Monday, February 27, 2023

Filariasis

 7. Filariasis

No. ICPC-2 : D96 Woms/other parasites

No. ICD-10 : B74 Filariasis

B74.0 Filariasis due to Wuchereria bancrofti B74.1  Filariasis  due  to  Brugia  malayi B74.2 Filariasis  due  to  Brugia  timori Tingkat Kemampuan 4A


Masalah Kesehatan

Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of LymphaticFilariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yangendemis serta perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatandan mengurangi penderitaannya.

Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.

Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik dengan daerah endemik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan intensitas paparan terhadap vektor infektif didaerah endemik tersebut.

Manifestasi akut, berupa:

a. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat  hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.

b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas, dan sakit.

c. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).

d. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

e. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).


Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala kronis filariasis berupa: pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.

Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi:

a. Masa prepaten, yaitu masa antara masuknya larva infektif hingga terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik.

b. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8 – 16 bulan.

c. Gejala klinis akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun mikrofilaremik.

d. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik

Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Limfangitis akan meluas  kedaerah distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah daripada atas. Selain pada tungkai, dapat mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara.

Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe. Bentuk manifestasi ini dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, elefantiasis dan chyluria yang meningkat sesuai bertambahnya usia.

Manifestasi genital di banyak daerah endemis, gambaran kronis yang terjadi adalah hidrokel. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis, edema karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episode limfedema pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis di daerah saluran limfe  yang  terkena dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi didaerah paha dan ekstremitas bawah sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai ekstremitas bawah saja.

Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti, pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3  –15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi

12 x/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3 bulan. Pada kasus menahun filariasis bancrofti, hidrokel paling banyak ditemukan. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Filariasis brugia, elefantiasis terjadi  di  tungkai  bawah  di  bawah  lutut  dan  lengan  bawah,  dan ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali  ukuran asalnya.


Pemeriksaan Penunjang

a. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada waktu malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau  Wright.  Mikrofilaria juga dapat ditemukan pada cairan hidrokel atau cairan tubuh lain (sangat jarang).

b. Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat.

c. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test.



Gambar 1.3 Filariasis


Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang identifikasi mikrofilaria.

Didaerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas disertai dengankelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada sebablain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi.


Diagnosis Banding

a. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan adenolimfadenitis filariasis akut

 b. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit sistemik granulomatous lainnya.

Komplikasi

Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau bagian tubuh lainnya) akibat obstruksi saluran limfe.


Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan

Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit, antara lain dengan:

a. Memelihara kebersihan kulit.

b. Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis.

c. Obatantifilaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin (obat ini bermanfaat apabila diberikan pada  fase akut yaitu ketika pasien mengalami limfangitis).

d. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Ivermektin merupakan antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida.

e. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3  dosis/hari  setelah  makan,  selama  12 hari, pada TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.

f. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacing dewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:

1) Reaksi sistemik berupa demam, sakit kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia, malaise, dan muntah-muntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas infeksi.

2) Reaksi lokal berbentuk limfadenitis, abses, dan transien limfedema. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik.

3) Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis, sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam program pengobatan masal didaerah endemis filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus.

g. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi ivermektinyaitu wanita hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan  atau  12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah.

h. Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.

i. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.

j. Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada  chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif.


Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui:

a. Pemberantasan nyamuk dewasa

b. Pemberantasan jentik nyamuk

c. Mencegah gigitan nyamuk


Rencana Tindak Lanjut

Setelah pengobatan, dilakukan kontrol ulang terhadap gejala dan mikrofilaria, bila masih terdapat gejala dan mikrofilaria pada pemeriksaan darahnya, pengobatan dapat diulang 6 bulan kemudian.


Kriteria rujukan

Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.

Peralatan

Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan mikrofilaria.


Prognosis

Prognosis pada umumnya tidak mengancam jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah malam.

Prognosis penyakit ini tergantung dari:

a. Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria dalam tubuh pasien.

b. Potensi cacing untuk berkembang biak.

c. Kesempatan untuk infeksi ulang.

d. Aktivitas RES.

Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.


Referensi

a. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-1503. (Behrman, et al., 2007)

b. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108. (Rudolph, et al., 2007)

c. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan S. FilariasisdalamBuku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-407. (Sumarmo, et al., 2010)


No comments:

Post a Comment

Manajemen Telusur

DOKUMEN TELUSUR POKOK Rencana Strategis ( Renstra )   >>>>>>>>>> View Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dan ...