptokokus, infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.

b. Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke daerah endemis penyakit tertentu, misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat menunjukkan penyebab limfadenitis adalah penyakit Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang yang bekerja di hutan Limfadenitis dapat terkena Tularemia.

c. Paparan terhadap infeksi/kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi saluran nafas atas, faringitis oleh Streptococcus,atau Tuberkulosis turut membantu mengarahkan penyebab limfadenopati.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

a. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher bagian posterior (belakang) terdapat pada infeksi rubela dan mononukleosis. Sedangkan pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan) dengan ukuran normal bila diameter 0,5cm, dan lipat paha bila diameternya >1,5 cm dikatakan abnormal).

b. Nyeri tekan bila disebabkan oleh infeksi bakteri

c. Kemerahan dan hangat pada perabaan mengarah kepada infeksi bakteri sebagai penyebabnya

d. Fluktuasi menandakan terjadinya abses

e. Bila disebabkan keganasan tidak ditemukan tanda-tanda peradangan tetapi teraba keras dan tidak dapat digerakkan dari jaringan sekitarnya.

f. Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan mingguan-bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah.

g. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintik-bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus.

h. Adanya selaput pada dinding tenggorok,  tonsil,  langit-langit yang sulit dilepas dan bila dilepas  berdarah,  pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri Difteri.

i. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi Epstein Barr Virus.

j. Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan kepada Campak.

k. Adanya bintik-bintik perdarahan (bintik merah yang tidak hilang dengan penekanan), pucat, memar yang tidak jelas penyebabnya, disertai pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada leukemia.


Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan skrining TB: BTA Sputum, LED, Mantoux Test.

Laboratorium: Darah perifer lengkap


Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis

Limfadenititis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding

a. Mumps

b. Kista Duktus Tiroglosus

c. Kista Dermoid

d. Hemangioma Komplikasi

a. Pembentukan abses

b. Selulitis (infeksi kulit)

c. Sepsis (septikemia atau keracunan darah)

d. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Pencegahan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu mencegah terjadinya berbagai infeksi.

b. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening yang terkena bisa dikompres hangat.

c. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.

1) Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan apa pun selain dari observasi.

2) Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah antibiotik oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau eritromisin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.

3) Bila penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti tuberculosis.

4) Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang- kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan tidak lagi terasa lunak pada perabaan.

Konseling dan Edukasi

a. Keluarga turut menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga mencegah terjadinya berbagai infeksi dan penularan.

b. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam pengobatan.

Rencana follow up:

Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan terapi yang diberikan.

Kriteria rujukan

a. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk untuk mencari penyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar getah bening).

b. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, KGB yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan.

Peralatan

a. Alat ukur untuk mengukur beasarnya kelenjar getah bening

b. Mikroskop

c. Reagen BTA dan Gram Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam. Referensi

Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.


Manajemen Telusur

DOKUMEN TELUSUR POKOK Rencana Strategis ( Renstra )   >>>>>>>>>> View Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dan ...