KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
HK.01.07/MENKES/1128/2022
TENTANG
STANDAR
AKREDITASI RUMAH SAKIT
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: a. |
bahwa dalam rangka
upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien sehingga
tercapai tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik, serta
sebagai pelaksanaan program pembangunan kesehatan nasional, perlu dilakukan
akreditasi sesuai dengan standar akreditasi; |
|
b. |
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan
Menteri Kesehatan tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit; |
Mengingat |
: 1. |
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); |
|
2. |
Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072); |
|
3. |
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta |
Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang
Perumahsakitan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
6659);
5. Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional
Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 10);
6. Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang
Kementerian Kesehatan (Lembaran
Negara Republik
Indonesia
Tahun 2021 Nomor 83);
7. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi
dan Tata
Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022
Nomor 156);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT.
|
|
KESATU |
: Menetapkan standar akreditasi rumah sakit
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Keputusan Menteri ini. |
KEDUA |
: Standar
akreditasi rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan
sebagai acuan bagi lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit
dalam menyelenggarakan akreditasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. |
KETIGA |
:
Standar akreditasi rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam |
Diktum KESATU terdiri atas standar yang dikelompokkan ke
dalam:
a. kelompok
manajemen rumah sakit;
b. kelompok
pelayanan berfokus pada pasien;
c.
kelompok sasaran keselamatan pasien; dan
d. kelompok
program nasional.
KEEMPAT
:
Pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar akreditasi rumah sakit berdasarkan
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KELIMA : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 April 2022
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR HK.01.07/MENKES/1128/2022
TENTANG
STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT
STANDAR
AKREDITASI RUMAH SAKIT
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam
memberikan pelayanan, rumah sakit harus memperhatikan mutu dan keselamatan
pasien. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan yang memiliki
karakter aman, tepat waktu, efisien, efektif, berorientasi pada pasien, adil
dan terintegrasi. Pemenuhan mutu pelayanan di rumah sakit dilakukan dengan dua
cara yaitu peningkatan mutu secara internal dan peningkatan mutu secara
eksternal.
Peningkatan Mutu Internal (Internal Continous Quality Improvement) yaitu
rumah sakit melakukan upaya peningkatan mutu secara berkala antara lain
penetapan, pengukuran, pelaporan dan evaluasi indikator mutu serta pelaporan
insiden keselamatan pasien. Peningkatan mutu secara internal ini menjadi hal
terpenting bagi rumah sakit untuk menjamin mutu pelayanan. Peningkatan Mutu
Eksternal (External Continous Quality
Improvement) merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu pelayanan di
rumah sakit secara keseluruhan. Beberapa kegiatan yang termasuk peningkatan
mutu eksternal adalah perizinan, sertifikasi, dan akreditasi. Rumah sakit
melakukan peningkatan mutu internal dan eksternal secara berkesinambungan (continuous quality improvement).
Akreditasi adalah pengakuan terhadap
mutu pelayanan rumah sakit setelah dilakukan penilaian bahwa rumah sakit telah
memenuhi standar akreditasi yang disetujui oleh Pemerintah. Pada bulan Desember
2021 Kementerian Kesehatan mencatat 3.120 rumah sakit telah teregistrasi.
Sebanyak 2.482 atau 78,8% rumah sakit telah terakreditasi dan 638 rumah sakit
atau 21,2% belum terakreditasi.
Upaya percepatan akreditasi rumah sakit
mengalami beberapa kendala antara lain adanya isu atau keluhan terkait lembaga
penilai akreditasi yang juga melakukan workshop
atau bimbingan, penilaian akreditasi dianggap mahal, masih kurangnya peran
pemerintah daerah dan pemilik rumah sakit dalam pemenuhan syarat akreditasi,
akuntabilitas lembaga, dan lain-lain.
Pemerintah
mengharapkan pada tahun 2024 seluruh rumah sakit di
Indonesia telah terakreditasi sesuai
dengan target RPJMN tahun 2020 -
2024. Dalam upaya meningkatkan cakupan akreditasi rumah
sakit, Pemerintah mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen
penyelenggara akreditasi serta transformasi sistem akreditasi rumah sakit.
Sejalan dengan terbentuknya lembaga-lembaga independen penyelenggara akreditasi
maka perlu ditetapkan standar akreditasi rumah sakit yang akan dipergunakan
oleh seluruh lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dalam
melaksanakan penilaian akreditasi.
Proses penyusunan standar akreditasi
rumah sakit diawali dengan pembentukan tim yang melakukan sandingan dan benchmarking standar akreditasi dengan
menggunakan referensi Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1 dari
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Joint
Commission International Standards
for Hospital edisi 7, regulasi perumahsakitan serta panduan prinsip-prinsip
standar akreditasi edisi 5 yang dikeluarkan oleh The International Society for Quality in Health Care (ISQua).
Selanjutnya dilakukan pembahasan dengan melibatkan perwakilan dari lembaga
independen penyelenggara akreditasi rumah sakit, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, rumah sakit dan akademisi. Selanjutnya hasil diskusi tersebut
dibahas lebih lanjut oleh panelis penyusunan standar akreditasi rumah sakit
dengan mendapat masukan secara tertulis dari lembaga independen penyelenggara
akreditasi rumah sakit. Penyusunan standar akreditasi rumah sakit
mempertimbangkan penyederhanaan standar akreditasi agar lebih mudah dipahami
dan dapat dilaksanakan oleh rumah sakit.
B. Tujuan
1. Untuk
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Menjadi
acuan bagi lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dan rumah
sakit dalam penyelenggaraan akreditasi rumah sakit.
3. Menjadi
acuan bagi Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dan dinas
kesehatan daerah kabupaten/kota dalam pembinaan dan evaluasi mutu dan
keselamatan pasien di rumah sakit.
C. Ruang
Lingkup
1. Penyelenggaraan
akreditasi rumah sakit yaitu persiapan, pelaksanaan penilaian akreditasi, dan
pasca akreditasi.
2. Standar
akreditasi rumah sakit meliputi gambaran umum, maksud dan tujuan, serta elemen
penilaian pada setiap kelompok standar akreditasi rumah sakit.
D. Kelompok
Standar Akreditasi Rumah Sakit
Standar Akreditasi Rumah Sakit
dikelompokkan menurut fungsifungsi penting yang umum dalam organisasi
perumahsakitan. Standar dikelompokkan menurut fungsi yang terkait dengan
penyediaan pelayanan bagi pasien (good
clinical governance) dan upaya menciptakan organisasi rumah sakit yang
aman, efektif, dan dikelola dengan baik (good
corporate governance).
Standar Akreditasi Rumah Sakit
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok
Manajemen Rumah Sakit terdiri atas: Tata Kelola Rumah
Sakit (TKRS), Kualifikasi dan Pendidikan
Staf (KPS), Manajemen
Fasilitas
dan Keselamatan
(MFK), Peningkatan
Mutu dan
Keselamatan Pasien (PMKP),
Manajemen Rekam Medik dan Informasi
Kesehatan (MRMIK), Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI), dan Pendidikan dalam Pelayanan Kesehatan (PPK).
2. Kelompok
Pelayanan Berfokus pada Pasien terdiri atas: Akses dan
Kontinuitas Pelayanan (AKP), Hak Pasien
dan Keluarga (HPK),
Pengkajian Pasien (PP), Pelayanan
dan Asuhan Pasien (PAP),
Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB), Pelayanan Kefarmasian
dan Penggunaan Obat (PKPO), dan Komunikasi dan Edukasi (KE).
3. Kelompok
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP).
4. Kelompok
Program Nasional (PROGNAS).
BAB
II
PENYELENGGARAAN
AKREDITASI RUMAH SAKIT
A. Persiapan
Akreditasi
Persiapan dilakukan sepenuhnya
oleh rumah sakit secara mandiri atau dengan pembinaan dari Kementerian
Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dan dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota maupun lembaga lain yang kompeten. Kegiatan persiapan akreditasi
antara lain pemenuhan syarat untuk dapat diakreditasi dengan pemenuhan kelengkapan dokumen pelayanan dan perizinan,
peningkatan kompetensi staf melalui pelatihan, dan kesiapan fasilitas pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Rumah Sakit dapat melakukan
penilaian mandiri secara periodik tentang pemenuhan standar akreditasi rumah
sakit sehingga tergambar kemampuan rumah sakit dalam memenuhi standar
akreditasi yang ditetapkan. Setelah dinilai mampu oleh pimpinan rumah sakit,
maka rumah sakit dapat mengajukan permohonan survei kepada lembaga independen
penyelenggara akreditasi yang dipilih oleh rumah sakit. Pemilihan lembaga
dilaksanakan secara sukarela oleh rumah sakit dan tidak atas paksaan pihak
manapun.
Rumah sakit yang mengajukan permohonan
survei akreditasi paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Rumah
sakit memiliki perizinan berusaha yang masih berlaku dan teregistrasi di
Kementerian Kesehatan;
2. Kepala
atau direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan
dan keahlian di bidang perumahsakitan;
3. Rumah
sakit memiliki Izin Pengelolaan Limbah Cair (IPLC) yang masih berlaku;
4. Rumah
sakit memiliki kerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai izin sebagai
pengolah dan/atau sebagai transporter limbah B3 yang masih berlaku atau izin
alat pengolah limbah B3;
5. Seluruh
tenaga medis di rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan (pemberi
asuhan) memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang
masih berlaku atau surat tugas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
6. Rumah
sakit bersedia melaksanakan kewajiban dalam meningkatkan mutu dan keselamatan
pasien; dan
7. Pemenuhan
Sarana Prasarana dan Alat Kesehatan (SPA) minimal
60% berdasarkan ASPAK dan telah tervalidasi 100%
oleh Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan daerah setempat sesuai dengan
kewenangannya.
B. Pelaksanaan
Penilaian Akreditasi
Lembaga independen penyelenggara
akreditasi melaksanakan penilaian persyaratan rumah sakit yang mengajukan
permohonan kemudian Lembaga menetapkan waktu pelaksanaan akreditasi setelah
persyaratan dipenuhi rumah sakit. Penilaian akreditasi dilakukan dengan metode
daring dan/atau luring sesuai tahapan pelaksanaan akreditasi.
Adapun tahapan pelaksanaan penilaian
akreditasi adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
dan penjelasan survei
Pada tahap ini lembaga penyelenggara akreditasi
menyampaikan seluruh rangkaian kegiatan akreditasi dimulai dari persiapan
survei, pelaksanaan survei dan setelah survei. Penjelasan dapat dilakukan
dengan metode daring menggunakan media informasi yang tersedia dan dapat
diakses oleh rumah sakit.
2. Penyampaian
dan pemeriksaan dokumen
Rumah Sakit menyampaikan dokumen kepada lembaga
independen penyelenggara akreditasi melalui sistem informasi yang telah
disediakan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang bersangkutan.
Jenis dokumen yang akan disampaikan oleh rumah sakit mengikuti permintaan dari
surveior lembaga independen penyelenggara akreditasi yang disesuaikan dengan
standar akreditasi. Lembaga independen penyelenggara akreditasi melakukan
evaluasi dan analisis dokumen dan melakukan klarifikasi kepada rumah sakit
terhadap dokumen-dokumen tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara daring
menggunakan sistem informasi yang dapat diakses oleh rumah sakit.
3. Telusur
dan kunjungan lapangan
Telusur dan kunjungan lapangan dilakukan oleh
lembaga independen penyelenggara akreditasi setelah melakukan klarifikasi
dokumen yang disampaikan oleh rumah sakit. Telusur dan kunjungan lapangan
bertujuan untuk memastikan kondisi lapangan sesuai dengan dokumen yang
disampaikan, serta untuk mendapatkan hal-hal yang masih perlu pembuktian
lapangan oleh surveior. Pada saat telusur, surveior akan melakukan observasi,
wawancara staf, pasien, keluarga, dan pengunjung serta simulasi. Lembaga independen penyelenggara akreditasi
menentukan jadwal pelaksanaan telusur dan kunjungan lapangan. Jumlah hari dan
jumlah surveior yang melaksanakan telusur dan kunjungan lapangan sesuai dengan
ketentuan sebagai berikut:
Klasifikasi RS |
Kelas RS |
Jumlah Hari |
Jumlah Surveior |
RS Umum |
A |
3 |
4 |
B |
2 |
3 |
|
C |
2 |
2 |
|
D |
2 |
2 |
|
RS Khusus |
A |
2 |
3 |
B |
2 |
2 |
|
C |
2 |
2 |
4. Penilaian
Lembaga independen penyelenggara akreditasi
menetapkan tata cara dan tahapan penilaian akreditasi dengan berpedoman pada
standar akreditasi yang dipergunakan saat survei akreditasi. Tahapan penilaian
ditentukan lembaga independen penyelenggara akreditasi dengan menerapkan
prinsip-prinsip keadilan, profesionalisme, dan menghindari terjadinya konflik
kepentingan. Lembaga independen penyelenggara akreditasi membuat instrumen,
daftar tilik dan alat bantu untuk surveior dalam melakukan penilaian agar hasil
yang diperoleh objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penentuan skor dari elemen
penilaian dilakukan dengan memperhatikan kelengkapan dokumen, hasil telusur,
kunjungan lapangan, simulasi kepada petugas, wawancara, dan klarifikasi yang
ada di standar akreditasi mengikuti ketentuan sebagai berikut:
No |
Kriteria |
Skor 10
(TL) |
Skor 5
(TS) |
Skor 0
(TT) |
TDD |
1. |
Pemenuhan elemen penilaian |
≥80% |
20% s.d <80% |
<20% |
Tidak dapat diterapkan |
2. |
Bukti kepatuhan |
Bukti kepatuhan ditemukan secara konsisten pada semua |
Bukti
kepatuhan ditemukan tidak konsisten/ hanya pada sebagian unit di mana persyaratan- |
Bukti kepatuhan tidak ditemukan pada semua bagian/unit di mana |
|
No |
Kriteria |
Skor 10
(TL) |
Skor 5
(TS) |
Skor 0
(TT) |
TDD |
|
|
bagian/unit di mana
persyaratanpersyaratan tersebut berlaku. Catatan: Hasil pengamatan tidak dapat
dianggap
sebagai temuan apabila hanya terjadi pada 1 (satu) pengamatan (observasi). |
persyaratan tersebut berlaku (misalnya ditemukan
kepatuhan di IRI, namun tidak di IRJ, patuh pada ruang operasi namun tidak
patuh di unit rawat sehari (day surgery), patuh pada area-area yang
menggunakan sedasi namun tidak patuh di klinik gigi). |
persyaratanpersyaratan tersebut berlaku |
|
3. |
Hasil wawancara dari pemenuhan persyaratan yang ada di EP |
Hasil
wawancara menjelaskan sesuai standar dan dibuktikan dengan dokumen dan
pengamatan |
Hasil wawancara menjelaskan sebagian sesuai standar dan dibuktikan dengan dokumen
dan pengamatan |
Hasil wawancara tidak sesuai
standar dan dibuktikan dengan dokumen dan
pengamatan |
|
4. |
Regulasi
sesuai dengan yang dijelaskan di maksud dan tujuan pada standar |
Regulasi yang
meliputi Kebijakan dan SPO lengkap
sesuai dengan maksud dan tujuan pada standar |
Regulasi yang
meliputi Kebijakan dan SPO sesuai
dengan maksud dan tujuan pada standar hanya sebagian/tidak lengkap
|
Regulasi yang
meliputi Kebijakan
dan SPO sesuai dengan maksud dan tujuan pada standar tidak ada |
|
5. |
Dokumen rapat/pertemu an: seperti
undangan, materi rapat, absensi/daftar
hadir, notulen rapat. |
Kelengkapan bukti dokumen
rapat 80% s.d 100% (cross check dengan
wawancara) |
Kelengkapan bukti dokumen
rapat 50% s.d <80% |
Kelengkapan bukti dokumen rapat <50% |
|
No |
Kriteria |
Skor 10
(TL) |
Skor 5
(TS) |
Skor 0
(TT) |
TDD |
6. |
Dokumen pelatihan seperti kerangka acuan (TOR) pelatihan yang dilampiri jadwal acara, undangan,
materi/bahan pelatihan, absensi/daftar hadir, laporan pelatihan |
Kelengkapan
bukti dokumen pelatihan 80% s.d 100% |
Kelengkapan bukti dokumen
pelatihan 50% s.d <80% |
Kelengkapan
bukti dokumen pelatihan <50% |
|
7. |
Dokumen orientasi staf
seperti kerangka acuan (TOR) orientasi
yang dilampiri jadwal acara, undangan, absensi/daftar hadir, laporan,
penilaian hasil orientasi dari kepala SDM
(orientasi umum) atau kepala unit (orientasi khusus) |
Kelengkapan bukti dokumen
orientasi 80% s.d 100% |
Kelengkapan bukti dokumen
orientasi 50% s.d <80% |
Kelengkapan bukti dokumen orientasi <50% |
|
8. |
Hasil
observasi pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi dan standar |
Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi dan standar 80% s.d 100% Contoh: 9 dari 10 kegiatan/ pelayanan yang diobservasi |
Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi dan standar 50% s.d <80% Contoh: 5 dari 10 kegiatan/
pelayanan yang diobservasi
sudah memenuhi |
Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi dan standar <50% Contoh: hanya 4 dari 10 kegiatan/ pelayanan yang |
|
No |
Kriteria |
Skor 10
(TL) |
Skor 5
(TS) |
Skor 0
(TT) |
TDD |
|
|
sudah memenuhi EP |
EP |
diobservasi memenuhi EP |
|
9. |
Hasil simulasi staf sesuai
regulasi/ standar |
Staf dapat memperagakan/
mensimulasikan sesuai regulasi/ standar: 80% s.d 100% Contoh: 9
dari 10 staf yang diminta simulasi sudah memenuhi regulasi/standar |
Staf dapat memperagakan/
mensimulasikan sesuai regulasi/ standar 50% s.d <80% Contoh: 5 dari 10 staf yang diminta simulasi sudah memenuhi regulasi/standar |
Staf dapat memperagakan/
mensimulasikan sesuai regulasi/ standar <50% Contoh:
hanya 4 dari 10 staf yang diminta simulasi sudah memenuhi regulasi/standar |
|
10. |
Kelengkapan
rekam medik (Telaah rekam medik tertutup), pada survei awal 4 bulan sebelum
survei, pada survei ulang 12 bulan sebelum survei |
Rekam
medik lengkap 80% s.d 100% saat di lakukan telaah. Contoh hasil telaah: 9
dari 10 rekam medik yang lengkap |
Rekam
medik lengkap 50% s.d <80% saat di lakukan telaah. Contoh
hasil telaah: 5 dari 10 rekam medik yang lengkap |
Rekam
medik lengkap kurang dari 50% saat di lakukan telaah. Contoh hasil telaah:
hanya 4 dari 10 rekam medik yang lengkap |
|
Keterangan:
TL : Terpenuhi Lengkap
TS : Terpenuhi Sebagian
TT : Tidak Terpenuhi
TDD :
Tidak Dapat Diterapkan
5. Penutupan
Setelah dilakukan telusur dan kunjungan lapangan
termasuk klarifikasi kepada rumah sakit, maka surveior dapat menyampaikan
hal-hal penting yang berkaitan dengan pelaksanaan akreditasi kepada rumah sakit
secara langsung/luring. Tujuan tahapan ini adalah untuk memberi gambaran kepada
rumah sakit bagaimana proses akreditasi yang telah dilaksanakan dan hal-hal
yang perlu mendapat perbaikan untuk meningkatkan mutu pelayanan.
C. Pasca
Akreditasi
1. Hasil
Akreditasi dan Akreditasi Ulang
Lembaga independen penyelenggara
akreditasi menyampaikan hasil akreditasi kepada Kementerian Kesehatan melalui
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
dilakukan survei. Hasil akreditasi berdasarkan pemenuhan standar akreditasi
dalam Keputusan Menteri ini, dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
Hasil Akreditasi |
Kriteria |
Paripurna |
Seluruh Bab mendapat nilai minimal 80% |
Utama |
12 – 15 Bab
mendapatkan nilai 80% dan Bab SKP mendapat nilai minimal 80%. Untuk rumah
sakit selain rumah sakit pendidikan/wahana pendidikan maka kelulusan adalah
12 – 14 bab dan bab SKP minimal 80 % |
Madya |
8 sampai 11 Bab mendapat
nilai minimal 80% dan Bab SKP mendapat nilai minimal 70% |
Tidak terakreditasi |
a. Kurang
dari 8 Bab yang mendapat nilai minimal 80%; dan/atau b. Bab SKP
mendapat nilai kurang dari 70% |
Rumah sakit diberikan kesempatan mengulang pada
standar yang pemenuhannya kurang dari 80%. Akreditasi ulang dapat dilakukan
paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 6 (enam) bulan sejak survei
terakhir dilaksanakan.
2. Penyampaian
Sertifikat Akreditasi
Penyampaian sertifikat akreditasi rumah sakit
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah survei akreditasi
dilakukan. Sertifikat akreditasi mencantumkan masa berlaku akreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Penyampaian
Rekomendasi
Rekomendasi hasil penilaian akreditasi disampaikan
oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi kepada rumah sakit berisikan
hal-hal yang harus ditindaklanjuti atau diperbaiki oleh rumah sakit.
Penyampaian rekomendasi dilakukan bersamaan dengan penyerahan sertifikat
akreditasi.
4. Penyampaian
Rencana perbaikan
Rumah sakit membuat Perencanaan Perbaikan Strategi
(PPS) berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh lembaga penyelenggara
akreditasi. Penyampaian rencana perbaikan dilakukan dalam waktu 45 (empat puluh
lima) hari sejak menerima rekomendasi dari lembaga penyelenggara akreditasi.
Strategi rencana perbaikan disampaikan kepada lembaga yang melakukan
akreditasi, dinas kesehatan setempat untuk rumah sakit kelas B, kelas C dan
Kelas D, dan untuk rumah sakit kelas A disampaikan ke Kementerian Kesehatan.
5. Penyampaian
Laporan Akreditasi
Lembaga menyampaikan pelaporan kegiatan akreditasi
kepada Kementerian Kesehatan melalui sistem informasi akreditasi rumah sakit.
Laporan berisi rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh rumah sakit, dan
tingkat akreditasi yang dicapai oleh rumah sakit. Laporan kegiatan akreditasi
dalam sistem informasi tersebut dapat diakses oleh pemerintah daerah provinsi
dan dinas kesehatan daerah kabupaten/kota.
6. Umpan
Balik Pelaksanaan Survei Akreditasi Oleh Rumah Sakit Untuk menjamin
akuntabilitas dan kualitas pelaksanaan survei, maka setiap survei harus diikuti
dengan permintaan umpan balik kepada rumah sakit terkait penyelenggaraan survei
akreditasi dan kinerja dan perilaku surveior. Umpan balik disampaikan kepada
lembaga independen penyelenggara akreditasi di rumah sakit tersebut dan
Kementerian Kesehatan melalui sistem informasi akreditasi rumah sakit. Umpan
balik digunakan sebagai dasar untuk upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan
survei akreditasi. Kementerian Kesehatan dapat memanfaatkan informasi dari
umpan balik tersebut untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
survei akreditasi kepada lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit.
BAB
III
STANDAR
AKREDITASI RUMAH SAKIT
A. Kelompok
Manajemen Rumah Sakit
1. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS)
Gambaran Umum
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan medis bagi rawat inap, rawat jalan, gawat darurat serta
pelayanan penunjang seperti laboratorium, radiologi serta layanan lainnya.
Untuk dapat memberikan pelayanan prima kepada pasien, rumah sakit dituntut
memiliki kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan efektif ini ditentukan oleh
sinergi yang positif antara Pemilik Rumah Sakit/Representasi Pemilik/Dewan
Pengawas, Direktur Rumah Sakit, para pimpinan di rumah sakit, dan kepala unit
kerja unit pelayanan. Direktur rumah sakit secara kolaboratif
mengoperasionalkan rumah sakit bersama dengan para pimpinan, kepala unit kerja,
dan unit pelayanan untuk mencapai visi misi yang ditetapkan serta memiliki
tanggung jawab dalam pengelolaan pengelolaan peningkatan mutu dan keselamatan
pasien, pengelolaan kontrak, serta pengelolaan sumber daya. Operasional rumah
sakit berhubungan dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada mulai dari
pemilik, jajaran direksi, pengelolaan secara keseluruhan sampai dengan unit
fungsional yang ada. Setiap pemangku kepentingan memiliki tugas dan tanggung
jawab sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Fokus pada Bab TKRS mencakup:
a. Representasi
Pemilik/Dewan Pengawas
b. Akuntabilitas
Direktur Utama/Direktur/Kepala Rumah Sakit
c.
Akuntabilitas Pimpinan Rumah Sakit
d. Kepemimpinan
Rumah Sakit Untuk Mutu dan Keselamatan
Pasien
e.
Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Kontrak
f.
Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Keputusan
Mengenai
Sumber Daya
g.
Pengorganisasian dan Akuntabilitas Komite Medik,
Komite
Keperawatan,
dan Komite Tenaga Kesehatan Lain
h. Akuntabilitas
Kepala unit klinis/non klinis
i.
Etika Rumah Sakit
j.
Kepemimpinan Untuk Budaya Keselamatan di Rumah
Sakit
k. Manajemen
risiko
l.
Program Penelitian Bersubjek Manusia di Rumah
Sakit Catatan: Semua standar Tata Kelola rumah sakit mengatur peran dan
tanggung jawab Pemilik atau Representasi Pemilik, Direktur, Pimpinan rumah
sakit dan Kepala Instalasi/Kepala Unit. Hierarki kepemimpinan dalam Standar ini
terdiri dari:
a. Pemilik/Representasi
Pemilik: satu atau sekelompok orang sebagai Pemilik atau sebagai Representasi
Pemilik, misalnya Dewan Pengawas.
b. Direktur/Direktur
Utama/Kepala rumah sakit: satu orang yang dipilih oleh Pemilik untuk
bertanggung jawab mengelola rumah sakit
c.
Para Wakil direktur (Pimpinan rumah sakit):
beberapa orang yang dipilih untuk membantu Direktur Apabila rumah sakit tidak
mempunyai Wakil direktur, maka kepala bidang/manajer dapat dianggap sebagai
pimpinan rumah sakit.
d. Kepala
Unit klinis/Unit non klinis: beberapa orang yang dipilih untuk memberikan
pelayanan termasuk Kepala IGD, Kepala Radiologi, Kepala Laboratorium, Kepala
Keuangan, dan lainnya.
Rumah sakit yang menerapkan tata kelola yang baik
memberikan kualitas pelayanan yang baik yang secara kasat mata, terlihat dari
penampilan keramahan staf dan penerapan budaya 5 R (rapi, resik, rawat, rajin,
ringkas) secara konsisten pada seluruh bagian rumah sakit, serta pelayanan yang
mengutamakan mutu dan keselamatan pasien.
a. Representasi Pemilik/Dewan Pengawas
1) Standar TKRS 1
Struktur organisasi serta wewenang
pemilik/representasi pemilik dijelaskan di dalam aturan internal rumah sakit (Hospital by Laws) yang ditetapkan oleh pemilik rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 1
Pemilik
dan representasi pemilik memiliki tugas pokok dan
fungsi secara khusus dalam pengolaan rumah sakit.
Regulasi yang mengatur hal tersebut dapat berbentuk peraturan internal rumah
sakit atau Hospital by Laws atau
dokumen lainnya yang serupa. Struktur organisasi pemilik termasuk representasi
pemilik terpisah dengan struktur organisasi rumah sakit sesuai dengan bentuk
badan hukum pemilik dan peraturan perundang-undangan. Pemilik rumah sakit tidak
diperbolehkan menjadi Direktur/Direktur Utama/Kepala Rumah Sakit, tetapi
posisinya berada di atas representasi pemilik. Pemilik rumah sakit
mengembangkan sebuah proses untuk melakukan komunikasi dan kerja sama dengan
Direktur/Direktur Utama/Kepala Rumah Sakit dalam rangka mencapai misi dan
perencanaan rumah sakit. Representasi pemilik, sesuai dengan bentuk badan hukum
kepemilikan rumah sakit memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memberi
persetujuan, dan pengawasan agar rumah sakit mempunyai kepemimpinan yang jelas,
dijalankan secara efisien, dan memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
aman.
Berdasarkan hal tersebut maka pemilik/representasi
pemilik perlu menetapkan Hospital by Laws/peraturan
internal rumah sakit yang mengatur:
a)
Pengorganisasian pemilik atau representasi
pemilik sesuai dengan bentuk badan hukum kepemilikan rumah sakit serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Peran,
tugas dan kewenangan pemilik atau representasi pemilik
c)
Peran, tugas dan kewenangan Direktur rumah sakit
d) Pengorganisasian
tenaga medis
e)
Peran, tugas dan kewenangan tenaga medis.
Tanggung jawab representasi pemilik harus dilakukan agar rumah sakit mempunyai
kepemimpinan yang jelas, dapat beroperasi secara efisien, dan menyediakan
pelayanan kesehatan bermutu tinggi. Tanggung jawabnya mencakup namun tidak
terbatas pada:
a)
Menyetujui dan mengkaji visi misi rumah sakit
secara periodik dan memastikan bahwa masyarakat mengetahui misi rumah
sakit.
b) Menyetujui
berbagai strategi dan rencana operasional rumah sakit yang diperlukan untuk
berjalannya rumah sakit sehari-hari.
c)
Menyetujui partisipasi rumah sakit dalam
pendidikan profesional kesehatan dan dalam penelitian serta mengawasi mutu dari
program-program tersebut.
d) Menyetujui
dan menyediakan modal serta dana operasional dan sumber daya lain yang diperlukan
untuk menjalankan rumah sakit dan memenuhi misi serta rencana strategis rumah
sakit.
e)
Melakukan evaluasi tahunan kinerja Direksi
dengan menggunakan proses dan kriteria yang telah ditetapkan.
f)
Mendukung peningkatan mutu dan keselamatan
pasien dengan menyetujui program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
g)
Melakukan pengkajian laporan hasil pelaksanaan
program Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) setiap 3 (tiga) bulan
sekali serta memberikan umpan balik perbaikan yang harus dilaksanakan dan
hasilnya di evaluasi kembali pada pertemuan berikutnya secara tertulis.
h) Melakukan
pengkajian laporan Manajemen Risiko setiap 6 (enam) bulan sekali dan memberikan
umpan balik perbaikan yang harus dilaksanakan dan hasilnya di evaluasi kembali
pada pertemuan berikutnya secara tertulis.
Khusus mengenai struktur organisasi rumah sakit,
hal ini sangat bergantung pada kebutuhan dalam pelayanan dan ketentuan
peraturan perundangan yang ada.
3) Elemen Penilaian TKRS 1
a)
Representasi pemilik/Dewan Pengawas dipilih dan
ditetapkan oleh Pemilik.
b) Tanggung
jawab dan wewenang representasi pemilik meliputi poin a) sampai dengan h) yang
tertera di dalam maksud dan tujuan serta dijelaskan di dalam peraturan internal
rumah sakit.
c)
Representasi pemilik/Dewan Pengawas di evaluasi
oleh pemilik setiap tahun dan hasil evaluasinya didokumentasikan.
d) Representasi
pemilik/Dewan Pengawas menetapkan visi misi rumah sakit yang diarahkan oleh
pemilik.
b. Akuntabilitas
Direktur Utama/Direktur/Kepala Rumah Sakit
1) Standar TKRS 2
Direktur rumah sakit bertanggung jawab untuk
menjalankan rumah sakit dan mematuhi peraturan dan perundang- undangan.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 2
Pimpinan tertinggi organisasi Rumah Sakit adalah
kepala atau Direktur Rumah Sakit dengan nama jabatan kepala, direktur utama
atau direktur, dalam standar akreditasi ini disebut Direktur Rumah Sakit. Dalam
menjalankan operasional Rumah Sakit, direktur dapat dibantu oleh wakil direktur
atau direktur (bila pimpinan tertinggi disebut direktur utama) sesuai
kebutuhan, kelompok ini disebut direksi.
Persyaratan untuk direktur Rumah Sakit sesuai
dengan peraturan perundangan adalah tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan
keahlian di bidang perumahsakitan.
Pendidikan dan pengalaman Direktur tersebut telah
memenuhi persyaratan untuk melaksanakan tugas yang termuat dalam uraian tugas
serta peraturan dan perundangan.
Tanggung jawab Direktur dalam menjalankan rumah
sakit termasuk namun tidak terbatas pada:
a)
Mematuhi perundang-undangan yang berlaku.
b) Menjalankan
visi dan misi rumah sakit yang telah ditetapkan.
c)
Menetapkan kebijakan rumah sakit.
d) Memberikan
tanggapan terhadap setiap laporan pemeriksaan yang dilakukan oleh
regulator.
e)
Mengelola dan mengendalikan sumber daya manusia,
keuangan dan sumber daya lainnya.
f)
Merekomendasikan sejumlah kebijakan, rencana
strategis, dan anggaran kepada Representatif pemilik/Dewan Pengawas untuk
mendapatkan persetujuan.
g)
Menetapkan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit
yaitu perbaikan yang akan berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit yang akan
dilakukan pengukuran sebagai indikator mutu prioritas rumah sakit.
h) Melaporkan
hasil pelaksanaan program mutu dan keselamatan pasien meliputi pengukuran data
dan laporan semua insiden keselamatan pasien secara berkala setiap 3 (tiga)
bulan kepada Representasi pemilik/Dewan Pengawas.
i)
Melaporkan hasil pelaksanaan program manajemen
risiko kepada Representasi pemilik/Dewan Pengawas setiap 6 (enam) bulan.
3) Elemen Penilaian TKRS 2
a)
Telah menetapkan regulasi tentang kualifikasi
Direktur, uraian tugas, tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan persyaratan
dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
b) Direktur
menjalankan operasional rumah sakit sesuai tanggung jawabnya yang meliputi
namun tidak terbatas pada poin a) sampai dengan i) dalam maksud dan tujuan yang
dituangkan dalam uraian tugasnya.
e) Memiliki bukti
tertulis tanggung jawab Direktur telah dilaksanakan dan dievaluasi oleh
pemilik/representasi pemilik setiap tahun dan hasil evaluasinya
didokumentasikan.
c. Akuntabilitas Pimpinan Rumah Sakit
1) Standar TKRS 3
Pimpinan
rumah sakit menyusun misi, rencana kerja dan kebijakan untuk memenuhi misi
rumah sakit serta merencanakan dan menentukan jenis pelayanan klinis untuk
memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 3
Direktur melibatkan wakil direktur rumah sakit dan
kepalakepala unit dalam proses menyusun misi dan nilai yang dianut rumah sakit. Apabila
rumah sakit tidak mempunyai wakil direktur, maka kepala bidang/manajer dapat
dianggap sebagai pimpinan rumah sakit.
Berdasarkan misi tersebut, pimpinan bekerja sama
untuk menyusun rencana kerja dan kebijakan yang dibutuhkan. Apabila misi dan
rencana kerja dan kebijakan telah ditetapkan oleh pemilik atau Dewan Pengawas,
maka pimpinan bekerja sama untuk melaksanakan misi dan kebijakan yang telah
dibuat.
Jenis pelayanan yang akan diberikan harus konsisten
dengan misi rumah sakit. Pimpinan rumah sakit menentukan pimpinan setiap unit
klinis dan unit layanan penting lainnya.
Pimpinan rumah sakit bersama dengan para pimpinan
tersebut:
a)
Merencanakan cakupan dan intensitas pelayanan
yang akan disediakan oleh rumah sakit, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
b) Meminta
masukan dan partisipasi masyarakat, rumah sakit jejaring, fasilitas pelayanan
kesehatan dan pihakpihak lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.
Bentuk pelayanan ini akan dimasukkan dalam penyusunan rencana strategis rumah
sakit dan perspektif pasien yang akan dilayani rumah sakit.
c)
Menentukan komunitas dan populasi pasien,
mengidentifikasi pelayanan yang dibutuhkan oleh komunitas, dan merencanakan
komunikasi berkelanjutan dengan kelompok pemangku kepentingan utama dalam
komunitas. Komunikasi dapat secara langsung ditujukan kepada individu, melalui
media massa, melalui lembaga dalam komunitas atau pihak ketiga. Jenis informasi yang disampaikan meliputi:
a)
informasi tentang layanan, jam kegiatan kerja,
dan proses untuk mendapatkan pelayanan; dan
b) informasi
tentang mutu layanan, yang disediakan kepada masyarakat dan sumber
rujukan.
3) Elemen Penilaian TKRS 3
a)
Direktur menunjuk pimpinan rumah sakit dan
kepala unit sesuai kualifikasi dalam persyaratan jabatan yang telah ditetapkan
beserta uraian tugasnya.
b) Pimpinan
rumah sakit bertanggung jawab untuk melaksanakan misi yang telah ditetapkan dan
memastikan kebijakan serta prosedur dilaksanakan.
c)
Pimpinan rumah sakit bersama dengan pimpinan
unit merencanakan dan menentukan jenis pelayanan klinis untuk memenuhi
kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit.
d) Rumah
sakit memberikan informasi tentang pelayanan yang disediakan kepada tokoh
masyarakat, para pemangku kepentingan, fasilitas pelayanan kesehatan di sekitar
rumah sakit, dan terdapat proses untuk menerima masukan bagi peningkatan
pelayanannya.
4) Standar TKRS 3.1
Pimpinan rumah sakit memastikan komunikasi yang
efektif telah dilaksanakan secara menyeluruh di rumah sakit.
5) Maksud dan Tujuan TKRS 3.1
Komunikasi yang efektif baik antara para
profesional pemberi asuhan (PPA); antara unit dengan unit baik pelayanan maupun
penunjang, antara PPA dengan kelompok nonprofesional; antara PPA dengan
manajemen, antara PPA dengan pasien dan keluarga; serta antara PPA dengan
organisasi di luar rumah sakit merupakan tanggung jawab pimpinan rumah sakit.
Pimpinan rumah sakit tidak hanya mengatur parameter komunikasi yang efektif,
tetapi juga memberikan teladan dalam melakukan komunikasi efektif tentang misi,
rencana strategi dan informasi terkait lainnya. Para pimpinan memperhatikan
keakuratan dan ketepatan waktu dalam pemberian informasi dan pelaksanaan
komunikasi dalam lingkungan rumah sakit. Untuk mengoordinasikan dan
mengintegrasikan pelayanan kepada pasien, pimpinan menetapkan Tim/Unit yang
menerapkan mekanisme pemberian informasi dan komunikasi misalnya melalui
pembentukan Tim/Unit PKRS. Metode komunikasi antar layanan dan staf dapat
berupa buletin, poster, story board,
dan lain-lainnya.
6) Elemen Penilaian TKRS 3.1
a)
Pimpinan rumah sakit memastikan bahwa terdapat
proses untuk menyampaikan informasi dalam lingkungan rumah sakit secara akurat
dan tepat waktu.
b) Pimpinan
rumah sakit memastikan bahwa komunikasi yang efektif antara unit klinis dan
nonklinis, antara PPA dengan manajemen, antar PPA dengan pasien dan keluarga
serta antar staf telah dilaksanakan.
c)
Pimpinan rumah sakit telah mengkomunikasikan
visi, misi, tujuan, rencana strategis dan kebijakan, rumah sakit kepada semua
staf.
d. Kepemimpinan Rumah Sakit Untuk Mutu dan
Keselamatan
Pasien.
1) Standar TKRS 4
Pimpinan rumah sakit merencanakan, mengembangkan,
dan menerapkan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 4
Peran para pimpinan rumah sakit termasuk dalam
mengembangkan program mutu dan keselamatan pasien sangat penting. Diharapkan
pelaksanaan program mutu dan keselamatan dapat membangun budaya mutu di rumah
sakit.
Pimpinan rumah sakit memilih mekanisme pengukuran
data untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Di samping itu, pimpinan
rumah sakit juga memberikan arahan dan dukungan terhadap pelaksanaan program
misalnya menyediakan sumber daya yang cukup agar Komite/Tim Penyelenggara Mutu
dapat bekerja secara efektif.
Pimpinan rumah sakit juga menerapkan mekanisme dan
proses untuk memantau dan melakukan koordinasi secara menyeluruh terhadap
penerapan program di rumah sakit. Koordinasi ini dapat tercapai melalui
pemantauan dari Komite/Tim Penyelenggara Mutu, atau struktur lainnya.
Koordinasi menggunakan pendekatan sistem untuk pemantauan mutu dan aktivitas
perbaikan sehingga mengurangi duplikasi; misalnya terdapat dua unit yang secara
independen mengukur suatu proses atau luaran yang sama.
Komunikasi dan pemberian informasi tentang hasil
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien secara berkala setiap triwulan
kepada Direktur dan staf merupakan hal yang penting. Informasi yang diberikan
mencakup hasil pengukuran data, proyek perbaikan mutu yang baru akan dilaksanakan
atau proyek perbaikan mutu yang sudah diselesaikan, hasil pencapaian Sasaran
Keselamatan Pasien,penelitian terkini dan program kaji banding.
Saluran komunikasi ditetapkan oleh pimpinan rumah
sakit menggunakan jalur yang efektif serta mudah dipahami, meliputi:
a)
Informasi hasil pengukuran data kepada Direktur,
misalnya Dashboard.
b) Informasi
hasil pengukuran data kepada staf misalnya buletin, papan cerita (story board), pertemuan staf, dan proses
lainnya.
3) Elemen Penilaian TKRS 4
a)
Direktur dan Pimpinan rumah sakit berpartisipasi
dalam merencanakan mengembangkan dan
menerapkan program peningkatan mutu
dan keselamatan pasien di lingkungan
rumah sakit.
b) Pimpinan
rumah sakit memilih dan menetapkan proses pengukuran, pengkajian data, rencana
perbaikan dan mempertahankan peningkatan mutu dan keselamatan pasien di
lingkungan rumah sakit
c)
Pimpinan rumah sakit memastikan terlaksananya
program PMKP termasuk memberikan dukungan teknologi dan sumber daya yang
adekuat serta menyediakan pendidikan staf tentang peningkatan mutu dan
keselamatan pasien di rumah sakit agar dapat berjalan secara efektif.
d) Pimpinan
rumah sakit menetapkan mekanisme pemantauan dan koordinasi program peningkatan
mutu dan keselamatan pasien.
4) Standar TKRS 5
Direktur dan Pimpinan rumah sakit berpartisipasi
dalam menetapkan prioritas perbaikan di tingkat rumah sakit yang merupakan
proses yang berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit termasuk di dalamnya
kegiatan keselamatan pasien serta analisis dampak dari perbaikan yang telah
dilakukan.
5) Maksud dan Tujuan TKRS 5
Tanggung jawab direktur dan pimpinan rumah sakit
adalah menetapkan Prioritas perbaikan di tingkat rumah sakit yaitu perbaikan
yang akan berdampak luas/menyeluruh dan dapat dilakukan di berbagai unit klinis
maupun non klinis. Prioritas perbaikan tersebut harus dilakukan pengukuran
dalam bentuk indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS).
Pengukuran prioritas perbaikan tingkat rumah sakit
mencakup:
a)
Sasaran keselamatan pasien meliputi enam Sasaran
Keselamatan Pasien (SKP)
b) Pelayanan
klinis prioritas untuk dilakukan perbaikan misalnya pada pelayanannya berisiko
tinggi dan terdapat masalah dalam pelayanan tersebut, seperti pada pelayanan
hemodialisa serta pelayanan kemoterapi. Pemilihan pelayanan klinis prioritas
dapat menggunakan kriteria pemilihan prioritas pengukuran dan perbaikan.
c)
Tujuan strategis rumah sakit misalnya rumah
sakit ingin menjadi rumah sakit rujukan untuk pasien kanker. Maka prioritas
perbaikannya dapat dalam bentuk Key
Performance indicator (KPI) dapat berupa peningkatkan efisiensi, mengurangi
angka readmisi, mengurangi masalah alur pasien di IGD atau memantau mutu
layanan yang diberikan oleh pihak lain yang dikontrak.
d) Perbaikan
sistem adalah perbaikan yang jika dilakukan akan berdampak luas/menyeluruh di rumah
sakit yang dapat diterapkan di beberapa unit misalnya sistem pengelolaan obat,
komunikasi serah terima dan lain-lainnya.
e)
Manajemen risiko untuk melakukan perbaikan
secara proaktif terhadap proses berisiko tinggi misalnya yang telah dilakukan
analisis FMEA atau dapat diambil dari profil risiko
f)
Penelitian klinis dan program pendidikan
kesehatan (apabila ada).
Untuk memilih prioritas pengukuran dan perbaikan
menggunakan kriteria prioritas mencakup:
a)
Masalah yang paling banyak di rumah sakit.
b) Jumlah
yang banyak (High volume).
c)
Proses berisiko tinggi (High process).
d) Ketidakpuasan
pasien dan staf.
e)
Kemudahan dalam pengukuran.
f)
Ketentuan Pemerintah / Persyaratan Eksternal.
g)
Sesuai dengan tujuan strategis rumah sakit.
h) Memberikan
pengalaman pasien lebih baik (patient
experience).
Direktur dan Pimpinan rumah sakit berpartisipasi
dalam penentuan pengukuran perbaikan. Penentuan prioritas terukur dapat
menggunakan skoring prioritas. Direktur dan pimpinan rumah sakit akan menilai
dampak perbaikan dapat berupa:
a)
Dampak primer adalah hasil capaian setelah
dilakukan perbaikan misalnya target kepuasan pasien tercapai 90%, atau hasil
kepatuhan terhadap proses yang ditetapkan misalnya, kepatuhan pelaporan hasil
kritis < 30 menit tercapai 100%.
b) Dampak
sekunder adalah dampak terhadap efisiensi setelah dilakukan perbaikan misalnya
efisiensi pada proses klinis yang kompleks, perubahan alur pelayanan yang
kompleks, penghematan biaya pengurangan sumber daya, perubahan ruangan yang
dibutuhkan yang digunakan dalam proses pelayanan tersebut.
Penilaian dampak perbaikan akan memberikan
pemahaman tentang biaya yang dikeluarkan untuk investasi mutu, sumber daya
manusia, keuangan, dan keuntungan lain dari investasi tersebut. Direktur dan
pimpinan rumah sakit akan menetapkan cara/tools
sederhana untuk membandingkan sumber daya yang digunakan pada proses yang lama
dibandingkan proses yang baru dengan membandingkan dampak perbaikan pada hasil
keluaran pasien dan atau biaya yang menyebabkan efisiensi. Hal ini akan menjadi
pertimbangan dalam penentuan prioritas perbaikan pada periode berikutnya, baik
di tingkat rumah sakit maupun di tingkat unit klinis/non klinis. Apabila semua
informasi ini digabungkan secara menyeluruh, maka direktur dan pimpinan rumah
sakit dapat lebih memahami bagaimana mengalokasikan sumber daya mutu dan
keselamatan pasien yang tersedia.
6) Elemen Penilaian TKRS 5
a)
Direktur dan pimpinan rumah sakit menggunakan
data yang tersedia (data based) dalam
menetapkan indikator prioritas rumah sakit yang perbaikannya akan berdampak
luas/menyeluruh meliputi poin a) – f) dalam maksud dan tujuan.
b) Dalam
memilih prioritas perbaikan di tingkat rumah sakit maka Direktur dan pimpinan
mengggunakan kriteria prioritas meliputi poin a) – h) dalam maksud dan tujuan.
c)
Direktur dan pimpinan rumah sakit mengkaji
dampak perbaikan primer dan dampak perbaikan sekunder pada indikator prioritas
rumah sakit yang ditetapkan di tingkat rumah sakit maupun tingkat unit.
e. Kepemimpinan Rumah Sakit
Terkait Kontrak
1) Standar TKRS 6
Pimpinan Rumah Sakit bertanggung jawab untuk
mengkaji, memilih, dan memantau kontrak klinis dan nonklinis serta melakukan
evaluasi termasuk inspeksi kepatuhan layanan sesuai kontrak yang
disepakati.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 6
Rumah sakit dapat memilih pelayanan yang akan
diberikan kepada pasien apakah akan memberikan pelayanan secara langsung atau
tidak langsung misalnya rujukan, konsultasi atau perjanjian kontrak lainnya.
Pimpinan rumah sakit menetapkan jenis dan ruang lingkup layanan yang akan di
kontrakkan baik kontrak klinis maupun kontrak manajemen. Jenis dan ruang
lingkup layanan tersebut kemudian dituangkan dalam kontrak/perjanjian untuk
memastikan bahwa pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan pasien.
Kontrak pelayanan klinis disebut kontrak klinis
adalah perjanjian pelayanan klinis yang diberikan oleh pihak ketiga kepada
pasien misalnya layanan laboratorium, layanan radiologi dan pencitraan
diagnostik dan lain-lainnya. Kontrak pelayanan manajemen disebut kontrak
manajemen adalah perjanjian yang menunjang kegiatan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan kepada pasien misalnya: layanan kebersihan, kemanan, rumah
tangga/tata graha/housekeeping,
makanan, linen, dan lain-lainnya.
Kontrak klinis bisa juga berhubungan dengan staf
profesional kesehatan. misalnya, kontrak perawat untuk pelayanan intensif,
dokter tamu/dokter paruh waktu, dan lain-lainnya. Dalam kontrak tersebut harus
menyebutkan bahwa staf profesional tersebut telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan Rumah Sakit. Manajemen rumah sakit menetapkan kriteria dan isi
kontrak agar kerjasama dapat berjalan dengan baik dan rumah sakit memperoleh
manfaat dan pelayanan yang bermutu.
Pimpinan unit berpartisipasi dalam mengkaji dan
memilih semua kontrak klinis dan nonklinis serta bertanggung jawab untuk
memantau kontrak tersebut.
Kontrak dan perjanjian- perjanjian merupakan bagian
dalam program mutu dan keselamatan pasien. Untuk memastikan mutu dan
keselamatan pasien, perlu dilakukan evaluasi untuk semua layanan yang diberikan
baik secara langsung oleh rumah sakit
maupun melalui kontrak. Karena itu, rumah sakit
perlu meminta informasi mutu (misalnya quality
control), menganalisis, kemudian mengambil tindakan terhadap informasi mutu
yang diberikan pihak yang di kontrak. Isi kontrak dengan pihak yang dikontrak
harus mencantumkan apa yang diharapkan untuk menjamin mutu dan keselamatan
pasien, data apa yang harus diserahkan kepada rumah sakit, frekuensi penyerahan
data, serta formatnya. Pimpinan unit layanan menerima laporan mutu dari pihak
yang dikontrak tersebut, untuk kemudian ditindaklanjuti dan memastikan bahwa
laporanlaporan tersebut diintegrasikan ke dalam proses penilaian mutu rumah
sakit.
3) Elemen Penilaian TKRS 6
a)
Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab terhadap
kontrak untuk memenuhi kebutuhan pasien dan manajemen termasuk ruang lingkup
pelayanan tersebut yang dicantumkan dalam persetujuan kontrak.
b) Tenaga
kesehatan yang dikontrak perlu dilakukan kredensial sesuai ketentuan di rumah
sakit.
c)
Pimpinan rumah sakit menginspeksi kepatuhan
layanan kontrak sesuai kebutuhan
d) Apabila
kontrak dinegosiasikan ulang atau dihentikan, rumah sakit tetap mempertahankan
kelanjutan dari pelayanan pasien
- 30 -
e)
Semua kontrak menetapkan data mutu yang harus
dilaporkan kepada rumah sakit, disertai frekuensi dan mekanisme pelaporan,
serta bagaimana rumah sakit akan merespons jika persyaratan atau ekspektasi
mutu tidak terpenuhi.
f)
Pimpinan klinis dan non klinis yang terkait
layanan yang dikontrak melakukan analisis dan memantau informasi mutu yang
dilaporkan pihak yang dikontrak yang merupakan bagian dalam program penigkatan
mutu dan keselamatan pasien rumah sakit.
f. Kepemimpinan
Rumah Sakit Terkait Keputusan Mengenai
Sumber Daya
1) Standar TKRS 7
Pimpinan rumah sakit membuat keputusan tentang
pengadaan dan pembelian. Penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
harus berdasarkan pertimbangan mutu dan dampaknya pada keselamatan.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 7
Pimpinan rumah sakit akan mengutamakan mutu dan
keselamatan pasien daripada biaya pada saat akan mengambil keputusan terkait
pembelian dan keputusan terhadap sumber daya lainnya seperti pengurangan atau
pemindahan staf keperawatan. Misalnya pada saat diputuskan untuk membeli pompa
infus baru, maka informasi tingkat kegagalan dan insiden keselamatan pasien
terkait alat yang akan dibeli, preferensi dari staf, catatan terkait adanya
masalah dengan alarm dari pompa infus, pemeliharaan alat, pelatihan yang
diperlukan dan hal lain terkait mutu dan keselamatan pasien di pakai sebagai
dasar untuk membuat keputusan pembelian.
Pimpinan rumah sakit mengembangkan proses untuk
mengumpulkan data dan informasi untuk pembelian ataupun keputusan mengenai
sumber daya untuk memastikan bahwa keputusannya sudah berdasarkan pertimbangan
mutu dan keselamatan.
Data terkait keputusan mengenai sumber daya adalah
memahami kebutuhan dan rekomendasi peralatan medis, perbekalan dan obat-obatan
yang dibutuhkan untuk pelayanan. Rekomendasi dapat diperoleh dari pemerintah,
organisasi profesional nasional dan internasional serta sumber berwenang
lainnya.
Investasi untuk teknologi informasi kesehatan (TIK)
merupakan sumber daya yang penting bagi rumah sakit. TIK meliputi berbagai
teknologi yang mencakup metode pendokumentasian dan penyebaran informasi
pasien, seperti rekam medis elektronik. Selain itu, TIK juga meliputi metode
untuk menyimpan dan menganalisis data, mengomunikasikan informasi antarpraktisi
kesehatan agar dapat mengoordinasikan pelayanan lebih baik, serta untuk
menerima informasi yang dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan
pelayanan yang aman bagi pasien. Implementasi sumber daya TIK membutuhkan
arahan, dukungan, dan pengawasan dari pimpinan rumah sakit. Ketika keputusan
mengenai pengadaan sumber daya dibuat oleh pihak ketiga misalnya Kementerian
Kesehatan, maka pimpinan rumah sakit menginformasikan kepada Kementerian
Kesehatan pengalaman dan preferensi sumber daya tersebut sebagai dasar untuk
membuat keputusan.
3) Elemen Penilaian TKRS 7
a)
Pimpinan rumah sakit menggunakan data dan
informasi mutu serta dampak terhadap keselamatan untuk membuat keputusan
pembelian dan penggunaan peralatan baru.
b) Pimpinan
rumah sakit menggunakan data dan informasi mutu serta dampak terhadap
keselamatan dalam pemilihan, penambahan, pengurangan dan melakukan rotasi
staf.
c)
Pimpinan rumah sakit menggunakan rekomendasi
dari organisasi profesional dan sumber berwenang lainnya dalam mengambil
keputusan mengenai pengadaan sumber daya.
d) Pimpinan
rumah sakit memberikan arahan, dukungan, dan pengawasan terhadap penggunaan
sumber daya
Teknologi informasi Kesehatan (TIK)
e)
Pimpinan rumah sakit memberikan arahan,
dukungan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan program penanggulangan
kedaruratan dan bencana.
f)
Pimpinan rumah sakit memantau hasil keputusannya
dan menggunakan data tersebut untuk mengevaluasi dan memperbaiki mutu keputusan
pembelian dan pengalokasian sumber daya.
4) Standar TKRS 7.1
Pimpinan rumah sakit mencari dan menggunakan data
serta informasi tentang keamanan dalam rantai perbekalan untuk melindungi
pasien dan staf terhadap produk yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak, dan
palsu.
5) Maksud dan Tujuan TKRS.7.1
Pengelolaan rantai perbekalan merupakan hal penting
untuk memastikan keamanan dan mutu perbekalan rumah sakit. Rantai perbekalan
meliputi serangkaian proses dimulai dari produsen hingga pengantaran perbekalan
ke rumah sakit. Jenis dan jumlah perbekalan yang digunakan rumah sakit sangat
bervariasi, oleh karena itu rumah sakit harus mengelola begitu banyak rantai
perbekalan. Karena staf dan sumber daya yang terbatas, tidak semua rantai
perbekalan dapat dilacak dan dievaluasi di saat yang sama. Oleh karena itu,
rumah sakit harus menentukan obatobatan, perbekalan medis, serta peralatan
medis yang paling berisiko tidak stabil, mengalami kontaminasi, rusak, atau
ditukar dengan produk palsu atau imitasi.
Untuk perbekalan-perbekalan yang berisiko tersebut,
rumah sakit menentukan langkah-langkah untuk mengelola rantai perbekalannya.
Meskipun informasi ini mungkin tidak lengkap dan sulit untuk dirangkaikan
menjadi satu, minimal rumah sakit harus memutuskan di manakah terdapat risiko
yang paling tinggi, misalnya dengan membuat bagan alur/flow chart untuk memetakan setiap langkah, atau titik dalam rantai
perbekalan dengan mencantumkan produsen, fasilitas gudang, vendor, distributor,
dan lain-lainnya.
Rumah
sakit dapat menunjukkan titik mana di dalam bagan alur tersebut yang memiliki
risiko paling signifikan. misalnya, rumah sakit menentukan obat insulin sebagai
obat yang paling berisiko di rumah sakit, kemudian membuat bagan alur yang
menunjukkan setiap langkah dalam rantai perbekalan obat insulin. Rumah sakit
kemudian menentukan titik-titik mana yang berisiko, seperti titik produsen,
vendor, gudang, dan pengiriman, serta dapat menentukan elemen-elemen penting
lainnya yang harus dipertimbangkan seperti kepatuhan produsen terhadap
regulasi, pengendalian dan pemantauan suhu di gudang, serta pembatasan jarak
tempuh antar satu titik ke titik yang lain dalam rantai perbekalan. Pada saat
meninjau risiko potensial dalam suatu rantai perbekalan, rumah sakit mengetahui
bahwa ternyata vendor baru saja menandatangani kontrak dengan perusahaan
pengiriman logistik yang layanannya kurang memuaskan, termasuk pengiriman yang
terlambat dan pencatatan pemantauan suhu yang tidak konsisten selama
pengiriman. Setelah mengkaji situasi ini, rumah sakit dapat menggolongkan hal
ini sebagai risiko yang signifikan dalam rantai perbekalan. Pimpinan rumah
sakit harus mengambil keputusan untuk membuat perubahan terhadap rantai
perbekalan dan menentukan prioritas pengambilan keputusan terkait pembelian berdasarkan
informasi titik risiko dalam rantai perbekalan tersebut.
Pengelolaan rantai perbekalan bukan hanya mengenai
evaluasi prospektif terhadap perbekalan yang berisiko tinggi, proses ini juga
meliputi pelacakan retrospektif terhadap perbekalan yang ada setelah perbekalan
tersebut diantarkan ke rumah sakit. Rumah sakit harus memiliki proses untuk
mengidentifikasi obat-obatan, perbekalan medis, serta peralatan medis yang
tidak stabil, terkontaminasi, rusak atau palsu dan melacak kembali
perbekalan-perbekalan tersebut untuk menentukan sumber atau penyebab masalah
yang ada, jika memungkinkan. Rumah sakit harus memberitahu produsen dan/atau
distributor apabila ditemukan perbekalan yang tidak stabil, terkontaminasi,
rusak atau palsu dalam pelacakan retrospektif.
Ketika perbekalan rumah sakit dibeli, disimpan dan
didistribusikan oleh pemerintah, rumah sakit dapat berpartisipasi untuk
mendeteksi dan melaporkan jika menemukan perbekalan yang diduga tidak stabil,
terkontaminasi, rusak, atau palsu serta melakukan tindakan untuk mencegah
kemungkinan bahaya bagi pasien. Meskipun rumah sakit pemerintah mungkin tidak
tahu integritas dari setiap pemasok dalam rantai perbekalan, rumah sakit perlu
ikut memantau perbekalan yang dibeli dan dikelola oleh pemerintah ataupun nonpemerintah.
6) Elemen Penilaian TKRS 7.1
a)
Pimpinan rumah sakit menentukan obat-obatan,
perbekalan medis, serta peralatan medis yang paling berisiko dan membuat bagan
alur rantai perbekalannya.
b) Pimpinan
rumah sakit menentukan titik paling berisiko dalam bagan alur rantai perbekalan
dan membuat keputusan berdasarkan risiko dalam rantai perbekalan tersebut.
c)
Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan
pelacakan retrospektif terhadap perbekalan yang diduga tidak stabil,
terkontaminasi, rusak, atau palsu.
d) Rumah
sakit memberitahu produsen dan/atau distributor bila menemukan
perbekalan yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak, atau palsu.
g. Pengorganisasian dan Akuntabilitas Komite
Medik, Komite
Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan
Lain
1) Standar TKRS 8
Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga
Kesehatan Lain menerapkan pengorganisasisannya sesuai peraturan
perundang-undangan untuk mendukung tanggung jawab serta wewenang mereka.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 8
Struktur organisasi Komite Medik,
Komite Keperawatan,
dan Komite Tenaga Kesehatan Lain ditetapkan oleh
Direktur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan
fungsinya, Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga Kesehatan Lain
mempunyai tanggung jawab kepada pasien dan kepada rumah sakit yaitu:
a)
Mendukung komunikasi yang efektif antar tenaga
profesional;
b) Menyusun
kebijakan, pedoman, prosedur serta protokol, tata hubungan kerja, alur klinis,
dan dokumen lain yang mengatur layanan klinis;
c)
Menyusun kode etik profesi; dan
d) Memantau
mutu pelayanan pasien lainnya.
3) Elemen Penilaian TKRS 8
a)
Terdapat struktur organisasi Komite Medik,
Komite Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan Lain yang ditetapkan Direktur
sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
b) Komite
Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga Kesehatan Lain melaksanakan
tanggung jawabnya mencakup (a-d) dalam maksud dan tujuan.
c)
Untuk melaksanakan tanggung jawabnya Komite
Medik, Komite Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan Lain menyusun Program
kerja setiap tahun dan ditetapkan oleh Direktur.
h. Akuntabilitas Kepala Unit Klinis/Non
Klinis
1) Standar
TKRS 9
Unit layanan di rumah sakit dipimpin oleh kepala
unit yang ditetapkan oleh Direktur sesuai dengan kompetensinya untuk
mengarahkan kegiatan di unitnya.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 9
Kinerja yang baik di unit layanan membutuhkan
kepemimpinan yang kompeten dalam melaksanakan tanggung jawabnya yang dituangkan
dalam urain tugas. Setiap kepala unit
merencanakan dan melaporkan kebutuhan staf dan sumber daya misalnya ruangan,
peralatan dan sumber daya lainnya kepada pimpinan rumah sakit untuk memenuhi
pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Meskipun para kepala unit layanan telah
membuat rencana kebutuhan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, namun
terkadang terdapat perubahan prioritas di dalam rumah sakit yang mengakibatkan
tidak terpenuhinya sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kepala unit
harus memiliki proses untuk merespon kekurangan sumber daya agar memastikan
pemberian pelayanan yang aman dan efektif bagi semua pasien.
Kepala unit layanan menyusun kriteria berdasarkan
pendidikan, keahlian, pengetahuan, dan pengalaman yang diperlukan professional
pemberi asuhan (PPA) dalam memberikan pelayanan di unit layanan tersebut.
Kepala unit layanan juga bekerja sama dengan Unit SDM dan unit lainnya dalam
melakukan proses seleksi staf.
Kepala unit layanan memastikan bahwa semua staf
dalam unitnya memahami tanggung jawabnya dan mengadakan kegiatan orientasi dan
pelatihan bagi staf baru. Kegiatan orientasi mencakup misi rumah sakit, lingkup
pelayanan yang diberikan, serta kebijakan dan prosedur yang terkait pelayanan
yang diberikan di unit tersebut, misalnya semua staf telah memahami prosedur
pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit dan di unit layanan tersebut.
Bila terdapat revisi kebijakan atau prosedur baru, staf akan diberikan
pelatihan ulang.
Para kepala unit kerja menyusun program kerja di
masingmasing unit setiap tahun, menggunakan format yang seragam yang telah
ditetapkan rumah sakit. Kepala unit kerja melakukan koordinasi dan integrasi
dalam unitnya dan antar unit layanan untuk mencegah duplikasi pelayanan, misalnya
koordinasi dan integrasi antara pelayanan medik dan pelayanan keperawatan.
3) Elemen Penilaian TKRS 9
a)
Kepala unit kerja diangkat sesuai kualifikasi
dalam persyaratan jabatan yang ditetapkan.
b) Kepala
unit kerja menyusun pedoman pengorganisasian, pedoman pelayanan dan prosedur
sesuai proses bisnis di unit kerja.
c)
Kepala unit kerja menyusun program kerja yang
termasuk di dalamnya kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta
manajemen risiko setiap tahun.
d) Kepala
unit kerja mengusulkan kebutuhan sumber daya mencakup ruangan, peralatan medis,
teknologi informasi dan sumber daya lain yang diperlukan unit layanan serta
terdapat mekanisme untuk menanggapi kondisi jika terjadi kekurangan tenaga.
e)
Kepala unit kerja telah melakukan koordinasi dan
integrasi baik dalam unitnya maupun antar unit layanan.
4) Standar TKRS 10
Kepala unit layanan berpartisipasi dalam
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan melakukan pengukuran indikator
mutu rumah sakit yang dapat diterapkan di unitnya dan memantau serta
memperbaiki pelayanan pasien di unit layanannya.
5) Maksud dan Tujuan TKRS 10
Kepala unit layanan melibatkan semua stafnya dalam
kegiatan pengukuran indikator prioritas rumah sakit yang perbaikan akan
berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit baik kegiatan klinis maupun non klinis
yang khusus untuk unit layanan tersebut. Misalnya indikator prioritas rumah
sakit adalah komunikasi saat serah terima yang perbaikannya akan berdampak
luas/menyeluruh di semua unit klinis maupun non klinis. Hal yang sama juga
dapat dilakukan pada unit non klinis untuk memperbaiki komunikasi serah terima
dengan menerapkan proyek otomatisasi untuk memonitor tingkat keakurasian saat
pembayaran pasien.
Kepala unit klinis memilih indikator mutu yang akan
dilakukan pengukuran sesuai dengan pelayanan di unitnya mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a)
Pengukuran indikator nasional mutu (INM).
b) Pengukuran
indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) yang berdampak luas dan
menyeluruh di rumah sakit.
c)
Pengukuran indikator mutu prioritas unit
(IMP-unit) untuk mengurangi variasi, meningkatkan keselamatan pada
prosedur/tindakan berisiko tinggi dan meningkatkan kepuasan pasien serta
efisiensi sumber daya.
Pemilihan pengukuran berdasarkan pelayanan dan
bisnis proses yang membutuhkan perbaikan di setiap unit layanan. Setiap
pengukuran harus ditetapkan target yang diukur dan dianalisis capaian dan dapat
dipertahankan dalam waktu 1 (satu) tahun. Jika target telah tercapai dan dapat
dipertahankan untuk dalam waktu 1 (satu) tahun maka dapat diganti dengan
indikator yang baru.
Kepala unit layanan klinis dan non klinis
bertanggung jawab memberikan penilaian kinerja staf yang bekerja di unitnya.
Karena itu penilaian kinerja staf harus mencakup kepatuhan terhadap prioritas
perbaikan mutu di unit yaitu indikator mutu prioritas unit (IMP-unit) sebagai
upaya perbaikan di setiap unit untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien
tingkat unit.
6) Elemen Penilaian TKRS 10
a)
Kepala unit klinis/non klinis melakukan
pengukuran INM yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh unitnya
b) Kepala
unit klinis/non klinis melakukan pengukuran IMP-RS yang sesuai dengan pelayanan
yang diberikan oleh unitnya, termasuk semua layanan kontrak yang menjadi
tanggung jawabnya.
c)
Kepala unit klinis/non klinis menerapkan
pengukuran IMP-Unit untuk mengurangi variasi dan memperbaiki proses dalam
unitnya,
d) Kepala
unit klinis/non klinis memilih prioritas perbaikan yang baru bila perbaikan
sebelumnya sudah dapat dipertahankan dalam waktu 1 (satu) tahun.
7) Standar TKRS 11
Kepala
unit klinis mengevaluasi kinerja para dokter, perawat dan tenaga kesehatan profesional lainnya
menggunakan indikator mutu yang diukur di unitnya.
8) Maksud dan Tujuan TKRS 11
Kepala unit klinis bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa mutu pelayanan yang diberikan oleh stafnya dilakukan secara
konsisten dengan melakukan evaluasi kinerja terhadap stafnya. Kepala unit
klinis juga terlibat dalam memberikan rekomendasi tentang penunjukan, delineasi
kewenangan, evaluasi praktik profesional berkelanjutan (On going Professional Practice Evaluation), serta penugasan kembali
dokter/perawat/tenaga kesehatan lain yang bertugas dalam unitnya.
9) Elemen Penilaian TKRS 11
a)
Penilaian praktik profesional berkelanjutan (On going Professional Practice Evaluation)
para dokter dalam memberikan pelayanan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan
pasien menggunakan indikator mutu yang diukur di unit tersebut.
b) Penilaian
kinerja para perawat dalam memberikan pelayanan untuk meningkatkan mutu dan
keselamatan pasien menggunakan indikator mutu yang diukur di unit tersebut.
c)
Penilaian kinerja tenaga kesehatan lainnya
memberikan pelayanan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien menggunakan
indikator mutu yang diukur di unit tersebut.
i.
Etika
Rumah Sakit
1) Standar TKRS 12
Pimpinan rumah sakit menetapkan kerangka kerja
pengelolaan etik rumah sakit untuk menangani masalah etik rumah sakit meliputi
finansial, pemasaran, penerimaan pasien, transfer pasien, pemulangan pasien dan
yang lainnya termasuk konflik etik antar profesi serta konflik kepentingan staf
yang mungkin bertentangan dengan hak dan kepentingan pasien.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 12
Rumah sakit menghadapi banyak tantangan untuk
memberikan pelayanan yang aman dan bermutu. Dengan kemajuan dalam teknologi
medis, pengaturan finansial, dan harapan yang terus meningkat, dilema etik dan
kontroversi telah menjadi suatu hal yang lazim terjadi.
Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab secara
profesional dan hukum untuk menciptakan dan mendukung lingkungan dan budaya
etik dan dan memastikan bahwa pelayanan pasien diberikan dengan mengindahkan
norma bisnis, keuangan, etika dan hukum, serta melindungi pasien dan hak-hak
pasien serta harus menunjukkan teladan perilaku etik bagi stafnya.
Untuk melaksanakan hal tersebut Direktur menetapkan
Komite Etik rumah sakit untuk menangani masalah dan dilema etik dalam dalam
pelayanan klinis (misalnya perselisihan antar profesional dan perselisihan
antara pasien dan dokter mengenai keputusan dalam pelayanan pasien) dan
kegiatan bisnis rumah sakit (misalnya kelebihan input pada pembayaran tagihan
pasien yang harus dikembalikan oleh rumah sakit). Dalam melaksanakan tugasnya Komite Etik:
a)
Menyusun kode etik rumah sakit yang mengacu pada
kode etik rumah sakit Indonesia (KODERSI)
b) Menyusun
kerangka kerja pengelolaan etik rumah sakit mencakup tapi tidak terbatas pada:
(1) Menjelaskan
pelayanan yang diberikan pada pasien secara jujur;
(2)
Melindungi kerahasiaan informasi pasien;
(3) Mengurangi
kesenjangan dalam akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan dampak
klinis.
(4) Menetapkan
kebijakan tentang pendaftaran pasien, transfer, dan pemulangan pasien;
(5) Mendukung
transparansi dalam melaporkan pengukuran hasil kinerja klinis dan kinerja non
klinis
(6) Keterbukaan
kepemilikan agar tidak terjadi konflik kepentingan misalnya hubungan
kepemilikan antara dokter yang memberikan instruksi pemeriksaan penunjang
dengan fasilitas laboratorium atau fasilitas radiologi di luar rumah sakit yang
akan melakukan pemeriksaan.
(7) Menetapkan
mekanisme bahwa praktisi kesehatan dan staf lainnya dapat melaporkan kesalahan
klinis (clinical error) atau
mengajukan kekhawatiran etik tanpa takut dihukum, termasuk melaporkan perilaku
staf yang merugikan terkait masalah klinis ataupun
operasional;
(8) Mendukung
keterbukaan dalam sistem pelaporan mengenai masalah/isu etik tanpa takut
diberikan sanksi;
(9) Memberikan
solusi yang efektif dan tepat waktu untuk masalah etik yang terjadi;
(10) Memastikan
praktik nondiskriminasi dalam pelayanan pasien dengan mengingat norma hukum dan
budaya negara; dan
(11) Tagihan
biaya pelayanan harus akurat dan dipastikan bahwa insentif dan pengelolaan
pembayaran tidak menghambat pelayanan pasien.
(12) Pengelolaan
kasus etik pada konflik etik antar profesi di rumah sakit, serta penetapan Code of Conduct bagi staf sebagai
pedoman perilaku sesuai dengan standar etik di rumah sakit.
Komite Etik mempertimbangkan norma-norma nasional
dan internasional terkait dengan hak asasi manusia dan etika profesional dalam
menyusun etika dan dokumen pedoman lainnya.
Pimpinan rumah sakit mendukung pelaksanaan kerangka
kerja pengeloaan etik rumah sakit seperti pelatihan untuk praktisi kesehatan
dan staf lainnya.
3) Elemen Penilaian TKRS 12
a)
Direktur rumah sakit menetapkan Komite Etik
rumah sakit.
b) Komite
Etik telah menyusun kode etik rumah sakit yang mengacu pada Kode Etik Rumah
Sakit Indonesia (KODERSI) dan ditetapkan Direktur.
c)
Komite Etik telah menyusun kerangka kerja
pelaporan dan pengelolaan etik rumah sakit serta pedoman pengelolaan kode etik rumah
sakit meliputi poin (1) sampai dengan (12) dalam maksud dan tujuan sesuai
dengan visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut rumah sakit.
d) Rumah
sakit menyediakan sumber daya serta pelatihan kerangka pengelolaan etik rumah
sakit bagi praktisi kesehatan dan staf lainnya dan memberikan solusi yang
efektif dan tepat waktu untuk masalah etik.
j.
Kepemimpinan
Untuk Budaya Keselamatan di Rumah Sakit
1) Standar TKRS 13
Pimpinan rumah sakit menerapkan, memantau dan
mengambil tindakan serta mendukung Budaya
Keselamatan di seluruh area rumah
sakit.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 13
Budaya keselamatan di rumah sakit merupakan suatu
lingkungan kolaboratif di mana para dokter saling menghargai satu sama lain,
para pimpinan mendorong kerja sama tim yang efektif dan menciptakan rasa aman
secara psikologis serta anggota tim dapat belajar dari insiden keselamatan
pasien, para pemberi layanan menyadari bahwa ada keterbatasan manusia yang
bekerja dalam suatu sistem yang kompleks dan terdapat suatu proses pembelajaran
serta upaya untuk mendorong perbaikan.
Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari
nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku individu maupun
kelompok yang menentukan komitmen terhadap, serta kemampuan mengelola pelayanan
kesehatan maupun keselamatan.
Keselamatan dan mutu berkembang dalam suatu
lingkungan yang membutuhkan kerja sama dan rasa hormat satu sama lain, tanpa
memandang jabatannya. Pimpinan rumah sakit menunjukkan komitmennya mendorong
terciptanya budaya keselamatan tidak mengintimidasi dan atau mempengaruhi staf
dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Direktur menetapkan Program Budaya
Keselamatan di rumah sakit yang mencakup:
a)
Perilaku memberikan pelayanan yang aman secara
konsisten untuk mencegah terjadinya kesalahan pada pelayanan berisiko
tinggi.
b) Perilaku
di mana para individu dapat melaporkan kesalahan dan insiden tanpa takut
dikenakan sanksi atau teguran dan diperlakuan secara adil (just culture)
c)
Kerja sama tim dan koordinasi untuk
menyelesaikan masalah keselamatan pasien.
d) Komitmen
pimpinan rumah sakit dalam mendukung staf seperti waktu kerja para staf,
pendidikan, metode yang aman untuk melaporkan masalah dan hal lainnya untuk
menyelesaikan masalah keselamatan.
e)
Identifikasi dan mengenali masalah akibat
perilaku yang tidak diinginkan (perilaku sembrono).
f)
Evaluasi budaya secara berkala dengan metode
seperti kelompok fokus diskusi (FGD), wawancara dengan staf, dan analisis
data.
g)
Mendorong kerja sama dan membangun sistem, dalam
mengembangkan budaya perilaku yang aman.
h) Menanggapi
perilaku yang tidak diinginkan pada semua staf pada semua jenjang di rumah
sakit, termasuk manajemen, staf administrasi, staf klinis dan nonklinis, dokter
praktisi mandiri, representasi pemilik dan anggota Dewan pengawas.
Perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan di
antaranya adalah: perilaku yang tidak layak seperti kata-
kata atau bahasa tubuh yang merendahkan atau
menyinggung perasaan sesama staf, misalnya mengumpat dan memaki, perilaku yang
mengganggu, bentuk tindakan verbal atau nonverbal yang membahayakan atau
mengintimidasi staf lain, perilaku yang melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama, dan suku termasuk gender
serta pelecehan seksual.
Seluruh pemangku kepentingan di rumah sakit
bertanggungjawab mewujudkan budaya keselamatan dengan berbagai cara.
Saat ini di rumah sakit masih terdapat budaya
menyalahkan orang lain ketika terjadi suatu kesalahan (blaming culture), yang akhirnya menghambat budaya keselamatan
sehingga pimpinan rumah sakit harus menerapkan perlakuan yang adil (just culture) ketika terjadi kesalahan,
dimana ada saatnya staf tidak disalahkan ketika terjadi kesalahan, misalnya
pada kondisi:
a)
Komunikasi yang kurang baik antara pasien dan
staf.
b) Perlu
pengambilan keputusan secara cepat.
c)
Kekurangan staf dalam pelayanan pasien. Di sisi lain terdapat kesalahan yang dapat
diminta pertanggungjawabannya ketika staf dengan sengaja melakukan perilaku
yang tidak diinginkan (perilaku sembrono) misalnya:
a)
Tidak mau melakukan kebersihan tangan.
b) Tidak
mau melakukan time-out (jeda) sebelum
operasi.
c)
Tidak mau memberi tanda pada lokasi
pembedahan. Rumah sakit harus meminta
pertanggungjawaban perilaku yang tidak diinginkan (perilaku sembrono) dan tidak
mentoleransinya. Pertanggungjawaban dibedakan atas:
a)
Kesalahan manusia (human error) adalah tindakan yang tidak disengaja yaitu melakukan
kegiatan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
b) Perilaku
berisiko (risk behaviour) adalah
perilaku yang dapat meningkatkan risiko (misalnya, mengambil langkah pada suatu
proses layanan tanpa berkonsultasi dengan atasan atau tim kerja lainnya yang
dapat menimbulkan risiko).
c)
Perilaku sembrono (reckless behavior) adalah perilaku yang secara sengaja mengabaikan
risiko yang substansial dan tidak dapat dibenarkan.
3) Elemen Penilaian TKRS 13
a)
Pimpinan rumah sakit menetapkan Program Budaya
Keselamatan yang mencakup poin a) sampai dengan h) dalam maksud dan
tujuan serta
mendukung penerapannya secara akuntabel
dan transparan.
b) Pimpinan
rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan informasi (kepustakaan
dan laporan) terkait budaya keselamatan bagi semua staf yang bekerja di rumah
sakit.
c)
Pimpinan rumah sakit menyediakan sumber daya
untuk mendukung dan mendorong budaya keselamatan di rumah sakit.
d) Pimpinan
rumah sakit mengembangkan sistem yang rahasia, sederhana dan mudah diakses bagi
staf untuk mengidentifikasi dan melaporkan perilaku yang tidak diinginkan dan
menindaklanjutinya.
e)
Pimpinan rumah sakit melakukan pengukuran untuk
mengevaluasi dan memantau budaya keselamatan di rumah sakit serta hasil yang
diperoleh dipergunakan untuk perbaikan penerapannya di rumah sakit.
f)
Pimpinan rumah sakit menerapkan budaya adil (just culture) terhadap staf yang terkait
laporan budaya keselamatan tersebut.
k. Manajemen Risiko
1) Standar TKRS 14
Program manajemen risiko yang terintegrasi
digunakan untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 14
Manajemen risiko adalah proses yang proaktif dan
berkesinambungan meliputi identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian,
informasi komunikasi, pemantauan, dan pelaporan risiko, termasuk berbagai
strategi yang dijalankan untuk mengelola risiko dan potensinya. Tujuan
penerapan manajemen risiko untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di
rumah sakit. Rumah sakit perlu menerapkan manajemen risiko dan rencana
penanganan risiko untuk memitigasi dan mengurangi risiko bahaya yang ada atau
mungkin terjadi.
Beberapa kategori risiko yang harus diidentifikasi
meliputi namun tidak terbatas pada risiko:
a)
Operasional adalah risiko yang terjadi saat
rumah sakit memberikan pelayanan kepada pasien baik klinis maupun non klinis.
Risiko klinis yaitu risiko operasional yang terkait
dengan pelayanan kepada pasien (keselamatan pasien) meliputi risiko yang
berhubungan dengan perawatan klinis dan pelayanan penunjang seperti kesalahan
diagnostik, bedah atau pengobatan.
Risiko non klinis yang juga termasuk risiko
operasional adalah risiko PPI (terkait pengendalian dan pencegahan infeksi
misalnya sterilisasi, laundry, gizi, kamar jenazah dan lain-lainnya), risiko
MFK (terkait dengan fasilitas dan lingkungan, seperti kondisi bangunan yang
membahayakan, risiko yang terkait dengan ketersediaan sumber air dan listrik,
dan lain lain. Unit klinis maupun non klinis dapat memiliki risiko yang lain
sesuai dengan proses bisnis/kegiatan yang dilakukan di unitnya. Misalnya unit
humas dapat mengidentifikasi risiko reputasi dan risiko keuangan;
b) Risiko
keuangan; risiko kepatuhan (terhadap hukum dan peraturan yang berlaku);
c)
Risiko reputasi (citra rumah sakit yang
dirasakan oleh masyarakat);
d) Risiko
strategis (terkait dengan rencana strategis termasuk tujuan strategis rumah
sakit); dan
e)
Risiko kepatuhan terhadap hukum dan regulasi.
Proses manajemen risiko yang diterapkan di rumah sakit meliputi:
a)
Komunikasi dan konsultasi.
b) Menetapkan
konteks.
c)
Identifikasi risiko sesuai kategori risiko pada
poin a) - e)
d) Analisis
risiko.
e)
Evaluasi risiko.
f)
Penanganan risiko.
g)
Pemantauan risiko.
Program manajemen risiko rumah sakit harus disusun
setiap tahun berdasarkan daftar risiko yang diprioritaskan dalam profil risiko
meliputi:
a)
Proses manajemen risiko (poin a)-g)).
b) Integrasi
manajemen risiko di rumah sakit.
c)
Pelaporan kegiatan program manajemen risiko.
d) Pengelolaan
klaim tuntunan yang dapat menyebabkan tuntutan.
3) Elemen Penilaian TKRS 14
a)
Direktur dan pimpinan rumah sakit berpartisipasi
dan menetapkan program manajemen risiko tingkat rumah sakit meliputi poin a)
sampai dengan d) dalam maksud dan tujuan.
b) Direktur
memantau penyusunan daftar risiko yang diprioritaskan menjadi profil risiko di
tingkat rumah sakit.
l. Program Penelitian Bersubjek Manusia
Di Rumah Sakit
1) Standar TKRS 15
Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab terhadap
mutu dan keamanan dalam program penelitian bersubjek manusia.
2) Maksud dan Tujuan TKRS 15
Penelitian bersubjek manusia merupakan sebuah
proses yang kompleks dan signifikan bagi rumah sakit. Direktur menetapkan
penanggung jawab penelitian di rumah sakit untuk melakukan pemantauan proses
penelitian di rumah sakit (mis. Komite penelitian). Pimpinan rumah sakit harus
memiliki komitmen yang diperlukan untuk menjalankan penelitian dan pada saat
yang bersamaan melindungi pasien yang telah setuju untuk mengikuti proses
pengobatan dan atau diagnostik dalam penelitian.
Komitmen pemimpin unit terhadap penelitian dengan
subjek manusia tidak terpisah dari komitmen mereka terhadap perawatan
pasien-komitmen terintegrasi di semua tingkatan. Dengan demikian, pertimbangan
etis, komunikasi yang baik, pemimpin unit dan layanan yang bertanggung jawab,
kepatuhan terhadap peraturan, dan sumber daya keuangan dan non-keuangan
merupakan komponen dari komitmen ini. Pimpinan rumah sakit mengakui kewajiban
untuk melindungi pasien terlepas dari sponsor penelitian.
3) Elemen Penilaian TKRS 15
a)
Pimpinan rumah sakit menetapkan penanggung jawab
program penelitian di dalam rumah sakit yang memastikan semua proses telah
sesuai dengan kode etik penelitian dan persyaratan lainnya sesuai peraturan
perundang-undangan.
b) Terdapat
proses untuk menyelesaian konflik kepentingan (finansial dan non finansial)
yang terjadi akibat penelitian di rumah sakit.
c)
Pimpinan rumah sakit telah mengidentifikasi
fasilitas dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan penelitian, termasuk
di dalam nya kompetensi sumber daya yang akan berpartisipasi di dalam
penelitian sebagai pimpinan dan anggota tim peneliti.
d) Terdapat
proses yang memastikan bahwa seluruh pasien yang ikut di dalam penelitian telah
melalui proses persetujuan tertulis (informed
consent) untuk melakukan penelitian, tanpa adanya paksaan untuk mengikuti
penelitian dan telah mendapatkan informasi mengenai lamanya penelitian,
prosedur yang harus dilalui, siapa yang dapat dikontak selama penelitian
berlangsung, manfaat, potensial risiko serta alternatif pengobatan
lainnya.
e)
Apabila penelitian dilakukan oleh pihak ketiga
(kontrak), maka pimpinan rumah sakit memastikan bahwa pihak ketiga tersebut
bertanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi dari mutu, keamanan dan etika
dalam penelitian.
f)
Penanggung jawab penelitian melakukan kajian dan
evaluasi terhadap seluruh penelitian yang dilakukan di rumah sakit setidaknya 1
(satu) tahun sekali.
g)
Seluruh kegiatan penelitian merupakan bagian
dari program mutu rumah sakit dan dilakukan pemantauan serta evaluasinya secara
berkala sesuai ketetapan rumah sakit.
2. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS)
Gambaran Umum
Rumah sakit membutuhkan staf yang memiliki
keterampilan dan kualifikasi untuk mencapai misinya dan memenuhi kebutuhan
pasien. Para pimpinan rumah sakit mengidentifikasi jumlah dan jenis staf yang
dibutuhkan berdasarkan rekomendasi dari unit.
Perekrutan, evaluasi, dan pengangkatan staf
dilakukan melalui proses yang efisien, dan seragam. Di samping itu perlu
dilakukan kredensial kepada tenaga medis, tenaga perawat, dan tenaga kesehatan
lainnya, karena mereka secara langsung terlibat dalam proses pelayanan klinis.
Orientasi terhadap rumah sakit, dan orientasi
terhadap tugas pekerjaan staf merupakan suatu proses yang penting. Rumah sakit
menyelenggarakan program kesehatan dan keselamatan staf untuk memastikan
kondisi kerja yang aman, kesehatan fisik dan mental, produktivitas, kepuasan
kerja.
Program ini bersifat dinamis, proaktif, dan mencakup
hal-hal yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan staf seperti pemeriksaan
kesehatan kerja saat rekrutmen, pengendalian pajanan kerja yang berbahaya,
vaksinasi/imunisasi, cara penanganan pasien yang aman, staf dan kondisi-kondisi
umum terkait kerja.
Fokus pada standar ini adalah:
a. Perencanaan
dan pengelolaan staf;
b. Pendidikan
dan pelatihan;
c.
Kesehatan dan keselamatan kerja staf;
d. Tenaga
medis;
e.
Tenaga keperawatan; dan
f.
Tenaga kesehatan lain.
a. Perencanaan dan Pengelolaan Staf
1) Standar KPS 1
Kepala unit merencanakan dan menetapkan persyaratan
pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan persyaratan lainnya bagi semua staf
di unitnya sesuai kebutuhan pasien.
2) Maksud dan Tujuan KPS 1
Kepala unit menetapkan persyaratan pendidikan,
kompetensi dan pengalaman setiap staf di unitnya untuk memberikan asuhan kepada
pasien. Kepala unit mempertimbangkan faktor berikut ini untuk menghitung
kebutuhan staf:
a)
Misi rumah sakit.
b) Populasi
pasien yang dilayani dan kompleksitas serta kebutuhan pasien.
c)
Layanan diagnostik dan klinis yang disediakan
rumah sakit.
d) Jumlah
pasien rawat inap dan rawat jalan.
e)
Peralatan medis yang digunakan untuk pelayanan
pasien.
Rumah sakit mematuhi peraturan dan
perundangundangan tentang syarat pendidikan, keterampilan atau persyaratan
lainnya yang dibutuhkan staf.
Perencanaan kebutuhan staf disusun secara
kolaboratif oleh kepala unit dengan mengidentifikasi jumlah, jenis, dan
kualifikasi staf yang dibutuhkan. Perencanaan tersebut ditinjau secara
berkelanjutan dan diperbarui sesuai kebutuhan.
Proses perencanaan menggunakan metode-metode yang
diakui sesuai peraturan perundang-undangan. Perencanaan kebutuhan
mempertimbangkan hal-hal dibawah ini:
a)
Terjadi peningkatan jumlah pasien atau
kekurangan stad di satu unit sehingga dibutuhkan rotasi staf dari satu unit ke
unit lain.
b) Pertimbangan
permintaan staf untuk rotasi tugas berdasarkan nilai-nilai budaya atau agama
dan kepercayaan.
c)
kepatuhan terhadap
peraturan dan perundangundangan.
Perencanaan staf, dipantau secara berkala dan diperbarui
sesuai kebutuhan.
3) Elemen Penilaian KPS 1
a)
Direktur telah menetapkan regulasi terkait
Kualifikasi Pendidikan dan staf meliputi poin a - f pada gambaran umum.
b) Kepala
unit telah merencanakan dan menetapkan persyaratan pendidikan, kompetensi dan
pengalaman staf di unitnya sesuai peraturan dan perundangundangan.
c)
Kebutuhan staf telah direncanakan sesuai poin
a)-e) dalam maksud dan tujuan.
d) Perencanaan
staf meliputi penghitungan jumlah, jenis, dan kualifikasi staf menggunakan
metode yang diakui sesuai peraturan perundang-undangan.
e)
Perencanaan staf termasuk membahas penugasan dan
rotasi/alih fungsi staf.
f)
Efektivitas perencanaan staf dipantau secara
berkelanjutan dan diperbarui sesuai kebutuhan.
4) Standar KPS 2
Tanggung jawab tiap staf
dituangkan dalam uraian tugas
5) Maksud dan Tujuan KPS 2
Setiap staf yang bekerja di rumah sakit harus
mempunyai uraian tugas. Pelaksanaan tugas, orientasi, dan evaluasi kinerja staf
didasarkan pada uraian tugasnya.
Uraian tugas juga dibutuhkan
untuk tenaga kesehatan jika:
a)
Tenaga kesehatan ditugaskan di bidang
manajerial, misalnya kepala bidang, kepala unit.
b) Tenaga
kesehatan melakukan dua tugas yaitu di bidang manajerial dan di bidang klinis,
misalnya dokter spesialis bedah melakukan tugas manajerialnya sebagai kepala
kamar operasi maka harus mempunyai uraian tugas sedangkan tugas klinisnya
sebagai dokter spesialis bedah harus mempunyai Surat Penugasan Klinis (SPK) dan
Rincian Kewenangan Klinis (RKK).
c)
Tenaga kesehatan yang sedang mengikuti
pendidikan dan bekerja dibawah supervisi, maka program pendidikan menentukan
batasan kewenangan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan sesuai
dengan tingkat pendidikannya.
d) Tenaga
kesehatan yang diizinkan untuk memberikan pelayanan sementara dirumah sakit;
misalnya, perawat paruhwaktu yang membantu dokter di poliklinik.
Uraian tugas untuk standar ini berlaku bagi semua
staf baik staf purnawaktu, staf paruhwaktu, tenaga sukarela, atau sementara
yang membutuhkan
6) Elemen Penilaian KPS 2
a)
Setiap staf telah memiliki uraian tugas sesuai
dengan tugas yang diberikan.
b) Tenaga
kesehatan yang diidentifikasi dalam a) hingga
d) dalam maksud dan tujuan, memiliki uraian tugas
yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
7) Standar KPS 3
Rumah
sakit menyusun
dan menerapkan
proses
rekrutmen, evaluasi, dan pengangkatan staf serta
prosedurprosedur terkait lainnya.
8) Maksud dan Tujuan KPS 3
Rumah sakit menetapkan proses yang terpusat,
efisien dan terkoordinasi, agar terlaksana proses yang seragam mencakup:
a)
Rekrutmen staf sesuai kebutuhan rumah
sakit.
b) Evaluasi
kompetensi kandidat calon staf.
c)
Pengangkatan staf baru.
Kepala unit berpartisipasi merekomendasikan jumlah
dan kualifikasi staf serta jabatan nonklinis yang dibutuhkan untuk memberikan
pelayanan pada pasien, pendidikan, penelitian ataupun tanggung jawab lainnya.
9) Elemen Penilaian KPS 3
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi terkait
proses rekrutmen, evaluasi kompetensi kandidat calon staf dan mekanisme
pengangkatan staf di rumah sakit.
b) Rumah
sakit telah menerapkan proses meliputi poin a) – c) di maksud dan tujuan secara
seragam.
10) Standar KPS 4
Rumah sakit menetapkan proses untuk memastikan
bahwa kompetensi Profesional Pemberi Asuhan (PPA) sesuai dengan persyaratan
jabatan atau tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit
11) Maksud dan Tujuan KPS 4
a)
Staf yang direkrut rumah sakit melalui proses
untuk menyesuaikan dengan persyaratan jabatan/posisi staf. Untuk
para PPA, proses tersebut meliputi penilaian kompetensi awal untuk memastikan
apakah PPA dapat melakukan tanggung jawab sesuai uraian tugasnya. Penilaian
dilakukan sebelum atau saat mulai bertugas. Rumah sakit dapat menetapkan
kontrak kerja sebagai masa percobaan untuk mengawasi dan mengevaluasi PPA
tersebut. Ada proses untuk memastikan bahwa PPA yang memberikan pelayanan
berisiko tinggi atau perawatan bagi pasien berisiko tinggi dievaluasi pada saat
mereka mulai memberikan perawatan, sebelum masa percobaan atau orientasi
selesai. Penilaian kompetensi awal dilakukan oleh unit di mana PPA tersebut
ditugaskan
b) Penilaian
kompetensi yang diinginkan juga mencakup penilaian kemampuan PPA untuk
mengoperasikan alat medis, alarm klinis, dan mengawasi pengelolaan obatobatan
yang sesuai dengan area tempat ia akan bekerja (misalnya, PPA yang bekerja di
unit perawatan intensif harus dapat mengoperasikan ventilator pompa infus, dan
lain-lainnya, dan sedangkan PPA yang bekerja di unit obstetri harus dapat
menggunakan alat pemantauan janin).
c)
Rumah sakit menetapkan proses evaluasi kemampuan
PPA dan frekuensi evaluasi secara berkesinambungan. Penilaian yang
berkesinambungan dapat digunakan untuk menentukan rencana pelatihan sesuai
kebutuhan, kemampuan staf untuk memikul tanggung jawab baru atau untuk
melakukan perubahan tanggung jawab dari PPA tersebut. Sekurang-kurangnya terdapat
satu penilaian terkait uraian tugas tiap PPA yang didokumentasikan setiap
tahunnya.
12) Elemen Penilaian KPS 4
a)
Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan
proses untuk menyesuaikan kompetensi PPA dengan kebutuhan pasien.
b) Para
PPA baru dievaluasi pada saat mulai bekerja oleh kepala unit di mana PPA
tersebut ditugaskan
c)
Terdapat setidaknya satu atau lebih evaluasi
yang didokumentasikan untuk tiap PPA sesuai uraian tugas setiap tahunnya atau
sesuai ketentuan rumah sakit.
13) Standar KPS 5
Rumah sakit menetapkan proses untuk memastikan
bahwa kompetensi staf nonklinis sesuai dengan persyaratan jabatan/posisinya
untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit.
14) Maksud dan Tujuan KPS 5
Rumah sakit mengidentifikasi dan mencari staf yang
memenuhi persyaratan jabatan/posisi nonklinis. Staf nonklinis diberikan
orientasiuntuk memastikan bahwa staf tersebut melakukan tanggung jawabnya
sesuai uraian tugasnya. Rumah Sakit melakukan pengawasan dan evaluasi secara
berkala untuk memastikan kompetensi secara terus menerus pada jabatan/posisi
tersebut.
15) Elemen Penilaian KPS 5
a)
Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan
proses untuk menyesuaikan kompetensi staf non klinis dengan persyaratan
jabatan/posisi.
b) Staf
non klinis yang baru dinilai kinerjanya pada saat akan memulai pekerjaannya
oleh kepala unit di mana staf tersebut ditugaskan.
c)
Terdapat setidaknya satu atau lebih evaluasi
yang didokumentasikan untuk tiap staf non klinis sesuai uraian tugas setiap
tahunnya atau sesuai ketentuan rumah sakit.
16) Standar KPS 6
Terdapat informasi kepegawaian yang terdokumentasi
dalam file kepegawaian setiap staf.
17) Maksud dan Tujuan KPS 6
File kepegawaian yang terkini berisikan dokumentasi
setiap staf rumah sakit yang mengandung informasi sensitif yang harus dijaga
kerahasiaannya. File kepegawaian memuat:
a)
Pendidikan, kualifikasi, keterampilan, dan
kompetensi staf.
b) Bukti
orientasi.
c)
Uraian tugas staf.
d) Riwayat
pekerjaan staf.
e)
Penilaian kinerja staf.
f)
Salinan sertifikat pelatihan di dalam maupun di
luar rumah sakit yang telah diikuti.
g)
Informasi kesehatan yang dipersyaratkan, seperti
vaksinasi/imunisasi, hasil medical check
up. File kepegawaian tersebut
distandardisasi dan terus diperbarui sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
18) Elemen Penilaian KPS 6
a)
File kepegawaian staf distandardisasi dan
dipelihara serta dijaga kerahasiaannya sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
b) File
kepegawaian mencakup poin a) – g) sesuai maksud dan tujuan.
19) Standar KPS 7
Semua staf diberikan orientasi mengenai rumah sakit
dan unit tempat mereka ditugaskan dan tanggung jawab pekerjaannya pada saat
pengangkatan staf.
20) Maksud dan Tujuan KPS 7
Keputusan pengangkatan staf melalui sejumlah
tahapan. Pemahaman terhadap rumah sakit secara keseluruhan dan tanggung jawab
klinis maupun nonklinis berperan dalam tercapainya misi rumah sakit. Hal ini
dapat dicapai melalui orientasi kepada staf.
Orientasi umum meliputi informasi tentang rumah
sakit, program mutu dan keselamatan pasien, serta program pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Orientasi khusus meliputi tugas dan tanggung jawab
dalam melakukan pekerjaannya. Hasil orientasi ini dicatat dalam file kepegawaian.
Staf paruh waktu, sukarelawan, dan mahasiswa atau trainee juga diberikan
orientasi umum dan orientasi khusus
21) Elemen Penilaian KPS 7
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang
orientasi bagi staf baru di rumah sakit.
b) Tenaga
kesehatan baru telah diberikan orientasi umum dan orientasi khusus sesuai.
c)
Staf nonklinis baru telah diberikan orientasi
umum dan orientasi khusus.
d) Tenaga
kontrak, paruh waktu, mahasiswa atau trainee
dan sukarelawan telah diberikan orientasi umum dan orientasi khusus (jika
ada).
b. Pendidikan dan Pelatihan
1) Standar KPS 8
Tiap staf diberikan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk mendukung atau meningkatkan keterampilan dan
pengetahuannya.
2) Maksud dan Tujuan KPS 8
Rumah sakit mengumpulkan data dari berbagai sumber
dalam penyusunan Program pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan
pasien dan/atau memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan. Sumber informasi
untuk menentukan kebutuhan pendidikan staf mencakup:
a)
Hasil kegiatan pengukuran data mutu dan
keselamatan pasien.
b) Hasil
analisislaporan insiden keselamatan pasien.
c)
Hasil survei budaya keselamatan pasien.
d) Hasil
pemantauan program manajemen fasilitas dan keselamatan.
e)
Pengenalan teknologi termasuk penambahan
peralatan medis baru, keterampilan dan pengetahuan baru yang diperoleh dari
penilaian kinerja.
f)
Prosedur klinis baru.
g)
Rencana untuk menyediakan layanan baru di masa
yang akan datang.
h) Kebutuhan
dan usulan dari setiap unit.
Rumah sakit memiliki suatu proses untuk
mengumpulkan dan mengintegrasikan data dari berbagai sumber untuk merencanakan
program pendidikan dan pelatihan staf. Selain itu, rumah sakit menentukan staf
mana yang diharuskan untuk mendapatkan pendidikan berkelanjutan untuk menjaga
kemampuan mereka dan bagaimana pendidikan staf tersebut akan dipantau dan
didokumentasikan.
Pimpinan rumah sakit meningkatkan dan
mempertahankan kinerja staf dengan mendukung program pendidikan dan pelatihan
termasuk menyediakan sarana prasarana termasuk peralatan, ruangan, tenaga
pengajar, dan waktu. Program pendidikan dan pelatihan dibuat setiap tahun untuk
memenuhi kebutuhan pasien dan/atau memenuhi persyaratan pendidikan
berkelanjutan misalnya tenaga medis diberikan pelatihan PPI, perkembangan
praktik medis, atau peralatan medis baru. Hasil pendidikan dan pelatihan staf
didokumentasikan dalam file kepegawaian. Ketersediaan teknologi dan informasi
ilmiah yang aktual tersedia untuk mendukung pendidikan dan pelatihan disediakan
di satu atau beberapa lokasi yang yang tersebar di rumah sakit. Pelatihan
diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu pelayanan pasien.
3) Elemen Penilaian KPS 8
a)
Rumah sakit telah mengidentifikasi kebutuhan
pendidikan staf berdasarkan sumber berbagai informasi, mencakup a) – h) dalam
maksud dan tujuan.
b) Program
pendidikan dan pelatihan telah disusun berdasarkan hasil identifikasi sumber
informasi pada EP 1.
c)
Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan diberikan
kepada staf rumah sakit baik internal maupun eksternal.
d) Rumah
sakit telah menyediakan waktu, anggaran, sarana dan prasarana yang memadai bagi
semua staf untuk mendapat kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang
dibutuhkan.
4) Standar KPS 8.1
Staf yang memberikan asuhan pasien dan staf yang
ditentukan rumah sakit dilatih dan dapat mendemonstrasikan teknik resusitasi
jantung paru dengan benar.
5) Maksud dan Tujuan KPS 8.1
Semua staf yang merawat pasien, termasuk dokter dan
staf lain yang ditentukan rumah sakit telah diberikan pelatihan teknik
resusitasi dasar. Rumah sakit menentukan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
atau bantuan hidup tingkat lanjut untuk setiap staf, sesuai dengan tugas dan
perannya di rumah sakit. Misalnya rumah sakit menentukan semua staf yang
merawat pasien di unit gawat darurat, di unit perawatan intensif, semua staf
yang akan melaksanakan dan memantau prosedur sedasi prosedural serta tim kode
biru (code blue) harus mendapatkan
pelatihan sampai bantuan hidup tingkat lanjut. Rumah sakit juga menentukan
bahwa staf lain yang tidak merawat pasien, seperti pekarya atau staf
registrasi, harus mendapatkan pelatihan bantuan hidup dasar.
Tingkat pelatihan bagi staf tersebut harus diulang
berdasarkan persyaratan dan/atau jangka waktu yang diidentifikasi oleh program
pelatihan yang diakui, atau setiap 2 (dua) tahun jika tidak menggunakan program
pelatihan yang diakui. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa tiap anggota staf
yang menghadiri pelatihan benarbenar memenuhi tingkat kompetensi yang
diinginkan.
6) Elemen Penilaian KPS 8.1
a)
Rumah sakit telah menetapkan pelatihan teknik
resusitasi jantung paru tingkat dasar (BHD) pada seluruh staf dan bantuan hidup
tingkat lanjut bagi staf yang ditentukan oleh rumah sakit.
b) Terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa staf yang mengikuti pelatihan BHD atau bantuan
hidup tingkat lanjut telah lulus pelatihan tersebut.
c)
Tingkat pelatihan yang ditentukan untuk tiap
staf harus diulang berdasarkan persyaratan dan/atau jangka waktu yang
ditetapkan oleh program pelatihan yang diakui, atau setiap 2 (dua) tahun
jika tidak menggunakan program pelatihan yang diakui.
c. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Staf
1) Standar KPS 9
Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dan keselamatan staf.
2) Maksud dan Tujuan KPS 9
Staf rumah sakit mempunyai risiko terpapar infeksi
karena pekerjaannya yang berhubungan baik secara langsung dan maupun tidak
langsung dengan pasien. Pelayanan kesehatan dan keselamatan staf merupakan hal
penting untuk menjaga kesehatan fisik, kesehatan mental, kepuasan,
produktivitas, dan keselamatan staf dalam bekerja. Karena hubungan staf dengan
pasien dan kontak dengan bahan infeksius maka banyak petugas kesehatan berisiko
terpapar penularan infeksi. Identifikasi sumber infeksi berdasar atas
epidemiologi sangat penting untuk menemukan staf yang berisiko terpapar
infeksi. Pelaksanaan program pencegahan serta skrining seperti imunisasi,
vaksinasi, dan profilaksis dapat menurunkan insiden infeksi penyakit menular
secara signifikan.
Staf rumah sakit juga dapat mengalami kekerasan di
tempat kerja. Anggapan bahwa kekerasan tidak terjadi di rumah sakit tidak
sepenuhnya benar mengingat jumlah tindak kekerasan di rumah sakit semakin meningkat.
Untuk itu rumah sakit diminta menyusun program pencegahan kekerasan.
Cara
rumah sakit melakukan orientasi dan pelatihan staf, penyediaan lingkungan kerja
yang aman, pemeliharaan peralatan dan
teknologi medis, pencegahan atau pengendalian infeksi terkait
perawatan kesehatan (Health
care-Associated Infections), serta beberapa faktor lainnya menentukan
kesehatan dan kesejahteraan staf. Dalam
pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan staf rumah sakit, maka staf harus
memahami:
a)
Cara pelaporan dan mendapatkan pengobatan,
menerima konseling, dan menangani cedera yang mungkin terjadi akibat tertusuk
jarum suntik, terpapar penyakit menular, atau mendapat kekerasan di tempat
kerja;
b) Identifikasi
risiko dan kondisi berbahaya di rumah sakit; dan
c)
Masalah kesehatan dan keselamatan lainnya. Program kesehatan dan keselamatan staf rumah
sakit tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)
Skrining kesehatan awal
b) Tindakan-tindakan
untuk mengendalikan pajanan kerja yang berbahaya, seperti pajanan terhadap
obatobatan beracun dan tingkat kebisingan yang berbahaya
c)
Pendidikan, pelatihan, dan intervensi terkait
cara pemberian asuhan pasien yang aman
d) Pendidikan,
pelatihan, dan intervensi terkait pengelolaan kekerasan di tempat kerja
e)
Pendidikan, pelatihan, dan intervensi terhadap
staf yang berpotensi melakukan kejadian tidak diharapkan
(KTD) atau kejadian sentinel
f)
Tata laksana kondisi terkait pekerjaan yang umum
dijumpai seperti cedera punggung atau cedera lain yang lebih darurat.
g)
Vaksinasi/Imunisasi pencegahan, dan pemeriksaan
kesehatan berkala.
h) Pengelolaan
kesehatan mental staf, seperti pada saat kondisi kedaruratan penyakit
infeksi/pandemi. Penyusunan program mempertimbangkan masukan dari staf serta
penggunaan sumber daya klinis yang ada di rumah sakit dan di masyarakat.
3) Elemen Penilaian KPS 9
a)
Rumah sakit telah menetapkan program kesehatan
dan keselamatan staf.
b) Program
kesehatan dan keselamatan staf mencakup setidaknya a) hingga h) yang tercantum
dalam maksud dan tujuan.
c)
Rumah sakit mengidentifikasi penularan penyakit
infeksi atau paparan yang dapat terjadi pada staf serta melakukan upaya
pencegahan dengan vaksinasi.
d) Berdasar
atas epidemologi penyakit infeksi maka rumah sakit mengidentifikasi risiko staf
terpapar atau tertular serta melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi.
e)
Rumah sakit telah melaksanakan evaluasi,
konseling, dan tata laksana lebih lanjut untuk staf yang terpapar penyakit
infeksi serta dikoordinasikan dengan program pencegahan dan pengendalian
infeksi.
f)
Rumah sakit telah mengidentifikasi area yang
berpotensi untuk terjadi tindakan kekerasan di tempat kerja (workplace violence) dan menerapkan upaya
untuk mengurangi risiko tersebut.
g)
Rumah sakit telah melaksanakan evaluasi,
konseling, dan tata laksana lebih lanjut untuk staf yang mengalami cedera
akibat tindakan kekerasan di tempat kerja.
d. Tenaga medis
1) Standar KPS 10
Rumah sakit menyelenggarakan proses kredensial yang
seragam dan transparan bagi tenaga medis yang diberi izin memberikan asuhan
kepada pasien secara mandiri.
2) Standar KPS 10.1
Rumah sakit melaksanakan verifikasi terkini
terhadap pendidikan, registrasi/izin, pengalaman, dan lainnya dalam proses
kredensialing tenaga medis.
3) Maksud dan Tujuan KPS 10 sampai KPS 10.1
Penjelasan mengenai istilah dan ekspektasi yang
ditemukan dalam standar-standar ini adalah sebagai berikut:
a)
Kredensial adalah proses evaluasi
(memeriksa dokumen dari pelamar), wawancara, dan ketentuan lain sesuai dengan
kebutuhan rumah sakit yang dilakukan rumah sakit terhadap seorang tenaga medis
untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi penugasan klinis dan
kewenangan klinis untuk menjalankan asuhan/tindakan medis tertentu di
lingkungan rumah sakit tersebut untuk periode tertentu. Dokumen kredensial
adalah dokumen yang dikeluarkan oleh badan resmi untuk menunjukkan bukti telah
dipenuhinya persyaratan seperti ijazah dari fakultas kedokteran, surat tanda
registrasi, izin praktik, fellowship,
atau bukti pendidikan dan pelatihan yang telah mendapat pengakuan dari
organisasi profesi kedokteran. Dokumen dokumen ini harus diverifikasi ke sumber
utama yang mengeluarkan dokumen tersebut atau website verifikasi ijazah Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan
Teknologi.
Dokumen kredensial dapat juga diperoleh dari rumah
sakit, perorangan, badan hukum yang terkait dengan riwayat profesional, atau
riwayat kompetensi dari pelamar seperti surat rekomendasi, semua riwayat
pekerjaan sebagai tenaga medis di tempat kerja yang lalu,catatan asuhan klinis
yang lalu, riwayat kesehatan, dan foto. Dokumen ini akan diminta rumah sakit
sebagai bagian dari proses kredensial dan ijazah serta STR harus diverifikasi
ke sumber utamanya. Syarat untuk verifikasi kredensial disesuaikan dengan
posisi pelamar. Sebagai contoh, pelamar untuk kedudukan kepala departemen/unit
layanan di rumah sakit dapat diminta verifikasi terkait jabatan dan pengalaman
administrasi di masa lalu. Juga untuk posisi tenaga medis di rumah sakit dapat
diminta verifikasi riwayat pengalaman kerja beberapa tahun yang lalu.
b) Tenaga medis adalah semua dokter dan
dokter gigi yang memberikan layanan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, bedah, atau layanan medis/gigi lain kepada pasien, atau yang memberikan
layanan interpretatif terkait pasien seperti patologi, radiologi, laboratorium,
serta memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).
c)
Verifikasi
adalah proses untuk memeriksa validitas dan kelengkapan kredensial dari sumber
yang mengeluarkan kredensial. Proses dapat dilakukan ke fakultas/rumah
sakit/perhimpunan di dalam maupun di luar negeri melalui email/surat
konvensional/pertanyaan on line/atau melalui telepon. Jika verifikasi dilakukan
melalui email maka alamat email harus sesuai dengan alamat email yang ada pada website resmi universitas/rumah
sakit/perhimpunan profesi tersebut dan bila melalui surat konvensional harus
dengan pos tercatat. Jika verifikasi dilakukan pada website verifikasi ijazah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi maka akan ada
bukti ijazah tersebut terverifikasi.
d) Rekredensial adalah proses kredensial
ulang setiap 3 (tiga) tahun.
Dokumen kredensial dan
rekredensial meliputi:
(1)
STR, SIP yang masih berlaku;
(2) File
pelanggaran etik atau disiplin termasuk infomasi dari sumber luar seperti dari
MKEK dan
MKDKI;
(3) Rekomendasi
mampu secara fisik maupun mental memberikan asuhan kepada pasien tanpa
supervisi dari profesi dokter yang
ditentukan;
(4) Bila
tenaga medis mengalami gangguan kesehatan, kecacatan tertentu, atau proses
penuaan yang menghambat pelaksanaan kerja maka kepada yang bersangkutan
dilakukan
penugasan klinis ulang;
(5) Jika
seorang anggota tenaga medis mengajukan kewenangan baru terkait pelatihan
spesialisasi canggih atau subspesialisasi maka dokumen kredensial harus segera
diverifikasi dari sumber yang mengeluarkan sertifikat tersebut. Keanggotaan
tenaga medis mungkin tidak dapat diberikan jika rumah sakit tidak mempunyai
teknologi, peralatan medis khusus untuk mendukung kewenangan klinis tertentu.
Sebagai contoh, seorang nefrolog melamar untuk memberikan layanan dialisis di
rumah sakit bila rumah sakit tidak memiliki pelayanan ini maka kewenangan
klinis untuk melakukan haemodialisis tidak dapat diberikan.
Pengecualian untuk KPS 10.1 EP 1, hanya untuk survei
awal. Pada saat survei akreditasi awal rumah sakit diwajibkan telah
menyelesaikan verifikasi untuk tenaga medis baru yang bergabung dalam 12 (dua
belas) bulan menjelang survei awal. Selama 12 (dua belas) bulan setelah survei
awal, rumah sakit diwajibkan untuk menyelesaikan verifikasi sumber primer untuk
seluruh anggota tenaga medis lainnya. Proses ini dicapai dalam kurun waktu 12
(dua belas) bulan setelah survei sesuai dengan rencana yang memprioritaskan
verifikasi kredensial bagi tenaga medis aktif yang memberikan pelayanan
berisiko tinggi.
Catatan:
Pengecualian ini hanya untuk verifikasi kredensial saja. Semua kredensial
anggota tenaga medis harus dikumpulkan dan ditinjau, dan kewenangan mereka
diberikan.
e)
Pengangkatan/penugasan
merupakan proses peninjauan kredensial awal pelamar untuk memutuskan apakah
orang tersebut memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan
pasien rumah sakit dan dapat didukung rumah sakit dengan staf yang kompeten dan
dengan kemampuan teknis rumah sakit. Untuk pelamar pertama, informasi yang
ditinjau kebanyakan berasal dari sumber luar. Individu atau mekanisme yang
berperan pada peninjauan, kriteria yang digunakan untuk membuat keputusan, dan
bagaimana keputusan didokumentasikan diidentifikasi dalam kebijakan rumah
sakit. Kebijakan rumah sakit mengidentifikasi proses pengangkatan praktisi
kesehatan mandiri untuk keperluan gawat darurat atau untuk sementara waktu.
Pengangkatan dan identifikasi kewenangan untuk praktisi
kesehatan tersebut tidak dibuat sampai setidaknya verifikasi izin telah
dilakukan.
f)
Pengangkatan/penugasan
kembali merupakan proses
peninjauan dokumen anggota tenaga medis untuk verifikasi:
(1)
Perpanjangan izin;
(2) Bahwa
anggota tenaga medis tidak dikenai sanksi disipliner oleh badan perizinan dan
sertifikasi;
(3) Bahwa
berkas berisi dokumentasi yang cukup untuk pencarian kewenangan atau tugas
baru/perluasan di rumah sakit;
dan
(4) Anggota
tenaga medis mampu secara fisik dan mental untuk memberikan perawatan dan tata
laksana terhadap pasien tanpa supervisi. Informasi untuk peninjauan ini berasal
dari sumber internal maupun eksternal. Jika suatu departemen/unit layanan
klinis (misalnya, pelayanan subspesialis) tidak memiliki kepala/pimpinan, rumah sakit mempunyai kebijakan untuk mengidentifikasi
siapa yang melakukan peninjauan untuk para tenaga
profesional di departemen/unit layanan tersebut. Berkas kredensial anggota
tenaga medis harus merupakan sumber informasi yang dinamis dan ditinjau secara
konstan. Sebagai contoh, ketika anggota tenaga medis mendapatkan sertifikat
pencapaian yang berhubungan dengan peningkatan gelar atau pelatihan khusus
lanjutan, kredensial yang baru harus segera diverifikasi dari sumber yang mengeluarkan.
Demikian pula jika ada badan luar yang melakukan investigasi tentang kejadian
sentinel yang berkaitan dengan anggota tenaga medis dan mengeluarkan sanksi,
informasi ini harus segera digunakan untuk mengevaluasi ulang kewenangan klinis
dari anggota tenaga medis tersebut. Untuk memastikan bahwa berkas tenaga medis
lengkap dan terkini, berkas ditinjau sedikitnya setiap 3 (tiga) tahun, dan
terdapat catatan pada berkas tentang tindakan yang telah dilakukan atau tidak
diperlukannya tindak lanjut sehingga pengangkatan tenaga medis dilanjutkan.
Keanggotaan tenaga medis dapat tidak diberikan jika
rumah sakit tidak memiliki peralatan medis khusus atau staf untuk mendukung
praktik profesi tersebut. Sebagai contoh, ahli nefrologi yang ingin melakukan
pelayanan dialisis di rumah sakit, dapat tidak diberikan kewenangan (privilege) bila rumah sakit tidak menyelenggarakan pelayanan
dialisis.
Akhirnya, jika izin/registrasi pelamar telah
diverifikasi dengan sumber yang mengeluarkan, tetapi dokumen lain seperti
edukasi dan pelatihan belum diverifikasi, staf tersebut dapat diangkat menjadi
anggota tenaga medis dan kewenangan klinis dapat diberikan untuk orang tersebut
untuk kurun waktu yang tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari. Pada kondisi di
atas, orang-orang tersebut tidak boleh melakukan praktik secara mandiri dan
memerlukan supervisi hingga seluruh kredensial telah diverifikasi. Supervisi
secara jelas didefinisikan dalam kebijakan rumah sakit, dan berlangsung tidak
lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.
4) Elemen Penilaian KPS 10
a)
Rumah sakit telah menetapkan peraturan internal
tenaga medis (medical staf bylaws)
yang mengatur proses penerimaan, kredensial, penilaian kinerja, dan
rekredensial tenaga medis
b) Rumah
sakit telah melaksanakan proses kredensial dan pemberian kewenangan klinis
untuk pelayanan diagnostik, konsultasi, dan tata laksana yang diberikan oleh
dokter praktik mandiri di rumah sakit secara seragam
c)
Rumah sakit telah melaksanakan proses kredensial
dan pemberian kewenangan klinis kepada dokter praktik mandiri dari luar rumah
sakit seperti konsultasi kedokteran jarak jauh (telemedicine), radiologi jarak jauh (teleradiology), dan interpretasi untuk pemeriksaan diagnostik lain:
elektrokardiogram (EKG), elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), serta
pemeriksaan lain yang serupa.
d) Setiap
tenaga medis yang memberikan pelayanan di rumah sakit wajib menandatangani
perjanjian sesuai dengan regulasi rumah sakit.
e)
Rumah sakit telah melaksanakan verifikasi ke
Lembaga/Badan/Instansi pendidikan atau organisasi profesional yang diakui yang
mengeluarkan izin/sertifikat, dan kredensial lain dalam proses kredensial
sesuai dengan peraturan perundangundangan atau yang
f)
Ada bukti dilaksanakan kredensial tambahan ke
sumber yang mengeluarkan apabila tenaga medis yang meminta kewenangan klinis
tambahan yang canggih atau subspesialisasi.
5) Elemen Penilaian KPS 10.1
a)
Pengangkatan tenaga medis dibuat berdasar atas
kebijakan rumah sakit dan konsisten dengan populasi pasien rumah sakit, misi,
dan pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
b) Pengangkatan
tidak dilakukan sampai setidaknya izin/surat tanda registrasi sudah
diverifikasi dari sumber utama yang mengeluarkan surat tersebut dan tenaga
medis dapat memberikan pelayanan kepada pasien di bawah supervisi sampai semua
kredensial yang disyaratkan undang-undang dan peraturan sudah diverifikasi dari
sumbernya.
c)
Untuk tenaga medis yang belum mendapatkan
kewenangan mandiri, dilakukan supervisi dengan mengatur frekuensi supervisi dan
supervisor yang ditunjuk serta didokumentasikan di file kredensial staf
tersebut.
6) Standar KPS 11
Rumah sakit menetapkan proses yang seragam,
objektif, dan berdasar bukti (evidence
based) untuk memberikan wewenang kepada tenaga medis untuk memberikan
layanan klinis kepada pasien sesuai dengan kualifikasinya
7) Maksud dan Tujuan KPS 11
Pemberian kewenangan (privileging) adalah penentuan kompetensi klinis terkini tenaga
medis dan pengambilan keputusan tentang pelayanan klinis yang diizinkan kepada
tenaga medis. Pemberian kewenangan (privileging)
ini merupakan penentuan paling penting yang harus dibuat rumah sakit untuk
melindungi keselamatan pasien dan meningkatkan mutu pelayanan klinis.
Pertimbangan untuk pemberian kewenangan klinis pada
pengangkatan awal termasuk hal-hal berikut:
a)
Keputusan tentang kewenangan klinis yang akan
diberikan kepada seorang tenaga medis didasarkan terutama atas informasi dan
dokumentasi yang diterima dari sumber luar rumah sakit. Sumber luar ini dapat
berasal dari program pendidikan spesialis, surat rekomendasi dari penempatan
sebagai tenaga medis yang lalu, atau dari organisasi profesi, kolega dekat, dan
setiap data informasi yang mungkin diberikan kepada rumah sakit. Secara umum,
sumber informasi ini terpisah dari yang diberikan oleh institusi pendidikan
seperti program dokter spesialis, tidak diverifikasi dari sumber kecuali
ditentukan lain oleh kebijakan rumah sakit, paling sedikit area kompetensi
sudah dapat dianggap benar.
Evaluasi praktik profesional berkelanjutan (ongoing professional practice evaluation/OPPE)
untuk anggota tenaga medis memberikan informasi penting untuk proses
pemeliharaan keanggotaan tenaga medis dan terhadap proses pemberian kewenangan
klinis.
b) Program
pendidikan spesialis menentukan dan membuat daftar secara umum tentang
kompetensinya di area diagnosis dan tindakan profesi dan Konsil kedokteran
Indonesia (KKI) mengeluarkan standar kompetensi atau kewenangan klinis.
Perhimpunan profesi lain membuat daftar secara detail jenis/tindak medis yang
dapat dipakai sebagai acuan dalam proses pemberian kewenangan klinis;
c)
Di dalam setiap area spesialisasi proses untuk
merinci kewenangan ini seragam;
d) Seorang
dokter dengan spesialisasi yang sama dimungkinkan memiliki kewenangan klinis
berbeda yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dan pelatihan tambahan,
pengalaman, atau hasil kinerja yang bersangkutan selama bekerja, serta
kemampuan motoriknya;
e)
Keputusan kewenangan klinis dirinci dan akan
direkomendasikan kepada pimpinan rumah sakit di area spesialisasi terkait
dengan mempertimbangkan proses lain, diantaranya:
(1) Pemilihan
proses apa yang akan dimonitor menggunakan data oleh pimpinan unit pelayanan
klinis;
(2) Penggunaan
data tersebut dalam OPPE dari tenaga medis tersebut di unit pelayanan klinis;
dan
(3) Penggunaan
data yang dimonitor tersebut untuk proses penugasan ulang dan pembaharuan
kewenangan klinis.
f)
Penilaian kinerja tenaga medis berkelanjutan
setiap tahun yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang berisi jumlah pasien per
penyakit/tindakan yang ditangani per tahun, rerata lama dirawat, serta angka
kematiannya. Angka Infeksi Luka Operasi (ILO) dan kepatuhan terhadap Panduan
Praktik Klinis (PPK) meliputi penggunaan obat, penunjang diagnostik, darah,
produk darah, dan lainnya;
g)
Hasil evaluasi praktik professional
berkelanjutan
(OPPE) dan terfokus (FPPE);
h) Hasil
pendidikan dan pelatihan tambahan dari pusat pendidikan, kolegium, perhimpunan
profesi, dan rumah sakit yang kompeten mengeluarkan sertifikat;
i)
Untuk kewenangan tambahan pada pelayanan risiko
tinggi maka rumah sakit menentukan area pelayanan risiko tinggi seperti
prosedur cathlab, penggantian sendi lutut dan panggul, pemberian obat
kemoterapi, obat radioaktif, obat anestesi, dan lainnya. Prosedur dengan risiko
tinggi tersebut maka tenaga medis dapat diberikan kewenangan klinis secara
khusus. Prosedur risiko tinggi, obat-obat, atau layanan yang lain ditentukan di
kelompok spesialisasi dan dirinci kewenangannya secara jelas. Beberapa prosedur
mungkin digolongkan berisiko tinggi disebabkan oleh peralatan yang digunakan
seperti dalam kasus penggunaan robot atau penggunaan tindakan dari jarak jauh
melalui komputer. Juga pemasangan implan yang memerlukan kaliberasi, presisi,
dan monitor jelas membutuhkan kewenangan klinis secara spesifik.
j)
Kewenangan klinis tidak dapat diberikan jika
rumah sakit tidak mempunyai peralatan medis khusus atau staf khusus untuk
mendukung pelaksanaan kewenangan klinis. Sebagai contoh, seorang nefrolog
kompeten melakukan dialisis atau kardiolog kompeten memasang sten tidak dapat
diberi kewenangan klinis jika rumah sakit tidak memiliki peralatannya. Catatan: jika anggota tenaga medis juga
mempunyai tanggung jawab administrasi seperti ketua kelompok tenaga medis (KSM),
administrator rumah sakit, atau posisi lain maka tanggung jawab peran ini
diuraikan di uraian tugas atau job
description. Rumah sakit menetapkan sumber utama untuk memverifikasi peran
administrasi ini.
Proses pemberian rincian
kewenangan klinis:
a)
Terstandar, objektif, berdasar atas bukti (evidence based).
b) Terdokumentasi
di kebijakan rumah sakit.
c)
Aktif dan berkelanjutan mengikuti perubahan
kredensial tenaga medis.
d) Diikuti
semua anggota tenaga medis.
e)
Dapat dibuktikan bahwa prosedur yang digunakan
efektif.
Surat penugasan klinis (SPK) dan rincian kewenangan
klinis (RKK) tersedia dalam bentuk salinan cetak, salinan elektronik, atau cara
lainnya sesuai lokasi/tempat tenaga medis memberikan pelayanan (misalnya, di
kamar operasi, unit gawat darurat). Tenaga medis juga diberikan salinan
kewenangan klinisnya. Pembaruan informasi dikomunikasikan jika kewenangan
klinis anggota tenaga medis berubah.
8) Elemen Penilaian KPS 11
a)
Direktur menetapkan kewenangan klinis setelah
mendapat rekomendasi dari Komite Medik termasuk kewenangan tambahan dengan
mempertimbangan poin
a)
– j) dalam maksud dan tujuan.
b) Ada
bukti pemberian kewenangan klinis berdasar atas rekomendasi kewenangan klinis
dari Komite Medik.
c)
Ada bukti pelaksanaan pemberian kewenangan
tambahan setelah melakukan verifikasi dari sumber utama yang mengeluarkan
ijazah/sertifikat.
d) Surat
penugasan klinis dan rincian kewenangan klinis anggota tenaga medis dalam
bentuk cetak atau elektronik (softcopy)
atau media lain tersedia di semua unit pelayanan.
e)
Setiap tenaga medis hanya memberikan pelayanan
klinis sesuai kewenangan klinis yang diberikan kepadanya.
9) Standar KPS 12
Rumah sakit menerapkan evaluasi praktik profesional
berkelanjutan (OPPE) tenaga medis secara seragam untuk menilai mutu dan
keselamatan serta pelayanan pasien yang diberikan oleh setiap tenaga medis.
10) Maksud dan Tujuan KPS 12
Penjelasan istilah dan ekspektasi yang terdapat
dalam standar ini adalah sebagai berikut:
a)
Evaluasi praktik profesional berkelanjutan
(OPPE) adalah proses pengumpulan data dan informasi secara berkesinambungan
untuk menilai kompetensi klinis dan perilaku profesional tenaga medis.
Informasi tersebut akan dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan untuk mempertahankan, merevisi, atau mencabut kewenangan
klinis sebelum berakhirnya siklus 3 (tiga) tahun untuk pembaruan kewenangan
klinis.
Pimpinan medik, kepala unit, Subkomite Mutu Profesi
Komite Medik dan Ketua Kelompok Staf Medik (KSM) bertanggung jawab
mengintegrasikan data dan informasi tenaga medis dan pengambilan kesimpulan dalam
memberikan penilaian.
Jika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien
atau pelanggaran perilaku etik maka dilakukan tindakan terhadap tenaga medis
tersebut secara adil (just culture)
berdasarkan hasil analisis terkait kejadian tersebut.
Tindakan jangka pendek dapat dalam bentuk
konseling, menempatkan kewenangan
tertentu di bawah supervisi, pembatasan kewenangan, atau tindakan lain untuk
membatasi risiko terhadap pasien, dan untuk meningkatkan mutu serta keselamatan
pasien. Tindakan jangka panjang dalam bentuk membuat rekomendasi terkait
kelanjutan keanggotaan tenaga medis dan kewenangan klinis.
Proses ini dilakukan sedikitnya setiap 3 (tiga)
tahun. Monitor dan evaluasi
berkelanjutan tenaga medis menghasilkan informasi kritikal dan penting terhadap
proses mempertahankan tenaga medis dan proses pemberian kewenangan klinis.
Walaupun dibutuhkan 3 (tiga) tahun untuk memperpanjang keanggotaan tenaga medis
dan kewenangan kliniknya, prosesnya dimaksudkan berlangsung sebagai proses
berkelanjutan dan dinamis.
Masalah mutu dan insiden keselamatan pasien dapat
terjadi jika kinerja klinis tenaga medis tidak dikomunikasikan dan dilakukan
tindak lanjut.
Proses monitor penilaian OPPE
tenaga medis untuk:
(1) Meningkatkan
praktik individual terkait mutu dan asuhan pasien yang aman;
(2) Digunakan
sebagai dasar mengurangi variasi di dalam kelompok tenaga medis (KSM) dengan
cara membandingkan antara kolega, penyusunan panduan praktik klinis (PPK), dan clinical pathway; dan
(3) Digunakan
sebagai dasar memperbaiki kinerja kelompok tenaga medis/unit dengan cara
membandingkan acuan praktik di luar rumah sakit, publikasi riset, dan indikator
kinerja klinis nasional bila tersedia.
Penilaian OPPE tenaga medis memuat 3 (tiga) area
umum yaitu:
(1)
Perilaku;
(2)
Pengembangan professional; dan
(3)
Kinerja klinis.
b) Perilaku tenaga medis
adalah sebagai model atau mentor dalam menumbuhkan budaya keselamatan (safety culture) di rumah sakit. Budaya
keselamatan ditandai dengan partisipasi penuh semua staf untuk melaporkan bila
ada insiden keselamatan pasien tanpa ada rasa takut untuk melaporkan dan
disalahkan (no blame culture).
Budaya keselamatan juga sangat menghormati satu sama
lain, antar kelompok profesional, dan tidak terjadi sikap saling mengganggu.
Umpan balik staf dalam dapat membentuk sikap dan perilaku yang diharapkan dapat
mendukung staf medik menjadi model untuk menumbuhkan budaya aman. Evaluasi
perilaku memuat:
(1) Evaluasi
apakah seorang tenaga medis mengerti dan mendukung kode etik dan disiplin
profesi dan rumah sakit serta dilakukan identifikasi perilaku yang dapat atau
tidak dapat diterima maupun perilaku yang mengganggu;
(2) Tidak
ada laporan dari anggota tenaga medis tentang perilaku yang dianggap tidak
dapat diterima atau mengganggu; dan
(3) Mengumpulkan,
analisis, serta menggunakan data dan informasi berasal dari survei staf serta
survei lainnya tentang budaya aman di rumah sakit.
Proses pemantauan OPPE harus dapat mengenali hasil
pencapaian, pengembangan potensial terkait kewenangan klinis dari anggota
tenaga medis, dan layanan yang diberikan. Evaluasi perilaku dilaksanakan secara
kolaboratif antara Subkomite Etik dan Disiplin, manajer SDM, manajer pelayanan,
dan kepala unit kerja.
Pengembangan profesional anggota tenaga medis
berkembang dengan menerapkan teknologi baru dan pengetahuan klinis baru. Setiap
anggota tenaga medis dari segala tingkatan akan merefleksikan perkembangan dan
perbaikan pelayanan kesehatan dan praktik profesional sebagai berikut:
(1) Asuhan
pasien, penyediaan asuhan penuh kasih, tepat dan efektif dalam promosi
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, dan asuhan di akhir hidup.
Alat ukurnya adalah layanan preventif dan laporan dari pasien serta
keluarga
(2) Pengetahuan
medik/klinik termasuk pengetahuan biomedik, klinis, epidemiologi, ilmu
pengetahuan sosial budaya, dan pendidikan kepada pasien. Alat ukurnya adalah
penerapan panduan praktik klinis (clinical
practice guidelines) termasuk revisi pedoman hasil pertemuan profesional
dan publikasi.
(3) Praktik
belajar berdasar bukti (practice-bases
learning) dan pengembangan, penggunaan bukti ilmiah dan metode pemeriksaan,
evaluasi, serta perbaikan asuhan pasien berkelanjutan berdasar atas evaluasi
dan belajar terus menerus (contoh alat ukur survei klinis, memperoleh
kewenangan berdasar atas studi dan keterampilan klinis baru, dan partisipasi
penuh pada pertemuan ilmiah).
(4) Kepandaian
berkomunikasi antarpersonal termasuk menjaga dan meningkatkan pertukaran
informasi dengan pasien, keluarga pasien, dan anggota tim layanan kesehatan
yang lain (contoh, partisipasi aktif di ronde ilmiah, konsultasi tim, dan
kepemimpinan tim).
(5) Profesionalisme,
janji mengembangkan profesionalitas terus menerus, praktik etik, pengertian
terhadap perbedaan, serta perilaku bertanggung jawab terhadap pasien, profesi,
dan masyarakat (contoh, alat ukur: pendapat pimpinan di tenaga medis terkait
isu klinis dan isu profesi, aktif membantu diskusi panel tentang etik,
ketepatan waktu pelayanan di rawat jalan maupun rawat inap, dan partisipasi di
masyarakat).
(6) Praktik
berbasis sistem, serta sadar dan tanggap terhadap jangkauan sistem pelayanan
kesehatan yang lebih luas (contoh alat ukur: pemahaman terhadap regulasi rumah
sakit yang terkait dengan tugasnya seperti sistem asuransi medis, asuransi
kesehatan (JKN), sistem kendali mutu, dan biaya. Peduli pada masalah resistensi
antimikrob).
(7) Mengelola
sumber daya, memahami pentingnya sumber daya dan berpartisipasi melaksanakan
asuhan yang efisien, serta menghindari penyalahgunaan pemeriksaan untuk
diagnostik dan terapi yang tidak ada manfaatnya bagi pasien serta meningkatkan
biaya pelayanan kesehatan (contoh alat ukur: berpartisipasi dalam kendali mutu
dan biaya, kepedulian terhadap biaya yang ditanggung pasien, serta
berpatisipasi dalam proses seleksi pengadaan)
(8) Sebagai
bagian dari proses penilaian, proses pemantauan dan evaluasi berkelanjutan,
serta harus mengetahui kinerja anggota tenaga medis yang relevan dengan potensi
pengembangan kemampuan profesional tenaga medis.
Proses pemantauan OPPE tenaga medis harus dapat
menjadi bagian dari proses peninjauan kinerja tenaga medis terkait dengan upaya
mendukung budaya keselamatan.
Penilaian atas informasi bersifat umum berlaku bagi
semua anggota tenaga medis dan juga tentang informasi spesifik terkait
kewenangan anggota tenaga medis dalam memberikan pelayanannya. Rumah sakit
mengumpulkan berbagai data untuk keperluan manajemen, misalnya membuat laporan
ke pimpinan rumah sakit tentang alokasi sumber daya atau sistem pembiayaan
rumah sakit. Agar bermanfaat bagi evaluasi berkelanjutan seorang tenaga medis
maka sumber data rumah sakit:
(1) Harus
dikumpulkan sedemikian rupa agar teridentifikasi tenaga medis yang berperan.
Harus terkait dengan praktik klinis seorang anggota tenaga medis; dan
(2) Dapat
menjadi rujukan (kaji banding) di dalam KSM/Unit layanan atau di luarnya untuk
mengetahui pola individu tenaga medis.
Sumber data potensial seperti itu misalnya adalah
lama hari rawat (length of stay),
frekuensi (jumlah pasien yang ditangani), angka kematian, pemeriksaan
diagnostik, pemakaian darah, pemakaian obat-obat tertentu, angka ILO, dan lain
sebagainya.
Pemantauan dan evaluasi anggota tenaga medis
berdasar atas berbagai sumber data termasuk data cetak, data elektronik,
observasi dan, interaksi teman sejawat. Simpulan proses monitor dan evaluasi
anggota tenaga medis:
(1) Jenis
anggota tenaga medis, jenis KSM, jenis unit layanan terstandar;
(2) Data
pemantauan dan informasi dipergunakan untuk perbandingan internal, mengurangi
variasi perilaku, serta pengembangan profesional dan
hasil klinis;
(3) Data
monitor dan informasi dipergunakan untuk melakukan perbandingan eksternal
dengan praktik berdasar bukti (evidence
based practice) atau sumber rujukan tentang data dan informasi
hasil klinis;
(4) Dipimpin
oleh ketua KSM/unit layanan, manajer medis, atau unit kajian tenaga medis; dan
(5) Pemantauan
dan evaluasi terhadap kepala bidang pelayanan dan kepala KSM oleh profesional
yang kompeten.
Kebijakan rumah sakit mengharuskan ada tinjauan (review) paling sedikit selama 12 (dua
belas) bulan. Review dilakukan secara
kolaborasi di antaranya oleh kepala KSM/unit layanan, kepala bidang pelayanan
medis, Subkomite Mutu Profesi Komite Medik, dan bagian IT. Temuan, simpulan,
dan tindakan yang dijatuhkan atau yang direkomendasikan dicatat di file
praktisi serta tercermin di kewenangan kliniknya. Pemberitahuan diberikan
kepada tempat di tempat praktisi memberikan layanan.
Informasi yang dibutuhkan untuk tinjauan ini
dikumpulkan dari internal dan dari pemantauan serta evaluasi berkelanjutan
setiap anggota staf termasuk juga dari sumber luar seperti organisasi profesi
atau sumber instansi resmi.
File kredensial dari seorang anggota tenaga medis
harus menjadi sumber informasi yang dinamis dan selalu ditinjau secara teratur.
Contohnya, jika seorang anggota staf menyerahkan sertifikat kelulusan sebagai
hasil dari pelatihan spesialisasi khusus maka kredensial baru ini harus
diverifikasi segera dari sumber yang mengeluarkan sertifikat. Sama halnya, jika
instansi dari luar (MKEK/MKDKI) menyelidiki kejadian sentinel terkait seorang
anggota tenaga medis dan memberi sanksi maka informasi ini harus digunakan
untuk evaluasi muatan kewenangan klinis anggota tenaga medis. Untuk menjamin
bahwa file tenaga medis lengkap dan akurat, file diperiksa paling sedikit 3
(tiga) tahun sekali dan ada catatan di file tindakan yang diberikan atau
tindakan yang tidak diperlukan sehingga penempatan tenaga medis dapat
berlanjut.
Pertimbangan untuk merinci kewenangan klinis waktu
penempatan kembali sebagai berikut:
(1) Anggota
tenaga medis dapat diberikan kewenangan klinis tambahan berdasar atas
pendidikan dan pelatihan lanjutan. Pendidikan dan pelatihan diverifikasi dari
sumber utamanya. Pemberian penuh kewenangan klinis tambahan mungkin ditunda
sampai proses verifikasi lengkap atau jika dibutuhkan waktu harus dilakukan
supervisi sebelum kewenangan klinis diberikan.
Contoh, jumlah kasus yang harus disupervisi dari
kardiologi intervensi;
(2) Kewenangan
klinis anggota tenaga medis dapat dilanjutkan, dibatasi, atau dihentikan
berdasar: hasil dari proses tinjauan praktik profesional berkelanjutan;
(3) Pembatasan
kewenangan klinik dari organisasi profesi, KKI, MKEK, MKDKI, atau badan resmi
lainnya;
(4) Temuan
rumah sakit dari hasil evaluasi kejadian sentinel atau kejadian lain; kesehatan
tenaga medis; dan/atau
(5)
Permintaan tenaga medis.
11) Elemen Penilaian KPS 12
a)
Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan
proses penilaian kinerja untuk evaluasi mutu praktik profesional berkelanjutan,
etik, dan disiplin (OPPE) tenaga medis
b) Penilaian
OPPE tenaga medis memuat 3 (tiga) area umum 1) – 3) dalam maksud dan tujuan.
c)
Penilaian OPPE juga meliputi peran tenaga medis
dalam pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya
bekerja.
d) Data
dan informasi hasil pelayanan klinis dari tenaga medis dikaji secara objektif
dan berdasar atas bukti, jika memungkinkan dilakukan benchmarking dengan pihak eksternal rumah sakit.
e)
Data dan informasi hasil pemantauan kinerja
tenaga medis sekurang-kurangnya setiap 12 (dua belas) bulan dilakukan oleh
kepala unit, kepala kelompok tenaga medis, Subkomite Mutu Profesi Komite Medik
dan pimpinan pelayanan medis. Hasil, simpulan, dan tindakan didokumentasikan di
dalam file kredensial tenaga medis tersebut
f)
Jika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien
atau pelanggaran perilaku etik maka dilakukan tindakan terhadap tenaga medis
tersebut secara adil (just culture)
berdasarkan hasil analisisterkait kejadian tersebut.
g)
Bila ada temuan yang berdampak pada pemberian
kewenangan tenaga medis, temuan tersebut didokumentasi ke dalam file tenaga
medis dan diinformasikan serta disimpan di unit tempat tenaga medis memberikan
pelayanan
12) Standar KPS 13
Rumah sakit paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun
melakukan rekredensial berdasarkan hasil penilaian praktik profesional
berkelanjutan (OPPE) terhadap setiap semua tenaga medis rumah sakit untuk menentukan
apabila tenaga medis dan kewenangan klinisnya dapat dilanjutkan dengan atau
tanpa modifikasi.
13) Maksud dan Tujuan KPS 13
Penjelasan istilah dan ekspektasi yang ditemukan
dalam standar-standar ini adalah sebagai berikut:
a)
Rekredensial/penugasan kembali
merupakan proses peninjauan, sedikitnya dilakukan setiap 3 (tiga) tahun, terhadap file tenaga medis untuk
verifikasi:
(1) Kelanjutan
izin (license);
(2) Apakah
anggota tenaga medis tidak terkena tindakan etik dan disiplin dari MKEK dan
MKDKI;
(3) Apakah
tersedia dokumen untuk mendukung penambahan kewenangan klinis atau tanggung
jawab di rumah sakit; dan
(4) Apakah
anggota tenaga medis mampu secara fisik dan mental memberikan asuhan dan
pengobatan tanpa supervisi.
Informasi untuk peninjauan ini dikumpulkan dari
sumber internal, penilaian praktik profesional berkelanjutan tenaga medis
(OPPE), dan juga dari sumber eksternal seperti organisasi profesi atau sumber
instansi resmi.
File kredensial dari seorang anggota tenaga medis
harus menjadi sumber informasi yang dinamis dan selalu ditinjau secara teratur.
Sebagai contoh, ketika anggota tenaga medis mendapatkan sertifikat pencapaian
berkaitan dengan peningkatan gelar atau pelatihan spesialistis lanjutan,
kredensial yang baru segera diverifikasi dari sumber yang mengeluarkan.
Demikian pula ketika badan luar melakukan investigasi tentang kejadian sentinel
yang berkaitan dengan anggota tenaga medis dan mengenakan sanksi, informasi ini
harus segera digunakan untuk evaluasi ulang kewenangan klinis anggota tenaga
medis tersebut. Untuk memastikan berkas tenaga medis lengkap dan akurat, berkas
ditinjau sedikitnya setiap 3 (tiga)
tahun, dan terdapat catatan dalam berkas yang menunjukkan tindakan yang
telah dilakukan atau bahwa tidak diperlukan tindakan apa pun dan pengangkatan
tenaga medis dilanjutkan.
Misalnya, jika seorang tenaga medis menyerahkan
sertifikat kelulusan sebagai hasil dari pelatihan spesialisasi khusus,
kredensial baru ini harus diverifikasi segera dari sumber yang mengeluarkan
sertifikat. Sama halnya, jika instansi dari luar (MKEK/MKDKI) menyelidiki
kejadian sentinel pada seorang tenaga medis dan memberi sanksi maka informasi
ini harus digunakan untuk penilaian kewenangan klinis tenaga medis tersebut.
Untuk menjamin bahwa file tenaga medis lengkap dan akurat, file diperiksa
paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali dan ada kesimpulan hasil peninjauan di
file berupa tindakan yang akan dilakukan atau tindakan tidak diperlukan
sehingga penempatan tenaga medis dapat dilanjutkan.
Pertimbangan untuk memberikan kewenangan klinis saat
rekredensial/penugasan kembali mencakup halhal berikut:
(1) Tenaga
medis dapat diberikan kewenangan tambahan berdasarkan pendidikan dan pelatihan
lanjutan. Pendidikan dan pelatihan telah diverifikasi dari
Badan/Lembaga/Institusi penyelenggara pendidikan atau pelatihan. Pelaksanaan
kewenangan tambahan dapat ditunda sampai proses verifikasi selesai atau sesuai
ketentuan rumah sakit terdapat periode waktu persyaratan untuk praktik di bawah
supervisi sebelum pemberian kewenangan baru diberikan secara mandiri; misalnya
jumlah kasus yang harus disupervisi dari kardiologi intervensi;
(2) Kewenangan
tenaga medis dapat dilanjutkan, dibatasi, dikurangi, atau dihentikan
berdasarkan:
a)
Hasil evaluasi praktik profesional berkelanjutan
(OPPE);
b) Batasan
kewenangan yang dikenakan kepada staf oleh organisasi profesi, KKI, MKEK,
MKDKI, atau badan resmi
lainnya;
c)
Temuan rumah sakit dari analisis terhadap
kejadian sentinel atau kejadian lainnya;
d) Status
kesehatan tenaga medis; dan/atau
e)
Permintaan dari tenaga medis.
14) Elemen
Penilaian KPS 13
a)
Berdasarkan penilaian praktik profesional
berkelanjutan tenaga medis, rumah sakit menentukan sedikitnya setiap 3 (tiga)
tahun, apakah kewenangan klinis tenaga medis dapat dilanjutkan dengan atau
tanpa modifikasi (berkurang atau bertambah).
b) Terdapat
bukti terkini dalam berkas setiap tenaga medis untuk semua kredensial yang
perlu diperbarui secara periodik.
c)
Ada bukti pemberian kewenangan klinis tambahan
didasarkan atas kredensial yang telah diverifikasi dari sumber
Badan/Lembaga/Institusi penyelenggara pendidikan atau pelatihan. sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
e. Tenaga Keperawatan
1) Standar KPS 14
Rumah sakit mempunyai proses yang efektif untuk
melakukan kredensial tenaga perawat dengan mengumpulkan, verifikasi pendidikan,
registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, dan pengalamannya.
2) Maksud dan Tujuan KPS 14
Rumah sakit perlu memastikan untuk mempunyai tenaga
perawat yang kompeten sesuai dengan misi, sumber daya, dan kebutuhan pasien.
Tenaga perawat bertanggungjawab untuk memberikan asuhan keperawatan pasien
secara langsung. Sebagai tambahan, asuhan keperawatan memberikan kontribusi
terhadap outcome pasien secara
keseluruhan. Rumah sakit harus memastikan bahwa perawat yang kompeten untuk
memberikan asuhan keperawatan dan harus spesifik terhadap jenis asuhan
keperawatan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Rumah sakit memastikan bahwa setiap perawat yang
kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan, baik mandiri, kolaborasi,
delegasi, serta mandat kepada pasien secara aman dan efektif dengan cara:
a)
Memahami peraturan dan perundang-undangan
terkait perawat dan praktik keperawatan;
b) Melakukan
kredensial terhadap semua bukti pendidikan, pelatihan, pengalaman, informasi
yang ada pada setiap perawat, sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Bukti
pendidikan, registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, serta pengalaman terbaru
dan
diverifikasi dari sumber aslinya;
(2) Bukti
kompetensi terbaru melalui informasi dari sumber lain di tempat perawat pernah
bekerja sebelumnya; dan
(3) Surat
rekomendasi dan/atau informasi lain yang mungkin diperlukan rumahsakit, antara
lain riwayat kesehatan dan sebagainya.
c)
Rumah sakit perlu melakukan setiap upaya untuk
memverifikasi informasi penting dari berbagai sumber utama dengan jalan
mengecek ke website resmi institusi
pendidikan pelatihan melalui email dan surat tercatat.
Pemenuhan standar mensyaratkan verifikasi sumber
utama dilaksanakan untuk perawat yang akan dan sedang bekerja. Bila verifikasi
tidak mungkin dilakukan seperti hilang karena bencana atau sekolahnya tutup
maka hal ini didapatkan dari sumber resmi lain.
3) Elemen Penilaian KPS 14
a)
Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan
proses kredensial yang efektif terhadap tenaga perawat meliputi poin a) – c)
dalam maksud dan tujuan.
b) Tersedia
bukti dokumentasi pendidikan, registrasi, sertifikasi, izin, pelatihan, dan
pengalaman yang terbaharui di file tenaga perawat.
c)
Terdapat pelaksanaan verifikasi ke sumber
Badan/Lembaga/institusi penyelenggara pendidikan/ pelatihan yang seragam.
d) Terdapat
bukti dokumen kredensial yang dipelihara pada setiap tenaga perawat.
e)
Rumah sakit menerapkan proses untuk memastikan
bahwa kredensial perawat kontrak lengkap sebelum penugasan.
4) Standar KPS 15
Rumah sakit melakukan identifikasi tanggung jawab
pekerjaan dan memberikan penugasan klinis berdasar atas hasil kredensial tenaga
perawat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan KPS 15
Hasil kredensial perawat berupa rincian kewenangan
klinis menjadi landasan untuk membuat surat penugasan klinis kepada tenaga
perawat.
6) Elemen Penilaian KPS 15
a)
Rumah sakit telah menetapkan rincian kewenangan
klinis perawat berdasar hasil kredensial terhadap perawat.
b) Rumah
sakit telah menetapkan Surat Penugasan Klinis tenaga perawat sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
7) Standar KPS 16
Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja
tenaga perawat termasuk perannya dalam kegiatan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.
8) Maksud danTujuan KPS 16
Peran klinis tenaga perawat sangat penting dalam
pelayanan pasien sehingga mengharuskan perawat berperan secara proaktif dalam
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program manajemen risiko
rumah sakit.
Rumah sakit melakukan penilaian kinerja tenaga
perawat secara periodik menggunakan format dan metode sesuai ketentuan yang
ditetapkan rumah sakit.
Bila ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu,
laporan insiden keselamatan pasien atau manajemen risiko maka Pimpinan rumah
sakit dan kepala unit akan mempertimbangkan secara adil (just culture) dengan melihat laporan mutu atau hasil Root Cause Analysis (RCA) sejauh mana
peran perawat yang terkait kejadian tersebut.
Hasil kajian, tindakan yang diambil, dan setiap
dampak atas tanggung jawab pekerjaan didokumentasikan dalam file kredensial
perawat tersebut atau file lainnya.
9) Elemen Penilaian KPS 16
a)
Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja
tenaga perawat secara periodik menggunakan format dan metode sesuai ketentuan
yang ditetapkan rumah sakit.
b) Penilaian
kinerja tenaga perawat meliputi pemenuhan uraian tugasnya dan perannya dalam
pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya bekerja.
c)
Pimpinan rumah sakit dan kepala unit telah
berlaku adil (just culture) ketika
ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu, laporan insiden keselamatan pasien
atau manajemen risiko.
d) Rumah
sakit telah mendokumentasikan hasil kajian, tindakan yang diambil, dan setiap
dampak atas tanggung jawab pekerjaan perawat dalam file kredensial
perawat.
f. Tenaga Kesehatan Lainnya
1) Standar KPS 17
Rumah sakit mempunyai proses yang efektif untuk
melakukan kredensial tenaga kesehatan lain dengan mengumpulkan dan
memverifikasi pendidikan, registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, dan
pengalamannya.
2) Maksud dan tujuan KPS 17
Rumah sakit perlu memastikan bahwa tenaga kesehatan
lainnya kompeten sesuai dengan misi, sumber daya, dan kebutuhan pasien.
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang bertanggungjawab memberikan asuhan pasien
secara langsung termasuk bidan, nutrisionis, apoteker, fisioterapis, teknisi
transfusi darah, penata anestesi, dan lainnya. sedangkan staf klinis adalah
adalah staf yang menempuh pendidikan profesi maupun vokasi yang tidak
memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien.
Rumah sakit memastikan bahwa PPA dan staf klinis
lainnya berkompeten dalam memberikan asuhan aman dan efektif kepada pasien
sesuai dengan peraturan perundangundangan dengan:
a)
Memahami peraturan dan perundang-undangan
terkait tenaga kesehatan lainnya.
b) Mengumpulkan
semua kredensial yang ada untuk setiap profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya
dan staf klinis lainnya sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Bukti
pendidikan, registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, dan pengalaman terbaru
serta diverifikasi dari sumber asli/website
verifikasi ijazah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi;
(2) Bukti
kompetensi terbaru melalui informasi dari sumber lain di tempat tenaga
kesehatan lainnya pernah bekerja sebelumnya; dan
(3) Surat
rekomendasi dan/atau informasi lain yang mungkin diperlukan rumah sakit, antara
lain riwayat kesehatan dan sebagainya.
c) Melakukan setiap
upaya memverifikasi informasi penting dari berbagai sumber dengan jalan
mengecek ke website resmi dari
institusi pendidikan pelatihan melalui email dan surat tercatat. Pemenuhan
standar mensyaratkan verifikasi sumber aslinya dilaksanakan untuk tenaga
kesehatan lainnya yang akan dan sedang bekerja. Bila verifikasi tidak mungkin
dilakukan seperti hilangnya dokumen karena bencana atau sekolahnya tutup maka
hal ini dapat diperoleh dari sumber resmi lain. File kredensial setiap tenaga
kesehatan lainnya harus tersedia dan dipelihara serta diperbaharui secara
berkala sesuai dengan peraturan perundangundangan.
3) Elemen Penilaian KPS 17
a)
Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan
proses kredensial yang efektif terhadap tenaga Kesehatan lainnya meliputi poin
a) – c) dalam maksud dan tujuan.
b) Tersedia
bukti dokumentasi pendidikan, registrasi, sertifikasi, izin, pelatihan, dan
pengalaman yang terbaharui di file tenaga Kesehatan lainnya.
c)
Terdapat pelaksanaan verifikasi ke sumber
Badan/Lembaga/institusi penyelenggara
Pendidikan/pelatihan yang
seragam.
d) Terdapat
dokumen kredensial yang dipelihara dari setiap tenaga kesehatan lainnya.
4) Standar KPS 18
Rumah sakit melakukan identifikasi tanggung jawab
pekerjaan dan memberikan penugasan klinis berdasar atas hasil kredensial tenaga
kesehatan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan KPS 18
Rumah sakit mempekerjakan atau dapat mengizinkan
tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan asuhan dan pelayanan kepada pasien
atau berpartisipasi dalam proses asuhan pasien.
Bila Tenaga kesehatan lainnya tersebut yang
diizinkan bekerja atau berpraktik di rumah sakit maka rumah sakit
bertanggungjawab untuk melakukan proses kredensialing.
6) Elemen Penilaian KPS 18
a)
Rumah sakit telah menetapkan rincian kewenangan
klinis profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya dan staf klinis lainnya
berdasar atas hasil kredensial tenaga Kesehatan lainnya.
b) Rumah
sakit telah menetapkan surat penugasan klinis kepada tenaga Kesehatan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7) Standar KPS 19
Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja
tenaga Kesehatan lainnya termasuk perannya dalam kegiatan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.
8) Maksud dan Tujuan KPS 19
Peran klinis tenaga Kesehatan lainnya sangat
penting dalam pelayanan pasien sehingga mengharuskan mereka berperan secara
proaktif dalam program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program
manajemen risiko rumah sakit.
Rumah sakit melakukan penilaian kinerja tenaga
Kesehatan lainnya secara periodik menggunakan format dan metode sesuai
ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.
Bila ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu,
laporan insiden keselamatan pasien atau manajemen risiko maka Pimpinan rumah
sakit dan kepala unit akan mempertimbangkan secara adil (just culture) dengan melihat laporan mutu atau hasil root cause analysis (RCA) sejauh mana
peran tenaga Kesehatan lainnya yang terkait kejadian tersebut.
Hasil kajian, tindakan yang diambil, dan setiap
dampak atas tanggung jawab pekerjaan didokumentasikan dalam file kredensial
tenaga Kesehatan lainnya tersebut atau file lainnya.
9) Elemen Penilaian KPS 19
a)
Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja tenaga
Kesehatan lainnya secara periodik menggunakan format dan metode sesuai
ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.
b) Penilain
kinerja tenaga Kesehatan lainnya meliputi pemenuhan uraian tugasnya dan
perannya dalam pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya
bekerja.
c)
Pimpinan rumah sakit dan kepala unit telah
berlaku adil (just culture) ketika
ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu, laporan insiden keselamatan pasien
atau manajemen risiko.
d) Rumah
sakit telah mendokumentasikan hasil kajian, tindakan yang diambil, dan setiap
dampak atas tanggung jawab pekerjaan tenaga kesehatan dalam file kredensial
tenaga kesehatan lainnya.
3. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Gambaran Umum
Fasilitas dan lingkungan dalam rumah sakit harus
aman, berfungsi baik, dan memberikan lingkungan perawatan yang aman bagi
pasien, keluarga, staf, dan pengunjung. Untuk mencapai tujuan itu maka
fasilitas fisik, bangunan, prasarana dan peralatan kesehatan serta sumber daya
lainnya harus dikelola secara efektif untuk mengurangi dan mengendalikan
bahaya, risiko, mencegah kecelakaan, cidera dan penyakit akibat kerja. Dalam
pengelolaan fasilitas dan lingkungan serta pemantauan keselamatan, rumah sakit
menyusun program pengelolaan fasilitas dan lingkungan serta program pengelolaan
risiko untuk pemantauan keselamatan di seluruh lingkungan rumah sakit. Pengelolaan yang efektif mencakup
perencanaan, pendidikan, dan pemantauan multidisiplin dimana pemimpin
merencanakan ruang, peralatan, dan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung
layanan klinis yang disediakan secara aman dan efektif serta semua staf
diedukasi mengenai fasilitas, cara mengurangi risiko, cara memantau dan
melaporkan situasi yang berisiko termasuk melakukan penilaian risiko yang
komprehensif di seluruh fasilitas yang dikembangkan dan dipantau berkala.
Bila di rumah sakit memiliki entitas non-rumah sakit
atau tenant/penyewa lahan (seperti restoran, kantin, kafe, dan toko souvenir)
maka rumah sakit wajib memastikan bahwa tenant/penyewa lahan tersebut mematuhi
program pengelolaan fasilitas dan keselamatan, yaitu program keselamatan dan
keamanan, program pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, program penanganan
bencana dan kedaruratan, serta proteksi kebakaran.
Rumah sakit perlu membentuk satuan kerja yang dapat
mengelola, memantau dan memastikan fasilitas dan pengaturan keselamatan yang
ada sehingga tidak menimbulkan potensi bahaya dan risiko yang akan berdampak
buruk bagi pasien, staf dan pengunjung. Satuan kerja yang dibentuk dapat berupa
Komite/Tim K3 RS yang disesuaikan dengan kebutuhan, ketersediaan sumber daya
dan beban kerja rumah sakit. Rumah sakit harus memiliki program pengelolaan
fasilitas dan keselamatan yang menjangkau seluruh fasilitas dan lingkungan
rumah sakit.
Rumah sakit tanpa melihat ukuran dan sumber daya
yang dimiliki harus mematuhi ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku
sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap pasien, keluarga, staf, dan
para pengunjung.
Fokus pada standar Manajemen
Fasilitas dan Keamanan ini meliputi:
a. Kepemimpinan
dan perencanaan;
b. Keselamatan;
c.
Keamanan;
d. Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3;
e.
Proteksi kebakaran;
f.
Peralatan medis;
g.
Sistim utilitas;
h. Penanganan
kedaruratan dan bencana;
i.
Konstruksi dan renovasi; dan
j.
Pelatihan.
a. Kepemimpinan dan Perencanaan
1) Standar MFK 1
Rumah sakit mematuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bangunan, prasarana dan
peralatan medis rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan MFK 1
Rumah sakit harus mematuhi peraturan
perundangundangan termasuk mengenai bangunan dan proteksi kebakaran. Rumah
sakit selalu menjaga fasilitas fisik dan lingkungan yang dimiliki dengan
melakukan inspeksi fasilitas secara berkala dan secara proaktif mengumpulkan
data serta membuat strategi untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kualitas
fasilitas keselamatan, kesehatan dan keamanan lingkungan pelayanan dan
perawatan serta seluruh area rumah sakit.
Pimpinan rumah sakit dan penanggung jawab fasilitas
keselamatan rumah sakit bertanggung jawab untuk mengetahui dan menerapkan hukum
dan peraturan perundangan, keselamatan gedung dan kebakaran, dan persyaratan
lainnya, seperti perizinan dan lisensi/sertifkat yang masih berlaku untuk
fasilitas rumah sakit dan mendokumentasikan semua buktinya secara lengkap. Perencanaan dan penganggaran untuk
penggantian atau peningkatan fasilitas, sistem, dan peralatan yang diperlukan
untuk memenuhi persyaratan yang berlaku atau seperti yang telah diidentifikasi
berdasarkan pemantauan atau untuk memenuhi persyaratan yang berlaku dapat
memberikan bukti pemeliharaan dan perbaikan.
3) Elemen Penilaian MFK 1
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi terkait
Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) yang meliputi poin a) – j) pada
gambaran umum.
b) Rumah
sakit telah melengkapi izin-izin dan sertifikasi yang masih berlaku sesuai
persyaratan peraturan perundang-undangan.
c)
Pimpinan rumah
sakit memenuhi perencanaan anggaran
dan sumber daya serta memastikan rumah sakit memenuhi persyaratan
perundang-undangan.
4) Standar MFK 2
Rumah Sakit menetapkan penanggungjawab yang
kompeten untuk mengawasi penerapan manajemen fasilitas dan keselamatan di rumah
sakit.
5) Maksud dan tujuan MFK 2
Untuk dapat mengelola fasilitas dan keselamatan di
rumah sakit secara efektif, maka perlu di tetapkan penanggung jawab manajemen
fasilitas dan keselamatan (MFK) yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur.
Penanggung jawab Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) dapat berbentuk
unit, tim, maupun komite sesuai dengan kondisi dan kompleksitas rumah
sakit.
Penanggung jawab MFK harus memiliki kompetensi yang
dibutuhkan serta berpengalaman untuk dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) seperti kesehatan dan keselamatan
kerja, kesehatan lingkungan, farmasi, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan
utilitas, dan unsur-unsur terkait lainnya sesuai kebutuhan rumah sakit.
Ruang lingkup tugas dan tanggung jawab penanggung
jawab MFK meliputi:
a)
Keselamatan: meliputi bangunan, prasarana,
fasilitas, area konstruksi, lahan, dan peralatan rumah sakit tidak menimbulkan
bahaya atau risiko bagi pasien, staf, atau pengunjung.
b) Keamanan:
perlindungan dari kehilangan, kerusakan, gangguan, atau akses atau penggunaan
yang tidak sah.
c)
Bahan dan limbah berbahaya: Pengelolaan B3
termasuk penggunaan radioaktif serta bahan berbahaya lainnya dikontrol, dan
limbah berbahaya dibuang dengan aman.
d) Proteksi
kebakaran: Melakukan penilaian risiko yang berkelanjutan untuk meningkatkan
perlindungan seluruh aset, properti dan penghuni dari kebakaran dan asap.
e)
Penanganan kedaruratan dan bencana: Risiko
diidentifikasi dan respons terhadap epidemi, bencana, dan keadaan darurat
direncanakan dan efektif, termasuk evaluasi integritas struktural dan non
struktural lingkungan pelayanan dan perawatan pasien.
f)
Peralatan medis: Peralatan dipilih, dipelihara,
dan digunakan dengan cara yang aman dan benar untuk mengurangi risiko.
g)
Sistem utilitas: Listrik, air, gas medik dan
sistem utilitas lainnya dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan
pengoperasian.
h) Konstruksi
dan renovasi: Risiko terhadap pasien, staf, dan pengunjung diidentifikasi dan
dinilai selama konstruksi, renovasi, pembongkaran, dan aktivitas pemeliharaan
lainnya.
i)
Pelatihan: Seluruh staf di rumah sakit dan para tenant/penyewa lahan dilatih dan
memiliki pengetahuan tentang K3, termasuk penanggulangan kebakaran.
j)
Pengawasan pada para tenant/penyewa lahan yang melakukan kegiatan di dalam area
lingkungan rumah sakit.
Penanggung jawab MFK menyusun Program Manajemen
fasilitas dan keselamatan rumah sakit meliputi a) – j) setiap tahun. Dalam
program tersebut termasuk melakukan pengkajian dan penanganan risiko pada
keselamatan, keamanan, pengelolaan B3, proteksi kebakaran, penanganan
kedaruratan dan bencana, peralatan medis dan sistim utilitas.
Pengkajian dan penanganan risiko dimasukkan dalam
daftar risiko manajemen fasilitas keselamatan (MFK). Berdasarkan daftar risiko
tersebut, dibuat profil risiko MFK yang akan menjadi prioritas dalam pemantauan
risiko di fasilitas dan lingkungan rumah sakit. Pengkajian, penanganan dan
pemantauan risiko MFK tersebut akan diintegrasikan ke dalam daftar risiko rumah
sakit untuk penyusunan program manajemen risiko rumah sakit. Penanggung jawab
MFK melakukan pengawasan terhadap manajemen fasilitas dan keselamatan yang
meliputi:
a)
Pengawasan semua aspek program manajemen
fasilitas dan keselamatan seperti pengembangan rencana dan memberikan
rekomendasi untuk ruangan, peralatan medis, teknologi, dan sumber daya;
b) Pengawasan
pelaksanaan program secara konsisten dan berkesinambungan;
c)
Pelaksanaan edukasi staf;
d) Pengawasan
pelaksanaan pengujian/testing dan pemantauan program;
e)
Penilaian ulang secara berkala dan merevisi
program manajemen risiko fasilitas dan lingkungan jika dibutuhkan;
f)
Penyerahan laporan tahunan kepada direktur rumah
sakit;
g)
Pengorganisasian dan pengelolaan laporan
kejadian/insiden dan melakukan analisis, dan upaya perbaikan.
6) Elemen Penilaian MFK 2
a)
Rumah sakit telah menetapkan Penanggungjawab MFK
yang memiliki kompetensi dan pengalaman dalam melakukan pengelolaan pada
fasilitas dan keselamatan di lingkungan rumah sakit.
b) Penanggungjawab
MFK telah menyusun Program Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) yang
meliputi poin a) – j) dalam maksud dan tujuan.
c)
Penanggungjawab MFK telah melakukan pengawasan
dan evaluasi Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) setiap tahunnya meliputi
poin a) – g) dalam maksud dan tujuan serta melakukan penyesuaian program
apabila diperlukan.
d) Penerapan
program Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada tenant/penyewa lahan
yang berada di lingkungan rumah sakit meliputi poin a) – e) dalam maksud dan
tujuan.
b. Keselamatan
1) Standar MFK 3
Rumah sakit menerapkan Program Manajemen Fasilitas
dan Keselamatan (MFK) terkait keselamatan di rumah sakit.
2) Maksud dan tujuan MFK 3
Keselamatan di dalam standar ini adalah memberikan
jaminan bahwa bangunan, prasarana, lingkungan, properti, teknologi medis dan
informasi, peralatan, dan sistem tidak menimbulkan risiko fisik bagi pasien,
keluarga, staf, dan pengunjung.
Program keselamatan dan Kesehatan kerja staf
diintegrasikan dalam Program Manajemen fasilitas dan keselamatan terkait
keselamatan sesuai ruang lingkup keselamatan yang telah dijelaskan diatas.
Pencegahan dan perencanaan penting untuk
menciptakan fasilitas perawatan pasien termasuk area kerja staf yang aman.
Perencanaan yang efektif membutuhkan kesadaran rumah sakit terhadap semua
risiko yang ada di fasilitas. Tujuannya adalah untuk mencegah kecelakaan dan
cedera serta untuk menjaga kondisi yang aman, dan menjamin keselamatan bagi
pasien, staf, dan lainnya, seperti keluarga, kontraktor, vendor, relawan,
pengunjung, peserta pelatihan, dan peserta didik.
Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan program
keselamatan serta mendokumentasikan hasil inspeksi fisik yang dilakukan. Penilaian
risiko mempertimbangkan tinjauan proses dan evaluasi layanan baru dan terencana
yang dapat menimbulkan risiko keselamatan. Penting untuk melibatkan tim
multidisiplin saat melakukan inspeksi keselamatan di rumah sakit.
Rumah sakit menerapkan proses untuk mengelola dan
memantau keselamatan (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas
Keselamatan/MFK pada standar MFK 1 yang meliputi:
a)
Pengelolaan risiko keselamatan di lingkungan
rumah sakit secara komprehensif
b) Penyediaan
fasilitas pendukung yang aman untuk mencegah kecelakaan dan cedera, penyakit
akibat kerja, mengurangi bahaya dan risiko, serta mempertahankan kondisi aman
bagi pasien, keluarga, staf, dan pengunjung; dan
c)
Pemeriksaan fasilitas dan lingkungan (ronde
fasilitas) secara berkala dan dilaporkan sebagai dasar perencanaan anggaran
untuk perbaikan, penggantian atau “upgrading”.
3) Elemen Penilaian MFK 3
a)
Rumah sakit menerapkan proses pengelolaan
keselamatan rumah sakit meliputi poin a) - c) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah mengintegrasikan program Kesehatan dan keselamatan kerja staf ke
dalam program manajemen fasilitas dan keselamatan.
c)
Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko
secara proaktif terkait keselamatan di rumah sakit setiap tahun yang
didokumentasikan dalam daftar risiko/risk
register.
d) Rumah
sakit telah melakukan pemantauan risiko keselamatan dan dilaporkan setiap 6
(enam) bulan kepada piminan rumah sakit.
c. Keamanan
1) Standard MFK 4
Rumah sakit menerapkan Program Manajemen Fasilitas
dan Keselamatan (MFK) terkait keamanan di rumah sakit.
2) Maksud dan tujuan MFK 4
Keamanan adalah perlindungan terhadap properti
milik rumah sakit, pasien, staf, keluarga, dan pengunjung dari bahaya
kehilangan, kerusakan, atau pengrusakan oleh orang yang tidak berwenang. Contoh
kerentanan dan ancaman yang terkait dengan risiko keamanan termasuk kekerasan
di tempat kerja, penculikan bayi, pencurian, dan akses tidak terkunci/tidak
aman ke area terlarang di rumah sakit. Insiden keamanan dapat disebabkan oleh
individu baik dari luar maupun dalam rumah sakit.
Area yang berisiko seperti unit gawat darurat,
ruangan neonatus/bayi, ruang operasi, farmasi, ruang rekam medik, ruangan IT
harus diamankan dan dipantau. Anak-anak, orang dewasa, lanjut usia, dan pasien
rentan yang tidak dapat melindungi diri mereka sendiri atau memberi isyarat
untuk bantuan harus dilindungi dari bahaya. Area terpencil atau terisolasi dari
fasilitas dan lingkungan misalnya tempat parkir, mungkin memerlukan kamera
keamanan (CCTV).
Rumah sakit menerapkan proses untuk mengelola dan
memantau keamanan (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas dan
Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 yang meliputi:
a)
Menjamin lingkungan yang aman dengan memberikan
identitas/tanda pengenal (badge nama
sementara atau tetap) pada pasien, staf, pekerja kontrak, tenant/penyewa lahan,
keluarga (penunggu pasien), atau pengunjung (pengunjung di luar jam besuk dan
tamu rumah sakit) sesuai dengan regulasi rumah sakit;
b) Melakukan
pemeriksaan dan pemantauan keamanan fasilitas dan lingkungan secara berkala dan
membuat tindak lanjut perbaikan;
c)
Pemantauan pada daerah berisiko keamanan sesuai
penilaian risiko di rumah sakit. Pemantauan dapat dilakukan dengan penempatan
petugas keamanan (sekuriti) dan atau memasang kamera sistem CCTV yang dapat
dipantau oleh sekuriti;
d) Melindungi
semua individu yang berada di lingkungan rumah sakit terhadap kekerasan,
kejahatan dan ancaman; dan
e)
Menghindari terjadinya kehilangan, kerusakan,
atau pengrusakan barang milik pribadi maupun rumah sakit.
3) Elemen Penilaian MFK 4
a)
Rumah sakit
menerapkan proses pengelolaan
keamanan dilingkungan rumah sakit meliputi poin a) -
e) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait keamanan di rumah
sakit setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.
c)
Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko
secara proaktif terkait keselamatan di rumah sakit. (Daftar risiko/risk register).
d) Rumah
sakit telah melakukan pemantauan risiko keamanan dan dilaporkan setiap 6 (enam)
bulan kepada Direktur rumah sakit.
d. Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah
B3
1) Standar MFK 5
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah B3 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Maksud dan tujuan MFK 5
Rumah sakit mengidentifikasi, menganalisis dan
mengendalikan seluruh bahan berbahaya dan beracun dan limbahnya di rumah sakit
sesuai dengan standar keamanan dan peraturan perundang-undangan.
Rumah sakit melakukan identifikasi menyeluruh
untuk semua area di mana bahan berbahaya berada dan harus mencakup informasi
tentang jenis setiap bahan berbahaya yang disimpan, jumlah (misalnya, perkiraan
atau rata-rata) dan lokasinya di rumah sakit. Dokumentasi ini juga harus
membahas jumlah maksimum yang diperbolehkan untuk menyimpan bahan berbahaya di
area kerja (maximum quantity on hand).
Misalnya, jika bahan sangat mudah terbakar atau beracun, ada batasan jumlah
bahan yang dapat disimpan di area kerja. Inventarisasi bahan berbahaya dibuat
dan diperbarui, setiap tahun, untuk memantau perubahan bahan berbahaya yang
digunakan dan disimpan.
Kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai
WHO meliputi:
a)
Infeksius;
b) Patologis
dan anatomi;
c)
Farmasi;
d) Bahan
kimia;
e)
Logam berat;
f)
Kontainer bertekanan;
g)
Benda tajam;
h) Genotoksik/sitotoksik;
dan
i)
Radioaktif.
Proses
pengelolaan bahan berbahaya
beracun dan
limbahnya di rumah sakit (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas dan
Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 meliputi:
a)
Inventarisasi B3 serta limbahnya yang meliputi
jenis, jumlah, simbol dan lokasi;
b) Penanganan,
penyimpanan, dan penggunaan B3 serta limbahnya;
c)
Penggunaan alat pelindung diri (APD) dan
prosedur penggunaan, prosedur bila terjadi tumpahan, atau paparan/pajanan;
d) Pelatihan
yang dibutuhkan oleh staf yang menangani
B3;
e)
Pemberian label/rambu-rambu yang tepat pada B3
serta limbahnya;
f)
Pelaporan dan investigasi dari tumpahan,
eksposur
(terpapar), dan insiden lainnya;
g)
Dokumentasi, termasuk izin, lisensi, atau persyaratan
peraturan lainnya; dan
h) Pengadaan/pembelian
B3 dan pemasok (supplier) wajib melampirkan Lembar Data Keselamatan. Informasi
yang tercantum di lembar data keselamatan diedukasi kepada staf rumah sakit,
terutama kepada staf terdapat penyimpanan B3 di unitnya.
Informasi mengenai prosedur penanganan bahan
berbahaya dan limbah dengan cara yang aman harus segera tersedia setiap saat
termasuk prosedur penanganan tumpahan.
Jika terjadi tumpahan bahan berbahaya, rumah sakit memiliki prosedur
untuk menanggapi dan mengelola tumpahan dan paparan yang termasuk menyediakan
kit tumpahan untuk jenis dan ukuran potensi tumpahan serta proses pelaporan
tumpahan dan paparan.
Rumah sakit menerapkan prosedur untuk menanggapi
paparan bahan berbahaya, termasuk pertolongan pertama seperti akses ke tempat
pencuci mata (eye washer) mungkin
diperlukan untuk pembilasan segera dan terus menerus untuk mencegah atau
meminimalkan cedera. Rumah sakit harus melakukan penilaian risiko untuk
mengidentifikasi di mana saja lokasi pencuci mata diperlukan, dengan
mempertimbangkan sifat fisik bahan kimia berbahaya yang digunakan, bagaimana
bahan kimia ini digunakan oleh staf untuk melakukan aktivitas kerja mereka, dan
penggunaan peralatan pelindung diri oleh staf. Alternatif untuk lokasi pencuci
mata sesuai pada jenis risiko dan potensi eksposur. Rumah sakit harus
memastikan pemeliharaan pencuci mata yang tepat, termasuk pembersihan mingguan
dan pemeliharaan preventif.
3) Elemen Penilaian MFK 5
a)
Rumah sakit telah melaksanakan proses
pengelolaan B3 meliputi poin a) – h) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait pengelolaan B3 di
rumah sakit setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.
c)
Di area tertentu yang rawan terhadap pajanan
telah dilengkapi dengan eye washer/body
washer yang berfungsi dan terpelihara baik dan tersedia kit tumpahan/spill kit sesuai ketentuan.
d) Staf
dapat menjelaskan dan atau memperagakan penanganan tumpahan B3.
e)
Staf dapat menjelaskan dan atau memperagakan
tindakan, kewaspadaan, prosedur dan partisipasi dalam penyimpanan, penanganan
dan pembuangan limbah B3.
4) Standar MFK 5.1
Rumah sakit mempunyai sistem pengelolaan limbah B3
cair dan padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan MFK 5.1
Rumah sakit juga menetapkan jenis limbah berbahaya
yang dihasilkan oleh rumah sakit dan mengidentifikasi pembuangannya (misalnya,
kantong/tempat sampah yang diberi kode warna dan diberi label).
Sistem penyimpanan dan pengelolaan limbah B3
mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Untuk pembuangan sementara limbah B-3, rumah sakit
agar memenuhi persyaratan fasilitas pembuangan sementara limbah B-3 sebagai
berikut:
a)
Lantai kedap (impermeable), berlantai beton atau semen dengan sistem drainase
yang baik, serta mudah dibersihkan dan dilakukan desinfeksi;
b) Tersedia
sumber air atau kran air untuk pembersihan yang dilengkapi dengan sabun cair;
c)
Mudah diakses untuk penyimpanan limbah;
d) Dapat
dikunci untuk menghindari akses oleh pihak yang tidak berkepentingan;
e)
Mudah diakses oleh kendaraan yang akan
mengumpulkan atau mengangkut limbah;
f)
Terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin
kencang, banjir, dan faktor lain yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau
bencana kerja;
g)
Terlindung dari hewan: kucing, serangga, burung,
dan lain-lainnya;
h) Dilengkapi
dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik serta memadai;
i)
Berjarak jauh dari tempat penyimpanan atau
penyiapan makanan;
j)
Peralatan pembersihan, alat pelindung diri/APD
(antara lain masker, sarung tangan, penutup kepala, goggle, sepatu boot, serta pakaian pelindung) dan wadah atau
kantong limbah harus diletakkan sedekatdekatnya dengan lokasi fasilitas
penyimpanan; dan
k) Dinding,
lantai, dan juga langit-langit fasilitas penyimpanan senantiasa dalam keadaan bersih termasuk pembersihan lantai setiap
hari.
Untuk limbah berwujud cair dapat dilakukan di
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Tujuan pengolahan limbah medis adalah mengubah
karakteristik biologis dan/atau kimia limbah sehingga potensi bahayanya
terhadap manusia berkurang atau tidak ada.
Bila rumah sakit mengolah limbah B-3 sendiri maka
wajib mempunyai izin mengolah limbah B-3. Namun, bila pengolahan B-3
dilaksanakan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut wajib mempunyai izin
sebagai pengolah B-3. Pengangkut/transporter dan pengolah limbah B3 dapat
dilakukan oleh institusi yang berbeda.
6) Elemen Penilaian MFK 5.1
a)
Rumah sakit melakukan penyimpanan limbah B3
sesuai poin a) – k) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit mengolah limbah B3 padat secara mandiri atau menggunakan pihak ketiga
yang berizin termasuk untuk pemusnahan limbah B3 cair yang tidak bisa dibuang
ke IPAL.
c)
Rumah sakit mengelola limbah B3 cair sesuai
peraturan perundang-undangan.
e. Proteksi Kebakaran
1) Standar MFK 6
Rumah sakit menerapkan proses untuk pencegahan,
penanggulangan bahaya kebakaran dan penyediaan sarana jalan keluar yang aman
dari fasilitas sebagai respons terhadap kebakaran dan keadaan darurat lainnya.
2) Maksud dan tujuan MFK 6
Rumah sakit harus waspada terhadap risiko
kebakaran, karena kebakaran merupakan risiko yang selalu ada dalam lingkungan
perawatan dan pelayanan kesehatan sehingga setiap rumah sakit perlu memastikan
agar semua yang ada di rumah sakit aman dan selamat apabila terjadi kebakaran
termasuk bahaya dari asap.
Proteksi kebakaran juga termasuk keadaan darurat
nonkebakaran misalnya kebocoran gas beracun yang dapat mengancam sehingga perlu
dievakuasi. Rumah sakit perlu melakukan penilaian terus menerus untuk memenuhi
regulasi keamanan dan proteksi kebakaran sehingga secara efektif dapat
mengidentifikasi, analisis, pengendalian risiko sehingga dapat dan meminimalkan
risiko. Pengkajian risiko kebakaran Fire
Safety Risk Assessment (FSRA) merupakan salah satu upaya untuk menilai
risiko keselamatan kebakaran.
Rumah sakit melakukan pengkajian risiko kebakaran
meliputi:
a)
Pemisah/kompartemen bangunan untuk mengisolasi
asap/api.
b) Laundry/binatu, ruang linen, area
berbahaya termasuk ruang di atas plafon.
c)
Tempat pengelolaan sampah.
d) Pintu
keluar darurat kebakaran (emergency
exit).
e)
Dapur termasuk
peralatan memasak penghasil
minyak.
f)
Sistem dan peralatan listrik darurat/alternatif
serta jalur kabel dan instalasi listrik.
g)
Penyimpanan dan penanganan bahan yang berpotensi
mudah terbakar (misalnya, cairan dan gas mudah terbakar, gas medis yang
mengoksidasi seperti oksigen dan dinitrogen oksida), ruang penyimpanan oksigen
dan komponennya dan vakum medis.
h) Prosedur
dan tindakan untuk mencegah dan mengelola kebakaran akibat pembedahan.
i)
Bahaya kebakaran terkait dengan proyek
konstruksi, renovasi, atau pembongkaran.
Berdasarkan hasil pengkajian risiko kebakaran,
rumah sakit menerapkan proses proteksi kebakaran (yang merupakan bagian dari
Manajemen Fasilitas dan Keamanan (MFK) pada standar MFK 1 untuk:
a)
Pencegahan kebakaran melalui pengurangan risiko
seperti penyimpanan dan penanganan bahan-bahan mudah terbakar secara aman,
termasuk gas-gas medis yang mudah terbakar seperti oksigen, penggunaan bahan
yang non combustible, bahan yang waterbase dan lainnya yang dapat
mengurangi potensi bahaya kebakaran;
b) Pengendalian
potensi bahaya dan risiko kebakaran yang terkait dengan konstruksi apapun di
atau yang berdekatan dengan bangunan yang ditempati pasien;
c)
Penyediaan rambu dan jalan keluar (evakuasi)
yang aman serta tidak terhalang apabila terjadi kebakaran;
d) Penyediaan
sistem peringatan dini secara pasif meliputi, detektor asap (smoke detector), detektor panas (heat detector), alarm kebakaran, dan
lainlainnya;
e)
Penyediaan fasilitas pemadaman api secara aktif
meliputi APAR, hidran, sistem sprinkler, dan lainlainnya; dan
f)
Sistem pemisahan (pengisolasian) dan
kompartemenisasi pengendalian api dan asap. Risiko dapat mencakup peralatan,
sistem, atau fitur lain untuk proteksi kebakaran yang rusak, terhalang, tidak
berfungsi, atau perlu disingkirkan. Risiko juga dapat diidentifikasi dari
proyek konstruksi, kondisi penyimpanan yang berbahaya, kerusakan peralatan dan
sistem, atau pemeliharaan yang diperlukan yang berdampak pada sistem
keselamatan kebakaran.
Rumah sakit harus memastikan bahwa semua yang di
dalam faslitas dan lingkungannya tetap aman jika terjadi kebakaran, asap, dan
keadaan darurat non-kebakaran.
Struktur dan desain fasilitas perawatan kesehatan
dapat membantu mencegah, mendeteksi, dan memadamkan kebakaran serta menyediakan
jalan keluar yang aman dari fasilitas tersebut.
3) Elemen Penilaian MFK 6
a)
Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko
kebakaran secara proaktif meliputi poin a) – i) dalam maksud dan tujuan setiap
tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.
b) Rumah
sakit telah menerapkan proses proteksi kebakaran yang meliputi poin a) – f)
pada maksud dan tujuan.
c)
Rumah sakit menetapkan kebijakan dan melakukan
pemantauan larangan merokok di seluruh area rumah sakit.
d) Rumah
sakit telah melakukan pengkajian risiko proteksi kebakaran.
e)
Rumah sakit memastikan semua staf memahami
proses proteksi kebakaran termasuk melakukan pelatihan penggunaan APAR, hidran
dan simulasi kebakaran setiap tahun.
f)
Peralatan pemadaman kebakaran aktif dan sistem
peringatan dini serta proteksi kebakaran secara pasif telah diinventarisasi,
diperiksa, di ujicoba dan dipelihara sesuai dengan peraturan perundangundangan
dan didokumentasikan.
f. Peralatan Medis
1) Standar MFK 7
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses
pengelolaan peralatan medik.
2) Maksud dan tujuan MFK 7
Untuk menjamin peralatan medis dapat digunakan dan
layak pakai maka rumah sakit perlu melakukan pengelolaan peralatan medis dengan
baik dan sesuai standar serta peraturan perundangan yang berlaku.
Proses pengelolaan peralatan medis (yang merupakan
bagian dari progam Manajemen Fasilitas dan Keselamatan/MFK pada standar MFK 1
meliputi:
a)
Identifikasi dan penilaian kebutuhan alat medik
dan uji fungsi sesuai ketentuan penerimaan alat medik baru.
b) Inventarisasi
seluruh peralatan medis yang dimiliki oleh rumah sakit dan peralatan medis
kerja sama operasional (KSO) milik pihak ketiga; serta peralatan medik yang
dimiliki oleh staf rumah sakit jika ada Inspeksi peralatan medis sebelum
digunakan.
c)
Pemeriksaan peralatan medis sesuai dengan
penggunaan dan ketentuan pabrik secara berkala.
d) Pengujian
yang dilakukan terhadap alat medis untuk memperoleh kepastian tidak adanya
bahaya yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan alat.
e)
Rumah sakit melakukan pemeliharaan preventif dan
kalibrasi, dan seluruh prosesnya didokumentasikan. Rumah Sakit menetapkan staf yang kompeten
untuk melaksanakan kegiatan ini. Hasil pemeriksaan (inspeksi), uji fungsi, dan
pemeliharaan serta kalibrasi didokumentasikan. Hal ini menjadi dasar untuk
menyusun perencanaan dan pengajuan anggaran untuk penggantian, perbaikan,
peningkatan (upgrade), dan perubahan
lain.
Rumah sakit memiliki sistem untuk memantau dan
bertindak atas pemberitahuan bahaya peralatan medis, penarikan kembali, insiden
yang dapat dilaporkan, masalah, dan kegagalan yang dikirimkan oleh produsen,
pemasok, atau badan pengatur. Rumah sakit harus mengidentifikasi dan mematuhi
hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pelaporan insiden terkait peralatan
medis. Rumah sakit melakukan analisis akar masalah dalam menanggapi setiap
kejadian sentinel.
Rumah sakit mempunyai proses identifikasi,
penarikan (recall) dan pengembalian,
atau pemusnahan produk dan peralatan medis yang ditarik kembali oleh pabrik
atau pemasok. Ada kebijakan atau prosedur yang mengatur penggunaan setiap
produk atau peralatan yang ditarik kembali (under
recall).
3) Elemen Penilaian MFK 7
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses pengelolaan
peralatan medik yang digunakan di rumah sakit meliputi poin a) - e) pada maksud
dan tujuan.
b) Rumah
sakit menetapkan penanggung jawab yang kompeten dalam pengelolaan dan
pengawasan peralatan medik di rumah sakit.
c)
Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko
peralatan medik secara proaktif setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar
risiko/risk register.
d) Terdapat
bukti perbaikan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dan kompeten.
e)
Rumah sakit
telah menerapkan
pemantauan, pemberitahuan
kerusakan (malfungsi) dan penarikan (recall) peralatan medis yang membahayakan
pasien.
f)
Rumah sakit telah melaporkan insiden keselamatan
pasien terkait peralatan medis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g. Sistem Utilitas
1) Standar MFK 8
Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses
untuk memastikan semua sistem utilitas (sistem pendukung) berfungsi efisien dan
efektif yang meliputi pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan sistem utilitas.
2) Maksud dan Tujuan MFK 8
Definisi utilitas adalah sistem dan peralatan untuk
mendukung layanan penting bagi keselamatan pasien. Sistem utilitas disebut juga
sistem penunjang yang mencakup jaringan listrik, air, ventilasi dan aliran
udara, gas medik dan uap panas. Sistem utilitas yang berfungsi efektif akan
menunjang lingkungan asuhan pasien yang aman. Selain sistim utilitas perlu juga
dilakukan pengelolaan komponen kritikal terhadap listrik, air dan gas medis
misalnya perpipaan, saklar, relay/penyambung,
dan lain-lainnya.
Asuhan pasien rutin dan darurat berjalan selama 24
jam terus menerus, setiap hari, dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu.
Jadi, kesinambungan fungsi utilitas merupakan hal esensial untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Termasuk listrik dan air harus tersedia selama 24 jam terus
menerus, setiap hari, dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu.
Pengelolaan sistim utilitas yang baik dapat
mengurangi potensi risiko pada pasien maupun staf. Sebagai contoh, kontaminasi
berasal dari sampah di area persiapan makanan, kurangnya ventilasi di laboratorium
klinik, tabung oksigen yang disimpan tidak terjaga dengan baik, kabel listrik
bergelantungan, serta dapat menimbulkan bahaya. Untuk menghindari kejadian ini
maka rumah sakit harus melakukan pemeriksaan berkala dan pemeliharan preventif.
Rumah sakit perlu menerapkan proses pengelolaan
sistem utilitas dan komponen kritikal (yang merupakan bagian dari progam
Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 sekurang-
kurangnya meliputi:
a)
Ketersediaan air dan listrik 24 jam setiap hari
dan dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu secara terus menerus;
b) Membuat
daftar inventaris komponen-komponen sistem utilitas, memetakan
pendistribusiannya, dan melakukan update secara berkala;
c)
Pemeriksaan, pemeliharaan, serta perbaikan semua
komponen utilitas yang ada di daftar inventaris;
d) Jadwal
pemeriksaan, uji fungsi, dan pemeliharaan semua sistem utilitas berdasar atas
kriteria seperti rekomendasi dari pabrik, tingkat risiko, dan pengalaman rumah
sakit; dan
e)
Pelabelan pada tuas-tuas kontrol sistem utilitas
untuk membantu pemadaman darurat secara keseluruhan atau sebagian saat terjadi
kebakaran.
3) Elemen Penilaian MFK 8
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses pengelolaan
sistem utilitas yang meliputi poin a) - e) dalam maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah melakukan pengkajian risiko sistim utilitas dan komponen
kritikalnya secara proaktif setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar
risiko/risk register.
4) Standar MFK 8.1
Dilakukan pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan
sistem utilitas.
5) Maksud dan Tujuan MFK 8.1
Rumah sakit harus mempunyai daftar inventaris
lengkap sistem utilitas dan menentukan komponen yang berdampak pada bantuan
hidup, pengendalian infeksi, pendukung lingkungan, dan komunikasi. Proses
menajemen utilitas menetapkan pemeliharaan utilitas untuk memastikan utilitas
pokok/penting seperti air, listrik, sampah, ventilasi, gas medik, lift agar
dijaga, diperiksa berkala, dipelihara, dan diperbaiki.
6) Elemen Penilaian MFK 8.1
a)
Rumah sakit menerapkan proses inventarisasi
sistim utilitas dan komponen kritikalnya setiap tahun.
b) Sistem
utilitas dan komponen kritikalnya telah diinspeksi secara berkala berdasarkan
ketentuan rumah sakit.
c)
Sistem utilitas dan komponen kritikalnya diuji
secara berkala berdasar atas kriteria yang sudah ditetapkan.
d) Sistem
utilitas dan komponen kritikalnya dipelihara berdasar atas kriteria yang sudah
ditetapkan.
e)
Sistem utilitas dan komponen kritikalnya
diperbaiki bila diperlukan.
7) Standar MFK 8.2
Sistem utilitas rumah sakit menjamin tersedianya
air bersih dan listrik sepanjang waktu serta menyediakan sumber
cadangan/alternatif persediaan air dan tenaga listrik jika terjadi terputusnya
sistem, kontaminasi, atau kegagalan.
8) Maksud dan Tujuan MFK 8.2
Pelayanan pasien dilakukan selama 24 jam terus
menerus, setiap hari dalam seminggu di rumah sakit. Rumah sakit mempunyai
kebutuhan sistem utilitas yang berbeda-beda bergantung pada misi rumah sakit,
kebutuhan pasien, dan sumber daya. Walaupun begitu, pasokan sumber air bersih
dan listrik terus menerus sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pasien. Rumah
sakit harus melindungi pasien dan staf dalam keadaan darurat seperti jika
terjadi kegagalan sistem, pemutusan, dan kontaminasi.
Sistem tenaga listrik darurat dibutuhkan oleh semua
rumah sakit yang ingin memberikan asuhan kepada pasien tanpa putus dalam
keadaan darurat. Sistem darurat ini memberikan cukup tenaga listrik untuk
mempertahankan fungsi yang esensial dalam keadaan darurat dan juga menurunkan
risiko terkait terjadi kegagalan. Tenaga listrik cadangan dan darurat harus
dites sesuai dengan rencana yang dapat membuktikan beban tenaga listrik memang
seperti yang dibutuhkan. Perbaikan dilakukan jika dibutuhkan seperti menambah
kapasitas listrik di area dengan peralatan baru.
Mutu air dapat berubah mendadak karena banyak
sebab, tetapi sebagian besar karena terjadi di luar rumah sakit seperti ada
kebocoran di jalur suplai ke rumah sakit. Jika terjadi suplai air ke rumah
sakit terputus maka persediaan air bersih darurat harus tersedia segera.
Untuk mempersiapkan diri terhadap keadaan darurat
seperti ini, rumah sakit agar mempunyai proses meliputi:
a)
Mengidentifikasi peralatan, sistem, serta area
yang memiliki risiko paling tinggi terhadap pasien dan staf (sebagai contoh,
rumah sakit mengidentifikasi area yang membutuhkan penerangan, pendinginan
(lemari es), bantuan hidup/ventilator, serta air bersih untuk membersihkan dan
sterilisasi alat);
b) Menyediakan
air bersih dan listrik 24 jam setiap hari dan 7 (tujuh) hari seminggu;
c)
Menguji ketersediaan serta kehandalan sumber
tenaga listrik dan air bersih darurat/pengganti/back-up;
d) Mendokumentasikan
hasil-hasil pengujian;
e)
Memastikan bahwa pengujian sumber
cadangan/alternatif air bersih dan listrik dilakukan setidaknya setiap 6 (enam)
bulan atau lebih sering jika dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan
di daerah, rekomendasi produsen, atau kondisi sumber listrik dan air. Kondisi
sumber listrik dan air yang mungkin dapat meningkatkan frekuensi pengujian
mencakup:
(1) Perbaikan
sistem air bersih yang terjadi berulangulang.
(2)
Sumber air bersih sering terkontaminasi.
(3)
Jaringan listrik yang tidak dapat diandalkan.
(4) Pemadaman
listrik yang tidak terduga dan berulang-ulang.
9) Elemen Penilaian MFK 8.2
a)
Rumah sakit mempunyai proses sistem utilitas
terhadap keadaan darurat yang meliputi poin a)-c) pada maksud dan
tujuan.
b) Air
bersih harus tersedia selama 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari
dalam seminggu.
c)
Listrik tersedia 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari
dalam seminggu.
d) Rumah
sakit mengidentifikasi area dan pelayanan yang berisiko paling tinggi bila
terjadi kegagalan listrik atau air bersih terkontaminasi atau terganggu dan
melakukan penanganan untuk mengurangi risiko.
e)
Rumah sakit mempunyai sumber listrik dan air
bersih cadangan dalam keadaan darurat/emergensi.
10) Standar MFK 8.2.1
Rumah sakit melakukan uji coba/uji beban sumber
listrik dan sumber air cadangan/alternatif.
11) Maksud dan Tujuan MFK 8.2.1
Rumah sakit melakukan pengkajian risiko dan
meminimalisasi risiko kegagalan sistem utilitas di area-area berisiko terutama
area pelayanan pasien.
Rumah sakit merencanakan tenaga listrik cadangan
darurat (dengan menyiapkan genset) dan penyediaan sumber air bersih darurat
untuk area-area yang membutuhkan. Untuk memastikan kapasitas beban yang dapat
dicapai oleh unit genset apakah benar-benar mampu mencapai beban tertinggi maka
pada waktu pembelian unit genset, dilakukan test
loading dengan menggunakan alat yang bernama dummy load.
Selain itu, rumah sakit melaksanakan uji coba
sumber listrik cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan sekali atau lebih
sering bila diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau oleh kondisi
sumber listrik. Jika sistem listrik darurat membutuhkan sumber bahan bakar maka
jumlah tempat penyimpanan bahan bakar perlu dipertimbangkan. Rumah sakit dapat
menentukan jumlah bahan bakar yang disimpan, kecuali ada ketentuan lain dari
pihak berwenang.
12) Elemen Penilaian MFK 8.2.1
a)
Rumah sakit melaksanakan uji coba sumber air
bersih dan listrik cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan
sekali atau lebih sering bila diharuskan oleh peraturan perundang-undanganan
yang berlaku atau oleh kondisi sumber air.
b) Rumah
sakit mendokumentasi hasil uji coba sumber air bersih cadangan/alternatif
tersebut.
c)
Rumah sakit mendokumentasikan hasil uji sumber
listrik/cadangan/alternatif tersebut.
d) Rumah
sakit mempunyai tempat dan jumlah bahan bakar untuk sumber listrik
cadangan/alternatif yang mencukupi.
13) Standar MFK 8.3
Rumah sakit melakukan pemeriksaan air bersih dan
air limbah secara berkala sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
14) Maksud dan Tujuan MFK 8.3
Seperti dijelaskan di MFK 8.2 dan MFK 8.2.1, mutu
air rentan terhadap perobahan yang mendadak, termasuk perobahan di luar kontrol
rumah sakit. Mutu air juga kritikal di dalam proses asuhan klinik seperti pada
dialisis ginjal. Jadi, rumah sakit menetapkan proses monitor mutu air termasuk
tes (pemeriksaan) biologik air yang dipakai untuk dialisis ginjal. Tindakan
dilakukan jika mutu air ditemukan tidak aman.
Monitor dilakukan paling sedikit 3 (tiga) bulan
sekali atau lebih cepat mengikuti peraturan perundang-undangan, kondisi sumber
air, dan pengalaman yang lalu dengan masalah mutu air. Monitor dapat dilakukan
oleh perorangan yang ditetapkan rumah sakit seperti staf dari laboratorium
klinik, atau oleh dinas kesehatan, atau pemeriksa air pemerintah di luar rumah
sakit yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan seperti itu. Apakah diperiksa
oleh staf rumah sakit atau oleh otoritas di luar rumah sakit maka tanggung
jawab rumah sakit adalah memastikan pemeriksaan (tes) dilakukan lengkap dan
tercatat dalam dokumen.
Karena itu, rumah sakit perlu
mempunyai proses meliputi:
a)
Pelaksanaan pemantauan mutu air bersih paling
sedikit 1 (satu) tahun sekali. Untuk pemeriksaan kimia minimal setiap 6 (enam) bulan
atau lebih sering bergantung pada ketentuan peraturan perundangundangan,
kondisi sumber air, dan pengalaman sebelumnya dengan masalah mutu air. Hasil
pemeriksaan didokumentasikan;
b) Pemeriksaan
air limbah dilakukan setiap 3 (tiga) bulan atau lebih sering bergantung pada
peraturan perundang-undangan, kondisi sumber air, dan hasil pemeriksaan air
terakhir bermasalah. Hasil pemeriksaan didokumentasikan;
c)
Pemeriksaan mutu air yang digunakan untuk
dialisis ginjal setiap bulan untuk menilai pertumbuhan bakteri dan endotoksin.
Pemeriksaan tahunan untuk menilai kontaminasi zat kimia. Hasil pemeriksaan
didokumentasikan; dan
d) Melakukan
pemantauan hasil pemeriksaan air dan perbaikan bila diperlukan.
15) Elemen Penilaian MFK 8.3
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses
sekurangkurangnya meliputi poin a) - d) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi proses pada EP 1.
c)
Rumah sakit telah menindaklanjuti hasil
pemantauan dan evaluasi pada EP 2 dan didokumentasikan.
h. Penanganan Kedaruratan dan Bencana
1) Standar MFK 9
Rumah sakit menerapkan proses penanganan bencana
untuk menanggapi bencana yang berpotensi terjadi di wilayah rumah sakitnya.
2) Maksud dan Tujuan MFK 9
Keadaan darurat yang terjadi, epidemi, atau bencana
alam akan berdampak pada rumah sakit. Proses penanganan bencana dimulai dengan
mengidentifikasi jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah rumah sakit
berada dan dampaknya terhadap rumah sakit yang dapat berupa kerusakan fisik,
peningkatan jumlah pasien/korban yang signifikan, morbiditas dan mortalitas
tenaga Kesehatan, dan gangguan operasionalisasi rumah sakit. Untuk menanggapi
secara efektif maka rumah sakit perlu menetapkan proses pengelolaan bencana
yang merupakan bagian dari progam Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
pada standar MFK 1 meliputi:
a)
Menentukan jenis yang kemungkinan terjadi dan
konsekuensi bahaya, ancaman, dan kejadian;
b) Menentukan
integritas struktural dan non struktural di lingkungan pelayanan pasien yang
ada dan bagaimana bila terjadi bencana;
c)
Menentukan peran rumah sakit dalam
peristiwa/kejadian tersebut;
d) Menentukan
strategi komunikasi pada waktu kejadian;
e)
Mengelola sumber daya selama kejadian termasuk
sumber-sumber alternatif;
f)
Mengelola kegiatan klinis selama kejadian
termasuk tempat pelayanan alternatif pada waktu kejadian;
g)
Mengidentifikasi dan penetapan peran serta
tanggung jawab staf selama kejadian dan; dan
h) Proses
mengelola keadaan darurat ketika terjadi konflik antara tanggung jawab pribadi
staf dan tanggung jawab rumah sakit untuk tetap menyediakan pelayanan pasien
termasuk kesehatan mental dari staf. Rumah sakit yang aman adalah rumah sakit
yang fasilitas layanannya tetap dapat diakses dan berfungsi pada kapasitas
maksimum, serta dengan infrastruktur yang sama, sebelum, selama, dan segera
setelah dampak keadaan darurat dan bencana. Fungsi rumah sakit yang terus
berlanjut bergantung pada berbagai faktor termasuk keamanan dan keselamatan
bangunan, sistem dan peralatan pentingnya, ketersediaan persediaan, serta
kapasitas penanganan darurat dan bencana di rumah sakit terutama tanggapan dan
pemulihan dari bahaya atau kejadian yang mungkin terjadi.
Kunci pengembangan menuju keamanan dan keselamatan
di rumah sakit adalah melakukan analisis kerentanan terhadap kemungkinan
bencana (Hazard Vulnerability Analysis)
yang dilakukan rumah sakit setiap tahun.
3) Elemen Penilaian MFK 9
a)
Rumah sakit menerapkan proses pengelolaan
bencana yang meliputi poin a) – h) pada maksud dan tujuan di atas.
b) Rumah
sakit telah mengidentifikasi risiko bencana internal dan eksternal dalam
analisis kerentanan bahaya/Hazard
Vulnerability Analysis (HVA) secara
proaktif setiap tahun dan
diintegrasikan ke dalam daftar risiko/risk
register dan profil risiko.
c)
Rumah sakit membuat program pengelolaan bencana
di rumah sakit berdasarkan hasil analisis kerentanan bahaya/Hazard Vulnerability Analysis (HVA) setiap tahun.
d) Rumah
sakit telah melakukan simulasi penanggulangan bencana (disaster drill) minimal setahun sekali termasuk debriefing.
e)
Staf dapat menjelaskan dan atau memperagakan
prosedur dan peran mereka dalam penanganan
kedaruratan serta bencana internal
dan external
f)
Rumah sakit telah menyiapkan area dekontaminasi
sesuai ketentuan pada instalasi gawat darurat.
i. Konstruksi dan Renovasi
1) Standar MFK 10
Rumah sakit melakukan penilaian risiko
prakontruksi/Pre Contruction Risk
Assessment (PCRA) pada waktu merencanakan pembangunan baru (proyek
konstruksi), renovasi dan pembongkaran.
2) Maksud dan tujuan MFK 10
Kegiatan konstruksi, renovasi, pembongkaran, dan
pemeliharaan di rumah sakit dapat berdampak pada semua orang dalam area rumah
sakit. Namun, pasien mungkin menderita dampak terbesar. Misalnya, kebisingan
dan getaran yang terkait dengan aktivitas ini dapat memengaruhi tingkat
kenyamanan pasien, dan debu serta bau dapat mengubah kualitas udara, yang dapat
mengancam status pernapasan pasien. Risiko terhadap pasien, staf, pengunjung,
badan usaha independen, dan lainnya di rumah sakit akan bervariasi tergantung
pada sejauh mana aktivitas konstruksi, renovasi, pembongkaran, atau
pemeliharaan dan dampaknya terhadap perawatan pasien, infrastruktur, dan
utilitas.
Untuk menilai risiko yang terkait dengan
konstruksi, renovasi, atau proyek pembongkaran, atau aktivitas pemeliharaan
yang memengaruhi perawatan pasien maka rumah sakit melakukan koordinasi antar
satuan kerja terkait, termasuk, sesuai kebutuhan, perwakilan dari desain
proyek, pengelolaan proyek, teknik fasilitas, fasilitas keamanan/keselamatan,
pencegahan dan pengendalian infeksi, keselamatan kebakaran, rumah tangga,
layanan teknologi informasi, dan satuan kerja serta layanan klinis.
Penilaian risiko digunakan untuk mengevaluasi
risiko secara komprehensif untuk mengembangkan rencana dan menerapkan tindakan
pencegahan yang akan meminimalkan dampak proyek konstruksi terhadap kualitas,
keselamatan dan keamanan perawatan pasien.
Proses penilaian risiko konstruksi
meliputi:
a)
Kualitas udara;
b) Pencegahan
dan pengendalian infeksi;
c)
Utilitas;
d) Kebisingan;
e)
Getaran;
f)
Bahan dan limbah berbahaya;
g)
Keselamatan kebakaran;
h) Keamanan;
i)
Prosedur darurat, termasuk jalur/keluar
alternatif dan akses ke layanan darurat; dan
j)
Bahaya lain yang mempengaruhi perawatan,
pengobatan, dan layanan.
Selain itu, rumah sakit memastikan bahwa kepatuhan
kontraktor dipantau, ditegakkan, dan didokumentasikan. Sebagai bagian dari
penilaian risiko, risiko infeksi pasien dari konstruksi dievaluasi melalui
penilaian risiko pengendalian infeksi, juga dikenal sebagai ICRA.
Setiap ada kontruksi, renovasi dan demolisi harus
dilakukan penilaian risiko prakontruksi termasuk dengan rencana/pelaksanaan
pengurangan risiko dampak keselamatan serta keamanan bagi pasien, keluarga,
pengunjung, dan staf. Hal ini berdampak memerlukan biaya maka rumah sakit dan
pihak kontraktor juga perlu menyediakan anggaran untuk penerapan Pra Contruction Risk Assessment (PCRA)
dan Infection Control Risk Assessment
(ICRA).
3) Elemen Penilaian MFK 10
a)
Rumah sakit menerapkan penilaian risiko
prakonstruksi (PCRA) terkait rencana konstruksi, renovasi dan demolisi meliputi
poin a) - j) seperti di maksud dan tujuan diatas.
b) Rumah
sakit melakukan penilaian risiko prakontruksi (PCRA) bila ada rencana kontruksi,
renovasi dan demolisi.
c)
Rumah sakit melakukan tindakan berdasarkan hasil
penilaian risiko untuk meminimalkan risiko selama pembongkaran, konstruksi, dan
renovasi.
d) Rumah
sakit memastikan bahwa kepatuhan kontraktor dipantau, dilaksanakan, dan
didokumentasikan.
j. Pelatihan
1) Standar MFK 11
Seluruh staf di rumah sakit dan yang lainnya telah
dilatih dan memiliki pengetahuan tentang pengelolaan fasilitas rumah sakit,
program keselamatan dan peran mereka dalam memastikan keamanan dan keselamatan
fasilitas secara efektif.
2) Maksud dan Tujuan MFK 11
Staf adalah sumber kontak utama rumah sakit dengan
pasien, keluarga, dan pengunjung. Oleh karena itu, mereka perlu dididik dan
dilatih untuk menjalankan perannya dalam mengidentifikasi dan mengurangi
risiko, melindungi orang lain dan diri mereka sendiri, serta menciptakan
fasilitas yang aman, selamat dan terjamin.
Setiap rumah sakit harus memutuskan jenis dan
tingkat pelatihan untuk staf dan kemudian melaksanakan dan mendokumentasikan
program pelatihan. Program pelatihan dapat mencakup instruksi kelompok, modul
pendidikan online, materi pendidikan tertulis, komponen orientasi staf baru,
dan/atau beberapa mekanisme lain yang memenuhi kebutuhan rumah sakit. Pelatihan
diberikan kepada semua staf di semua shift setiap tahun dan membahas semua
program pengelolaan fasilitas dan keselamatan. Pelatihan mencakup instruksi
tentang proses pelaporan potensi risiko dan pelaporan insiden dan cedera.
Program pelatihan melibatkan pengujian pengetahuan staf. Staf dilatih dan diuji
tentang prosedur darurat, termasuk prosedur keselamatan kebakaran. Sebagaimana
berlaku untuk peran dan tanggung jawab anggota staf, pelatihan dan pengujian
membahas bahan berbahaya dan respons terhadap bahaya, seperti tumpahan bahan
kimia berbahaya, dan penggunaan peralatan medis yang dapat menimbulkan risiko
bagi pasien dan staf. Pengetahuan dapat diuji melalui berbagai cara, seperti
demonstrasi individu atau kelompok, demonstrasi, peristiwa simulasi seperti
epidemi di masyarakat, penggunaan tes tertulis atau komputer, atau cara lain
yang sesuai dengan pengetahuan yang diuji. Dokumen rumah sakit yang diuji dan
hasil pengujian.
3) Elemen Penilaian MFK 11
a)
Semua staf telah diberikan pelatihan program
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait keselamatan setiap tahun dan
dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
b) Semua
staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan keselamatan
(MFK) terkait keamanan setiap tahun dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan
peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.
c)
Semua staf telah diberikan pelatihan program
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait pengelolaan B3 dan limbahnya
setiap tahun dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung
jawabnya dan didokumentasikan.
d) Semua
staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan keselamatan
(MFK) terkait proteksi kebakaran setiap tahun dan dapat menjelaskan dan/atau
menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.
e)
Semua staf telah diberikan pelatihan program
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait peralatan medis setiap tahun
dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
f)
Semua staf telah diberikan pelatihan program
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait sistim utilitas setiap tahun
dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
g)
Semua staf telah diberikan pelatihan program
manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait penanganan bencana setiap
tahun dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya
dan didokumentasikan.
h) Pelatihan
tentang pengelolaan fasilitas dan program keselamatan mencakup vendor, pekerja
kontrak, relawan, pelajar, peserta didik, peserta pelatihan, dan lainnya,
sebagaimana berlaku untuk peran dan tanggung jawab individu, dan sebagaimana
ditentukan oleh rumah sakit.
4) Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
(PMKP)
Gambaran umum
Rumah sakit harus memiliki program peningkatan mutu
dan keselamatan pasien (PMKP) yang menjangkau seluruh unit kerja dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin keselamatan pasien. Direktur
menetapkan Komite/Tim Penyelenggara Mutu untuk mengelola program peningkatan
mutu dan keselamatan pasien, agar mekanisme koordinasi pelaksanaan program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit dapat berjalan lebih
baik.
Standar ini menjelaskan pendekatan yang komprehensif
untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang berdampak pada semua aspek
pelayanan, mencakup:
a)
Peran serta dan keterlibatan setiap unit dalam
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
b) Pengukuran
data objektif yang tervalidasi.
c)
Penggunaan data yang objektif dan kaji banding
untuk membuat program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
Standar PMKP membantu profesional pemberi asuhan
(PPA) untuk memahami bagaimana melakukan perbaikan dalam memberikan asuhan
pasien yang aman dan menurunkan risiko. Staf non klinis juga dapat melakukan
perbaikan agar proses menjadi lebih efektif dan efisien dalam penggunaan sumber
daya dan risiko dapat dikurangi.
Standar PMKP ditujukan pada semua kegiatan di rumah
sakit secara menyeluruh dalam spektrum yang luas berupa kerangka kerja untuk
perbaikan kinerja dan menurunkan risiko akibat variasi dalam proses pelayanan.
Kerangka kerja dalam standar PMKP ini juga dapat terintegrasi dengan kejadian
yang tidak dapat dicegah (program manajemen risiko) dan pemanfaatan sumber daya
(pengelolaan utilisasi).
Rumah sakit yang menerapkan
kerangka kerja ini diharapkan akan:
a. Mengembangkan
dukungan pimpinan yang lebih besar untuk program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien secara menyeluruh di rumah sakit;
b. Melatih
semua staf tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit;
c.
Menetapkan prioritas pengukuran data dan
prioritas perbaikan;
d. Membuat
keputusan berdasarkan pengukuran data; dan
e.
Melakukan perbaikan berdasarkan perbandingan
dengan rumah sakit setara atau data berbasis bukti lainnya, baik nasional dan
internasional.
Fokus standar peningkatan mutu dan
keselamatan pasien adalah:
a. Pengelolaan
kegiatan peningkatan mutu, keselamatan pasien dan manajemen risiko.
b. Pemilihan
dan pengumpulan data indikator mutu.
c.
Analisis dan validasi data indikator mutu.
d. Pencapaian
dan upaya mempertahankan perbaikan mutu.
e.
Sistem pelaporan dan pembelajaran keselamatan
pasien rumah sakit (SP2KP-RS)
f.
Penerapan manajemen risiko.
a. Pengelolaaan Kegiatan Peningkatan Mutu,
Keselamatan
Pasien, dan Manajemen Risiko
1) Standar PMKP 1
Rumah sakit mempunyai Komite/Tim Penyelenggara Mutu
yang kompeten untuk mengelola kegiatan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
(PMKP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan PMKP 1
Peningkatan mutu dan keselamatan pasien merupakan
proses kegiatan yang berkesinambungan (continuous
improvement) yang dilaksanaan dengan koordinasi dan integrasi antara unit
pelayanan dan komite-komite (Komite Medik, Komite Keperawatan, Komite/Tim PPI,
Komite K3 dan fasilitas, Komite Etik, Komite PPRA, dan lain-lainnya). Oleh
karena itu Direktur perlu menetapkan Komite/Tim Penyelenggara Mutu yang
bertugas membantu Direktur atau Kepala Rumah Sakit dalam mengelola kegiatan
peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di rumah sakit.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komite/ Tim
Penyelenggara Mutu memiliki fungsi sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Dalam proses pengukuran data,
Direktur menetapkan:
a)
Kepala unit sebagai penanggung jawab peningkatan
mutu dan keselamatan pasien (PMKP) di tingkat unit;
b) Staf
pengumpul data; dan
c)
Staf yang akan melakukan validasi data
(validator).
Bagi rumah sakit yang memiliki tenaga cukup, proses
pengukuran data dilakukan oleh ketiga tenaga tersebut. Dalam hal keterbatasan
tenaga, proses validasi data dapat dilakukan oleh penanggung jawab PMKP di unit
kerja. Komite/Tim Penyelenggara Mutu, penanggung jawab mutu dan keselamatan
pasien di unit, staf pengumpul data, validator perlu mendapat pelatihan
peningkatan mutu dan keselamatan pasien termasuk pengukuran data mencakup
pengumpulan data, analisis data, validasi data, serta perbaikan mutu.
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu akan melaporkan
hasil pelaksanaan program PMKP kepada Direktur setiap 3 (tiga) bulan. Kemudian
Direktur akan meneruskan laporan tersebut kepada Dewan Pengawas. Laporan
tersebut mencakup:
a)
Hasil pengukuran data meliputi: Pencapaian semua
indikator mutu, analisis, validasi dan perbaikan yang telah dilakukan.
b) Laporan
semua insiden keselamatan pasien meliputi jumlah, jenis (kejadian sentinel,
KTD, KNC, KTC, KPCS), tipe insiden dan tipe harm,
tindak lanjut yang dilakukan, serta tindakan perbaikan tersebut dapat
dipertahankan.
Di samping laporan hasil pelaksanaan program PMKP,
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu juga melaporkan hasil pelaksanaan program
manajemen risiko berupa pemantauan penanganan risiko yang telah dilaksanakan
setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur yang akan diteruskan kepada Dewan
Pengawas.
Rumah sakit membuat program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien yang akan diterapkan pada semua unit setiap tahun. Program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit meliputi tapi tidak
terbatas pada:
a)
Pengukuran mutu indikator termasuk indikator
nasional mutu (INM), indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP RS) dan
indikator mutu prioritas unit (IMP Unit).
b) Meningkatkan
perbaikan mutu dan mempertahankan perbaikan berkelanjutan.
c)
Mengurangi varian dalam praktek klinis dengan
menerapkan PPK/Algoritme/Protokol dan melakukan pengukuran dengan clinical
pathway.
d) Mengukur
dampak efisiensi dan efektivitas prioritas perbaikan terhadap keuangan dan
sumber daya misalnya SDM.
e)
Pelaporan dan analisis insiden keselamatan
pasien.
f)
Penerapan sasaran keselamatan pasien.
g)
Evaluasi kontrak klinis dan kontrak manajemen.
h) Pelatihan
semua staf sesuai perannya dalam program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien.
i)
Mengkomunikasikan hasil pengukuran mutu meliputi
masalah mutu dan capaian data kepada staf.
Hal-hal penting yang perlu dilakukan agar program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien dapat diterapkan secara menyeluruh di
unit pelayanan, meliputi:
a)
Dukungan Direktur dan pimpinan di rumah sakit:
b) Upaya
perubahan budaya menuju budaya keselamatan pasien;
c)
Secara proaktif melakukan identifikasi dan
menurunkan variasi dalam pelayanan klinis;
d) Menggunakan
hasil pengukuran data untuk fokus pada isu pelayanan prioritas yang akan
diperbaiki atau ditingkatkan; dan
e)
Berupaya mencapai dan mempertahankan perbaikan
yang berkelanjutan.
3) Elemen Penilaian PMKP 1
a)
Direktur telah menetapkan regulasi terkait
peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta manajemen risiko
b) Direktur
rumah sakit telah membentuk Komite/Tim Penyelenggara Mutu untuk mengelola
kegiatan PMKP serta uraian tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c)
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu menyusun program
PMKP rumah sakit meliputi poin a) – i) yang telah ditetapkan Direktur rumah
sakit dan disahkan oleh representatif pemilik/dewan pengawas.
d) Program
PMKP dievaluasi dalam rapat koordinasi mellibatkan komite-komite, pimpinan
rumah sakit dan kepala unit setiap triwulan untuk menjamin perbaikan mutu yang
berkesinambungan.
b. Pemilihan dan Pengumpulan
Data Indikator Mutu
1) Standar PMKP 2
Komite/Tim Penyelenggara Mutu mendukung proses
pemilihan indikator dan melaksanakan koordinasi serta integrasi kegiatan
pengukuran data indikator mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit
2) Maksud dan tujuan PMKP 2
Pemilihan indikator mutu prioritas
rumah sakit adalah
tanggung jawab pimpinan dengan mempertimbangkan
prioritas untuk pengukuran yang berdampak luas/ menyeluruh di rumah sakit.
Sedangkan kepala unit memilih indikator mutu prioritas di unit kerjanya. Semua
unit klinis dan non klinis memilih indikator terkait dengan prioritasnya. Di
rumah sakit yang besar harus diantisipasi jika ada indikator yang sama yang
diukur di lebih dari satu unit. Misalnya, Unit Farmasi dan Komite/Tim PPI
memilih prioritas pengukurannya adalah penurunan angka penggunaan antibiotik di
rumah sakit. Program mutu dan keselamatan pasien berperan penting dalam
membantu unit melakukan pengukuran indikator yang ditetapkan. Komite/Tim
Penyelenggara Mutu juga bertugas untuk mengintegrasikan semua kegiatan
pengukuran di rumah sakit, termasuk pengukuran budaya keselamatan dan sistem
pelaporan insiden keselamatan pasien. Integrasi semua pengukuran ini akan
menghasilkan solusi dan perbaikan yang terintegrasi.
3) Elemen Penilaian PMKP 2
a)
Komite/Tim Penyelenggara Mutu terlibat dalam
pemilihan indikator mutu prioritas baik ditingkat rumah sakit maupun tingkat
unit layanan.
b) Komite/Tim
Penyelenggara Mutu melaksanakan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran
serta melakukan supervisi ke unit layanan.
c)
Komite/Tim Penyelenggara Mutu mengintegrasikan
laporan insiden keselamatan pasien, pengukuran budaya keselamatan, dan lainnya
untuk mendapatkan solusi dan perbaikan terintegrasi.
4) Standar PMKP 3
Pengumpulan data indikator mutu dilakukan oleh staf
pengumpul data yang sudah mendapatkan pelatihan tentang pengukuran data
indikator mutu.
5) Maksud dan Tujuan PMKP 3
Pengumpulan data indikator mutu berdasarkan
peraturan yang berlaku yaitu pengukuran indikator nasional mutu (INM) dan
prioritas perbaikan tingkat rumah sakit meliputi:
a)
Indikator nasional mutu (INM) yaitu indikator
mutu nasional yang wajib dilakukan pengukuran dan digunakan sebagai informasi
mutu secara nasional.
b) Indikator
mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) (TKRS 5) mencakup:
(1) Indikator
sasaran keselamatan pasien minimal 1 indikator setiap sasaran.
(2) Indikator
pelayanan klinis prioritas minimal 1 indikator.
(3) Indikator
sesuai tujuan strategis rumah sakit (KPI) minimal 1 indikator.
(4) Indikator
terkait perbaikan sistem minimal 1 indikator.
(5) Indikator
terkait manajemen risiko minimal 1 indikator.
(6) Indikator
terkait penelitian klinis dan program pendidikan kedokteran minimal 1
indikator.
(apabila ada)
c)
Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) adalah
indikator prioritas yang khusus dipilih kepala unit terdiri dari minimal 1
indikator.
Indikator mutu terpilih apabila sudah tercapai dan
dapat dipertahankan selama 1 (satu) tahun, maka dapat diganti dengan indikator
mutu yang baru. Setiap indikator mutu baik indikator mutu prioritas rumah sakit
(IMP-RS) maupun indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) agar dilengkapi dengan
profil indikator sebagai berikut:
a)
Judul indikator.
b) Dasar
pemikiran.
c)
Dimensi mutu.
d) Tujuan.
e)
Definisi operasional.
f)
Jenis indikator.
g)
Satuan pengukuran.
h) Numerator
(pembilang).
i)
Denominator (penyebut).
j)
Target.
k) Kriteria
inklusi dan eksklusi.
l)
Formula.
m) Metode
pengumpulan data.
n) Sumber
data.
o)
Instrumen pengambilan data.
p) Populasi/sampel
(besar sampel dan cara pengambilan sampel).
q)
Periode pengumpulan data.
r)
Periode analisis dan pelaporan data.
s)
Penyajian data.
t)
Penanggung jawab.
6) Elemen Penilaian PMKP 3
a)
Rumah sakit melakukan pengumpulan data mencakup
(poin a) – c)) dalam maksud dan tujuan.
b) Indikator
mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) dan indikator mutu prioritas unit (IMP-
Unit) telah dibuat profil indikator mencakup (poin a-t) dalam maksud dan
tujuan.
c. Analisis dan Validasi Data Indikator
Mutu
1) Standar PMKP 4
Agregasi dan analisis data dilakukan untuk
mendukung program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta mendukung
partisipasi dalam pengumpulan database eksternal.
2) Maksud dan Tujuan PMKP 4
Data yang dikumpulkan akan diagregasi dan
dianalisis menjadi informasi untuk pengambilan keputusan yang tepat dan akan
membantu rumah sakit melihat pola dan tren capaian kinerjanya. Sekumpulan data
tersebut misalnya data indikator mutu, data laporan insiden keselamatan pasien,
data manajemen risiko dan data pencegahan dan pengendalian infeksi, Informasi
ini penting untuk membantu rumah sakit memahami kinerjanya saat ini dan
mengidentifikasi peluang-peluang untuk perbaikan kinerja rumah sakit.
Rumah sakit harus melaporkan data mutu dan
keselamatan pasien ke eksternal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
meliputi:
a)
Pelaporan indikator
nasional mutu
(INM) ke
Kementrian Kesehatan melalui aplikasi mutu fasilitas
pelayanan Kesehatan.
b) Pelaporan
insiden keselamatan pasien (IKP) ke KNKP melalui aplikasi e-report.
Dengan berpartisipasi dalam pelaporan data mutu dan
keselamatan pasien ke eksternal rumah sakit dapat membandingkan kinerjanya
dengan kinerja rumah sakit setara baik di skala lokal maupun nasional.
Perbandingan kinerja merupakan pendekatan yang efektif untuk mencari
peluang-peluang perbaikan.
Proses analisis data mencakup setidaknya satu
dampak dari prioritas perbaikan rumah sakit secara keseluruhan terhadap biaya
dan efisiensi sumber daya setiap tahun. Program mutu dan keselamatan pasien
mencakup analisis dampak prioritas perbaikan yang didukung oleh pimpinan.
misalnya terdapat bukti yang mendukung pernyataan bahwa penggunaan panduan
praktik klinis untuk mestandarkan perawatan memberikan dampak yang bermakna
pada efisiensi perawatan dan pemendekan lama rawat, yang pada akhirnya
menurunkan biaya. Staf program mutu dan keselamatan pasien mengembangkan
instrumen untuk mengevaluasi penggunaan sumber daya untuk proses yang berjalan,
kemudian untuk mengevaluasi kembali penggunaan sumber daya untuk proses yang telah
diperbaiki. Sumber daya dapat berupa sumber daya manusia (misalnya, waktu yang
digunakan untuk setiap langkah dalam suatu proses) atau melibatkan penggunaan
teknologi dan sumber daya lainnya. Analisis ini akan memberikan informasi yang
berguna terkait perbaikan yang memberikan dampak efisiensi dan biaya.
3) Elemen Penilaian PMKP 4
a)
Telah dilakukan agregasi dan analisis data
menggunakan metode dan teknik statistik terhadap semua indikator mutu yang
telah diukur oleh staf yang kompeten
b) Hasil
analisis digunakan untuk membuat rekomendasi tindakan perbaikan dan serta
menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya.
c)
Memiliki bukti analisis data dilaporkan kepada
Direktur dan reprentasi pemilik/dewan pengawas sebagai bagian dari program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
d) Memiliki
bukti hasil analisis berupa informasi INM dan e-report IKP diwajibkan lapor kepada Kementrian kesehatan sesuai
peraturan yang berlaku.
e)
Terdapat proses pembelajaran dari database
eksternal untuk tujuan perbandingan internal dari waktu ke waktu, perbandingan
dengan rumah sakit yang setara, dengan praktik terbaik (best practices), dan dengan sumber ilmiah profesional yang
objektik.
f)
Keamanan dan kerahasiaan tetap dijaga saat
berkontribusi pada database eksternal.
g)
Telah menganalisis efisiensi berdasarkan biaya
dan jenis sumber daya yang digunakan (sebelum dan sesudah perbaikan) terhadap
satu proyek prioritas perbaikan yang dipilih setiap tahun.
4) Standar PMKP 4.1
Staf dengan pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data rumah sakit
secara sistematis.
5) Maksud dan Tujuan PMKP 4.1
Analisis data melibatkan staf yang memahami
manajemen informasi, mempunyai keterampilan dalam metode-metode pengumpulan
data, dan memahami teknik statistik. Hasil analisis data harus dilaporkan
kepada Penanggung jawab indikator mutu (PIC) yang bertanggung jawab untuk
menindaklanjuti hasil tersebut. Penanggung jawab tersebut bisa memiliki latar
belakang klinis, non klinis, atau kombinasi keduanya. Hasil analisis data akan
memberikan masukan untuk pengambilan keputusan dan memperbaiki proses klinis
dan non klinis secara berkelanjutan. Run
charts, diagram kontrol (control
charts), histogram, dan diagram Pareto merupakan contoh dari alat-alat
statistik yang sangat berguna dalam memahami tren dan variasi dalam pelayanan
kesehatan.
Tujuan analisis data adalah untuk dapat
membandingkan rumah sakit dengan empat cara. Perbandingan tersebut membantu
rumah sakit dalam memahami sumber dan penyebab perubahan yang tidak diinginkan
dan membantu memfokuskan upaya perbaikan.
a)
Dengan rumah sakit sendiri dari waktu ke waktu, misalnya
dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun.
b) Dengan
rumah sakit setara, seperti melalui database referensi.
c)
Dengan standar-standar, seperti yang ditentukan
oleh badan akreditasi atau organisasi profesional ataupun standar-standar yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Dengan
praktik-praktik terbaik yang diakui dan menggolongkan praktik tersebut sebagai
best practice (praktik terbaik) atau better
practice (praktik yang lebih baik) atau practice
guidelines (pedoman praktik).
6) Elemen Penilaian PMKP 4.1
a)
Data dikumpulkan, dianalisis, dan diubah menjadi
informasi untuk mengidentifikasi peluang-peluang untuk perbaikan.
b) Staf
yang kompeten melakukan proses pengukuran menggunakan alat dan teknik
statistik.
c)
Hasil analisis data dilaporkan kepada penanggung
jawab indikator mutu yang akan melakukan perbaikan.
7) Standard PMKP 5
Rumah sakit melakukan proses validasi data terhadap
indikator mutu yang diukur.
8) Maksud dan Tujuan PMKP 5
Validasi data adalah alat penting untuk memahami
mutu dari data dan untuk menetapkan tingkat kepercayaan (confidence level) para pengambil keputusan terhadap data itu
sendiri. Ketika rumah sakit mempublikasikan data tentang hasil klinis,
keselamatan pasien, atau area lain, atau dengan cara lain membuat data menjadi
publik, seperti di situs web rumah sakit, rumah sakit memiliki kewajiban etis
untuk memberikan informasi yang akurat kepada publik. Pimpinan rumah sakit
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa data yang dilaporkan ke Direktur,
Dewan Pengawas dan yang dipublikasikan ke masyarakat adalah valid. Keandalan
dan validitas pengukuran dan kualitas data dapat ditetapkan melalui proses
validasi data internal rumah sakit. Kebijakan data yang harus divalidasi yaitu:
a)
Pengukuran indikator mutu baru;
b) Bila
data akan dipublikasi ke masyarakat baik melalui website rumah sakit atau media lain
c)
Ada perubahan pada pengukuran yang selama ini
sudah dilakukan, misalnya perubahan profil indikator, instrumen pengumpulan
data, proses agregasi data, atau perubahan staf pengumpul data atau
validator
d) Bila
terdapat perubahan hasil pengukuran tanpa diketahui sebabnya
e)
Bila terdapat perubahan sumber data, misalnya
terdapat perubahan sistem pencatatan pasien dari manual ke elektronik;
f)
Bila terdapat
perubahan subjek data seperti perubahan umur rata rata pasien,
perubahan protokol riset, panduan praktik klinik baru diberlakukan, serta
adanya teknologi dan metodologi pengobatan baru.
9) Elemen Penilaian PMKP 5
a)
Rumah sakit telah melakukan validasi yang
berbasis bukti meliputi poin a) – f) yang ada pada maksud dan tujuan.
b) Pimpinan
rumah sakit bertanggung jawab atas validitas dan kualitas data serta hasil yang
dipublikasikan.
d. Pencapaian dan Upaya Mempertahankan
Perbaikan Mutu
1) Standar PMKP 6
Rumah sakit mencapai perbaikan
mutu dan dipertahankan.
2) Maksud dan Tujuan PMKP 6
Hasil analisis data digunakan untuk mengidentifkasi
potensi perbaikan atau untuk mengurangi atau mencegah kejadian yang merugikan.
Khususnya, perbaikan yang direncanakan untuk prioritas perbaikan tingkat rumah
sakit yang sudah ditetapkan Direktur rumah sakit.
Rencana perbaikan perlu dilakukan uji coba dan
selama masa uji dan dilakukan evaluasi hasilnya untuk membuktikan bahwa
perbaikan sudah sesuai dengan yang diharapkan. Proses uji perbaikan ini dapat
menggunakan metode-metode perbaikan yang sudah teruji misalnya PDCA Plan-Do-Chek-Action (PDCA) atau Plan-Do-Study-Action (PDSA) atau metode
lain. Hal ini untuk memastikan bahwa terdapat perbaikan berkelanjutan untuk
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Perubahan yang efektif tersebut
distandardisasi dengan cara membuat regulasi di rumah sakit misalnya kebijakan,
SPO, dan lain-lainnya, dan harus di sosialisasikan kepada semua staf.
Perbaikan-perbaikan yang dicapai dan dipertahankan
oleh rumah sakit didokumentasikan sebagai bagian dari pengelolaan peningkatan
mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
3) Elemen Penilaian PMKP 6
a)
Rumah sakit telah membuat rencana perbaikan dan
melakukan uji coba menggunakan metode yang telah teruji dan menerapkannya untuk
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.
b) Tersedia
kesinambungan data mulai dari pengumpulan data sampai perbaikan yang dilakukan
dan dapat dipertahankan.
c)
Memiliki bukti perubahan regulasi atau perubahan
proses yang diperlukan untuk mempertahankan perbaikan.
d) Keberhasilan
telah didokumentasikan dan dijadikan laporan PMKP.
4) Standar PMKP 7
Dilakukan
evaluasi proses pelaksanaan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit untuk
menunjang pengukuran mutu pelayanan klinis prioritas.
5) Maksud dan Tujuan PMKP 7
Penerapan standar pelayanan kedokteran di rumah
sakit berdasarkan panduan praktik klinis (PPK) dievaluasi menggunakan alur klinis/clinical pathway (CP). Terkait dengan pengukuran prioritas perbaikan
pelayanan klinis yang ditetapkan Direktur, maka Direktur bersamasama dengan
pimpinan medis, ketua Komite Medik dan Kelompok tenaga medis terkait menetapkan
paling sedikit 5 (lima) evaluasi pelayanan prioritas standar pelayanan
kedokteran. Evaluasi pelayanan prioritas standar pelayanan kedokteran dilakukan
sampai terjadi pengurangan variasi dari data awal ke target yang ditentukan
ketentuan rumah sakit.
Tujuan pemantauan pelaksanaan evaluasi perbaikan
pelayanan klinis berupa standar pelayanan kedokteran sebagai berikut:
a)
Mendorong tercapainya standardisasi proses
asuhan klinik.
b) Mengurangi
risiko dalam proses asuhan, terutama yang berkaitan asuhan kritis.
c)
Memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan
efisien dalam memberikan asuhan klinik tepat waktu dan efektif.
d) Memanfaatkan
indikator prioritas sebagai indikator dalam penilaian kepatuhan penerapan alur
klinis di area yang akan diperbaiki di tingkat rumah sakit.
e)
Secara konsisten menggunakan praktik berbasis
bukti (evidence based practices)
dalam memberikan asuhan bermutu tinggi. Evaluasi prioritas standar pelayanan
kedokteran tersebut dipergunakan untuk mengukur keberhasilan dan efisensi
peningkatan mutu pelayanan klinis prioritas rumah sakit.
Evaluasi perbaikan pelayanan klinis berupa standar
pelayanan kedokteran dapat dilakukan melalui audit medis dan atau audit klinis
serta dapat menggunakan indikator mutu.
Tujuan evaluasi adalah untuk menilai efektivitas
penerapan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit sehingga standar
pelayanan kedokteran di rumah sakit dapat mengurangi a variasi dari proses dan
hasil serta berdampak terhadap efisiensi (kendali biaya). Misalnya:
a)
Dalam PPK disebutkan bahwa tata laksana stroke
nonhemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta
intervensi dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit
stroke non-hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway/CP); sehingga perlu dibuat CP untuk stroke
non-hemoragik.
b) Dalam
PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan
hemodialisis. Uraian rinci tentang hemodialisis dimuat dalam protokol
hemodialisis pada dokumen terpisah.
c)
Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan
kejang demam kompleks perlu dilakukan pungsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi
lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dalam
dokumen terpisah.
d) Dalam
tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam rektal dengan dosis
tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak ada; ini diatur
dalam “standing order”.
6) Elemen Penilaian PMKP 7
a)
Rumah sakit melakukan evaluasi clinical pathway sesuai yang tercantum
dalam maksud dan tujuan.
b) Hasil
evaluasi dapat menunjukkan adanya perbaikan terhadap kepatuhan dan mengurangi
variasi dalam penerapan prioritas standar pelayanan kedokteran di rumah sakit.
c)
Rumah sakit telah melaksanakan audit klinis dan
atau audit medis pada penerapan prioritas standar pelayanan kedokteran di rumah
sakit.
e. Sistem Pelaporan dan Pembelajaran
Keselamatan Pasien rumah sakit (SP2KP-RS)
1) Standar PMKP 8
Rumah sakit mengembangkan Sistem pelaporan dan
pembelajaran keselamatan pasien di rumah sakit (SP2KP-
RS).
2) Maksud dan Tujuan PMKP 8
Sistem pelaporan dan pembelajaran keselamatan
pasien di rumah sakit (SP2KP-RS). tersebut meliputi definisi kejadian sentinel,
kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC), dan kejadian
nyaris cedera (KNC atau near-miss) dan Kondisi potensial cedera signifikan
(KPCS), mekanisme pelaporan insiden keselamatan pasien baik internal maupun
eksternal, grading matriks risiko serta investigasi dan analisis insiden
berdasarkan hasil grading tersebut.
Rumah sakit berpartisipasi untuk melaporkan insiden
keselamatan pasien yang telah dilakukan investigasi dan analisis serta
dilakukan pembelajaran ke KNKP sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Insiden keselamatan pasien merupakan suatu kejadian
yang tidak disengaja ketika memberikan asuhan kepada pasien (care management problem (CMP) atau
kondisi yang berhubungan dengan lingkungan di rumah sakit termasuk infrastruktur,
sarana prasarana (service delivery
problem (SDP), yang dapat berpotensi atau telah menyebabkan bahaya bagi
pasien.
Kejadian keselamatan pasien dapat namun tidak
selalu merupakan hasil dari kecacatan pada sistem atau rancangan proses,
kerusakan sistem, kegagalan alat, atau kesalahan manusia.
Definisi kejadian yang tidak diharapkan (KTD),
kejadian tidak cedera (KTC), kejadian nyaris cedera (KNC), dan kondisi
potensial cedera signifikan (KPCS), yang didefinisikan sebagai berikut:
a)
Kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah insiden
keselamatan pasien yang menyebabkan cedera pada pasien.
b) Kejadian
tidak cedera (KTC) adalah insiden keselamatan pasien yang sudah terpapar pada
pasien namun tidak menyebabkan cedera.
c)
Kejadian nyaris cedera (near-miss atau hampir cedera) atau KNC adanya insiden keselamatan
pasien yang belum terpapar pada pasien.
d) Suatu
kondisi potensial cedera signifikan (KPCS) adalah suatu kondisi (selain dari
proses penyakit atau kondisi pasien itu sendiri) yang berpotensi menyebabkan
kejadian sentinel
e)
Kejadian Sentinel adalah suatu kejadian yang
tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien atau penyakit yang
mendasarinya yang terjadi pada pasien. Kejadian sentinel merupakan salah satu
jenis insiden keselamatan pasien yang harus dilaporkan yang menyebabkan
terjadinya hal-hal berikut ini:
a)
Kematian.
b) Cedera
permanen.
c)
Cedera berat yang bersifat sementara/reversible.
Cedera permanen adalah dampak yang dialami pasien yang bersifat ireversibel
akibat insiden yang dialaminya misalnya kecacadan, kelumpuhan, kebutaan, tuli,
dan lain-lainnya. Cedera berat yang bersifat sementara adalah cedera yang
bersifat kritis dan dapat mengancam nyawa yang berlangsung dalam suatu kurun
waktu tanpa terjadi cedera permanen/gejala sisa, namun kondisi tersebut
mengharuskan pemindahan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi
/pengawasan pasien untuk jangka waktu yang lama, pemindahan pasien ke tingkat
perawatan yang lebih tinggi karena adanya kondisi yang mengancam nyawa, atau
penambahan operasi besar, tindakan, atau tata laksana untuk menanggulangi
kondisi tersebut. Kejadian juga dapat digolongkan sebagai kejadian sentinel
jika terjadi salah satu dari berikut ini:
a)
Bunuh diri oleh pasien yang sedang dirawat,
ditatalaksana, menerima pelayanan di unit yang selalu memiliki staf sepanjang
hari atau dalam waktu 72 jam setelah pemulangan pasien, termasuk dari Unit
Gawat
Darurat (UGD) rumah sakit;
b) Kematian
bayi cukup bulan yang tidak diantisipasi;
c)
Bayi dipulangkan kepada orang tua yang salah;
d) Penculikan
pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan pelayanan;
e)
Kaburnya pasien (atau pulang tanpa izin) dari
unit perawatan yang selalu dijaga oleh staf sepanjang hari (termasuk UGD), yang
menyebabkan kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat bagi
pasien tersebut;
f)
Reaksi transfusi hemolitik yang melibatkan
pemberian darah atau produk darah dengan inkompatibilitas golongan darah mayor
(ABO, Rh, kelompok darah lainnya);
g)
Pemerkosaan, kekerasan (yang menyebabkan
kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan
pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan layanan ketika berada
dalam lingkungan rumah sakit;
h) Pemerkosaan,
kekerasan (yang menyebabkan kematian, cedera permanen, atau cedera sementara
derajat berat) atau pembunuhan anggota staf, praktisi mandiri berizin,
pengunjung, atau vendor ketika berada dalam lingkungan rumah sakit
i)
Tindakan invasif, termasuk operasi yang
dilakukan pada pasien yang salah, pada sisi yang salah, atau menggunakan
prosedur yang salah (secara tidak sengaja);
j)
Tertinggalnya benda asing dalam tubuh pasien
secara tidak sengaja setelah suatu tindakan invasif, termasuk operasi;
k) Hiperbilirubinemia
neonatal berat (bilirubin >30 mg/dL);
l)
Fluoroskopi berkepanjangan dengan dosis
kumulatif >1.500 rad pada satu medan tunggal atau pemberian radioterapi ke
area tubuh yang salah atau pemberian radioterapi >25% melebihi dosis
radioterapi yang direncanakan;
m) Kebakaran,
lidah api, atau asap, uap panas, atau pijaran yang tidak diantisipasi selama
satu episode perawatan pasien;
n) Semua
kematian ibu intrapartum (terkait dengan proses persalinan); atau
o)
Morbiditas ibu derajat berat (terutama tidak
berhubungan dengan perjalanan alamiah penyakit pasien atau kondisi lain yang
mendasari) terjadi pada pasien dan menyebabkan cedera permanen atau cedera
sementara derajat berat.
Definisi kejadian sentinel meliputi poin a) hingga
o) di atas dan dapat meliputi kejadian-kejadian lainnya seperti yang
disyaratkan dalam peraturan atau dianggap sesuai oleh rumah sakit untuk
ditambahkan ke dalam daftar kejadian sentinel. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu
segera membentuk tim investigator segera setelah menerima laporan kejadian
sentinel. Semua kejadian yang memenuhi definisi tersebut dianalisis akar
masalahnya secara komprehensif (RCA) dengan waktu tidak melebihi 45 (empat
puluh lima) hari.
Tidak semua kesalahan menyebabkan kejadian
sentinel, dan tidak semua kejadian sentinel terjadi akibat adanya suatu
kesalahan. Mengidentifikasi suatu insiden sebagai kejadian sentinel tidak
mengindikasikan adanya tanggungan hukum.
3) Elemen Penilaian PMKP 8
a)
Direktur menetapkan sistem pelaporan dan
pembelajaran keselamatan pasien rumah sakit (SP2KP RS) termasuk didalamnya
definisi, jenis insiden kselamatan pasien meliputi kejadian sentinel (poin a –
o) dalam bagian maksud dan tujuan), KTD, KNC, KTC
dan KPCS, mekanisme pelaporan dan analisisnya serta
pembelajarannya,
b) Komite/
Tim Penyelenggara Mutu membentuk tim investigator sesegera mungkin untuk
melakukan investigasi komprehensif/analisis akar masalah (root cause analysis) pada semua kejadian sentinel dalam kurun
waktu tidak melebihi 45 (empat puluh lima) hari.
c)
Pimpinan rumah sakit melakukan tindakan
perbaikan korektif dan memantau efektivitasnya untuk mencegah atau mengurangi
berulangnya kejadian sentinel tersebut.
d) Pimpinan
rumah sakit menetapkan proses untuk menganalisis KTD, KNC, KTC, KPCS dengan
melakukan investigasi sederhana dengan kurun waktu yaitu grading biru tidak
melebihi 7 (tujuh) hari, grading hijau tidak melebihi 14 (empat belas)
hari.
e)
Pimpinan rumah sakit melakukan tindakan
perbaikan korektif dan memantau efektivitasnya untuk mencegah atau mengurangi
berulangnya KTD, KNC, KTC, KPCS tersebut.
4) Standar PMKP 9
Data laporan insiden keselamatan pasien selalu
dianalisis setiap 3 (tiga) bulan untuk memantau ketika muncul tren atau variasi
yang tidak diinginkan.
5) Maksud dan Tujuan PMKP 9
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu melakukan analisis
dan memantau insiden keselamatan pasien yang dilaporkan setiap triwulan untuk
mendeteksi pola, tren serta mungkin variasi berdasarkan frekuensi pelayanan
dan/atau risiko terhadap pasien.
Laporan insiden dan hasil Investigasi baik
investigasi komprehensif (RCA) maupun investigasi sederhana (simple RCA) harus dilakukan untuk
setidaknya hal-hal berikut ini:
a)
Semua reaksi transfusi yang sudah
dikonfirmasi,
b) Semua
kejadian serius akibat reaksi obat (adverse
drug reaction) yang serius sesuai yang ditetapkan oleh rumah sakit
c)
Semua kesalahan pengobatan (medication error) yang signifikan sesuai yang ditetapkan oleh rumah
sakit
d) Semua
perbedaan besar antara diagnosis pra- dan diagnosis pascaoperasi; misalnya
diagnosis praoperasi adalah obstruksi saluran pencernaan dan diagnosis
pascaoperasi adalah ruptur aneurisme aorta abdominalis (AAA)
e)
Kejadian tidsk diharapkan atau pola kejadian
tidak diharapkan selama sedasi prosedural tanpa memandang cara pemberian
f)
Kejadian tidak diharapkan atau pola kejadian
tidak diharapkan selama anestesi tanpa memandang cara pemberian
g)
Kejadian tidak diharapkan yang berkaitan dengan
identifikasi pasien
h) Kejadian-kejadian
lain, misalnya infeksi yang berkaitan dengan perawatan kesehatan atau wabah
penyakit menular
6) Elemen Penilaian PMKP 9
a)
Proses pengumpulan data sesuai a) sampai h) dari
maksud dan tujuan, analisis, dan pelaporan diterapkan untuk memastikan akurasi
data.
b) Analisis
data mendalam dilakukan ketika terjadi tingkat, pola atau tren yang tak
diharapkan yang digunakan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.
c)
Data luaran (outcome)
dilaporkan kepada direktur dan representatif pemilik/ dewan pengawas sebagai
bagian dari program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
7) Standar PMKP 10
Rumah sakit melakukan pengukuran dan evaluasi
budaya keselamatan pasien.
8) Maksud dan Tujuan PMKP 10
Pengukuran budaya keselamatan pasien perlu
dilakukan oleh rumah sakit dengan melakukan survei budaya keselamatan pasien
setiap tahun. Budaya keselamatan pasien juga dikenal sebagai budaya yang aman,
yakni sebuah budaya organisasi yang mendorong setiap individu anggota staf
(klinis atau administratif) melaporkan hal-hal yang menghawatirkan tentang
keselamatan atau mutu pelayanan tanpa imbal jasa dari rumah sakit.
Direktur rumah sakit melakukan evaluasi rutin
terhadap hasil survei budaya keselamatan pasien dengan melakukan analisis dan
tindak lanjutnya.
9) Elemen Penilaian PMKP 10
a)
Rumah sakit telah melaksanakan pengukuran budaya
keselamatan pasien dengan survei budaya keselamatan pasien setiap tahun
menggunakan metode yang telah terbukti.
b) Hasil
pengukuran budaya sebagai acuan dalam menyusun program peningkatan budaya
keselamatan di rumah sakit.
f. Penerapan Manejemen Risiko
1) Standar PMKP 11
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan
program manajemen risiko di rumah sakit
2) Maksud dan Tujuan PMKP 11
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu membuat daftar
risiko tingkat rumah sakit berdasarkan daftar risiko yang dibuat tiap unit
setiap tahun. Berdasarkan daftar risiko tersebut ditentukan prioritas risiko
yang dimasukkan dalam profil risiko rumah sakit. Profil risiko tersebut akan
menjadi bahan dalam penyusunan Program manajemen risiko rumah sakit dan menjadi
prioritas untuk dilakukan penanganan dan pemantauannya. Direktur rumah sakit
juga berperan dalam memilih selera risiko yaitu tingkat risiko yang bersedia
diambil rumah sakit dalam upayanya mewujudkan tujuan dan sasaran yang
dikehendakinya.
Ada beberapa metode untuk
melakukan analisis risiko
secara proaktif yaitu failure mode effect analysis (analisis modus kegagalan dan
dampaknya /FMEA/ AMKD), analisis kerentanan terhadap bahaya/hazard
vulnerability analysis (HVA) dan infection
control risk assessment (pengkajian risiko pengendalian infeksi/ICRA). Rumah sakit mengintegrasikan
hasil analisis metode-metode tersebut dalam program manajemen risiko rumah
sakit. Pimpinan rumah sakit akan mendesain ulang proses berisiko tinggi yang
telah di analisis secara proaktif dengan melakukan tindakan untuk mengurangi
risiko dalam proses tersebut. Proses analisis risiko proaktif ini dilaksanakan
minimal sekali dalam setahun dan didokumentasikan pelaksanaannya. Elemen penilaian PMKP 11
a)
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan
program manajemen risiko yang di tetapkan oleh
Direktur
b) Komite/
Tim Penyelenggara Mutu telah membuat daftar risiko rumah sakit berdasarkan
daftar risiko unit-unit di rumah sakit
c)
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah membuat
profil risiko dan rencana penanganan
d) Komite/
Tim Penyelenggara Mutu telah membuat pemantauan terhadap rencana penanganan dan
melaporkan kepada direktur dan representatif pemilik/dewan pengawas setiap 6
(enam) bulan
e)
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah menyusun
Program manajemen risiko tingkat rumah sakit untuk ditetapkan Direktur
f)
Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah memandu
pemilihan minimal satu analisis secara proaktif proses berisiko tinggi yang
diprioritaskan untuk dilakukan analisis FMEA setiap tahun.
5. Manajemen
Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (MRMIK) Gambaran Umum
Setiap
rumah sakit memiliki, mengelola, dan menggunakan informasi untuk meningkatkan
luaran ( outcome ) bagi pasien,
kinerja staf dan kinerja rumah sakit secara umum.
Dalam melakukan proses manajemen informasi, rumah
sakit menggunakan metode pengembangan yang sesuai dengan sumber daya rumah
sakit, dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi. Proses manajemen
informasi tersebut juga mencakup:
a. Misi
rumah sakit,
b. Layanan
yang diberikan,
c.
Sumber daya,
d. Akses
ke teknologi informasi kesehatan, dan
e.
Dukungan untuk menciptakan komunikasi efektif
antar
Professional Pemberi Asuhan
(PPA).
Untuk memberikan asuhan pasien yang terkoordinasi
dan terintegrasi, rumah sakit bergantung pada informasi tentang perawatan
pasien. Informasi merupakan salah satu sumber daya yang harus dikelola secara
efektif oleh pimpinan rumah sakit.
Pelaksanaan asuhan pasien di rumah sakit adalah
suatu proses yang kompleks yang sangat bergantung pada komunikasi dan
informasi. Komunikasi dilakukan antara rumah sakit dengan pasien dan keluarga,
antar Professional Pemberi Asuhan (PPA), serta komunitas di wilayah rumah
sakit. Kegagalan dalam komunikasi adalah salah satu akar masalah pada insiden
keselamatan pasien yang paling sering dijumpai. Sering kali, kegagalan
komunikasi terjadi akibat tulisan yang tidak terbaca, penggunaan singkatan,
simbol dan kode yang tidak seragam di dalam rumah sakit.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangannya,
rumah sakit diharapkan mampu mengelola informasi secara lebih efektif dalam
hal:
a. Mengidentifikasi
kebutuhan informasi dan teknologi informasi;
b. Mengembangkan
sistem informasi manajemen;
c.
Menetapkan jenis informasi dan cara memperoleh
data yang diperlukan;
d. Menganalisis
data dan mengubahnya menjadi informasi;
e.
Memaparkan dan melaporkan data serta informasi
kepada publik;
f.
Melindungi kerahasiaan, keamanan, dan integritas
data dan informasi;
g.
Mengintegrasikan dan menggunakan informasi untuk
peningkatan kinerja.
Walaupun komputerisasi dan teknologi lainnya
dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi, prinsip teknologi informasi yang
baik harus diterapkan untuk seluruh metode dokumentasi. Standar ini dirancang
untuk digunakan pada sistem informasi berbasis kertas serta elektronik.
Informasi rumah sakit terkait asuhan pasien sangat
penting dalam komunikasi antar PPA, yang didokumentasikan dalam Rekam Medis.
Rekam medis (RM) adalah bukti tertulis (kertas/elektronik) yang merekam
berbagai informasi kesehatan pasien seperti hasil pengkajian, rencana dan
pelaksanaan asuhan, pengobatan, catatan perkembangan pasien terintegrasi, serta
ringkasan pasien pulang yang dibuat oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA).
Penyelenggaraan rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai saat pasien
diterima di rumah sakit dan melaksanakan rencana asuhan dari PPA. Kegiatan
dilanjutkan dengan penanganan rekam medis yang meliputi penyimpanan dan
penggunaan untuk kepentingan pasien atau keperluan lainnya.
Dalam pemberian pelayanan kepada pasien, teknologi
informasi kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi
dan keamanan dalam proses komunikasi dan informasi.
Standar Manajemen Rekam Medis dan Informasi
Kesehatan ini berfokus pada:
a. Manajemen
informasi
b. Pengelolaan
dokumen
c.
Rekam medis pasien
d. Teknologi
Informasi Kesehatan di Pelayanan Kesehatan
a. Manajemen Informasi
1) Standar MRMIK 1
Rumah sakit menetapkan proses manajemen informasi
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal maupun eksternal.
2) Maksud dan Tujuan MRMIK 1
Informasi yang diperoleh selama masa perawatan
pasien harus dapat dikelola dengan aman dan efektif oleh rumah sakit. Kemampuan
memperoleh dan menyediakan informasi tersebut memerlukan perencanaan yang
efektif. Perencanaan ini melibatkan masukan dari berbagai sumber yang
membutuhkan data dan informasi, termasuk:
a) Profesional
Pemberi Asuhan (PPA) yang memberikan pelayanan kepada pasien
b) Pimpinan
rumah sakit dan para kepala departemen/unit layanan
c) Staf,
unit pelayanan, dan badan/individu di luar rumah sakit yang membutuhkan atau
memerlukan data atau informasi tentang operasional dan proses perawatan rumah
sakit
Dalam menyusun perencanaan, ditentukan prioritas
kebutuhan informasi dari sumber-sumber strategi manajemen informasi rumah sakit
sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas pelayanan, ketersediaan staf
terlatih, dan sumber daya manusia serta teknikal lainnya. Perencanaan yang
komprehensif meliputi seluruh unit kerja dan pelayanan yang ada di rumah sakit.
Rumah sakit melakukan pemantauan dan evaluasi
secara berkala sesuai ketentuan rumah sakit terhadap perencanaan tersebut.
Selanjutnya, rumah sakit melakukan upaya perbaikan berdasarkan hasil pemantauan
dan evaluasi berkala yang telah dilakukan .
Apabila rumah sakit menyelenggarakan program
penelitian dan atau pendidikan kesehatan maka pengelolaan terdapat data dan informasi yang mendukung
asuhan pasien, pendidikan, serta riset telah tersedia tepat waktu dari sumber
data terkini.
3) Elemen Penilaian MRMIK 1
a) Rumah
sakit menetapkan regulasi pengelolaan informasi untuk memenuhi kebutuhan
informasi sesuai poin a) – g) yang terdapat dalam gambaran umum.
b) Terdapat
bukti rumah sakit telah menerapkan proses pengelolaan informasi untuk memenuhi
kebutuhan PPA, pimpinan rumah sakit, kepala departemen/unit layanan dan
badan/individu dari luar rumah sakit.
c) Proses
yang diterapkan sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas layanan,
ketersediaan staf terlatih, sumber daya teknis, dan sumber daya lainnya.
d) Rumah
sakit melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala sesuai ketentuan rumah
sakit serta upaya perbaikan terhadap pemenuhan informasi internal dan eksternal
dalam mendukung asuhan, pelayanan, dan mutu serta keselamatan pasien.
e) Apabila
terdapat program penelitian dan atau pendidikan Kesehatan di rumah sakit,
terdapat bukti bahwa data dan informasi yang mendukung asuhan pasien,
pendidikan, serta riset telah tersedia tepat waktu dari sumber data
terkini.
4) Standar MRMIK 2
Seluruh komponen dalam rumah sakit termasuk
pimpinan rumah sakit, PPA, kepala unit klinis/non klinis dan staf dilatih
mengenai prinsip manajemen dan penggunaan informasi.
5) Maksud dan Tujuan MRMIK 2
Seluruh komponen dalam rumah sakit termasuk
pimpinan rumah sakit, PPA, kepala unit klinis/non klinis dan staf akan
mengumpulkan dan menganalisis, serta menggunakan data dan informasi. Dengan
demikian, mereka harus dilatih tentang prinsip pengelolaan dan penggunaan
informasi agar dapat berpartisipasi secara efektif.
Pelatihan tersebut berfokus
pada:
a) penggunakan
sistem informasi, seperti sistem rekam medis elektronik, untuk melaksanakan
tanggung jawab pekerjaan mereka secara efektif dan menyelenggarakan perawatan
secara efisien dan aman;
b) Pemahaman
terhadap kebijakan dan prosedur untuk memastikan keamanan dan kerahasiaan data
dan informasi;
c) Pemahaman
dan penerapan strategi untuk pengelolaan data, informasi, dan dokumentasi
selama waktu henti (downtime ) yang
direncanakan dan tidak terencana;
d) Penggunaan
data dan informasi untuk membantu pengambilan keputusan;
e) Komunikasi
yang mendukung partisipasi pasien dan keluarga dalam proses perawatan; dan
f) Pemantauan
dan evaluasi untuk mengkaji dan meningkatkan proses kerja serta perawatan.
Semua staf
dilatih sesuai tanggung jawab, uraian tugas, serta kebutuhan data dan
informasi. Rumah sakit yang menggunakan sistem rekam medis elektronik harus
memastikan bahwa staf yang dapat mengakses, meninjau, dan/atau
mendokumentasikan dalam rekam medis pasien telah mendapatkan edukasi untuk
menggunakan sistem secara efektif dan efisien.
PPA, peneliti, pendidik, kepala unit klinis / non
klinis sering kali membutuhkan informasi untuk membantu mereka dalam
pelaksanaan tanggung jawab. Informasi demikian termasuk literatur ilmiah dan
manajemen, panduan praktik klinis, hasil penelitian, metode pendidikan.
Internet, materi cetakan di perpustakaan, sumber pencarian daring (online), dan
materi pribadi yang semuanya merupakan sumber yang bernilai sebagai informasi
terkini.
Proses manajemen informasi memungkinkan
penggabungan informasi dari berbagai sumber dan menyusun laporan untuk
menunjang pengambilan keputusan. Secara khusus, kombinasi informasi klinis dan
non klinis membantu pimpinan departemen/pelayanan untuk menyusun rencana secara
kolaboratif. Proses manajemen informasi mendukung para pimpinan
departemen/pelayanan dengan data perbandingan dan data longitudinal
terintegrasi.
6) Elemen Penilaian MRMIK 2
a) Terdapat
bukti PPA, pimpinan rumah sakit, kepala departemen, unit layanan dan staf telah
dilatih tentang prinsip pengelolaan dan penggunaan sistem informasi sesuai
dengan peran dan tanggung jawab mereka.
b) Terdapat
bukti bahwa data dan informasi klinis serta non klinis diintegrasikan sesuai
kebutuhan dan digunakan dalam mendukung proses pengambilan keputusan.
7) Standar MRMIK 2.1
Rumah sakit menjaga kerahasiaan, keamanan, privasi,
integritas data dan informasi melalui proses untuk mengelola dan mengontrol
akses.
8) Standar MRMIK 2.2
Rumah sakit menjaga kerahasiaan, keamanan,
privasi, integritas data dan informasi melalui proses yang melindungi data dan
informasi dari kehilangan, pencurian, kerusakan, dan penghancuran.
9) Maksud dan Tujuan MRMIK 2.1 dan MRMIK 2.2
Rumah sakit menjaga kerahasiaan, keamanan,
integritas data dan informasi pasien yang bersifat sensitif. Keseimbangan antara
keterbukaan dan kerahasiaan data harus diperhatikan. Tanpa memandang apakah
rumah sakit menggunakan sistem informasi menggunakan kertas dan/atau
elektronik, rumah sakit harus menerapkan langkah-langkah untuk mengamankan dan
melindungi data dan informasi yang dimiliki.
Data dan informasi meliputi rekam medis pasien,
data dari peralatan dan perangkat medis, data penelitian, data mutu, data
tagihan, data sumber daya manusia, data operasional dan keuangan serta sumber
lainnya, sebagaimana berlaku untuk rumah sakit. Langkah-langkah keamanan
mencakup proses untuk mengelola dan mengontrol akses. Sebagai contoh, untuk
menjaga kerahasiaan dan keamanan rekam medis pasien, rumah sakit menentukan
siapa yang berwenang untuk mengakses rekam medis dan tingkat akses individu
yang berwenang terhadap rekam medis tersebut. Jika menggunakan sistem informasi
elektronik, rumah sakit mengimplementasikan proses untuk memberikan otorisasi
kepada pengguna yang berwenang sesuai dengan tingkat akses mereka.
Bergantung pada tingkat aksesnya, pengguna yang
berwenang dapat memasukkan data, memodifikasi, dan menghapus informasi, atau
hanya memiliki akses untuk hanya membaca atau akses terbatas ke beberapa
sistem/modul. Tingkat akses untuk sistem rekam medis elektronik dapat mengidentifikasi siapa yang dapat mengakses dan membuat entry
dalam rekam medis, memasukkan instruksi untuk pasien, dan sebagainya. Rumah
sakit juga menentukan tingkat akses untuk data lainnya seperti data peningkatan
mutu, data laporan keuangan, dan data kinerja rumah sakit. Setiap staf memiliki
tingkat akses dan kewenangan yang berbeda atas data dan informasi sesuai dengan
kebutuhan, peran dan tanggung jawab staf tersebut.
Proses pemberian
otorisasi yang efektif harus mendefinisikan:
a) Siapa
yang memiliki akses terhadap data dan informasi, termasuk rekam medis pasien;
b) Informasi
mana yang dapat diakses oleh staf tertentu
(dan tingkat aksesnya);
c) Proses
untuk memberikan hak akses kepada staf yang berwenang;
d) Kewajiban
staf untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan informasi;
e) Proses
untuk menjaga integritas data (keakuratan, konsistensi, dan kelengkapannya);
dan
f) Proses
yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan, keamanan,
ataupun integritas data.
Untuk rumah sakit dengan sistem informasi
elektronik, pemantauan terhadap data dan informasi pasien melalui audit
keamanan terhadap penggunaan akses dapat
membantu melindungi kerahasiaan dan keamanan. Rumah sakit menerapkan proses
untuk secara proaktif memantau catatan penggunaan akses. Pemantauan keamanan
dilakukan secara rutin sesuai ketentuan rumah sakit untuk mengidentifikasi
kerentanan sistem dan pelanggaran terhadap kebijakan kerahasiaan dan keamanan.
Misalnya, sebagai bagian dari proses ini, rumah
sakit dapat mengidentifikasi pengguna sistem yang telah mengubah, mengedit,
atau menghapus informasi dan melacak perubahan yang dibuat pada rekam medis
elektronik. Hasil proses pemantauan tersebut dapat digunakan untuk melakukan
validasi apakah penggunaan akses dan otorisasi telah diterapkan dengan tepat.
Pemantauan keamanan juga efektif dalam mengidentifikasi kerentanan dalam
keamanan, seperti adanya akses pengguna yang perlu diperbarui atau dihapus
karena perubahan atau pergantian staf.
Saat menggunakan rekam medis elektronik,
langkahlangkah keamanan tambahan untuk masuk/login ke dalam sistem harus
diterapkan. Sebagai contoh, rumah sakit memiliki proses untuk memastikan bahwa
staf mengakses sistem (login) menggunakan kredensial unik yang
diberikan hanya untuk mereka dan kredensial tersebut tidak dipakai bersama
orang lain. Selain proses untuk mengelola dan mengendalikan akses, rumah sakit
memastikan bahwa seluruh data dan informasi rekam medis berbentuk cetak atau
elektronik dilindungi dari kehilangan,
pencurian, gangguan, kerusakan, dan penghancuran yang tidak diinginkan.
Penting bagi rumah sakit untuk menjaga dan memantau
keamanan data dan informasi, baik yang disimpan dalam bentuk cetak maupun
elektronik terhadap kehilangan, pencurian dan akses orang yang tidak berwenang.
Rumah sakit menerapkan praktik terbaik untuk keamanan data dan memastikan
penyimpanan catatan, data, dan informasi medis yang aman dan terjamin.
Contoh langkah-langkah dan strategi keamanan
termasuk, tetapi tidak terbatas pada, berikut ini:
a) Memastikan
perangkat lunak keamanan dan pembaruan sistem sudah menggunakan versi terkini
dan terbaru
b) Melakukan
enkripsi data, terutama untuk data yang disimpan dalam bentuk digital
c) Melindungi
data dan informasi melalui strategi cadangan (back up) seperti penyimpanan di luar lokasi dan/atau layanan
pencadangan cloud
d) Menyimpan
dokumen fisik rekam medis di lokasi yang tidak terkena panas serta aman dari
air dan api
e) Menyimpan
dokumen rekam medis aktif di area yang hanya dapat diakses oleh staf yang
berwenang.
f) Memastikan
bahwa ruang server dan ruang untuk penyimpanan dokumen fisik rekam medis
lainnya aman dan hanya dapat diakses oleh staf yang berwenang
g) Memastikan
bahwa ruang server dan ruang untuk penyimpanan rekam medis fisik memiliki suhu
dan tingkat kelembaban yang tepat.
10) Elemen Penilaian MRMIK 2.1
a) Rumah
sakit menerapkan proses untuk memastikan kerahasiaan, keamanan, dan integritas
data dan informasi sesuai dengan peraturan perundangan.
b) Rumah
sakit menerapkan proses pemberian akses kepada staf yang berwenang untuk
mengakses data dan informasi, termasuk entry
ke dalam rekam medis pasien.
c) Rumah
sakit memantau kepatuhan terhadap proses ini dan mengambil tindakan ketika
terjadi terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan, keamanan, atau integritas
data.
11) Elemen Penilaian MRMIK 2.2
a) Data
dan informasi yang disimpan terlindung dari kehilangan, pencurian, kerusakan,
dan penghancuran.
b) Rumah
sakit menerapkan pemantauan dan evaluasi terhadap keamanan data dan informasi.
c) Terdapat
bukti rumah sakit telah melakukan tindakan perbaikan untuk meningkatkan
keamanan data dan informasi.
b. Pengelolaan dokumen
1) Standar MRMIK 3
Rumah Sakit menerapkan proses pengelolaan dokumen,
termasuk kebijakan, pedoman, prosedur, dan program kerja secara konsisten dan
seragam.
2) Maksud dan Tujuan MRMIK 3
Kebijakan dan prosedur bertujuan untuk memberikan
acuan yang seragam mengenai fungsi klinis dan non-klinis di rumah sakit. Rumah
Sakit dapat membuat Tata naskah untuk memandu cara menyusun dan mengendalikan
dokumen misalnya kebijakan, prosedur, dan program rumah sakit. Dokumen pedoman
tata naskah mencakup beberapa komponen kunci sebagai berikut:
a) Peninjauan
dan persetujuan semua dokumen oleh pihak yang berwenang sebelum
diterbitkan
b) Proses
dan frekuensi peninjauan dokumen serta persetujuan berkelanjutan
c) Pengendalian
untuk memastikan bahwa hanya
dokumen
versi terbaru/terkini dan relevan yang tersedia
d) Bagaimana
mengidentifikasi adanya perubahan dalam dokumen
e) Pemeliharaan
identitas dan keterbacaan dokumen
f) Proses
pengelolaan dokumen yang berasal dari luar rumah sakit
g) Penyimpanan
dokumen lama yang sudah tidak terpakai (obsolete)
setidaknya selama waktu yang ditentukan oleh peraturan perundangan, sekaligus
memastikan bahwa dokumen tersebut tidak akan salah digunakan
h) Identifikasi
dan pelacakan semua dokumen yang beredar (misalnya, diidentifikasi berdasarkan
judul, tanggal terbit, edisi dan/atau tanggal revisi terbaru, jumlah halaman,
dan nama orang yang mensahkan pada saat penerbitan dan revisi dan/atau meninjau
dokumen tersebut)
Proses-proses tersebut diterapkan dalam menyusun
serta memelihara dokumen termasuk kebijakan, prosedur, dan program kerja.
Dokumen internal rumah sakit terdiri dari regulasi
dan dokumen pelaksanaan. Terdapat beberapa tingkat dokumen internal,
yaitu:
a) dokumen
tingkat pemilik/korporasi;
b) dokumen
tingkat rumah sakit; dan
c) dokumen
tingkat unit (klinis dan non klinis), mencakup:
(1) Kebijakan
di tingkat unit (klinis dan non klinis)
(2) Pedoman
pengorganisasian
(3) Pedoman
pelayanan/penyelenggaraan
(4) Standar
operasional prosedur (SOP)
(5) Program
kerja unit (tahunan)
3) Elemen Penilaian MRMIK 3
a) Rumah
sakit menerapkan pengelolaan dokumen sesuai dengan butir a) – h) dalam maksud
dan tujuan.
b) Rumah
sakit memiliki dan menerapkan format yang seragam untuk semua dokumen sejenis
sesuai dengan ketentuan rumah sakit.
c) Rumah
sakit telah memiliki dokumen internal mencakup butir a) – c) dalam maksud dan
tujuan.
4) Standar MRMIK 4
Kebutuhan data dan informasi dari pihak dalam dan
luar rumah sakit dipenuhi secara tepat waktu dalam format yang memenuhi harapan
pengguna dan dengan frekuensi yang diinginkan.
5) Maksud dan Tujuan MRMIK 4
Penyebaran data dan informasi untuk memenuhi
kebutuhan pihak di dalam dan di luar rumah sakit merupakan aspek penting dari
manajemen informasi. Rumah sakit menetapkan mekanisme untuk melakukan
penyebaran data secara internal dan eksternal. Mekanisme tersebut mengatur agar
data yang diberikan tepat waktu dan menggunakan format yang ditetapkan.
Secara internal, penyebaran data dan informasi
dapat dilakukan antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang merawat pasien,
termasuk dokter, perawat, dietisien, apoteker, dan staf klinis lainnya yang
memerlukan akses ke informasi terbaru dan semua bagian dari rekam medis pasien.
Secara eksternal, rumah sakit dapat memberikan data
dan informasi kepada Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan, tenaga kesehatan
(seperti dokter perawatan primer pasien di komunitas), layanan dan organisasi
kesehatan luar (seperti laboratorium luar atau rumah sakit rujukan), dan
individu (seperti pasien yang meminta rekam medis mereka setelah keluar dari
rumah sakit).
Format dan kerangka waktu untuk menyebarkan data
dan informasi dirancang untuk memenuhi harapan pengguna sesuai dengan layanan
yang diberikan. Ketika data dan informasi dibutuhkan untuk perawatan pasien,
data dan informasi tersebut harus disediakan pada waktu yang tepat guna
mendukung kesinambungan perawatan dan keselamatan pasien.
Contoh penyebaran informasi untuk memenuhi harapan
pengguna meliputi beberapa hal di bawah ini namun tidak terbatas pada :
a) Pelaporan
dan pembaharuan data rumah sakit yang terdapat di aplikasi RS Online
Kementerian Kesehatan;
b) Data
kunjungan rumah sakit, data pelayanan rumah sakit seperti pelayanan
laboratorium dan radiologi, data indikator layanan rumah sakit, morbiditas,
mortalitas dan sepuluh besar penyakit di rawat jalan dan rawat inap dengan
menggunakan kode diagnosis ICD 10 pada aplikasi SIRS Online Kementerian
Kesehatan;
c) Memberikan
data dan
informasi spesifik yang
diminta/dibutuhkan;
d) Menyediakan
laporan dengan frekuensi yang dibutuhkan oleh staf atau rumah sakit;
e) Menyediakan
data dan informasi dalam format yang memudahkan penggunaannya;
f) Menghubungkan
sumber data dan informasi; dan
g) Menginterpretasi
atau mengklarifikasi data.
6) Elemen Penilaian MRMIK 4
a) Terdapat
bukti bahwa penyebaran data dan informasi memenuhi kebutuhan internal dan
eksternal rumah sakit sesuai dengan yang tercantum dalam maksud dan tujuan.
b) Terdapat
proses yang memastikan bahwa data dan informasi yang dibutuhkan untuk perawatan
pasien telah diterima tepat waktu dan sesuai format yang seragam dan sesuai
dengan kebutuhan.
c. Rekam Medis Pasien
1) Standar MRMIK 5
Rumah sakit menetapkan penyelenggaraan dan
pengelolaan rekam medis terkait asuhan pasien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan MRMIK 5
Penyelenggaraan rekam medis merupakan proses
kegiatan yang dimulai sejak saat pasien diterima rumah sakit dan mendapat
asuhan medis, keperawatan, dan profesional pemberi asuhan lainnya. Proses
penyelenggaraan rekam medis ini dilanjutkan sampai dengan pasien pulang,
dirujuk, atau meninggal.
Kegiatan pengelolaan rekam medis yang meliputi:
penerimaan pasien, asembling, analisis koding, indeksing, penyimpanan,
pelaporan dan pemusnahan.
Rumah sakit menetapkan unit yang mengelola sistem
rekam medis secara tepat, bernilai, dan dapat dipertanggungjawabkan. Unit kerja
rekam medis memiliki struktur organisasi, uraian tugas, fungsi, tanggungjawab
dan tata hubungan kerja dengan unit pelayanan lain.
Informasi kesehatan (rekam medis) baik kertas
maupun elektronik harus dijaga keamanan dan kerahasiaannya dan disimpan sesuai
dengan peraturan perundangan. Informasi
kesehatan yang dikelola secara elektronik harus menjamin keamanan dan
kerahasiaan dalam 3 (tiga) tempat, yaitu server di dalam rumah sakit, salinan (backup) data rutin, dan data virtual (cloud) atau salinan (backup) data di luar rumah sakit.
Penyimpanan dokumen fisik rekam medis mencakup
lokasi yang tidak terkena panas serta aman dari air dan api, hanya dapat
diakses oleh staf yang berwenang dan memastikan ruang penyimpanan rekam medis
fisik memiliki suhu dan tingkat kelembaban yang tepat.
3)
Elemen
Penilaian MRMIK 5
a) Rumah
sakit telah menetapkan regulasi tentang penyelenggaraan rekam medis di rumah
sakit.
b) Rumah
sakit menetapkan unit penyelenggara rekam medis dan 1 (satu) orang yang
kompeten mengelola rekam medis.
c) Rumah
Sakit menerapkan penyelenggaraan Rekam Medis yang dilakukan sejak pasien masuk
sampai pasien pulang, dirujuk, atau meninggal.
d) Tersedia
penyimpanan rekam medis yang menjamin keamanan dan kerahasiaan baik kertas
maupun elektronik.
4)
Standar
MRMIK 6
Setiap pasien memiliki rekam medis yang
terstandardalam format yang seragam dan selalu diperbaharui (terkini) dan diisi
sesuai dengan ketetapan rumah sakit dalam tatacara pengisian rekam medis.
5)
Maksud
dan Tujuan MRMIK 6
Setiap pasien memiliki rekam medis, baik dalam
bentuk kertas maupun elektronik yang merupakan sumber informasi utama mengenai
proses asuhan dan perkembangan pasien serta media komunikasi yang penting. Oleh
karena itu, rekam medis harus selalu dievaluasi dan diperbaharui sesuai dengan
kebutuhan dalam pelayanan pasien. Standardisasi dan identifikasi formulir rekam
medis diperlukan untuk memberikan kemudahan PPA dalam melakukan
pendokumentasian pada rekam medis pasien dan kemudahan dalam melakukan telusur
isi rekam medis, serta kerapian dalam penyimpanan rekam medis.
Rekam medis pasien dipastikan selalu tersedia
selama pemberian asuhan baik di rawat jalan, rawat inap maupun gawat darurat.
Rumah sakit memastikan isi, format dan tata cara pengisian dalam rekam medis
pasien sesuai dengan kebutuhan masing-masing PPA. Rumah sakit harus memiliki
standar formulir rekam medis sebagai acuan bagi tenaga kesehatan/Profesional
Pemberi Asuhan (PPA) dalam pelayanan pasien.
Pengelolaan rekam medis pasien harus mendukung
terciptanya sistem yang baik sejak formulir dibuat atau direviu, dan dievaluasi
penerapannya secara periodik, termasuk pengendalian rekam medis yang digunakan
dan retensi formulir yang sudah tidak digunakan lagi.
6)
Elemen
Penilaian MRMIK 6
a) Terdapat
bukti bahwa setiap pasien memiliki rekam medik dengan satu nomor RM sesuai
sistem penomoran yang ditetapkan.
b) Rekam
medis rawat jalan, rawat inap, gawat darurat dan pemeriksaan penunjang disusun
dan diisi sesuai ketetapan rumah sakit.
c) Terdapat
bukti bahwa formulir rekam medis dievaluasi dan diperbaharui (terkini) sesuai
dengan kebutuhan dan secara periodik.
7)
Standar
MRMIK 7
Rumah sakit menetapkan informasi yang akan dimuat
pada rekam medis pasien.
8)
Maksud
dan Tujuan MRMIK 7
Rumah sakit menetapkan data dan informasi spesifik
yang dicatat dalam rekam medis setiap pasien untuk melakukan
penilaian/pengkajian dan mendapatkan pengobatan maupun tindakan oleh
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) sebagai
pasien rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat. Ketetapan ini sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Rekam medis memuat informasi yang memadai
untuk:
a) Mengidentifikasi
pasien;
b) Mendukung
diagnosis;
c) Justifikasi/dasar
pemberian pengobatan;
d) Mendokumentasikan
hasil pemeriksaan dan hasil pengobatan;
e) Memuat
ringkasan pasien pulang (discharge
summary); dan
f) Meningkatkan
kesinambungan pelayanan diantara Profesional Pemberi Asuhan (PPA).
9)
Elemen
Penilaian MRMIK 7
a) Terdapat
bukti rekam medis pasien telah berisi informasi yang sesuai dengan ketetapan
rumah sakit dan peraturan perundangan yang berlaku.
b) Terdapat
bukti rekam medis pasien mengandung informasi yang memadai sesuai butir a) – f)
pada maksud dan tujuan.
10) Standar MRMIK 8
Setiap catatan (entry)
pada rekam medis pasien mencantumkan identitas Profesional Pemberi Asuhan (PPA)
yang menulis dan kapan catatan tersebut ditulis di dalam rekam medis.
11) Maksud dan Tujuan MRMIK 8
Rumah sakit memastikan bahwa setiap catatan dalam
rekam medis dapat diidentifikasi dengan tepat, dimana setiap pengisian rekam
medis ditulis tanggal, jam, serta indentitas Profesional Pemberi Asuhan ( PPA )
berupa nama jelas dan tanda tangan/paraf. Rumah sakit menetapkan proses
pembenaran/koreksi terhadap kesalahan penulisan catatan dalam rekam medis. Selanjutnya
dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penulisan identitas, tanggal dan
waktu penulisan catatan pada rekam medis pasien serta koreksi penulisan catatan
dalam rekam medis.
12) Elemen Penilaian MRMIK 8
a) PPA
mencantumkan identitas secara jelas pada saat mengisi RM.
b) Tanggal
dan waktu penulisan setiap catatan dalam rekam medis pasien dapat
diidentifikasi.
c) Terdapat
prosedur koreksi penulisan dalam pengisian RM elektronik dan non
elektronik.
d) Telah
dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penulisan identitas, tanggal dan
waktu penulisan catatan pada rekam medis pasien serta koreksi penulisan catatan
dalam rekam medis, dan hasil evaluasi yang ada telah digunakan sebagai dasar
upaya perbaikan di rumah sakit.
13) Standar MRMIK 9
Rumah
sakit menggunakan kode diagnosis, kode prosedur, penggunaan simbol dan
singkatan baku yang seragam dan terstandar.
14) Maksud dan Tujuan MRMIK 9
Penggunaan kode, simbol, dan singkatan yang
terstandar berguna untuk mencegah terjadinya kesalahan komunikasi dan kesalahan
pemberian asuhan kepada pasien. Penggunaan singkatan yang baku dan seragam
menunjukkan bahwa singkatan, kode, simbol yang digunakan mempunyai satu
arti/makna yang digunakan dan berlaku di semua lingkungan rumah sakit.
Rumah sakit menyusun dan menetapkan daftar atau penggunaan kode, simbol dan singkatan yang digunakan dan
tidak boleh digunakan di rumah sakit.
Penggunaan kode, simbol, dan singkatan baku yang seragam harus konsisten
dengan standar praktik profesional. Prinsip penggunaan kode di rekam medis
utamanya menggunakan ICD-10 untuk kode Penyakit dan dan ICD9 CM untuk kode
Tindakan. Penggunaan kode di rekam medis sesuai dengan standar yang ditetapkan
rumah sakit serta dilakukan evaluasi terkait penggunaan kode tersebut.
15) Elemen Penilaian MRMIK 9
a) Penggunaan
kode diagnosis, kode prosedur, singkatan dan simbol sesuai dengan ketetapan rumah sakit.
b) Dilakukan
evaluasi secara berkala penggunaan kode diagnosis, kode prosedur, singkatan dan
simbol yang berlaku di rumah sakit dan hasilnya digunakan sebagai upaya tindak
lanjut untuk perbaikan.
16) Standar MRMIK 10
Rumah sakit menjamin keamanan, kerahasiaan dan
kepemilikan rekam medis serta privasi
pasien.
17) Maksud dan Tujuan MRMIK 10
Rekam medis adalah pusat informasi yang digunakan
untuk tujuan klinis, penelitian, bukti hukum, administrasi, dan keuangan,
sehingga harus dibatasi aksesibilitasnya. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab
atas kehilangan, kerusakan pemalsuan dan/atau penggunaan oleh orang atau badan
yang tidak berhak terhadap rekam medis. Rekam medis,
baik kertas atau elektronik, adalah alat komunikasi yang mendukung pengambilan
keputusan
klinis, koordinasi pelayanan, evaluasi mutu dan
ketepatan perawatan, penelitian,
perlindungan hukum, pendidikan, dan akreditasi serta proses manajemen. Dengan
demikian, setiap pengisian rekam medis harus dapat dijamin otentifikasinya.
Menjaga kerahasiaan yang dimaksud termasuk adalah
memastikan bahwa hanya individu yang berwenang yang memiliki akses ke informasi
tersebut. Selain keamanan dan kerahasian maka dibutuhkan privasi sebagai hak
“untuk menjadi diri sendiri atau hak otonomi”, hak untuk “menyimpan informasi
tentang diri mereka sendiri dari yang diungkapkan kepada orang lain; hak untuk
diketahui diri sendiri, maupun gangguan dari pihak yang tidak berkepentingan
kecuali yang dimungkinkan atas perintah peraturan perundang-undangan.
18) Elemen Penilaian MRMIK 10
a) Rumah
sakit menentukan otoritas pengisian rekam medis termasuk isi dan format rekam
medis.
b) Rumah
Sakit menentukan hak akses dalam pelepasan informasi rekam medis
c) Rumah
sakit menjamin otentifikasi, keamanan dan kerahasiaan data rekam medis baik
kertas maupun elektronik sebagai bagian dari hak pasien.
19) Standar MRMIK 11
Rumah sakit mengatur lama penyimpanan rekam medis,
data, dan informasi pasien.
20) Maksud dan Tujuan MRMIK 11
Rumah sakit menentukan jangka waktu penyimpanan
rekam medis (kertas/elektronik), data, dan informasi lainnya terkait pasien
sesuai dengan peraturan perundang- undangan untuk mendukung asuhan pasien,
manajemen, dokumentasi yang sah secara hukum, serta pendidikan dan penelitian.
Rumah sakit bertanggungjawab terhadap keamanan dan kerahasiaan data rekam medis
selama proses penyimpanan sampai dengan pemusnahan.
Untuk rekam medis dalam bentuk kertas dilakukan
pemilahan rekam medis aktif dan rekam medis yang tidak aktif serta disimpan
secara terpisah. Penentuan jangka waktu penyimpanan rekam medis ditentukan atas
dasar nilai manfaat setiap rekam medis yang konsisten dengan kerahasiaan dan
keabsahan informasi.
Bila jangka waktu penyimpanan sudah habis maka
rekam medis, serta data dan informasi yang terkait pasien dimusnahkan dengan
prosedur yang tidak membahayakan keamanan dan kerahasiaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Rumah sakit menetapkan dokumen, data dan/atau informasi
tertentu terkait pasien yang memiliki nilaiguna untuk disimpan abadi
(permanen).
21) Elemen Penilaian MRMIK 11
a) Rumah
sakit memiliki regulasi jangka waktu penyimpanan berkas rekam medis
(kertas/elektronik), serta data dan informasi lainnya terkait dengan pasien dan
prosedur pemusnahannya sesuai dengan peraturan perundangan.
b) Dokumen,
data dan/informasi terkait pasien dimusnahkan setelah melampaui periode waktu
penyimpanan sesuai dengan peraturan perundangundangan dengan prosedur yang
tidak membahayakan keamanan dan kerahasiaan.
c) Dokumen,
data dan/atau informasi tertentu terkait pasien yang bernilai guna, disimpan abadi (permanen) sesuai dengan
ketetapan rumah sakit.
22) Standar MRMIK 12
Dalam upaya perbaikan kinerja, rumah sakit secara
teratur melakukan evaluasi atau pengkajian rekam medis.
23) Maksud dan tujuan MRMIK 12
Setiap rumah sakit sudah menetapkan isi dan format
rekam medis pasien dan mempunyai proses untuk melakukan pengkajian terhadap isi
dan kelengkapan berkas rekam medis. Proses tersebut merupakan bagian dari
kegiatan peningkatan kinerja rumah sakit yang dilaksanakan secara berkala.
Pengkajian rekam medis berdasarkan sampel yang mewakili PPA yang memberikan
pelayanan dan jenis pelayanan yang diberikan.
Proses pengkajian dilakukan oleh komite/tim rekam
medis melibatkan tenaga medis, keperawatan, serta PPA lainnya yang relevan dan
mempunyai otorisasi untuk mengisi rekam medis pasien. Pengkajian berfokus pada
ketepatan waktu, kelengkapan, keterbacaan, keabsahan dan ketentuan lainnya
seperti informasi klinis yang ditetapkan rumah sakit. Isi rekam medis yang
dipersyaratkan oleh peraturan perundangan dimasukkan dalam proses evaluasi
rekam medis. Pengkajian rekam medis di rumah sakit tersebut dilakukan terhadap
rekam medis pasien yang sedang dalam perawatan dan pasien yang sudah pulang.
Hasil pengkajian dilaporkan secara berkala kepada pimpinan rumah sakit dan
selanjutnya dibuat upaya perbaikan.
24) Elemen Penilaian MRMIK 12
a) Rumah
sakit menetapkan komite/tim rekam medis.
b) Komite/tim
secara berkala melakukan pengkajian rekam medis pasien secara berkala setiap
tahun dan menggunakan sampel yang mewakili (rekam medis pasien yang masih
dirawat dan pasien yang sudah pulang).
c) Fokus
pengkajian paling sedikit mencakup pada ketepatan waktu, keterbacaan,
kelengkapan rekam medis dan isi rekam medis sesuai dengan peraturan
perundangan.
d) Hasil
pengkajian yang dilakukan oleh komite/tim rekam medis dilaporkan kepada
pimpinan rumah sakit dan dibuat upaya perbaikan.
d. Teknologi Informasi
Kesehatan di Pelayanan Kesehatan
1) Standar MRMIK 13
Rumah sakit menerapkan sistem teknologi informasi
kesehatan di pelayanan kesehatan untuk mengelola data dan informasi klinis
serta non klinis sesuai peraturan perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan MRMIK 13
Sistem teknologi informasi di pelayanan kesehatan
merupakan seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator,
prosedur, teknologi, perangkat dan sumber daya manusia yang saling berkaitan
dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung peningkatan mutu pelayanan dan pembangunan kesehatan.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pencapaian sistem informasi
kesehatan diperlukan SIMRS yang menjadi media berupa sistem teknologi informasi
komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan
Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pengumpulan data, pelaporan dan
prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat.
Dalam pengembangan sistem informasi kesehatan,
rumah sakit harus mampu meningkatkan dan mendukung proses pelayanan kesehatan
yang meliputi:
a) Kecepatan,
akurasi, integrasi, peningkatan pelayanan, peningkatan efisiensi, kemudahan
pelaporan dalam pelaksanaan operasional
b) Kecepatan
mengambil keputusan, akurasi dan kecepatan identifikasi masalah dan kemudahan
dalam penyusunan strategi dalam pelaksanaan manajerial; dan
c) Budaya
kerja, transparansi, koordinasi antar unit, pemahaman sistem dan pengurangan
biaya adminstrasi dalam pelaksanaan organisasi
Apabila sistem informasi kesehatan yang dimiliki
oleh rumah sakit sudah tidak sesuai dengan kebutuhan operasional dalam
menunjang mutu pelayanan, maka dibutuhkan pengembangan sistem informasi
kesehatan yang mendukung mutu pelayanan agar lebih optimal dengan memperhatikan
peraturan yang ada. Sistem teknologi informasi rumah sakit harus dikelola
secara efektif dan komprehensif serta terintegrasi.
Individu yang mengawasi sistem teknologi informasi
kesehatan bertanggung jawab atas setidaknya hal-hal berikut:
a) Merekomendasikan
ruang, peralatan, teknologi, dan sumber daya lainnya kepada pimpinan rumah
sakit untuk mendukung sistem teknologi informasi di rumah sakit.
b) Mengkoordinasikan
dan melakukan kegiatan pengkajian risiko untuk menilai risiko keamanan
informasi, memprioritaskan risiko, dan mengidentifikasi perbaikan.
c) Memastikan
bahwa staf di rumah sakit telah dilatih tentang keamanan informasi dan
kebijakan serta prosedur yang berlaku.
d) Mengidentifikasi
pengukuran untuk menilai sistem contohnya penilaian terhadap efektifitas sistem
rekam medis elektronik bagi staf dan pasien.
3) Elemen Penilaian MRMIK 13
a) Rumah
sakit menetapkan regulasi tentang penyelenggaraan teknologi informasi kesehatan
b) Rumah
sakit menerapkan SIMRS sesuai dengan ketetapan dan peraturan perundangan yang
berlaku.
c) Rumah
sakit menetapkan unit yang bertanggung jawab sebagai penyelenggara SIMRS dan
dipimpim oleh staf kompeten.
d) Data
serta informasi klinis dan non klinis diintegrasikan sesuai dengan kebutuhan
untuk mendukung
pengambilan keputusan
e) Rumah
sakit telah menerapkan proses untuk menilai efektifitas sistem rekam medis
elektronik dan melakukan upaya perbaikan terkait hasil penilaian yang ada.
4) Standar MRMIK 13.1
Rumah sakit mengembangkan, memelihara, dan menguji
program untuk mengatasi waktu henti (downtime)
dari sistem data, baik yang terencana maupun yang tidak terencana.
5) Maksud dan tujuan MRMIK 13.1
Sistem data adalah bagian yang penting dalam
memberikan perawatan/ pelayanan pasien yang aman dan bermutu tinggi. Interupsi
dan kegagalan sistem data adalah kejadian yang tidak bisa dihindari. Interupsi
ini sering disebut sebagai waktu henti (down
time), baik yang terencana maupun tidak terencana. Waktu henti, baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, dapat memengaruhi seluruh sistem atau
hanya memengaruhi satu aplikasi saja. Komunikasi adalah elemen penting dari
strategi kesinambungan pelayanan selama waktu henti. Pemberitahuan tentang waktu henti yang
direncanakan memungkinkan dilakukannya persiapan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa operasional dapat berlanjut dengan cara yang aman dan efektif.
Rumah sakit memiliki suatu perencanaan untuk mengatasi waktu henti (down time), baik yang terencana maupun
tidak terencana dengan melatih staf tentang prosedur alternatif, menguji
program pengelolaan gawat darurat yang dimiliki rumah sakit, melakukan
pencadangan data terjadwal secara teratur, dan menguji prosedur pemulihan
data
6) Elemen Penilaian MRMIK 13.1
a) Terdapat
prosedur yang harus dilakukan jika terjadi waktu henti sistem data (down time) untuk mengatasi masalah
pelayanan.
b) Staf
dilatih dan memahami perannya di dalam prosedur penanganan waktu henti sistem
data (down time), baik yang terencana
maupun yang tidak terencana.
c) Rumah
sakit melakukan evaluasi pasca terjadinya waktu henti sistem data (down time) dan menggunakan informasi
dari data tersebut untuk persiapan dan perbaikan apabila terjadi waktu henti (down time) berikutnya.
6. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
Gambaran umum
Tujuan program pencegahan dan pengendalian infeksi
adalah untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko infeksi yang didapat dan ditularkan di antara
pasien, staf, tenaga kesehatan, tenaga kontrak, sukarelawan, mahasiswa dan
pengunjung. Risiko dan kegiatan dalam program PPI dapat berbeda dari satu rumah
sakit ke rumah sakit yang lain, tergantung pada kegiatan dan pelayanan klinis
rumah sakit, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, jumlah pasien dan
jumlah staf. Prioritas program sebaiknya mencerminkan risiko yang telah
teridentifikasi tersebut, perkembangan global dan masyarakat setempat, serta
kompleksitas dari pelayanan yang diberikan. Penyelenggaraan program pencegahan
dan pengendalian infeksi (PPI) dikelola oleh Komite / Tim PPI yang ditetapkan
oleh Direktur rumah sakit. Agar kegiatan PPI dapat dilaksanakan secara efektif
maka dibutuhkan kebijakan dan prosedur, pelatihan dan pendidikan staf, metode
identifikasi risiko infeksi secara proaktif pada individu dan lingkungan serta
koordinasi ke semua bagian di rumah sakit.
Fokus Standar Pencegahan dan
pengendalian infeksi (PPI) meliputi:
a. Penyelenggaraan
PPI di Rumah Sakit
b. Program
PPI
c.
Pengkajian Risiko
d. Peralatan
medis dan/atau Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
e.
Kebersihan lingkungan
f.
Manajemen linen
g.
Limbah infeksius
h. Pelayanan
makanan
i.
Risiko infeksi pada konstruksi dan renovasi
j.
Penularan infeksi
k. Kebersihan
Tangan
l.
Peningkatan mutu dan program edukasi
m. Edukasi,
Pendidikan dan Pelatihan
a. Penyelenggaraan PPI di Rumah Sakit
1) Standar PPI 1
Rumah sakit menetapkan Komite/Tim PPI untuk
melakukan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
kegiatan PPI di rumah sakit serta menyediakan sumber daya untuk mendukung
program pencegahan dan pengendalian infeksi
2) Standar PPI 1.1
Direktur rumah sakit menetapkan Komite/Tim PPI
untuk mengelola dan mengawasi kegiatan PPI disesuaikan dengan jenis pelayanan,
kebutuhan, beban kerja, dan/atau klasifikasi rumah sakit sesuai sesuai
peraturan perundang undangan. Komite/Tim PPI dipimpin oleh seorang tenaga medis
yang mempunyai pengalaman klinis, pengalaman pencegahan dan pengendalian
infeksi (PPI) serta kepemimpinan sehingga dapat mengarahkan,
mengimplementasikan, dan mengukur perubahan.
Kualifikasi Ketua
Komite/Tim PPI dapat dipenuhi melalui pendidikan dan pelatihan,
sertifikasi atau surat izin.
Komite/tim PPI melibatkan staf klinis dan non
klinis, meliputi perawat PPI/IPCN, staf di bagian pemeliharaan fasilitas,
dapur, kerumahtanggaan (tata graha), laboratorium, farmasi, ahli epidemiologi,
ahli statistik, ahli mikrobiologi, staf sterilisasi (CSSD) serta staf bagian
umum. Tergantung pada besar kecilnya ukuran rumah sakit dan kompleksitas
layanan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Komite/tim PPI menetapkan mekanisme dan koordinasi
termasuk berkomunikasi dengan semua pihak di rumah sakit untuk memastikan
program berjalan efektif dan berkesinambungan.
Mekanisme koordinasi ditetapkan secara priodik
untuk melaksanakan program PPI dengan melibatkan pimpinan rumah sakit dan
Komite/Tim PPI. Koordinasi tersebut meliputi:
a)
Menetapkan kriteria untuk mendefinisikan infeksi
terkait pelayanan kesehatan;
b) Menetapkan
metode pengumpulan data (surveilans);
c)
Membuat strategi untuk menangani risiko PPI, dan
pelaporannya; dan
d) Berkomunikasi
dengan semua unit untuk memastikan bahwa program berkelanjutan dan
proaktif. Hasil koordinasi
didokumentasikan untuk meninjau efektivitas koordinasi program dan untuk
memantau adanya perbaikan progresif.
Rumah sakit menetapkan perawat PPI/IPCN (perawat
pencegah dan pengendali infeksi) yaitu perawat yang bekerja penuh waktu) dan
IPCLN (perawat penghubung pencegah dan
pengendali infeksi) berdasarkan jumlah
dan kualifikasinya sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas kegiatan,
tingkat risiko, cakupan program dan peraturan perundang undangan. Kualifikasi
pendidikan perawat tersebut minimal D-3 keperawatan dan sudah mengikuti
pelatihan perawat PPI.
Dalam melaksanakan kegiatan program PPI yang
berkesinambungan secara effektif dan effisien diperlukan dukungan sumber daya
meliputi tapi tidak terbatas pada:
a)
Ketersedian anggaran;
b) Sumber
daya manusia yang terlatih;
c)
Sarana prasarana dan perbekalan, untuk mencuci
tangan berbasis alkohol (handrub), dan
mencuci tangan dengan air mengalir (handwash),
kantong pembuangan sampah infeksius dll;
d) Sistem
manajemen informasi untuk mendukung penelusuran risiko, angka, dan tren infeksi
yang terkait dengan pelayanan kesehatan; dan
e)
Sarana penunjang lainnya untuk menunjang
kegiatan PPI yang dapat mempermudah kegiatan PPI.
Informasi dan data kegiatan PPI akan dintegrasikan
ke Komite/ Tim Penyelenggara Mutu untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien
rumah sakit oleh Komite / tim PPI setiap bulan.
3) Elemen Penilaian PPI 1
a)
Direktur rumah sakit telah menetapkan regulasi
PPI meliputi a - m pada gambaran umum.
b) Direktur
rumah sakit telah menetapkan komite/tim PPI untuk untuk mengelola dan mengawasi
kegiatan PPI di rumah sakit.
c)
Rumah sakit telah menerapkan mekanisme
koordinasi yang melibatkan pimpinan rumah sakit dan komite/tim PPI untuk
melaksanakan program PPI sesuai dalam maksud dan tujuan.
d) Direktur
rumah sakit memberikan dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan kegiatan
PPI meliputi namun tidak terbatas pada maksud dan tujuan.
4) Elemen Penialian PPI 1.1
a)
Rumah sakit menetapkan perawat PPI/IPCN purna
waktu dan IPCLN berdasarkan jumlah dan kualifikasi sesuai ukuran rumah sakit,
kompleksitas kegiatan, tingkat risiko, cakupan program dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b) Ada
bukti perawat PPI/IPCN melaksanakan supervisi pada semua kegiatan pencegahan
dan pengendalian infeksi di rumah sakit.
b. Program PPI
1) Standar PPI 2
Rumah sakit menyusun dan menerapkan program PPI
yang terpadu dan menyeluruh untuk mencegah penularan infeksi terkait pelayanan
kesehatan berdasarkan pengkajian risiko secara proaktif setiap tahun.
2) Maksud dan Tujuan PPI 2
Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat
dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan
program PPI.
Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas
kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta masyarakat dalam
lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui
kewaspadaan Isolasi terdiri dari kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi.
a) Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di
terapkan di rumah sakit adalah:
(1)
Kebersihan tangan
(2)
Alat Pelindung diri
(3)
Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
(4)
Pengendalian lingkungan
(5)
Pengelolaan limbah
(6)
Penatalaksanaan linen
(7) Perlindungan
kesehatan petugas
(8)
Penempatan pasien
(9)
Kebersihan pernafasan/etika batuk dan bersin
(10)
Praktik menyuntik yang aman
(11) Praktik
lumbal pungsi yang aman
b) Kewaspadaan Transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan
Kewaspadaan Standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah
terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai
berikut:
(1)
Melalui kontak
(2)
Melalui droplet
(3)
Melalui udara (Airborne Precautions)
3) Elemen Penilaian PPI 2
a)
Rumah sakit menetapkan kebijakan Program PPI
yang terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi sesuai maksud
dan tujuan diatas.
b) Rumah
sakit melakukan evaluasi pelaksanaan program PPI.
c. Pengkajian Risiko
1) Standar PPI 3
Rumah sakit melakukan pengkajian proaktif setiap
tahunnya sebagai dasar penyusunan program PPI terpadu untuk mencegah penularan
infeksi terkait pelayanan kesehatan.
2) Maksud dan Tujuan PPI 3
Risiko infeksi dapat berbeda antara rumah sakit,
tergantung ukuran rumah sakit, kompleksitas pelayanan dan kegiatan klinisnya,
populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, volume pasien, dan jumlah staf
yang dimiliki.
Rumah sakit secara proaktif setiap tahun melakukan
pengkajian risiko pengendalian infeksi (ICRA) terhadap tingkat dan
kecenderungan infeksi layanan kesehatan yang akan menjadi prioritas fokus
Program PPI dalam upaya pencegahan dan penurunan risiko. Pengkajian risiko tersebut meliputi namun
tidak terbatas pada:
a)
Infeksi-infeksi yang penting secara
epidemiologis yang merupakan data surveilans;
b) Proses
kegiatan di area-area yang berisiko tinggi terjadinya infeksi;
c)
Pelayanan yang menggunakan peralatan yang
berisiko infeksi;
d) Prosedur/tindakan-tindakan
berisiko tinggi;
e)
Pelayanan distribusi linen bersih dan kotor;
f)
Pelayanan sterilisasi alat;
g)
Kebersihan permukaan dan lingkungan;
h) Pengelolaan
linen/laundri;
i)
Pengelolaan sampah;
j)
Penyediaan makanan; dan
k) Pengelolaan
kamar jenazah
Data surveilans dikumpulkan di rumah sakit secara
periodik dan dianalisis setiap triwulan. Data surveilans ini meliputi:
a)
Saluran pernapasan seperti prosedur dan tindakan
terkait intubasi, bantuan ventilasi mekanis,
trakeostomi, dan lain-lain;
b) Saluran
kemih seperti kateter, pembilasan urine, dan lain lain;
c)
Alat invasif intravaskular, saluran vena
verifer, saluran vena sentral, dan lain-lain
d) Lokasi
operasi, perawatan, pembalutan luka, prosedur aseptik, dan lain-lain;
e)
Penyakit dan organisme yang penting dari sudut
epidemiologik seperti Multidrug Resistant
Organism dan infeksi yang virulen; dan
f)
Timbul nya penyakit infeksi baru atau timbul
kembali penyakit infeksi di masyarakat (Emerging
and or ReEmerging Disease).
Berdasarkan hasil pengkajian risiko pengendalian
infeksi (ICRA), Komite/Tim PPI menyusun Program PPI rumah sakit setiap
tahunnya.
Program pencegahan dan pengendalian infeksi harus
komprehensif, mencakup risiko infeksi bagi pasien maupun staf yang meliputi:
a)
Identifikasi dan penanganan:
(1) Masalah
infeksi yang penting secara epidemiologis seperti data surveilans
(2) Infeksi
yang dapat memberikan dampak bagi pasien, staf dan pengunjung:
b) Strategi
lintas unit: kegiatan di area-area yang berisiko tinggi terjadinya infeksi;
c)
Kebersihan tangan;
d) Pengawasan
untuk peningkatan penggunaan antimikroba yang aman serta memastikan penyiapan
obat yang aman;
e)
Investigasi wabah penyakit menular;
f)
Penerapan program vaksinasi untuk staf dan
pasien:
g)
Pelayanan sterilisasi alat dan pelayanan yang
menggunakan peralatan yang berisiko infeksi;
h) Pembersihan
permukaan dan kebersihan lingkungan;
i)
Pengelolaan linen/laundri;
j)
Pengelolaan sampah;
k) Penyediaan
makanan; dan
l)
Pengelolaan di kamar jenazah.
Rumah sakit juga melakukan kaji banding angka kejadian dan tren di rumah sakit lain
yang setara.
Ilmu pengetahuan terkait pengendalian infeksi
melalui pedoman praktik klinik, program pengawasan antibiotik, program PPI dan
pembatasan penggunaan peralatan invasif yang tidak diperlukan telah diterapkan
untuk menurunkan tingkat infeksi secara signifikan.
Penanggung jawab program menerapkan intervensi
berbasis bukti untuk meminimalkan risiko infeksi. Pemantauan yang berkelanjutan
untuk risiko yang teridentifikasi dan intervensi pengurangan risiko dipantau
efektivitasnya, termasuk perbaikan yang progresif dan berkelanjutan, serta
apakah sasaran program perlu diubah berdasarkan keberhasilan dan tantangan yang
muncul dari data pemantauan.
(3) Elemen Penilaian PPI 3
a)
Rumah sakit secara proaktif telah melaksanakan
pengkajian risiko pengendalian infeksi (ICRA) setiap tahunnya terhadap tingkat
dan kecenderungan infeksi layanan kesehatan sesuai poin a) – k) pada maksud dan
tujuan dan selanjutnya menggunakan data tersebut untuk membuat dan menentukan
prioritas/fokus pada Program PPI.
b) Rumah
sakit telah melaksanakan surveilans data secara periodik dan dianalisis setiap
triwulan meliputi
a) - f) dalam maksud dan tujuan.
d. Peralatan medis dan/atau Bahan
Medis Habis Pakai
1) Standar PPI. 4
Rumah sakit mengurangi risiko infeksi terkait
peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP) dengan memastikan
kebersihan, desinfeksi, sterilisasi, dan penyimpanan yang memenuhi syarat.
2) Maksud dan Tujuan PPI. 4
Prosedur/tindakan yang menggunakan peralatan medis
dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP), dapat menjadi sumber utama patogen
yang menyebabkan infeksi. Kesalahan dalam membersihkan, mendesinfeksi, maupun
mensterilisasi, serta penggunaan maupun penyimpanan yang tidak layak dapat
berisiko penularan infeksi. Tenaga Kesehatan harus mengikuti standar yang
ditetapkan dalam melakukan kebersihan, desinfeksi, dan sterilisasi. Tingkat
disinfeksi atau sterilisasi tergantung pada kategori peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP):
a)
Tingkat 1 - Kritikal: Benda yang dimasukkan ke
jaringan yang normal steril atau ke sistem vaskular dan membutuhkan
sterilisasi.
b) Tingkat
2 - Semi-kritikal: Benda yang menyentuh selaput lendir atau kulit yang tidak
intak dan membutuhkan disinfeksi tingkat tinggi.
c)
Tingkat 3 - Non-kritikal: Benda yang menyentuh
kulit intak tetapi tidak menyentuh selaput lendir, dan membutuhkan disinfeksi
tingkat rendah.
Pembersihan dan disinfeksi tambahan dibutuhkan
untuk peralatan medis dan/atau bahan
medis habis pakai (BMHP) yang digunakan pada pasien yang diisolasi sebagai
bagian dari kewaspadaan berbasis transmisi.
Pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi dapat
dilakukan di area CSSD atau, di area lain di rumah sakit dengan pengawasan.
Metode pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi dilakukan sesuai standar dan
seragam di semua area rumah sakit.
Staf yang memroses peralatan medis dan/atau BMHP
harus mendapatkan pelatihan. Untuk mencegah kontaminasi, peralatan medis
dan/atau BMHP bersih dan steril disimpan di area penyimpanan yang telah
ditetapkan, bersih dan kering serta terlindung dari debu, kelembaban, dan
perubahan suhu yang drastis. Idealnya, peralatan medis dan BMHP disimpan
terpisah dan area penyimpanan steril memiliki akses terbatas.
3) Elemen Penilaian PPI. 4
a)
Rumah sakit telah menerapkan pengolahan
sterilisasi mengikuti peraturan perundang-undangan.
b) Staf
yang memroses peralatan medis dan/atau BMHP
telah diberikan pelatihan dalam pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi
serta mendapat pengawasan.
c)
Metode
pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi dilakukan secara seragam di
semua area di rumah sakit.
d) Penyimpanan
peralatan medis dan/atau BMHP bersih dan steril disimpan dengan baik di area
penyimpanan yang ditetapkan, bersih dan kering dan terlindungi dari debu,
kelembaban, serta perubahan suhu yang ekstrem.
e)
Bila sterilisasi dilaksanakan di luar rumah
sakit harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki sertifikasi mutu dan ada
kerjasama yang menjamin kepatuhan proses sterilisasi sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
4) Standar PPI 4.1
Rumah sakit mengidentifikasi dan menetapkan proses
untuk mengelola peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP) yang
sudah kadaluwarsa dan penggunaan ulang (reuse)
alat sekali-pakai apabila diizinkan.
5) Maksud dan Tujuan PPI. 4.1
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan
proses mengelola peralatan medis dan/atau BMHP yang sudah habis waktu pakainya.
Rumah sakit menetapkan penggunaan kembali peralatan medis sekali pakai dan/atau
BMHP sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar profesional.
Beberapa alat medis sekali pakai dan/atau BMHP dapat digunakan lagi dengan
persyaratan spesifik tertentu. Rumah
sakit menetapkan ketentuan tentang penggunaan kembali alat medis sekali pakai
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar profesional meliputi:
a)
Alat dan material yang dapat dipakai kembali;
b) Jumlah
maksimum pemakaian ulang dari setiap alat secara spesifik;
c)
Identifikasi kerusakan akibat pemakaian dan
keretakan yang menandakan alat tidak dapat dipakai;
d) Proses
pembersihan setiap alat yang segera dilakukan sesudah pemakaian dan mengikuti
protokol yang jelas;
e)
Pencantuman identifikasi pasien pada bahan medis
habis pakai untuk hemodialisis;
f)
Pencatatan bahan medis habis pakai yang reuse di
rekam medis; dan
g)
Evaluasi untuk menurunkan risiko infeksi bahan
medis habis pakai yang di-reuse.
Ada 2 (dua) risiko jika menggunakan lagi (reuse) alat sekali pakai. Terdapat
risiko tinggi terkena infeksi dan juga terdapat risiko kinerja alat tidak cukup
atau tidak dapat terjamin sterilitas serta fungsinya Dilakukan pengawasan
terhadap proses untuk memberikan atau mencabut persetujuan penggunaan kembali alat medis sekali pakai
yang diproses ulang. Daftar alat sekali
pakai yang disetujui untuk digunakan kembali diperiksa secara rutin untuk
memastikan bahwa daftar tersebut akurat dan terkini.
6) Elemen Penilaian PPI .4.1
a)
Rumah sakit menetapkan peralatan medis dan/atau
BMHP yang dapat digunakan ulang meliputi a) – g) dalam maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit menggunakan proses
terstandardisasi untuk menentukan kapan peralatan medis dan/atau BMHP
yang digunakan ulang sudah tidak aman atau tidak layak digunakan ulang.
c)
Ada bukti pemantauan, evaluasi, dan tindak
lanjut pelaksanaan penggunaan kembali (reuse) peralatan medis dan/atau BMHP
meliputi a) – g) dalam maksud dan
tujuan.
e. Kebersihan Lingkungan
1) Standar PPI. 5
Rumah sakit mengidentifikasi dan menerapkan standar
PPI yang diakui untuk pembersihan dan disinfeksi permukaan dan lingkungan.
2) Maksud dan Tujuan PPI. 5
Patogen pada permukaan dan di seluruh lingkungan
berperan terjadinya penyakit yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired illness) pada pasien, staf, dan pengunjung.
Proses pembersihan dan disinfeksi lingkungan meliputi pembersihan lingkungan
rutin yaitu pembersihan harian kamar pasien dan area perawatan, ruang tunggu
dan ruang publik lainnya, ruang kerja staf, dapur, dan lain sebagainya.
Rumah sakit menetapkan frekuensi pembersihan,
peralatan dan cairan pembersih yang digunakan, staf yang bertanggung jawab
untuk pembersihan, dan kapan suatu area membutuhkan pembersihan lebih sering.
Pembersihan terminal dilakukan setelah pemulangan pasien; dan dapat
ditingkatkan jika pasien diketahui atau diduga menderita infeksi menular
sebagaimana diindikasikan oleh standar pencegahan dan pengendalian infeksi.
Hasil pengkajian risiko akan menentukan area berisiko tinggi yang memerlukan
pembersihan dan disinfeksi tambahan; misalnya area ruang operasi, CSSD, unit
perawatan intensif neonatal, unit luka bakar, dan unit lainnya. Pembersihan dan
disinfeksi lingkungan dipantau misalnya keluhan dan pujian dari pasien dan keluarga, menggunakan penanda fluoresens untuk
memeriksa patogen residual.
3) Elemen Penilaian PPI. 5
a)
Rumah sakit
menerapkan prosedur pembersihan dan disinfeksi permukaan dan lingkungan sesuai standar
PPI
b) Rumah
sakit melaksanakan pembersihan dan desinfeksi tambahan di area berisiko tinggi
berdasarkan hasil pengkajian
risiko
c)
Rumah sakit telah melakukan pemantauan proses
pembersihan dan disinfeksi lingkungan.
f.
Manajemen
Linen
Rumah sakit menerapkan pengelolaan linen/laundry
sesuai prinsipi PPI dan peraturan perundang undangan
1) Maksud dan Tujuan PPI 6
Penanganan
linen, dan laundry di rumah sakit meliputi pengumpulan, pemilahan,
pencucian, pengeringan, pelipatan, distribusi, dan penyimpanan.. Rumah sakit
mengidentifikasi area di mana staf harus untuk mengenakan APD sesuai prinsip
PPI dan peraturan perundang undangan.
2) Elemen Penilaian PPI.6
a)
Ada unit kerja pengelola linen/laundry yang
menyelenggarakan penatalaksanaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
b) Prinsip-prinsip
PPI diterapkan pada pengelolaan linen/laundry, termasuk pemilahan, transportasi,
pencucian, pengeringan, penyimpanan, dan distribusi
c)
Ada bukti supervisi oleh IPCN terhadap
pengelolaan linen/laundry sesuai dengan prinsip PPI termasuk bila dilaksanakan
oleh pihak luar rumah sakit.
g. Limbah infeksius
1) Standar PPI.7
Rumah sakit mengurangi risiko infeksi melalui
pengelolaan limbah infeksius sesuai peraturan perundang undangan
2) Standar PPI.7.1
Rumah sakit menetapkan pengelolaan kamar mayat dan
kamar bedah mayat sesuai dengan peraturan perundangundangan
3) Standar PPI 7.2
Rumah sakit menetapkan pengelolaan limbah benda
tajam dan jarum secara aman.
4) Maksud dan Tujuan PPI.7 , PPI 7,1, PPI 7,2
Setiap hari rumah sakit banyak menghasilkan limbah,
termasuk limbah infeksius. Pembuangan limbah infeksius dengan tidak benar dapat
menimbulkan risiko infeksi di rumah sakit. Hal ini nyata terjadi pada
pembuangan cairan tubuh dan material terkontaminasi dengan cairan tubuh,
pembuangan darah dan komponen darah, serta pembuangan limbah dari lokasi kamar
mayat dan kamar bedah mayat (post mortem).
Pemerintah mempunyai regulasi terkait dengan penanganan limbah infeksius dan
limbah cair, sedangkan rumah sakit diharapkan melaksanakan ketentuan tersebut
sehingga dapat mengurangi risiko infeksi di rumah sakit.
Rumah sakit menyelenggaraan pengelolaan limbah
dengan benar untuk meminimalkan risiko infeksi melalui kegiatan sebagai
berikut:
a)
Pengelolaan limbah cairan tubuh infeksius;
b) Penanganan
dan pembuangan darah serta komponen darah;
c)
Pemulasaraan jenazah dan bedah mayat;
d) Pengelolaan
limbah cair;
e)
Pelaporan pajanan limbah infeksius.
Salah satu bahaya luka karena tertusuk jarum suntik
adalah terjadi penularan penyakit melalui darah (blood borne diseases). Pengelolaan limbah benda tajam dan jarum
yang tidak benar merupakan kekhawatiran staf terhadap keamanannya. Kebiasaan
bekerja sangat memengaruhi timbulnya risiko menderita luka dan kemungkinan
terpapar penyakit secara potensial. Identifikasi dan melaksanakan kegiatan
praktik berdasar atas bukti sahih (evidence based) menurunkan risiko luka
karena tertusuk jarum dan benda tajam. Rumah sakit perlu mengadakan edukasi
kepada staf bagaimana mengelola dengan aman benda tajam dan jarum. Pembuangan
yang benar adalah dengan menggunakan wadah menyimpan khusus (safety box) yang
dapat ditutup, antitertusuk, dan antibocor baik di dasar maupun di sisinya
sesuai dengan peraturan perundangan. Wadah ini harus tersedia dan mudah
dipergunakan oleh staf serta wadah tersebut tidak boleh terisi terlalu
penuh.Pembuangan jarum yang tidak terpakai, pisau bedah (scalpel), dan limbah benda tajam lainnya jika tidak dilakukan
dengan benar akan berisiko terhadap kesehatan masyarakat umumnya dan terutama
pada mereka yang bekerja di pengelolaan sampah. Pembuangan wadah berisi limbah
benda tajam di laut, misalnya akan menyebabkan risiko pada masyarakat karena
wadah dapat rusak atau terbuka. Rumah sakit menetapkan regulasi yang memadai
mencakup semua tahapan proses, termasuk identifikasi jenis dan penggunaan wadah
secara tepat, pembuangan wadah, dan surveilans proses pembuangan
5) Elemen Penilaian PPI. 7
a)
Rumah sakit telah menerapkan pengelolaan limbah
rumah sakit untuk meminimalkan risiko infeksi yang meliputi a) – e) pada maksud
dan tujuan.
b) Penanganan
dan pembuangan darah serta komponen darah sesuai dengan regulasi, dipantau dan
dievaluasi, serta di tindak lanjutnya.
c)
Pelaporan pajanan limbah infeksius sesuai dengan
regulasi dan dilaksanakan pemantauan, evaluasi, serta tindak lanjutnya.
d) Bila
pengelolaan limbah dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit harus berdasar atas
kerjasama dengan pihak yang memiliki izin dan sertifikasi mutu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
6) Elemen Penilaian PPI 7.1
a)
Pemulasaraan jenazah dan bedah mayat sesuai
dengan regulasi.
b) Ada
bukti kegiatan kamar mayat dan kamar bedah mayat sudah dikelola sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c)
Ada bukti pemantauan dan evaluasi, serta tindak
lanjut kepatuhan prinsip-prinsip PPI sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7) Standar PPI 7.2
Rumah sakit menetapkan pengelolaan limbah benda
tajam dan jarum secara aman.
8) Maksud dan Tujuan PPI 7.2
Salah satu bahaya luka karena tertusuk jarum suntik
adalah terjadi penularan penyakit melalui darah (blood borne diseases).
Pengelolaan limbah benda tajam dan jarum yang tidak benar merupakan
kekhawatiran staf terhadap keamanannya. Kebiasaan bekerja sangat memengaruhi
timbulnya risiko menderita luka dan kemungkinan terpapar penyakit secara
potensial. Identifikasi dan melaksanakan kegiatan praktik berdasar atas bukti
sahih (evidence based) menurunkan risiko luka karena tertusuk jarum dan benda
tajam.
Rumah sakit perlu mengadakan edukasi kepada staf
bagaimana mengelola dengan aman benda tajam dan jarum. Pembuangan yang benar
adalah dengan menggunakan wadah menyimpan khusus (safety box) yang dapat
ditutup, antitertusuk, dan antibocor baik di dasar maupun di sisinya sesuai
dengan peraturan perundangan. Wadah ini harus tersedia dan mudah dipergunakan
oleh staf serta wadah tersebut tidak boleh terisi terlalu penuh.
Pembuangan jarum yang tidak terpakai, pisau bedah
(scalpel), dan limbah benda tajam lainnya jika tidak dilakukan dengan benar
akan berisiko terhadap kesehatan masyarakat umumnya dan terutama pada mereka
yang bekerja di pengelolaan sampah. Pembuangan wadah berisi limbah benda tajam
di laut, misalnya akan menyebabkan risiko pada masyarakat karena wadah dapat
rusak atau terbuka. Rumah sakit menetapkan regulasi yang memadai mencakup:
a)
Semua tahapan proses termasuk identifikasi jenis
dan penggunaan wadah secara tepat, pembuangan wadah, dan surveilans proses
pembuangan.
b) Laporan
tertusuk jarum dan benda tajam.
9) Elemen Penilaian PPI 7.2
a)
Benda tajam dan jarum sudah dikumpulkan,
disimpan di dalam wadah yang tidak tembus, tidak bocor, berwarna kuning, diberi
label infeksius, dan dipergunakan hanya sekali pakai sesuai dengan peraturan perundangundangan.
b) Bila
pengelolaan benda tajam dan jarum dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit
harus berdasar atas kerjasama dengan pihak yang memiliki izin dan sertifikasi
mutu sesuai dengan peraturan perundangundangan.
c)
Ada bukti data dokumen limbah benda tajam dan
jarum.
d) Ada
bukti pelaksanaan supervisi dan pemantauan oleh IPCN terhadap pengelolaan benda
tajam dan jarum sesuai dengan prinsip PPI, termasuk bila dilaksanakan oleh
pihak luar rumah sakit.
e)
Ada bukti pelaksanaan pemantauan kepatuhan prinsip-prinsip
PPI sesuai regulasi.
h. Pelayanan Makanan
1) Standar PPI 8
Rumah sakit mengurangi risiko infeksi terkait
penyelenggaraan pelayanan makanan.
2) Maksud dan Tujuan PPI 8
Penyimpanan dan persiapan makanan dapat menimbulkan
penyaklit seperti keracunan makanan atau infeksi makanan. Penyakit yang
berhubungan dengan makanan dapat sangat berbahaya bahkan mengancam jiwa pada
pasien yang kondisi tubuhnya sudah lemah karena penyakit atau cedera. Rumah
sakit harus memberikan makanan dan juga produk nutrisi dengan aman, yaitu
melakukan peyimpanan dan penyiapan makanan pada suhu tertentu yang dapat
mencegah perkembangan bakteri. Kontaminasi silang, terutama dari makanan mentah
ke makanan yang sudah dimasak adalah salah satu sumber infeksi makanan.
Kontaminasi silang dapat juga disebabkan oleh tangan yang terkontaminasi,
permukaan meja, papan alas untuk memotong makanan, ataupun kain yang digunakan
untuk mengelap permukaan meja atau mengeringkan piring. Selain itu, permukaan
yang digunakan untuk menyiapkan makanan; alat makan, perlengkapan masak, panci,
dan wajan yang digunakan untuk menyiapkan makanan; dan juga nampan, piring,
serta alat makan yang digunakan untuk menyajikan makanan juga dapat menimbulkan
risiko infeksi apabila tidak dibersihkan dan disanitasi secara tepat.
Bangunan dapur harus sesuai dengan ketentuan yang
meliputi alur mulai bahan makanan masuk sampai makanan jadi keluar, tempat
penyimpanan bahan makanan kering dan basah dengan temperatur yang
dipersyaratkan, tempat persiapan pengolahan, tempat pengolahan, pembagian dan
distribusi sesuai dengan peraturan dan perundangan termasuk kebersihan
lantai.
Berdasar atas hal tersebut di atas maka rumah sakit
agar menetapkan regulasi yang meliputi
a)
pelayanan makanan di rumah sakit mulai dari
pengelolaan bahan makanan, sanitasi dapur, makanan, alat masak, serta alat
makan untuk
mengurangi risiko infeksi dan
kontaminasi silang;
b) standar
bangunan, fasilitas dapur, dan pantry sesuai dengan peraturan perundangan
termasuk bila makanan diambil dari sumber lain di luar rumah sakit.
3) Elemen Penilaian PPI 8
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
pelayanan makanan di rumah sakit yang meliputi a) – b) pada maksud dan
tujuan.
b) Ada
bukti pelaksanaan yang penyimpanan bahan makanan, pengolahan,
pembagian/pemorsian, dan distribusi makanan sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c)
Ada bukti pelaksanaan penyimpanan makanan dan
produk nutrisi dengan memperhatikan kesehatan lingkungan meliputi sanitasi,
suhu, pencahayaan, kelembapan, ventilasi, dan keamanan untuk mengurangi risiko
infeksi.
i.
Risiko
infeksi pada konstruksi dan renovasi
1) Standar PPI 9
Rumah sakit menurunkan risiko infeksi pada
fasilitas yang terkait dengan pengendalian mekanis dan teknis (mechanical dan enginering controls) serta pada saat melakukan pembongkaran,
konstruksi, dan renovasi gedung.
2) Maksud dan Tujuan PPI 9
Pengendalian mekanis dan teknis (mechanical dan enginering controls) seperti sistem ventilasi bertekanan positif,
biological safety cabinet, laminary airflow hood, termostat di lemari
pendingin, serta pemanas air untuk sterilisasi piring dan alat dapur adalah
contoh peran penting standar pengendalian lingkungan harus diterapkan agar
dapat diciptakan sanitasi yang baik yang selanjutnya mengurangi risiko infeksi
di rumah sakit. Pembongkaran, konstruksi, renovasi gedung di area mana saja di
rumah sakit dapat merupakan sumber infeksi. Pemaparan terhadap debu dan kotoran
konstruksi, kebisingan, getaran, kotoran, dan bahaya lain dapat merupakan
bahaya potensial terhadap fungsi paru paru serta keamanan staf dan pengunjung.
Rumah sakit meggunakan kriteria risiko untuk menangani dampak renovasi dan
pembangunan gedung baru, terhadap persyaratan mutu udara, pencegahan dan
pengendalian infeksi, standar peralatan, syarat kebisingan, getaran, dan
prosedur darurat. Untuk menurunkan risiko infeksi maka rumah sakit perlu
mempunyai regulasi tentang penilaian risiko pengendalian infeksi (infection
control risk assessment/ICRA) untuk pembongkaran, konstruksi, serta renovasi
gedung di area mana saja di rumah sakit yang meliputi:
a)
Identifikasi tipe/jenis konstruksi kegiatan
proyek dengan kriteria;
b)
Identifikasi kelompok risiko pasien;
c)
Matriks pengendalian infeksi antara kelompok
risiko pasien dan tipe kontruksi kegiatan;
d)
Proyek untuk menetapkan kelas/tingkat
infeksi;
e)
Tindak pengendalian infeksi berdasar atas
tingkat/kelas infeksi; dan
f)
Pemantauan pelaksanaan.
Karena itu, rumah sakit agar mempunyai regulasi
pengendalian mekanis dan teknis (mechanical dan
engineering controls) fasilitas
yang antara lain meliputi
a)
Sistem ventilasi bertekanan positif;
b) Biological safety cabinet;
c)
Laminary
airflow hood;
d) Termostat
di lemari pendingin; dan
e)
Pemanas air untuk sterilisasi piring dan alat
dapur.
3) Elemen Penilaian PPI 9
a)
Rumah sakit menerapkan pengendalian mekanis dan
teknis (mechanical dan engineering control) minimal untuk
fasilitas yang tercantum pada a) – e)
pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit menerapkan penilaian risiko
pengendalian infeksi (infection control
risk assessment/ICRA) yang minimal meliputi a) – f) yang ada pada maksud dan tujuan.
c)
Rumah sakit telah melaksanakan penilaian risiko
pengendalian infeksi (infection control
risk assessment/ICRA) pada semua renovasi, kontruksi dan demolisi sesuai
dengan regulasi.
j.
Penularan
Infeksi
1) Standar PPI 10
Rumah sakit menyediakan APD untuk
kewaspadaan
(barrier precautions) dan prosedur isolasi untuk
penyakit menular melindungi pasien dengan imunitas rendah (immunocompromised)
dan mentransfer pasien dengan airborne
diseases di dalam rumah sakit dan keluar rumah sakit serta penempatannya
dalam waktu singkat jika rumah sakit tidak mempunyai kamar dengan tekanan
negatif (ventilasi alamiah dan mekanik).
2) Standar PPI
10.1
Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan sebuah
proses untuk menangani lonjakan mendadak (outbreak) penyakit infeksi air borne.
3) Maksud dan Tujuan PPI 10, PPI 10.1
Rumah sakit menetapkan regulasi isolasi dan
pemberian penghalang pengaman serta menyediakan fasilitasnya. Regulasi
ditetapkan berdasar atas bagaimana penyakit menular dan cara menangani pasien
infeksius atau pasien immuno-suppressed. Regulasi isolasi juga memberikan
perlindungan kepada staf dan pengunjung serta lingkungan pasien. (lihat juga PP
3) Kewaspadaan terhadap udara penting untuk mencegah penularan bakteri
infeksius yang dapat bertahan lama di udara. Pasien dengan infeksi “airborne”
sebaiknya ditempatkan di kamar dengan tekanan negatif (negative pressure room).
Jika struktur bangunan tidak memungkinkan membangun ruangan dengan tekanan
negatif maka rumah sakit dapat mengalirkan udara lewat sistem penyaring HEPA
(high effieciency particulate air) pada tingkat paling sedikit 12 kali
pertukaran udara per jam. Rumah sakit sebaiknya menetapkan program untuk
menangani pasien infeksi “air borne”
dalam waktu singkat jika sistem HEPA tidak ada, termasuk jika ada banyak pasien
masuk menderita infeksi menular. Pembersihan kamar dengan benar setiap hari
selama pasien tinggal di rumah sakit dan pembersihan kembali setelah pasien
keluar pulang harus dilakukan sesuai dengan standar atau pedoman pengedalian
infeksi.
4) Elemen Penilaian PPI 10
a)
Rumah sakit menyediakan dan menempatkan ruangan
untuk pasien dengan imunitas rendah
(immunocompromised) sesuai dengan peraturan perundang undangan.
b) Rumah
sakit melaksanakan proses transfer pasien airborne diseases di dalam rumah
sakit dan keluar rumah sakit sesuai dengan peraturan perundangundangan termasuk
di ruang gawat darurat dan ruang lainnya
c)
Rumah sakit telah menempatkan pasien infeksi “air borne” dalam waktu singkat jika
rumah sakit tidak mempunyai kamar dengan tekanan negatif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan termasuk di ruang gawat darurat dan ruang
lainnya.
d) Ada
bukti pemantauan ruang tekanan negatif dan penempatan pasien secara rutin.
5) Elemen
Penilaian PPI 10.1
a)
Rumah sakit menerapkan proses pengelolaan pasien
bila terjadi ledakan pasien (outbreak)
penyakit infeksi air borne.
b) Rumah
sakit menyediakan ruang isolasi dengan tekanan negatif bila terjadi ledakan pasien (outbreak) sesuai dengan
peraturan perundangan.
c)
Ada bukti dilakukan edukasi kepada staf tentang
pengelolaan pasien infeksius jika terjadi ledakan pasien (outbreak) penyakit infeksi air borne.
k. Kebersihan Tangan
1) Standar PPI 11
Kebersihan tangan menggunakan sabun dan desinfektan
adalah sarana efektif untuk mencegah dan mengendalikan infeksi.
2) Standar PPI 11.1
Sarung tangan, masker, pelindung mata, serta alat
pelindung diri lainnya tersedia dan digunakan secara tepat apabila
disyaratkan.
3) Maksud dan Tujuan PPI 11 dan PPI 11.1
Kebersihan tangan, menggunakan alat pelindung diri,
serta disinfektan adalah sarana efektif untuk mencegah dan mengendalikan
infeksi. Oleh karena itu, harus tersedia di setiap tempat asuhan pasien yang
membutuhkan barang ini. Rumah sakit menetapkan ketentuan tentang tempat di mana
alat pelindung diri ini harus tersedia dan dilakukan pelatihan cara memakainya.
Sabun, disinfektan, handuk/tissu, serta alat lainnya untuk mengeringkan
ditempatkan di lokasi tempat cuci tangan dan prosedur disinfeksi tangan
dilakukan
4) Elemen Penilaian PPI 11
a)
Rumah sakit telah menerapkan hand hygiene yang
mencakup kapan, di mana, dan bagaimana melakukan cuci tangan mempergunakan
sabun (hand wash) dan atau dengan disinfektan (hand rubs) serta ketersediaan
fasilitas hand hygiene.
b)
Sabun, disinfektan, serta tissu/handuk sekali
pakai tersedia di tempat cuci tangan dan tempat melakukan disinfeksi
tangan.
c)
Ada bukti pelaksanaan pelatihan hand hygiene
kepada semua pegawai termasuk tenaga kontrak.
5) Elemen Penilaian PPI 11.1
a)
Rumah sakit menerapkan penggunaan alat pelindung
diri, tempat yang harus menyediakan alat pelindung diri, dan pelatihan cara
memakainya.
b)
Alat pelindung diri sudah digunakan secara tepat
dan benar.
c)
Ketersediaan alat pelindung diri sudah cukup
sesuai dengan regulasi.
d)
Ada bukti pelatihan penggunaan alat pelindung
diri kepada semua pegawai termasuk tenaga kontrak.
l.
Peningkatan
mutu dan program edukasi
1) Standar PPI 12
Kegiatan PPI diintegrasikan dengan program PMKP
(Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien) dengan menggunakan indikator yang
secara epidemiologik penting bagi rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PPI 12
Rumah sakit menggunakan indikator sebagai informasi
untuk memperbaiki kegiatan PPI dan mengurangi tingkat infeksi yang terkait
layanan kesehatan sampai tingkat serendah-rendahnya. Rumah sakit dapat
menggunakan data indikator dan informasi dan membandingkan dengan tingkat dan
kecenderungan di rumah sakit lain. Semua departemen/unit layanan diharuskan
ikut serta menentukan prioritas yang diukur di tingkat rumah sakit dan tingkat
departemen/unit layanan program PPI.
3) Elemen Penilaian PPI 12
a)
Ada regulasi sistem manajemen data terintegrasi
antara data surveilans dan data indikator mutu di Komite/ Tim Penyelenggara
Mutu.
b)
Ada bukti pertemuan berkala antara Komite/ Tim
Penyelenggara Mutu dan Komite/Tim PPI untuk berkoordinasi dan
didokumentasikan.
c)
Ada bukti penyampaian hasil analisis data dan
rekomendasi Komite/Tim PPI kepada Komite/ Tim Penyelenggara Mutu setiap tiga
bulan.
m. Edukasi, Pendidikan dan Pelatihan
1) Standar PPI 13
Rumah sakit melakukan edukasi tentang PPI kepada
staf klinis dan nonklinis, pasien, keluarga pasien, serta petugas lainnya yang
terlibat dalam pelayanan pasien.
2) Maksud dan Tujuan PPI 13
Agar program PPI efektif harus dilakukan edukasi
kepada staf klinis dan nonkliniks tentang program PPI pada waktu mereka baru
bekerja di rumah sakit dan diulangi secara teratur. Edukasi diikuti oleh staf
klinik dan staf nonklinik, pasien, keluarga pasien, pedagang, dan juga
pengunjung. Pasien dan keluarga didorong untuk berpartisipasi dalam
implementasi program PPI. Pelatihan diberikan sebagai bagian dari orientasi
kepada semua staf baru dan dilakukan pelatihan kembali secara berkala, atau
paling sedikit jika ada perubahan kebijakan, prosedur, dan praktik yang menjadi
panduan program PPI. Dalam pendidikan juga disampaikan temuan dan kecenderungan
ukuran kegiatan. Berdasar atas hal di atas maka rumah sakit agar menetapkan
program pelatihan PPI yang meliputi pelatihan untuk
a)
orientasi pegawai baru baik staf klinis maupun
nonklinis di tingkat rumah sakit maupun di unit pelayanan;
b)
staf klinis (profesional pemberi asuhan) secara
berkala;
c)
staf nonklinis;
d)
pasien dan keluarga; dan
e)
pengunjung.
3) Elemen Penilaian PPI 13
a)
Rumah sakit menetapkan program pelatihan dan
edukasi tentang PPI yang meliputi a) – e) yang ada pada maksud dan tujuan.
b)
Ada bukti pelaksanaan pelatihan untuk semua staf
klinik dan nonklinik sebagai bagian dari orientasi pegawai baru tentang
regulasi dan praktik program
PPI.
c)
Ada bukti pelaksanaan edukasi untuk pasien,
keluarga, dan pengunjung
7. Pendidikan Dalam Pelayanan Kesehatan (PPK)
Gambaran Umum
Rumah sakit pendidikan harus mempunyai mutu dan
keselamatan pasien yang lebih tinggi daripada rumah sakit non pendidikan. Agar
mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit pendidikan tetap terjaga maka perlu
ditetapkan standar akreditasi untuk rumah sakit pendidikan. Rumah sakit
pendidikan memiliki keunikan dengan adanya peserta didik yang terlibat dalam
upaya pelayanan pasien. Keberadaan peserta didik ini dapat membantu proses
pelayanan namun juga berpotensi untuk mempengaruhi mutu pelayanan dan
keselamatan pasien. Ini disebabkan peserta didik masih dalam tahap belajar dan
tidak memahami secara penuh protokol yang ditetapkan oleh rumah sakit. Untuk
itu perlu pengaturan khusus bagi rumah sakit yang mengadakan pendidikan
kesehatan.
a. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan
1) Standar PPK 1
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang persetujuan
dan pemantauan pemilik pimpinan dalam kerja sama penyelenggaraan pendidikan
kesehatan di rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PPK 1
Keputusan penetapan rumah sakit pendidikan merupakan
kewenangan kementerian yang membidangi masalah kesehatan berdasarkan keputusan
bersama yang dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian kerja sama pemilik dan
pimpinan rumah sakit dengan pimpinan institusi pendidikan. Hal tersebut penting
karena mengintegrasikan penyelenggaraan pendidikan klinis ke dalam operasional
rumah sakit memerlukan komitmen dalam pengaturanwaktu, tenaga, dan sumber
daya.
Peserta pendidikan klinis termasuk trainee, fellow, peserta pendidikan dokter spesialis, dokter, dokter gigi,
dan peserta pendidikan tenaga kesehatan profesional lainnya. Keputusan untuk
mengintegrasikan operasional rumah sakit dan pendidikan klinis paling baik
dibuat oleh jenjang pimpinan tertinggi yang berperan sebagai pengambil
keputusan di suatu rumah sakit bersama institusi pendidikan kedokteran,
kedokteran gigi, dan profesi kesehatan lainnya yang didelegasikan kepada
organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis.
Untuk penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah
sakit maka semua pihak harus mendapat informasi lengkap tentang hubungan dan
tanggung jawab masing-masing. Pemilik dan/atau representasi pemilik memberikan
persetujuan terhadap keputusan tentang visi-misi, rencana strategis, alokasi
sumber daya, dan program mutu rumah sakit sehingga dapat ikut bertanggung jawab
terhadap seluruh proses penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah sakit yang
harus konsisten dengan regulasi yang berlaku, visi-misi rumah sakit, komitmen
pada mutu, keselamatan pasien, serta kebutuhan pasien. Rumah sakit mendapatkan
informasi tentang output dengan kriteria-kriteria yang diharapkan dari
institusi pendidikan dari pendidikan klinis yang dilaksanakan di rumah sakit
untuk mengetahui mutu pelayanan dalam penyelenggaraan pendidikan klinis di
rumah sakit.
Rumah sakit menyetujui output serta kriteria
penilaian pendidikan dan harus dimasukkan dalam perjanjian kerja sama.
Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis bertanggung jawab untuk
merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi penyelenggaraan program pendidikan
klinis di rumah sakit. Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis
melakukan penilaian berdasar atas kriteria yang sudah disetujui bersama.
Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis harus melaporkan hasil evaluasi
penerimaan, pelaksanaan, dan penilaian output dari program pendidikan kepada
pimpinan rumah sakit dan pimpinan institusi pendidikan. (lihat PPK 6)
3) Elemen Penilaian PPK 1
a)
Rumah sakit memilki kerjasama resmi rumah sakit
dengan institusi pendidikan yang masih berlaku.
b) Kerja
sama antara rumah sakit dengan institusi pendidikan yang sudah terakreditasi.
c)
Kriteria penerimaan peserta didik sesuai dengan
kapasitas RS harus dicantumkan dalam perjanjian Kerjasama.
d) Pemilik,
pimpinan rumah sakit dan pimpinan institusi pendidikan membuat kajian tertulis
sedikitnya satu kali setahun terhadap hasil evaluasi program pendidikan
kesehatan yang dijalankan di rumah sakit.
4) Standar PPK 2
Pelaksanaan pelayanan dalam pendidikan klinis yang
diselenggarakan di rumah sakit mempunyai akuntabilitas manajemen, koordinasi,
dan prosedur yang jelas.
5) Maksud dan Tujuan PPK 2
Organisasi yang mengoordinasi pendidikan di rumah
sakit menetapkan kewenangan, perencanaan, pemantauan implementasi program
pendidikan klinis, serta evaluasi dan analisisnya.
Kesepakatan antara rumah sakit dan institusi
pendidikan kedokteran, kedokteran gigi, dan pendidikan tenaga kesehatan
professional lainnya harus tercermin dalam organisasi dan kegiatan organisasi
yang mengoordinasi pendidikan di rumah sakit.
Rumah sakit memiliki regulasi yang
mengatur:
a)
Kapasitas penerimaan peserta didik sesuai dengan
kapasitas rumah sakit yang dicantumkan dalam perjanjian kerja sama;
b) Persyaratan
kualifikasi pendidik/dosen klinis; dan
c)
Peserta pendidikan klinis di rumah sakit yang
dipertimbangkan berdasarkan masa pendidikan dan level kompetensi.
Rumah sakit mendokumentasikan daftar akurat yang
memuat semua peserta pendidikan klinis di rumah sakit. Untuk setiap peserta
pendidikan klinis dilakukan pemberian kewenangan klinis untuk menentukan sejauh
mana kewenangan yang diberikan secara mandiri atau di bawah supervisi. Rumah
sakit harus mempunyai dokumentasi yang paling sedikit meliputi:
a)
Surat keterangan
peserta didik
dari institusi
pendidikan;
b) Ijazah,
surat tanda registrasi, dan surat izin praktik yang menjadi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
c)
Klasifikasi akademik;
d) Identifikasi
kompetensi peserta pendidikan klinis; dan
e)
Laporan pencapaian kompetensi.
6) Elemen Penilaian PPK 2
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
pengelolaan dan pengawasan pelaksanaan pendidikan klinis yang telah disepakati
bersama meliputi poin a) sampai dengan c) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit memiliki daftar lengkap memuat nama semua peserta pendidikan klinis yang
saat ini ada di rumah sakit.
c)
Untuk setiap peserta pendidikan klinis terdapat
dokumentasi yang meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan
7) Standar PPK 3
Tujuan dan sasaran program pendidikan klinis di
rumah sakit disesuaikan dengan jumlah staf yang memberikan pendidikan klinis,
variasi dan jumlah pasien, teknologi, serta fasilitas rumah sakit.
8) Maksud dan Tujuan PPK 3
Pendidikan klinis di rumah sakit harus mengutamakan
keselamatan pasien serta memperhatikan kebutuhan pelayanan sehingga pelayanan
rumah sakit tidak terganggu, akan tetapi justru menjadi lebih baik dengan
terdapat program pendidikan klinis ini. Pendidikan harus dilaksanakan secara
terintegrasi dengan pelayanan dalam rangka memperkaya pengalaman dan kompetensi
peserta didik, termasuk juga pengalaman pendidik klinis untuk selalu
memperhatikan prinsip pelayanan berfokus pada pasien.
a)
Variasi dan jumlah pasien harus selaras dengan
kebutuhan untuk berjalannya program, demikian juga fasilitas pendukung
pembelajaran harus disesuaikan dengan teknologi berbasis bukti yang harus
tersedia.
b) Jumlah
peserta pendidikan klinis di rumah sakit harus memperhatikan jumlah staf
pendidik klinis serta ketersediaan sarana dan prasarana.
9) Elemen Penilaian PPK 3
a)
Terdapat bukti perhitungan rasio peserta
pendidikan dengan staf pendidik klinis untuk seluruh peserta dari setiap
program pendidikan profesi yang disepakati oleh rumah sakit dan institusi
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b) Terdapat
bukti perhitungan peserta didik yang diterima di rumah sakit per periode untuk
proses pendidikan disesuaikan dengan jumlah pasien untuk menjamin mutu dan
keselamatan pasien.
c)
Terdapat bukti bahwa sarana prasarana,
teknologi, dan sumber daya lain di rumah sakit tersedia untuk mendukung
pendidikan peserta didik.
b. Kompetensi dan Supervisi
1) Standar PPK 4
Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis
mempunyai kompetensi sebagai pendidik klinis dan mendapatkan kewenangan dari
institusi pendidikan dan rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PPK 4
Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis
telah mempunyai kompetensi dan kewenangan klinis untuk dapat mendidik dan
memberikan pembelajaran klinis kepada peserta pendidikan klinis di rumah sakit
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daftar staf yang memberikan
pendidikan klinis dengan seluruh gelar akademis dan profesinya tersedia di
rumah sakit.
Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis
harus memenuhi persyaratan kredensial dan memiliki kewenangan klinis untuk
melaksanakan pendidikan klinis yang sesuai dengan tuntutan tanggung
jawabnya.
3) Elemen Penilaian PPK 4
a)
Rumah sakit menetapkan staf klinis yang
memberikan pendidikan klinis dan penetapan penugasan klinis serta rincian
kewenangan klinis dari rumah sakit.
b) Rumah
sakit memiliki daftar staf klinis yang memberikan pendidikan klinis secara
lengkap (akademik dan profesi) sesuai dengan jenis pendidikan yang dilaksanakan
di rumah sakit.
c)
Rumah sakit memiliki bukti staf klinis yang
memberikan pendidikan klinis telah mengikuti pendidikan sebagai pendidikan dan
keprofesian berkelanjutan.
4) Standar PPK 5
Rumah sakit memastikan pelaksanaan pendidikan yang
dijalankan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan staf klinis di rumah sakit
aman bagi pasien dan peserta didik.
5) Maksud dan Tujuan PPK 5
Supervisi dalam pendidikan menjadi tanggung jawab
staf klinis yang memberikan pendidikan klinis untuk menjadi acuan pelayanan
rumah sakit agar pasien, staf, dan peserta didik terlindungi secara hukum.
Supervisi diperlukan untuk memastikan asuhan pasien yang aman dan merupakan
bagian proses belajar bagi peserta pendidikan klinis. Tingkat supervise
ditentukan oleh rumah sakit sesuai dengan jenjang pembelajaran dan level
kompetensi peserta pendidikan klinis.
Setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit
mengerti proses supervisi klinis, meliputi siapa saja yang melakukan supervisi
dan frekuensi supervisi oleh staf klinis yang memberikan pendidikan klinis.
Pelaksanaan supervisi didokumentasikan dalam log book atau sistem dokumentasi
lain untuk peserta didik dan staf klinis yang memberikan pendidikan klinis
sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
6) Elemen Penilaian PPK 5
a)
Rumah sakit telah memiliki tingkat supervisi
yang diperlukan oleh setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit untuk
setiap jenjang pendidikan.
b) Setiap
peserta pendidikan klinis mengetahui tingkat, frekuensi, dan dokumentasi untuk
supervisinya.
c)
Rumah sakit telah memiliki format spesifik untuk
mendokumentasikan proses supervisi yang sesuai dengan kebijakan rumah sakit,
tujuan program pendidikan, serta mutu dan keselamatan asuhan pasien.
d) Rumah
sakit telah memiliki proses pengkajian rekam medis untuk memastikan kepatuhan batasan
kewenangan dan proses supervisi peserta pendidikan yang mempunyai akses
pengisian rekam medis.
c. Mutu dan
Keselamatan Dalam Pelaksanaan Pendidikan
1) Standar PPK 6
Pelaksanaan pendidikan klinis di rumah sakit harus
mematuhi regulasi rumah sakit dan pelayanan yang diberikan berada dalam upaya
mempertahankan atau meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.
2) Maksud dan Tujuan PPK 6
Dalam pelaksanaannya program pendidikan klinis
tersebut senantiasa menjamin mutu dan keselamatan pasien. Rumah sakit memiliki
rencana dan melaksanakan program orientasi terkait penerapan konsep mutu dan
keselamatan pasien yang harus diikuti oleh seluruh peserta pendidikan klinis
serta mengikutsertakan peserta didik dalam semua pemantauan mutu dan
keselamatan pasien. Orientasi peserta pendidikan klinis minimal mencakup:
a)
Program rumah sakit tentang mutu dan keselamatan
pasien;
b) Program
pengendalian infeksi;
c)
Program keselamatan penggunaan obat; dan
d) Sasaran
keselamatan pasien.
Peserta pendidikan klinis seyogyanya
diikutsertakan dalam pelaksanaan program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien di rumah sakit, yang disesuaikan dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
Penugasan peserta didik dalam pelaksanaan program mutu dan keselamatan pasien
diatur bersama antara organisasi pengelola pendidikan, pengelola mutu dan
keselamatan pasien, serta kepala unit pelayanan. Rumah sakit harus dapat membuktikan bahwa adanya
peserta didik di rumah sakit tidak menurunkan mutu pelayanan dan tidak
membahayakan keselamatan pasien di rumah sakit. Hasil survei kepuasan pasien
atas pelayanan rumah sakit harus memasukkan unsur kepuasan atas keterlibatan
peserta didik dalam pelayanan kepada pasien.
3) Elemen Penilaian PPK 6
a)
Rumah sakit menetapkan unit yang bertanggung
jawab untuk mengelola pelaksanaan pendidikan klinis di rumah sakit.
b) Rumah
sakit menetapkan program orientasi peserta pendidikan klinis.
c)
Rumah sakit telah memiliki bukti pelaksanaan dan
sertifikat program orientasi peserta pendidikan klinis.
d) Rumah
sakit telah memiliki bukti pelaksanaan dan dokumentasi peserta didik
diikutsertakan dalam semua program peningkatan mutu dan keselamatan pasien di
rumah sakit.
e)
Rumah sakit telah memantau dan mengevaluasi bahwa
pelaksanaan program pendidikan kesehatan tidak menurunkan mutu dan keselamatan
pasien yang dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali setahun yang terintegrasi
dengan program mutu dan keselamatan pasien.
f)
Rumah sakit telah melakukan survei mengenai
kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit atas dilaksanakannya pendidikan
klinis sekurangkurangnya sekali setahun.
B. Kelompok
Pelayanan Berfokus Pada Pasien
1. Akses dan Kesinambungan Pelayanan (AKP)
Gambaran umum
Rumah sakit mempertimbangkan bahwa asuhan di rumah
sakit merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan
para profesional pemberi asuhan (PPA) dan tingkat pelayanan yang akan membangun
suatu kesinambungan pelayanan. Dimulai dengan skrining, yang tidak lain adalah
memeriksa pasien secara cepat, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien. Tujuan
sistem pelayanan yang terintegrasi adalah menyelaraskan kebutuhan asuhan pasien
dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan pelayanan,
merencanakan pemulangan dan tindakan selanjutnya. Hasil yang diharapkan dari
proses asuhan di rumah sakit adalah meningkatkan mutu asuhan pasien dan
efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.
Fokus pada standar mencakup:
a. Skrining
pasien di rumah sakit;
b. Registrasi
dan admisi di rumah sakit;
c.
Kesinambungan pelayanan;
d. Transfer
pasien internal di dalam rumah sakit;
e.
Pemulangan, rujukan dan tindak lanjut; dan
f.
Transportasi.
a. Skrining Pasien di Rumah Sakit
1) Standar AKP 1
Rumah sakit menetapkan proses skrining baik pasien
rawat inap maupun rawat jalan untuk mengidentifikasi pelayanan Kesehatan yang dibutuhkan sesuai dengan misi serta sumber daya rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan AKP 1
Menyesuaikan
kebutuhan pasien dengan misi dan sumber daya rumah sakit bergantung pada
informasi yang diperoleh tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat skrining
pada kontak pertama. Skrining penerimaan pasien dilaksanakan melalui jalur
cepat (fast track) kriteria triase,
evaluasi visual atau pengamatan, atau hasil pemeriksaan fisis, psikologis,
laboratorium klinis, atau diagnostik imajing sebelumnya. Skrining dapat
dilakukan di luar rumah sakit seperti ditempat pasien berada, di ambulans, atau
saat pasien tiba di rumah sakit.
Keputusan untuk mengobati, mentransfer atau merujuk
dilakukan setelah hasil hasil skrining selesai dievaluasi. Bila rumah sakit
mempunyai kemampuan memberikan pelayanan yang dibutuhkan serta konsisten dengan
misi dan kemampuan pelayanannya maka dipertimbangkan untuk menerima pasien
rawat inap atau pasien rawat jalan. Skirining khusus dapat dilakukan oleh RS
sesuai kebutuhan seperti skrining infeksi (TBC, PINERE, COVID19, dll), skrining
nyeri, skrining geriatri, skrining jatuh atau skrining lainnya
3) Elemen Penilaian AKP 1
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi akses dan
kesinambungan pelayanan (AKP) meliputi poin a) – f) pada gambaran umum.
b) Rumah
sakit telah menerapkan proses skrining baik di dalam maupun di luar rumah sakit
dan terdokumentasi.
c)
Ada proses untuk memberikan hasil pemeriksaan
diagnostik kepada tenaga kesehatan yang kompeten/terlatih untuk bertanggung
jawab menentukan apakah pasien akan diterima, ditransfer, atau dirujuk.
d) Bila
kebutuhan pasien tidak dapat dipenuhi sesuai misi dan sumber daya yang ada,
maka rumah sakit akan merujuk atau membantu pasien ke fasilitas pelayanan yang
sesuai kebutuhannya.
4) Standar AKP 1.1
Pasien dengan kebutuhan darurat, sangat mendesak,
atau yang membutuhkan pertolongan segera diberikan prioritas untuk pengkajian
dan tindakan.
5) Maksud dan Tujuan AKP 1.1
Pasien dengan kebutuhan gawat dan/atau darurat,
atau pasien yang membutuhkan pertolongan segera diidentifikasi menggunakan
proses triase berbasis bukti untuk memprioritaskan kebutuhan pasien, dengan
mendahulukan dari pasien yang lain. Pada kondisi bencana, dapat menggunakan
triase bencana. Sesudah dinyatakan pasien darurat, mendesak dan membutuhkan
pertolongan segera, dilakukan pengkajian dan memberikan pelayanan sesegera
mungkin. Kriteria psikologis berbasis bukti dibutuhkan dalam proses triase
untuk kasus kegawatdaruratan psikiatris. Pelatihan bagi staf diadakan agar staf
mampu menerapkan kriteria triase berbasis bukti dan memutuskan pasien yang
membutuhkan pertolongan segera serta pelayanan yang dibutuhkan.
6) Elemen Penilaian AKP 1.1
a)
Proses triase dan pelayanan kegawatdaruratan
telah diterapkan oleh staf yang kompeten dan bukti dokumen kompetensi dan
kewenangan klinisnya tersedia.
b) Staf
telah menggunakan kriteria triase berbasis bukti untuk memprioritaskan pasien
sesuai dengan kegawatannya.
c)
Pasien darurat dinilai dan distabilkan sesuai
kapasitas rumah sakit sebelum ditransfer ke ruang rawat atau dirujuk dan
didokumentasikan dalam rekam medik.
7) Standar AKP 1.2
Rumah sakit melakukan skrining kebutuhan pasien
saat admisi rawat inap untuk menetapkan pelayanan preventif, paliatif, kuratif,
rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan intensif.
8) Maksud dan Tujuan AKP 1.2
Ketika pasien diputuskan diterima untuk masuk rawat
inap, maka proses skrining akan membantu staf mengidentifikasi pelayanan
preventif, kuratif, rehabilitatif, paliatif yang dibutuhkan pasien kemudian
menentukan pelayanan yang paling sesuai dan mendesak atau yang paling
diprioritaskan.
Setiap rumah sakit harus menetapkan kriteria
prioritas untuk menentukan pasien yang membutuhkan pelayanan di unit
khusus/spesialistik (misalnya unit luka bakar atau transplantasi organ) atau
pelayanan di unit intensif (misalnya ICU, ICCU, NICU, PICU, pascaoperasi).
Kriteria prioritas meliputi kriteria masuk dan
kriteria keluar menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter objektif
termasuk kriteria berbasis fisiologis.
Dengan mempertimbangkan bahwa pelayanan di unit
khusus/spesialistik dan di unit intensif menghabiskan banyak sumber daya, maka
rumah sakit dapat membatasi hanya pasien dengan kondisi medis yang reversibel
yang dapat diterima dan pasien kondisi khusus termasuk menjelang akhir
kehidupan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Staf di unit khusus/spesialistik atau unit intensif
berpartisipasi dalam menentukan kriteria masuk dan kriteria keluar dari unit
tersebut. Kriteria dipergunakan untuk menentukan apakah pasien dapat diterima
di unit tersebut, baik dari dalam atau dari luar rumah sakit.
Pasien yang diterima di unit tersebut harus
dilakukan pengkajian ulang untuk menentukan apakah kondisi pasien berubah
sehingga tidak memerlukan lagi pelayanan khusus/intensif misalnya, jika status
fisiologis sudah stabil dan pemantauan intensif baik sehingga tindakan lain
tidak diperlukan lagi maka pasien dapat dipindah ke unit layanan yang lebih
rendah (seperti unit rawat inap atau unit pelayanan paliatif).
Apabila rumah sakit melakukan penelitian atau
menyediakan pelayanan spesialistik atau melaksanakan program, penerimaan pasien
di program tersebut harus melalui kriteria tertentu atau ketentuan protokol.
Mereka yang terlibat dalam riset atau program lain harus terlibat dalam
menentukan kriteria atau protokol. Penerimaan ke dalam program tercatat di rekam
medis pasien termasuk kriteria atau protokol yang diberlakukan terhadap pasien
yang diterima masuk.
9) Elemen Penilaian AKP 1.2
a)
Rumah sakit telah melaksanakan skrining pasien
masuk rawat inap untuk menetapkan kebutuhan pelayanan preventif, paliatif,
kuratif, dan rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan
intensif.
b) Rumah
sakit telah menetapkan kriteria masuk dan kriteria keluar di unit pelayanan
khusus/spesialistik menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter
objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis dan terdokumentasikan di rekam
medik.
c)
Rumah sakit telah menerapkan kriteria masuk dan
kriteria keluar di unit pelayanan intensif menggunakan parameter diagnostik dan
atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis dan
terdokumentasikan di rekam medik
d) Staf
yang kompeten dan berwenang di unit pelayanan khusus dan unit pelayanan
intensif terlibat dalam penyusunan kriteria masuk dan kriteria keluar di
unitnya.
10) Standar AKP 1.3
Rumah Sakit mempertimbangkan kebutuhan klinis
pasien dan memberikan informasi kepada pasien jika terjadi penundaan dan
kelambatan pelaksanaan tindakan/pengobatan dan atau pemeriksaan penunjang
diagnostik.
11) Maksud dan Tujuan AKP 1.3
Pasien diberitahu jika ada penundaan dan kelambatan
pelayanan antara lain akibat kondisi pasien atau jika pasien harus masuk dalam
daftar tunggu. Pasien diberi informasi alasan mengapa terjadi penundaan/kelambatan
pelayanan dan alternatif yang tersedia. Ketentuan ini berlaku bagi pasien rawat
inap dan rawat jalan serta pemeriksaan penunjang diagnostik. Untuk beberapa
pelayanan, seperti onkologi atau transplan tidak berlaku ketentuan tentang
penundaan/kelambatan pelayanan atau pemeriksaan.
Hal ini tidak berlaku untuk keterlambatan staf
medis di rawat jalan atau bila unit gawat darurat terlalu ramai dan ruang
tunggunya penuh. (Lihat juga ACC.2). Untuk layanan tertentu, seperti onkologi
atau transplantasi, penundaan mungkin sesuai dengan norma nasional yang berlaku
untuk pelayanan tersebut.
12) Elemen Penilaian AKP 1.3
a)
Pasien dan atau keluarga diberi informasi jika
ada penundaan dan atau keterlambatan pelayanan beserta alasannya dan dicatat di
rekam medis.
b) Pasien
dan atau keluarga diberi informasi tentang alternatif yang tersedia sesuai
kebutuhan klinis pasien dan dicatat di rekam medis.
b. Registrasi dan Admisi di Rumah Sakit
1) Standar AKP 2
Rumah Sakit menetapkan proses penerimaan dan
pendaftaran pasien rawat inap, rawat jalan, dan pasien gawat darurat.
2) Maksud dan Tujuan AKP 2
Rumah sakit melaksanakan proses penerimaan pasien
rawat inap dan pendaftaran pasien rawat jalan dan gawat darurat sesuai
peraturan perundang-undangan. Staf memahami dan mampu melaksanakan proses
penerimaan pasien. Proses tersebut antara lain meliputi:
a)
Pendaftaran pasien gawat darurat;
b) Penerimaan
langsung pasien dari IGD ke rawat inap;
c)
Admisi pasien rawat inap;
d) Pendaftaran
pasien rawat jalan;
e)
Observasi pasien; dan
f)
Mengelola pasien bila tidak tersedia tempat
tidur. Rumah Sakit sering melayani berbagai pasien misalnya pasien lansia,
disabilitas (fisik, mental, intelektual), berbagai bahasa dan dialek, budaya
yang berbeda atau hambatan yang lainnya, sehingga dibutuhkan sistem pendaftaran
dan admisi secara online. Sistim tersbut diharapkan dapat mengurangi hambatan
pada saat penerimaan pasien.
Saat pasien diputuskan untuk rawat inap, maka staf
medis yang memutuskan tersebut memberi informasi tentang rencana asuhan yang
diberikan dan hasil asuhan yang diharapkan. Informasi juga harus diberikan oleh
petugas admisi/pendaftaran rawat inap tentang perkiraan biaya selama perawatan. Pemberian informasi tersebut didokumentasikan.
Keselamatan pasien adalah salah satu aspek
perawatan pasien yang penting. Orientasi lingkungan di bangsal rawat inap dan
peralatan yang terkait dalam pemberian perawatan dan pelayanan yang diberikan
merupakan salahsatukomponenpentingdarikeselamatanpasien.
3) Elemen Penilaian AKP 2
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses penerimaan
pasien meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah menerapkan sistim pendaftaran pasien rawat jalan dan rawat inap
baik secara offline maupun secara online dan dilakukan evaluasi dan tindak
lanjutnya.
c)
Rumah sakit telah memberikan informasi tentang
rencana asuhan yang akan diberikan, hasil asuhan yang diharapkan serta
perkiraan biaya yang harus dibayarkan oleh pasien/keluarga.
d) Saat
diterima sebagai pasien rawat inap, pasien dan keluarga mendapat edukasi dan
orientasi tentang ruang rawat inap.
4) Standar AKP 2.1
Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola alur
pasien di seluruh area rumah sakit.
5) Maksud dan Tujuan AKP 2.1
Rumah sakit menetapkan pengelolaan alur pasien saat
terjadi penumpukan pasien di UGD sementara tempat tidur di rawat inap sedang
terisi penuh. Pengelolaan alur tersebut harus dilakukan secara efektif mulai
dari penerimaan, pengkaijan, tindakan, transfer pasien sampai pemulangan untuk
mengurangi penundaan asuhan kepada pasien. Komponen pengelolaan alur pasien
tersebut meliputi:
a)
Ketersediaan tempat tidur di tempat
sementara/transit/intermediate sebelum mendapatkan tempat tidur di rawat
inap;
b) Perencanaan
fasilitas, peralatan, utilitas, teknologi medis, dan kebutuhan lain untuk
mendukung penempatan sementara pasien;
c)
Perencanaan tenaga untuk memberikan asuhan
pasien di tempat sementara/transit termasuk pasien yang diobservasi di unit
gawat darurat;
d) Alur
pelayanan pasien di tempat sementara/transit meliputi pemberian asuhan,
tindakan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan di kamar
operasi, dan unit pascaanestes harus sama seperti yang diberikan dirawat inap;
e)
Efisiensi pelayanan nonklinis penunjang asuhan
dan tindakan kepada pasien (seperti kerumahtanggaan dan transportasi);
f)
Memberikan asuhan pasien yang sama kepada pasien
yang dirawat di tempat sementara/transit/intermediate seperti perawatan kepada
pasien yang dirawat di ruang rawat inap; dan
g)
Akses pelayanan yang bersifat mendukung (seperti
pekerja sosial, keagamaan atau bantuan spiritual, dan sebagainya).
Pemantauan dan perbaikan proses ini bermanfaat
untuk mengatasi masalah penumpukan pasien. Semua staf rumah sakit, mulai dari
unit gawat darurat, unit rawat inap, staf medis, keperawatan, administrasi,
lingkungan, dan manajemen risiko dapat ikut berperan serta menyelesaikan
masalah alur pasien ini. Koordinasi dapat dilakukan oleh Manajer Pelayanan
Pasien (MPP)/Case Manager.
Rumah sakit harus menetapkan standar waktu berapa
lama pasien dapat diobservasi di unit gawat darurat dan kapan harus di transfer
ke di lokasi sementara/transit/intermediate sebelum ditransfer ke unit rawat
inap di rumah sakit. Diharapkan rumah sakit dapat mengatur dan menyediakan
tempat tersebut bagi pasien.
6) Elemen Penilaian AKP 2.1
a)
Rumah sakit telah melaksanakan pengelolaan alur
pasien untuk menghindari penumpukan. mencakup poin a) – g) pada maksud dan
tujuan.
b) Manajer
pelayanan pasien (MPP)/case manager
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengaturan alur pasien untuk menghindari
penumpukan.
c)
Rumah sakit telah melakukan evaluasi terhadap
pengelolaan alur pasien secara berkala dan melaksanakan upaya perbaikannya.
d) Ada
sistem informasi tentang ketersediaan tempat tidur secara online kepada
masyarakat.
c. Kesinambungan Pelayanan
1) Standar AKP 3
Rumah sakit memiliki proses untuk melaksanakan
kesinambungan pelayanan di rumah sakit dan integrasi antara profesional pemberi
asuhan (PPA) dibantu oleh manajer pelayanan pasien (MPP)/case manager.
2) Maksud dan Tujuan AKP 3
Pelayanan berfokus pada pasien diterapkan dalam
bentuk Asuhan Pasien Terintegrasi yang bersifat integrasi horizontal dan
vertikal. Pada integrasi horizontal kontribusi profesi tiap-tiap profesional
pemberi asuhan (PPA) adalah sama pentingnya atau sederajat. Pada integrasi
vertikal pelayanan berjenjang oleh/melalui berbagai unit pelayanan ke tingkat
pelayanan yang berbeda maka peranan manajer pelayanan pasien (MPP) penting
untuk integrasi tersebut dengan komunikasi yang memadai terhadap profesional
pemberi asuhan (PPA).
Pelaksanaan asuhan pasien secara terintegrasi fokus
pada pasien mencakup:
a)
Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan
keluarga;
b) Dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai Ketua tim asuhan pasien oleh
profesional pemberi asuhan (PPA) (clinical
leader);
c)
Profesional pemberi asuhan (PPA) bekerja sebagai
tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional dibantu antara lain oleh
Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Profesional Pemberi Asuhan (PPA)
lainnya, Alur Klinis/clinical pathway
terintegrasi, Algoritme, Protokol, Prosedur, Standing Order dan
CPPT
(Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi);
d) Perencanaan
pemulangan pasien (P3)/discharge planning
terintegrasi;
e)
Asuhan gizi terintegrasi; dan
f)
Manajer pelayanan pasien/case manager.
Manajer Pelayanan Pasien (MPP) bukan merupakan
profesional pemberi asuhan (PPA) aktif dan dalam menjalankan manajemen
pelayanan pasien mempunyai peran minimal adalah sebagai berikut:
a)
Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan asuhan
pasien;
b) Mengoptimalkan
terlaksananya pelayanan berfokus pada pasien;
c)
Mengoptimalkan proses reimbursemen; dan dengan
fungsi sebagai berikut;
d) Asesmen
untuk manajemen pelayanan pasien;
e)
Perencanaan untuk manajemen pelayanan pasien;
f)
Komunikasi dan koordinasi;
g)
Edukasi dan advokasi; dan
h) Kendali
mutu dan biaya pelayanan pasien. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan
manajemen pelayanan pasien antara lain adalah:
a)
Pasien mendapat
asuhan sesuai
dengan kebutuhannya;
b) Terpelihara
kesinambungan pelayanan;
c)
Pasien memahami/mematuhi asuhan dan peningkatan
kemandirian pasien;
d) Kemampuan
pasien mengambil keputusan;
e)
Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan
keluarga;
f)
Optimalisasi sistem pendukung pasien;
g)
Pemulangan yang aman; dan
h) Kualitas
hidup dan kepuasan pasien.
Oleh karenanya, dalam pelaksanaan manajemen
pelayanan pasien, manajer pelayanan pasien (MPP) mencatat pada lembar formulir
A yang merupakan evaluasi awal manajemen pelayanan pasien dan formulir B yang
merupakan catatan implementasi manajemen pelayanan pasien. Kedua formulir
tersebut merupakan bagian rekam medis.
Pada formulir A dicatat antara lain
identifikasi/skrining pasien untuk kebutuhan pengelolaan manajer pelayanan
pasien (MPP) dan asesmen untuk manajemen pelayanan pasien termasuk rencana,
identifikasi masalah – risiko – kesempatan, serta perencanaan manajemen
pelayanan pasien, termasuk memfasiltasi proses perencanaan pemulangan pasien (discharge planning). Pada formulir B
dicatat antara lain pelaksanaan rencana manajemen pelayanan pasien, pemantauan,
fasilitasi, koordinasi, komunikasi dan kolaborasi, advokasi, hasil pelayanan,
serta terminasi manajemen pelayanan pasien.
Agar kesinambungan asuhan pasien tidak terputus,
rumah sakit harus menciptakan proses untuk melaksanakan kesinambungan dan
koordinasi pelayanan di antara profesional pemberi asuhan (PPA), manajer
pelayanan pasien (MPP), pimpinan unit, dan staf lain sesuai dengan regulasi
rumah sakit di beberapa tempat.
a)
Pelayanan darurat dan penerimaan rawat inap;
b) Pelayanan
diagnostik dan tindakan;
c)
Pelayanan bedah dan nonbedah;
d) Pelayanan
rawat jalan; dan
e)
Organisasi lain atau bentuk pelayanan
lainnya. Proses koordinasi dan
kesinambungan pelayanan dibantu oleh penunjang lain seperti panduan praktik
klinis, alur klinis/clinical pathways,
rencana asuhan, format rujukan, daftar tilik/check list lain, dan sebagainya.
Diperlukan regulasi untuk proses koordinasi tersebut.
3) Elemen Penilaian AKP 3
a)
Para PPA telah memberikan asuhan pasien secara
terintegrasi berfokus pada pasien meliputi poin a) - f) pada maksud dan tujuan.
b) Ada
penunjukkan MPP dengan uraian tugas meliputi poin a) - h) pada maksud dan
tujuan.
c)
Para profesional pemberi asuhan (PPA) dan
manajer pelayanan pasien (MPP) telah melaksanakan kesinambungan dan koordinasi
pelayanan meliputi poin a) - e) pada maksud dan tujuan.
d) Pencatatan
perkembangan pasien didokumentasikan para PPA di formulir catatan pasien
terintegrasi (CPPT).
e)
Pencatatan di unit intensif atau unit khusus
menggunakan lembar pemantauan pasien khusus, pencatatan perkembangan pasien
dilakukan pada lembar tersebut oleh DPJP di unit tersebut, PPA lain dapat
melakukan pencatatan perkembangan pasien di formulir catatan pasien
terintegrasi (CPPT).
f)
Perencanaan dan pelayanan pasien secara
terintegrasi diinformasikan kepada pasien dan atau keluarga secara berkala
sesuai ketentuan Rumah Sakit.
4) Standar AKP 3.1
Rumah sakit menetapkan bahwa setiap pasien harus
memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) untuk memberikan asuhan
kepada pasien.
5) Maksud dan Tujuan AKP 3.1
Asuhan pasien diberikan oleh profesional pemberi
asuhan (PPA) yang bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi
interprofesional dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) berperan sebagai
ketua tim asuhan pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) (clinical leader).
Untuk mengatur kesinambungan asuhan selama pasien
berada di rumah sakit, harus ada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)
sebagai individu yang bertanggung jawab mengelola pasien sesuai dengan
kewenangan klinisnya, serta melakukan koordinasi dan kesinambungan asuhan.
Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang ditunjuk ini tercatat namanya di
rekam medis pasien. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)/para DPJP
memberikan keseluruhan asuhan selama pasien berada di RS dapat meningkatkan
antara lain kesinambungan, koordinasi, kepuasan pasien, mutu, keselamatan, dan
termasuk hasil asuhan. Individu ini membutuhkan kolaborasi dan komunikasi
dengan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya.
Bila seorang pasien dikelola oleh lebih satu
dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) maka harus ditetapkan DPJP utama. Sebagai
tambahan, rumah sakit menetapkan kebijakan dan proses perpindahan tanggung
jawab dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain.
6) Elemen Penilaian AKP 3.1
a)
Rumah sakit telah menetapkan bahwa setiap pasien
memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan telah melakukan asuhan
pasien secara terkoordinasi dan terdokumentasi dalam rekam medis pasien.
b) Rumah
sakit juga menetapkan proses perpindahan tanggung jawab koordinasi asuhan
pasien dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain,
termasuk bila terjadi perubahan DPJP utama.
c)
Bila dilaksanakan rawat bersama ditetapkan DPJP
utama sebagai koordinator asuhan pasien.
d. Transfer Pasien Internal di Dalam Rumah
Sakit
1) Standar AKP 4
Rumah sakit menetapkan informasi tentang pasien
disertakan pada proses transfer internal antar unit di dalam rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan AKP 4
Selama dirawat inap di rumah sakit, pasien mungkin
dipindah dari satu pelayanan atau dari satu unit rawat inap ke berbagai unit
pelayanan lain atau unit rawat inap lain. Jika profesional pemberi asuhan (PPA)
berubah akibat perpindahan ini maka informasi penting terkait asuhan harus
mengikuti pasien. Pemberian obat dan tindakan lain dapat berlangsung tanpa halangan
dan kondisi pasien dapat dimonitor. Untuk memastikan setiap tim asuhan menerima
informasi yang diperlukan maka rekam medis pasien ikut pindah atau ringkasan
informasi yang ada di rekam medis disertakan waktu pasien pindah dan
menyerahkan kepada tim asuhan yang menerima pasien.
Formulir transfer pasien internal
meliputi:
a)
Alasan admisi;
b) Temuan
signifikan;
c)
Diagnosis;
d) Prosedur
yang telah dilakukan;
e)
Obat-obatan;
f)
Perawatan lain yang diterima pasien; dan
g)
Kondisi pasien saat transfer.
Bila pasien dalam pengelolaan manajer pelayanan
pasien (MPP) maka kesinambungan proses tersebut di atas dipantau, diikuti, dan
transfernya disupervisi oleh manajer pelayanan pasien (MPP).
3) Elemen penilaian AKP 4
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses transfer
pasien antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dilengkapi dengan formulir
transfer pasien.
b) Formulir
transfer internal meliputi poin a) - g) pada maksud dan tujuan.
e. Pemulangan (Discharge), Rujukan dan Tindak Lanjut
1) Standar AKP 5
Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses
pemulangan pasien dari rumah sakit berdasarkan kondisi kesehatan pasien dan
kebutuhan kesinambungan asuhan atau tindakan.
2) Maksud dan Tujuan AKP 5
Merujuk atau mengirim pasien ke fasilitas
pelayanan Kesehatan, maupun perorangan di luar rumah sakit didasarkan atas
kondisi kesehatan pasien dan kebutuhannya untuk memperoleh kesinambungan
asuhan. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan profesional pemberi asuhan
(PPA) lainnya yang bertanggung jawab atas asuhan pasien berkordinasi menentukan
kesiapan pasien untuk pulang dari rumah sakit berdasarkan kriteria atau
indikasi rujukan yang ditetapkan rumah sakit.
Rujukan ke dokter spesialis, rehabilitasi fisik
atau kebutuhan upaya preventif di rumah dikoordinasikan dengan keluarga pasien.
Diperlukan proses yang terorganisir untuk memastikan bahwa kesinambungan asuhan
dikelola oleh tenaga kesehatan atau oleh sebuah fasilitas pelayanan kesehatan
di luar rumah sakit. Pasien yang memerlukan perencanaan pemulangan pasien (discharge planning) maka rumah sakit
mulai merencanakan hal tersebut sejak awal dan mencatatnya di pengkajian awal
pasien. Untuk menjaga kesinambungan asuhan dilakukan secara terintegrasi
melibatkan semua profesional pemberi asuhan (PPA) terkait difasilitasi oleh
manajer pelayanan pasien (MPP). Keluarga dilibatkan sesuai dengan kebutuhan .
Rumah sakit dapat menetapkan kemungkinan pasien
diizinkan keluar rumah sakit dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan
penting.
3) Elemen Penilaian AKP 5
a)
Rumah sakit telah menetapkan kriteria pemulangan
pasien sesuai dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan pelayanan pasien beserta
edukasinya.
b) Rumah
sakit telah menetapkan kemungkinan pasien diizinkan keluar rumah sakit dalam
jangka waktu tertentu untuk keperluan penting.
c)
Penyusunan rencana dan instruksi pemulangan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien dan diberikan kepada pasien secara
tertulis.
d) Tindak
lanjut pemulangan pasien bila diperlukan dapat ditujukan kepada fasilitas
pelayanan kesehatan baik perorangan ataupun dimana pasien untuk memberikan
pelayanan berkelanjutan.
4) Standar AKP 5.1
Ringkasan pasien pulang (discharge summary) dibuat untuk semua pasien rawat inap yang keluar
dari rumah sakit.
5) Maksud dan Tujuan AKP 5.1
Ringkasan
pasien pulang memberikan gambaran tentang pasien yang dirawat di rumah sakit.
Ringkasan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab
memberikan tindak lanjut asuhan.
Ringkasan pasien pulang (discharge summary) meliputi:
a)
Indikasi pasien masuk dirawat, diagnosis, dan
komorbiditas lain;
b) Temuan
fisik penting dan temuan-temuan lain;
c)
Tindakan diagnostik dan prosedur terapi yang
telah dikerjakan;
d) Obat
yang diberikan selama dirawat inap dengan potensi akibat efek residual setelah obat
tidak diteruskan dan semua obat yang harus digunakan di rumah;
e)
Kondisi pasien (status present); dan
f)
Instruksi tindak lanjut.
Ringkasan pasien pulang dijelaskan dan
ditandatangani oleh pasien/keluarga karena memuat instruksi tindak lanjut.
Ringkasan pasien pulang dibuat sebelum pasien
keluar dari rumah sakit oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Satu
salinan/copy dari ringkasan diberikan
kepada tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan
kepada pasien. Satu salinan diberikan kepada pasien sesuai dengan regulasi
rumah sakit yang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Satu salinan
diberikan kepada penjamin. Salinan ringkasan berada di rekam medis pasien.
6) Elemen Penilaian AKP 5.1
a)
Rumah sakit telah menetapkan Ringkasan pasien
pulang meliputi a) – f) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit memberikan salinan ringkasan pasien pulang kepada pihak yang
berkepentingan dan tersimpan di dalam rekam medik.
c)
Formulir Ringkasan pasien pulang dijelaskan
kepada pasien dan atau keluarga.
7) Standar AKP 5.2
Rumah
sakit menetapkan proses untuk mengelola dan melakukan tindak lanjut pasien dan
memberitahu staf rumah sakit bahwa mereka berniat keluar rumah sakit serta
menolak rencana asuhan medis.
8) Standar AKP 5.3
Rumah sakit menetapkan proses
untuk mengelola pasien yang menolak rencana asuhan medis yang melarikan
diri. 9) Maksud dan Tujuan AKP
5.2 dan AKP 5.3
Jika seorang pasien rawat inap atau rawat jalan
telah selesai menjalani pemeriksaan lengkap dan sudah ada rekomendasi tindakan
yang akan dilakukan, kemudian pasien memutuskan meninggalkan rumah sakit maka
pasien ini dianggap sebagai pasien keluar dan menolak rencana asuhan medis.
Pasien rawat inap dan rawat jalan (termasuk pasien dari unit gawat darurat)
berhak menolak tindakan medis dan keluar rumah sakit. Pasien ini menghadapi
risiko karena menerima pelayanan atau tindakan tidak lengkap yang berakibat
terjadi kerusakan permanen atau kematian. Jika seorang pasien rawat inap atau
rawat jalan minta untuk keluar dari rumah sakit tanpa persetujuan dokter maka
pasien harus diberitahu tentang risiko medis oleh dokter yang membuat rencana
asuhan atau tindakan dan proses keluarnya pasien sesuai dengan regulasi rumah
sakit. Jika pasien mempunyai dokter keluarga maka dokter keluarga tersebut
harus diberitahu tentang keputusan pasien. Bila tidak ada dokter keluarga maka
pasien dimotivasi untuk mendapat/mencari pelayanan kesehatan lebih lanjut.
Harus diupayakan agar mengetahui alasan mengapa pasien keluar menolak rencana
asuhan medis. Rumah sakit perlu mengetahui alasan ini agar dapat melakukan
komunikasi lebih baik dengan pasien dan atau keluarga pasien dalam rangka
memperbaiki proses.
Jika pasien menolak rencana asuhan medis tanpa
memberi tahu siapapun di dalam rumah sakit atau ada pasien rawat jalan yang
menerima pelayanan kompleks atau pelayanan untuk menyelamatkan jiwa, seperti
kemoterapi atau terapi radiasi, tidak kembali ke rumah sakit maka rumah sakit
harus berupaya menghubungi pasien untuk memberi tahu tentang potensi risiko
bahaya yang ada. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk proses ini sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku, termasuk rumah sakit membuat laporan ke
dinas kesehatan atau kementerian kesehatan tentang kasus infeksi dan memberi
informasi tentang pasien yang mungkin mencelakakan dirinya atau orang lain.
10) Elemen Penilaian AKP 5.2
a)
Rumah sakit telah menetapkan proses untuk
mengelola pasien rawat jalan dan rawat inap yang menolak rencana asuhan medis
termasuk keluar rumah sakit atas permintaan sendiri dan pasien yang menghendaki
penghentian pengobatan.
b) Ada
bukti pemberian edukasi kepada pasien tentang risiko medis akibat asuhan medis
yang belum lengkap.
c)
Pasien keluar rumah sakit atas permintaan
sendiri, tetapi tetap mengikuti proses pemulangan pasien.
d) Dokter
keluarga (bila ada) atau dokter yang memberi asuhan berikutnya kepada pasien
diberitahu tentang kondisi tersebut.
e)
Ada dokumentasi rumah sakit melakukan pengkajian
untuk mengetahui alasan pasien keluar rumah sakit apakah permintaan sendiri,
menolak asuhan medis, atau tidak melanjutkan program pengobatan.
11) Elemen Penilaian AKP 5.3
a)
Ada regulasi yang mengatur pasien rawat inap dan
rawat jalan yang meninggalkan rumah sakit tanpa pemberitahuan (melarikan diri).
b) Rumah
sakit melakukan identifikasi pasien menderita penyakit yang membahayakan
dirinya sendiri atau lingkungan.
c)
Rumah sakit
melaporkan kepada pihak yang berwenang bila ada indikasi
kondisi pasien yang membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.
12) Standar AKP 5.4
Pasien
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lain berdasar atas kondisi pasien
untuk memenuhi kebutuhan asuhan berkesinambungan dan sesuai dengan kemampuan
fasilitas kesehatan penerima untuk memenuhi kebutuhan pasien.
13) Maksud dan Tujuan AKP 5.4
Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan lain
didasarkan atas kondisi pasien dan kebutuhan untuk memperoleh asuhan
berkesinambungan. Rujukan pasien antara lain untuk memenuhi kebutuhan pasien
atau konsultasi spesialistik dan tindakan, serta penunjang diagnostik. Jika
pasien dirujuk ke rumah sakit lain, yang merujuk harus memastikan fasilitas
kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien
dan mempunyai kapasitas menerima pasien. Diperoleh kepastian terlebih dahulu
dan kesediaan menerima pasien serta persyaratan rujukan diuraikan dalam kerja
sama formal atau dalam bentuk perjanjian. Ketentuan seperti ini dapat
memastikan kesinambungan asuhan tercapai dan kebutuhan pasien terpenuhi.
Rujukan terjadi juga ke fasilitas kesehatan lain dengan atau tanpa ada
perjanjian formal.
14) Elemen Penilaian AKP 5.4
a)
Ada regulasi tentang rujukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b) Rujukan
pasien dilakukan sesuai dengan kebutuhan kesinambungan asuhan pasien.
c)
Rumah sakit yang merujuk memastikan bahwa
fasilitas kesehatan yang menerima dapat memenuhi kebutuhan pasien yang
dirujuk.
d) Ada
kerjasama rumah sakit yang merujuk dengan rumah sakit yang menerima rujukan
yang sering dirujuk.
15) Standar AKP 5.5
Rumah sakit menetapkan proses rujukan untuk
memastikan pasien pindah dengan aman.
16) Maksud dan Tujuan AKP 5.5
Rujukan
pasien sesuai dengan kondisi pasien,
menentukan kualifikasi staf pendamping yang memonitor dan menentukan
jenis peralatan medis khusus. Selain itu, harus dipastikan fasilitas pelayanan
kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien
dan mempunyai kapasitas pasien dan jenis teknologi medis. Diperlukan proses
konsisten melakukan rujukan pasien untuk memastikan keselamatan pasien. Proses
ini menangani:
a)
Ada staf yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan rujukan termasuk untuk memastikan pasien diterima di rumah sakit
rujukan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien;
b) Selama
dalam proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang
selalu memonitor dan mencatatnya dalam rekam medis;
c)
Dilakukan identifikasi kebutuhan obat, bahan
medis habis pakai, alat kesehatan dan peralatan medis yang dibutuhkan selama
proses rujukan; dan
d) Dalam
proses pelaksanaan rujukan, ada proses serah terima pasien antara staf
pengantar dan yang menerima. Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap mutu dan
keamanan proses rujukan untuk memastikan pasien telah ditransfer dengan staf
yang kompeten dan dengan peralatan medis yang tepat.
17) Elemen Penilaian AKP 5.5
a)
Rumah sakit memiliki staf yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan rujukan termasuk untuk memastikan pasien diterima di rumah
sakit rujukan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien.
b) Selama
proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang selalu
memantau dan mencatatnya dalam rekam medis.
c)
Selama proses rujukan tersedia obat, bahan medis
habis pakai, alat kesehatan, dan peralatan medis sesuai dengan kebutuhan
kondisi pasien.
d) Rumah
sakit memiliki proses serah terima pasien antara staf pengantar dan yang
menerima.
e)
Pasien dan keluarga dijelaskan apabila rujukan
yang dibutuhkan tidak dapat dilaksanakan.
18) Standar AKP 5.6
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk mengatur
proses rujukan dan dicatat di rekam medis pasien.
19) Maksud dan Tujuan AKP 5.6
Informasi tentang pasien yang dirujuk disertakan
bersama dengan pasien untuk menjamin kesinambungan asuhan.
Formulir rujukan berisi:
a)
Identitas pasien;
b) Hasil
pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang) yang
telah dilakukan;
c)
Diagnosis kerja;
d) Terapi
dan/atau tindakan yang telah diberikan;
e)
Tujuan rujukan; dan
f)
Nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan rujukan.
Dokumentasi juga memuat nama fasilitas pelayanan
kesehatan dan nama orang di fasilitas pelayanan kesehatan yang menyetujui
menerima pasien, kondisi khusus untuk rujukan (seperti kalau ruangan tersedia
di penerima rujukan atau tentang status pasien). Juga dicatat jika kondisi
pasien atau kondisi pasien berubah selama ditransfer (misalnya, pasien
meninggal atau membutuhkan resusitasi).
Dokumen lain yang diminta sesuai dengan kebijakan
rumah sakit (misalnya, tanda tangan perawat atau dokter yang menerima serta
nama orang yang memonitor pasien dalam perjalanan rujukan) masuk dalam catatan.
Dokumen rujukan diberikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan penerima bersama
dengan pasien.
Catatan setiap pasien yang dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya memuat juga dokumentasi selama proses rujukan.
Jika proses rujukan menggunakan transportasi dan
tenaga pendamping dari pihak ketiga, rumah sakit memastikan ketersediaan
kebutuhan pasien selama perjalanan dan melakukan serah terima dengan petugas
tersebut.
20) Elemen Penilaian AKP 5.6
a)
Dokumen rujukan berisi nama dari fasilitas
pelayanan kesehatan yang menerima dan nama orang yang menyetujui menerima
pasien.
b) Dokumen
rujukan berisi alasan pasien dirujuk, memuat kondisi pasien, dan kebutuhan
pelayanan lebih lanjut.
c)
Dokumen rujukan juga memuat prosedur dan
intervensi yang sudah dilakukan.
d) Proses
rujukan dievaluasi dalam aspek mutu dan keselamatan pasien.
21) Standar AKP 5.7
Untuk pasien rawat jalan yang membutuhkan asuhan
yang kompleks atau diagnosis yang kompleks dibuat catatan tersendiri profil
ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) dan tersedia untuk PPA.
22) Maksud dan Tujuan AKP 5.7
Jika rumah sakit memberikan asuhan dan tindakan
berlanjut kepada pasien dengan diagnosis kompleks dan atau yang membutuhkan
asuhan kompleks (misalnya pasien yang datang beberapa kali dengan masalah
kompleks, menjalani tindakan beberapa kali, datang di beberapa unit klinis, dan
sebagainya) maka kemungkinan dapat bertambahnya diagnosis dan obat,
perkembangan riwayat penyakit, serta temuan pada pemeriksaan fisis. Oleh karena
itu, untuk kasus seperti ini harus dibuat ringkasannya. Sangat penting bagi
setiap PPA yang berada di berbagai unit yang memberikan asuhan kepada pasien
ini mendapat akses ke informasi profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ)
tersebut.
Profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) memuat
informasi, termasuk:
a)
Identifikasi pasien yang menerima asuhan
kompleks atau dengan diagnosis kompleks (seperti pasien di klinis jantung
dengan berbagai komorbiditas antara lain DM tipe 2, total knee replacement, gagal ginjal tahap akhir, dan sebagainya.
Atau pasien di klinis neurologik dengan berbagai komorbiditas).
b) Identifikasi
informasi yang dibutuhkan oleh para dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)
yang menangani pasien tersebut
c)
Menentukan proses yang digunakan untuk
memastikan bahwa informasi medis yang dibutuhkan dokter penanggung jawab
pelayanan (DPJP) tersedia dalam format mudah ditelusur (easy-to-retrieve) dan mudah direvieu.
d) Evaluasi
hasil implementasi proses untuk mengkaji bahwa informasi dan proses memenuhi
kebutuhan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan meningkatkan mutu serta
keselamatan pasien.
23) Elemen Penilaian AKP 5.7
a)
Rumah sakit telah menetapkan kriteria pasien
rawat jalan dengan asuhan yang kompleks atau yang diagnosisnya kompleks
diperlukan Profil Ringkas Medis Rawat Jalan (PRMRJ) meliputi poin a-d dalam
maksud tujuan.
b) Rumah
sakit memiliki proses yang dapat dibuktikan bahwa PRMRJ mudah ditelusur dan
mudah di-review.
c)
Proses tersebut dievaluasi untuk memenuhi
kebutuhan para DPJP dan meningkatkan mutu serta keselamatan pasien.
f. Transportasi
1) Standar AKP 6
Rumah
sakit menetapkan proses transportasi dalam merujuk, memindahkan atau
pemulangan, pasien rawat inap dan rawat jalan utk memenuhi kebutuhan pasien.
2) Maksud dan Tujuan AKP 6
Proses merujuk, memindahkan, dan memulangkan pasien
membutuhkan pemahaman tentang kebutuhan transpor pasien. Jenis kendaraan untuk
transportasi berbagai macam, mungkin ambulans atau kendaraan lain milik rumah
sakit atau berasal dari sumber yang diatur oleh keluarga atau kerabat. Jenis
kendaraan yang diperlukan bergantung pada kondisi dan status pasien. Kendaraan
transportasi milik rumah sakit harus tunduk pada peraturan perundangan yang
mengatur tentang kegiatan operasionalnya, kondisi, dan perawatan kendaraan.
Rumah sakit mengidentifikasi kegiatan transportasi yang berisiko terkena
infeksi dan menentukan strategi mengurangi risiko infeksi. Persediaan obat dan
perbekalan medis yang harus tersedia dalam kendaraan bergantung pada pasien
yang dibawa. Jika rumah sakit membuat kontrak layanan transportasi maka rumah
sakit harus dapat menjamin bahwa kontraktor harus memenuhi standar untuk mutu
dan keselamatan pasien dan kendaraan. Jika layanan transpor diberikan oleh
Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan, perusahaan asuransi, atau
organisasi lain yang tidak berada dalam pengawasan rumah sakit maka masukan
dari rumah sakit tentang keselamatan dan mutu transpor dapat memperbaiki
kinerja penyedia pelayanan transpor. Dalam semua hal, rumah sakit melakukan
evaluasi terhadap mutu dan keselamatan pelayanan transportasi. Hal ini termasuk
penerimaan, evaluasi, dan tindak lanjut keluhan terkait pelayanan transportasi.
3) Elemen Penilaian AKP 6
a)
Rumah sakit memiliki proses transportasi pasien
sesuai dengan kebutuhannya yang meliputi pengkajian kebutuhan transportasi,
SDM, obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan, peralatan medis dan
persyaratan PPI yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
b) Bila
rumah sakit memiliki kendaraan transport sendiri, ada bukti pemeliharan
kendaraan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c)
Bila rumah sakit bekerja sama dengan jasa
transportasi pasien mandiri, ada bukti kerja sama tersebut dan evaluasi berkala
dari rumah sakit mengenai kelayakan kendaraan transportasi, memenuhi aspek mutu,
keselamatan pasien dan keselamatan transportasi.
d) Kriteria
alat transportasi yang digunakan untuk merujuk, memindahkan, atau memulangkan
pasien ditentukan oleh rumah sakit (staf yang kompeten), harus sesuai dengan
Program PPI, memenuhi aspek mutu, keselamatan pasien dan keselamatan
transportasi.
2. Hak Pasien dan Keterlibatan Keluarga (HPK)
Gambaran Umum
Hak pasien dalam pelayanan kesehatan dilindungi oleh
undangundang. Dalam memberikan pelayanan, rumah sakit menjamin hak pasien yang
dilindungi oleh peraturan perundangan tersebut dengan mengupayakan agar pasien
mendapatkan haknya di rumah sakit. Dalam memberikan hak pasien, rumah sakit
harus memahami bahwa pasien dan keluarganya memiliki sikap, perilaku, kebutuhan
pribadi, agama, keyakinan, budaya dan nilai-nilai yang dianut.
Hasil pelayanan pada pasien akan meningkat bila
pasien dan keluarga atau mereka yang berhak mengambil keputusan diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan pelayanan dan proses yang sesuai dengan harapan,
nilai, serta budaya yang dimiliki. Pendidikan pasien dan keluarga membantu
pasien lebih memahami dan berpartisipasi dalam perawatan mereka untuk membuat
keputusan perawatan yang lebih baik.
Standar ini akan membahas
proses-proses untuk:
a. Mengidentifikasi,
melindungi, dan mempromosikan hak-hak pasien;
b. Menginformasikan
pasien tentang hak-hak mereka;
c.
Melibatkan keluarga pasien, bila perlu, dalam
keputusan tentang perawatan pasien;
d. Mendapatkan
persetujuan (informed consent); dan
e.
Mendidik staf tentang hak pasien.
Proses-proses ini terkait dengan bagaimana sebuah
organisasi menyediakan perawatan kesehatan dengan cara yang adil dan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Lebih lanjut, standar Hak Pasien dan Keterlibatan
Keluarga akan berfokus pada:
a. Hak
pasien dan keluarga; dan
b. Permintaan
persetujuan pasien.
a. Hak Pasien dan Keluarga
1) Standar HPK 1
Rumah sakit menerapkan proses yang mendukung
hak-hak pasien dan keluarganya selama pasien mendapatkan pelayanan dan
perawatan di rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan HPK 1
Pimpinan rumah sakit harus mengetahui dan memahami
hak-hak pasien dan keluarganya serta tanggung jawab organisasi sebagaimana
tercantum dalam peraturan perundangan. Pimpinan memberikan arahan untuk
memastikan bahwa seluruh staf ikut berperan aktif dalam melindungi hak pasien
tersebut.
Hak pasien dan keluarga merupakan unsur dasar dari
seluruh hubungan antara organisasi, staf, pasien dan keluarga. Rumah sakit
menggunakan proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur, dan
apabila diperlukan, melibatkan para pasien dan keluarganya selama proses
tersebut.
Sering kali, pasien ingin agar keluarga dapat
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan mereka. Pasien
memiliki hak untuk mengidentifikasi siapa yang mereka anggap sebagai keluarga
dan diizinkan untuk melibatkan orang-orang tersebut dalam perawatan. Agar keluarga
dapat berpartisipasi, mereka harus diizinkan hadir. Pasien diberi kesempatan
untuk memutuskan apakah mereka ingin keluarga ikut terlibat dan sejauh mana
keluarga akan terlibat dalam perawatan pasien, informasi apa mengenai perawatan
yang dapat diberikan kepada keluarga/pihak lain, serta dalam keadaan apa.
3) Elemen Penilaian HPK 1
a)
Rumah sakit menerapkan regulasi hak pasien dan
keluarga sebagaimana tercantum dalam poin a) – d) pada gambaran umum dan
peraturan perundangundangan.
b) Rumah
sakit memiliki proses untuk mengidentifikasi
siapa yang diinginkan pasien untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan terkait perawatannya.
c)
Rumah sakit memiliki proses untuk menentukan
preferensi pasien, dan pada beberapa keadaan preferensi keluarga pasien, dalam
menentukan informasi apa mengenai perawatan pasien yang dapat diberikan kepada
keluarga/pihak lain, dan dalam situasi apa.
d) Semua
staff dilatih tentang proses dan peran mereka dalam mendukung hak-hak serta
partisipasi pasien dan keluarga dalam perawatan.
4) Standar HPK 1.1
Rumah sakit berupaya mengurangi hambatan fisik,
bahasa, budaya, dan hambatan lainnya dalam mengakses dan memberikan layanan
serta memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga dalam bahasa
dan cara yang dapat mereka pahami.
5) Maksud dan Tujuan HPK 1.1
Rumah sakit mengidentifikasi hambatan, menerapkan
proses untuk menghilangkan atau mengurangi hambatan, dan mengambil tindakan
untuk mengurangi dampak hambatan bagi pasien yang memerlukan pelayanan dan
perawatan. Sebagai contoh: tersedia akses yang aman ke unit
perawatan/pelayanan, tersedia rambu-rambu disabilitas dan rambu-rambu lain
seperti penunjuk arah atau alur evakuasi yang mencakup penggunaan rambu multi
bahasa dan/atau simbol internasional, dan disediakan penerjemah yang dapat
digunakan untuk pasien dengan kendala bahasa.
Rumah sakit menyiapkan pernyataan tertulis tentang
hak dan tanggung jawab pasien dan keluarga yang tersedia bagi pasien ketika
mereka dirawat inap atau terdaftar sebagai pasien rawat jalan. Pernyataan
tersebut terpampang di area rumah sakit atau dalam bentuk brosur atau dalam
metode lain seperti pemberian informasi staf pada saat diperlukan. Pernyataan
tersebut sesuai dengan usia, pemahaman, bahasa dan cara yang dipahami
pasien.
6) Elemen Penilaian HPK 1.1
a)
Rumah mengidentifikasi hambatan serta menerapkan
proses untuk mengurangi hambatan bagi pasien dalam mendapatkan akses, proses
penerimaan dan pelayanan perawatan.
b) Informasi
terkait aspek perawatan dan tata laksana medis pasien diberikan dengan cara dan
bahasa yang dipahami pasien.
c)
Informasi mengenai hak dan tanggung jawab pasien
terpampang di area rumah sakit atau diberikan kepada setiap pasien secara
tertulis atau dalam metode lain dalam bahasa yang dipahami pasien.
7) Standar HPK 1.2
Rumah sakit memberikan pelayanan yang menghargai
martabat pasien, menghormati nilai-nilai dan kepercayaan pribadi pasien serta
menanggapi permintaan yang terkait dengan keyakinan agama dan spiritual.
8) Maksud dan Tujuan HPK 1.2
Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting
adalah keinginan untuk dihargai dan memiliki martabat. Pasien memiliki hak
untuk dirawat dengan penuh rasa hormat dan tenggang rasa, dalam berbagai
keadaan, serta perawatan yang menjaga harkat dan martabat pasien.
Setiap pasien membawa nilai-nilai dan kepercayaan
masing-masing ke dalam proses perawatan. Sebagian nilai dan kepercayaan yang
umumnya dimiliki oleh semua pasien sering kali berasal dari budaya atau
agamanya. Nilai-nilai dan kepercayaan lainnya dapat berasal dari diri pasien
itu sendiri. Semua pasien dapat menjalankan kepercayaannya masing-masing dengan
cara yang menghormati kepercayaan orang lain. Semua staf harus berusaha
memahami perawatan dan pelayanan yang mereka berikan dalam konteks dari
nilai-nilai dan kepercayaan pasien.
9) Elemen Penilaian HPK 1.2
a)
Staf memberikan perawatan yang penuh penghargaan
dengan memerhatikan harkat dan martabat pasien.
b) Rumah
sakit menghormati keyakinan spiritual dan budaya pasien serta nilai-nilai yang
dianut pasien.
c)
Rumah sakit memenuhi kebutuhan pasien terhadap
bimbingan rohani.
10) Standar HPK 1.3
Rumah sakit menjaga privasi pasien dan kerahasiaan
informasi dalam perawatan, serta memberikan hak kepada pasien untuk memperoleh
akses dalam informasi kesehatan mereka sesuai perundang-undangan yang berlaku.
11) Maksud dan Tujuan HPK 1.3
Hak privasi pasien, terutama ketika diwawancara,
diperiksa, dirawat dan dipindahkan adalah hal yang sangat penting. Pasien
mungkin menginginkan privasinya terlindung dari para karyawan, pasien lain, dan
bahkan dari anggota keluarga atau orang lain yang ditentukan oleh pasien. Oleh
karena itu staf rumah sakit yang melayani dan merawat pasien harus menanyakan
tentang kebutuhan privasi pasien dan harapan yang terkait dengan pelayanan yang
dimaksud serta meminta persetujuan terhadap pelepasan informasi medik yang
diperlukan.
Informasi medis serta informasi kesehatan lainnya
yang didokumentasikan dan dikumpulkan harus dijaga kerahasiannya. Rumah sakit
menghargai kerahasiaan informasi tersebut dan menerapkan prosedur yang
melindungi informasi tersebut dari kehilangan atau penyalahgunaan. Kebijakan
dan prosedur mencakup informasi yang dapat diberikan sesuai ketentuan peraturan
dan undang-undang lainnya.
Pasien juga memiliki hak untuk mengakses informasi
kesehatan mereka sendiri. Ketika mereka memiliki akses terhadap informasi kesehatan
mereka, pasien dapat lebih terlibat di dalam keputusan perawatan dan membuat
keputusan yang lebih baik tentang perawatan mereka.
12) Elemen Penilaian HPK 1.3
a)
Rumah sakit menjamin kebutuhan privasi pasien
selama perawatan dan pengobatan di rumah sakit.
b) Kerahasiaan
informasi pasien dijaga sesuai dengan peraturan perundangan.
c)
Rumah sakit memiliki proses untuk meminta
persetujuan pasien terkait pemberian informasi.
d) Rumah
sakit memiliki proses untuk memberikan pasien akses terhadap informasi
kesehatan mereka.
13) Standar HPK 1.4
Rumah sakit melindungi harta benda pasien dari
pencurian atau kehilangan.
14) Maksud dan Tujuan HPK 1.4
Rumah sakit bertanggung jawab melindungi terhadap
harta benda pasien dari pencurian atau kehilangan. Terdapat proses untuk
mencatat dan membuat daftar harta benda yang dibawa pasien dan memastikan agar
harta benda tersebut tidak dicuri atau hilang. Proses ini dilakukan di ODC
(Pelayanan Satu Hari), pasien rawat inap, serta untuk pasien yang tidak mampu
mengambil keputusan untuk menjaga keamanan harta benda mereka karena tidak
sadarkan diri atau tidak didampingi penunggu.
15) Elemen Penilaian HPK 1.4
a)
Rumah sakit menetapkan proses untuk mencatat dan
melindungi pertanggungjawaban harta benda pasien.
b) Pasien
mendapat informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit untuk melindungi harta
benda pribadi mereka.
16) Standar HPK 1.5
Rumah sakit melindungi pasien dari serangan fisik
dan verbal, dan populasi yang berisiko diidentifikasi serta dilindungi dari
kerentanan.
17) Maksud dan Tujuan HPK 1.5
Rumah sakit bertanggung jawab untuk melindungi
pasien dari penganiayaan fisik dan verbal yang dilakukan pengunjung, pasien
lain, dan petugas. Tanggung jawab ini sangat penting terutama bagi bayi dan
anak-anak, lansia, dan kelompok yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri.
Rumah sakit berupaya mencegah penganiayaan melalui berbagai proses seperti
memeriksa orang-orang yang berada dilokasi tanpa identifikasi yang jelas,
memantau wilayah yang terpencil atau terisolasi, dan cepat tanggap dalam
membantu mereka yang berada dalam bahaya atau dianiaya.
18) Elemen Penilaian HPK 1.5
a)
Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan proses
untuk melindungi semua pasien dari serangan fisik dan verbal.
b) Rumah
sakit mengidentifikasi populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami serangan.
c)
Rumah sakit memantau area fasilitas yang terisolasi
dan terpencil.
19) Standar HPK 2
Pasien dan keluarga pasien dilibatkan dalam semua
aspek perawatan dan tata laksana medis melalui edukasi, dan diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai
perawatan serta tata laksananya.
20) Maksud dan Tujuan HPK 2
Pasien dan keluarganya ikut berperan serta dalam
proses asuhan dengan membuat keputusan mengenai perawatan, mengajukan
pertanyaan tentang perawatan, dan bahkan menolak prosedur diagnostik dan tata
laksana. Agar pasien dan keluarga dapat berpartisipasi dalam keputusan
perawatan, mereka memerlukan informasi mengenai kondisi medis, hasil
pemeriksaan, diagnosis, rencana pengobatan dan rencana tindakan serta
perawatan, dan alternatif tindakan bila ada. Rumah sakit memastikan mereka
dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan termasuk
untuk melakukan perawatan sendiri di rumah.
Selama proses asuhan, pasien juga memiliki hak
untuk diberitahu mengenai kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi dari
terapi dan perawatan, serta ketika suatu
peristiwa atau kejadian yang tidak terduga terjadi
selama perawatan dilakukan.
Pasien dan keluarga pasien
memahami jenis keputusan
yang harus diambil terkait asuhan dan bagaimana
mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tersebut. Ketika pasien
meminta pendapat kedua, rumah sakit tidak boleh menghambat, mencegah ataupun
menghalangi upaya pasien yang mencari pendapat kedua, namun sebaliknya, rumah
sakit harus memfasilitasi permintaan akan pendapat kedua tersebut dan membantu
menyediakan informasi mengenai kondisi pasien, seperti informasi hasil
pemeriksaan, diagnosis, rekomendasi terapi, dan sebagainya.
Rumah sakit mendukung dan menganjurkan keterlibatan
pasien dan keluarga dalam semua aspek perawatan. Seluruh staf diajarkan
mengenai kebijakan dan prosedur serta peranan mereka dalam mendukung hak pasien
dan keluarga untuk berpartisipasi dalam proses perawatan.
21) Elemen Penilaian HPK 2
a)
Rumah sakit menerapkan proses untuk mendukung
pasien dan keluarga terlibat dan berpartisipasi dalam proses asuhan dan dalam
pengambilan keputusan.
b) Rumah
sakit menerapkan proses untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya
mengenai kondisi medis, diagnosis, serta rencana perawatan dan terapi yang
diberikan.
c)
Pasien diberikan informasi mengenai hasil asuhan
dan tata laksana yang diharapkan.
d) Pasien
diberikan informasi mengenai kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi
dari terapi dan perawatan.
e)
Rumah sakit memfasilitasi permintaan pasien
untuk mencari pendapat kedua tanpa perlu khawatir akan mempengaruhi
perawatannya selama di dalam atau luar rumah sakit.
22) Standar HPK 2.1
Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga mengenai hak dan kewajibannya untuk menolak atau menghentikan terapi,
menolak diberikan pelayanan resusitasi, serta melepaskan atau menghentikan
terapi penunjang kehidupan.
23) Maksud dan Tujuan HPK 2.1
Pasien atau keluarga yang mengambil keputusan atas
nama pasien, dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana perawatan atau
terapi ataupun menghentikan perawatan atau terapi setelah proses tersebut
dimulai. Salah satu keputusan yang
paling sulit untuk pasien dan keluarga dan juga untuk staf RS adalah keputusan
untuk menghentikan layanan resusitasi atau perawatan yang menunjang kehidupan.
Oleh karena itu, penting bagi rumah sakit untuk mengembangkan sebuah proses
dalam pengambilan keputusan-keputusan sulit. Untuk memastikan proses
pengambilan keputusan yang terkait dengan keinginan pasien dilakukan secara
konsisten, rumah sakit mengembangkan proses yang melibatkan berbagai
profesional dan sudut pandang dalam proses pengembangannya. Proses tersebut
mencakup pemberian informasi secara jelas dan lengkap mengenai kondisi pasien,
konsekuensi dari keputusan yang diambil, serta pilihan atau alternatif lain
yang dapat di jadikan pertimbangan. Selain itu, proses tersebut
mengidentifikasi garis akuntabilitas serta bagaimana proses tersebut dapat di
integrasikan di dalam rekam medis pasien.
24) Elemen Penilaian HPK 2.1
a)
Rumah sakit menerapkan proses mengenai pemberian
pelayanan resusitasi dan penghentian terapi penunjang kehidupan untuk pasien.
b) Rumah
sakit memberi informasi kepada pasien dan keluarga mengenai hak mereka untuk
menolak atau menghentikan terapi, konsekuensi dari keputusan yang dibuat serta
terapi dan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihan.
25) Standar HPK 2.2
Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapat
pengkajian dan tata laksana nyeri serta perawatan yang penuh kasih menjelang
akhir hayatnya.
26) Maksud dan Tujuan HPK 2.2
Nyeri adalah hal yang sering dialami pasien di
dalam proses perawatan. Pasien merespons rasa nyeri sesuai dengan nilai,
tradisi, budaya serta agama yang dianut. Nyeri yang tidak dapat diatasi dapat
memiliki efek fisiologis yang negatif. Oleh karena itu, pasien perlu didukung
dan diberi edukasi agar melaporkan nyeri yang mereka rasakan.
Menjelang akhir hayat, pasien memiliki kebutuhan
khas yang juga dapat dipengaruhi oleh tradisi budaya dan agama. Perhatian
terhadap kenyamanan dan martabat pasien memandu semua aspek perawatan di akhir
hayat mereka. Untuk memberikan perawatan yang terbaik pada pasien yang sedang
memasuki fase menjelang akhir hayat, semua staf harus rumah sakit menyadari
kebutuhan yang unik dan spesifik dari seorang pasien di akhir hayatnya.
Kebutuhan-kebutuhan unik tersebut meliputi tata laksana terhadap keluhan utama
dan keluhan tambahan; tata laksana nyeri; tanggapan terhadap kekhawatiran
psikologis, sosial, emosional, agama, dan kultural pasien serta keluarganya
serta keterlibatan dalam keputusan perawatan. Proses perawatan yang diberikan
rumah sakit harus menjunjung tinggi dan mencerminkan hak dari semua pasien
untuk mendapatkan pengkajian dan tata laksana nyeri serta pengkajian dan
pengelolaan kebutuhan pasien yang unik dan spesifik di akhir hayatnya.
27) Elemen Penilaian HPK 2.2
a)
Rumah sakit menerapkan proses untuk menghargai
dan mendukung hak pasien mendapatkan pengkajian dan pengelolaan nyeri.
b) Rumah
sakit menerapkan proses untuk menghargai dan mendukung hak pasien untuk
mendapatkan pengkajian dan pengelolaan terhadap kebutuhan pasien menjelang
akhir hayat.
28) Standar HPK 3
Rumah sakit memberitahu pasien dan keluarganya
mengenai proses untuk menerima dan menanggapi keluhan, tindakan rumah sakit
bila terdapat konflik/perbedaan pendapat di dalam asuhan pasien, serta hak
pasien untuk berperan dalam semua proses ini.
29) Maksud dan Tujuan HPK 3
Pasien memiliki hak untuk menyampaikan keluhan
tentang asuhan mereka dan keluhan tersebut harus ditanggapi dan diselesaikan.
Di samping itu, keputusan terkait perawatan kadang kala menimbulkan pertanyaan,
konflik atau dilema lain bagi rumah sakit, pasien dan keluarga atau pengambil
keputusan lain. Dilema ini mungkin timbul sejak pasien mengakses pelayanan,
selama menjalani masa perawatan, dan pada proses pemulangan. Rumah sakit
menetapkan penanggung jawab dan proses untuk menyelesaikan keluhan tersebut.
Rumah sakit mengidentifikasi kebijakan dan prosedur
bagi mereka yang perlu dilibatkan dalam menyelesaikan keluhan dan bagaimana
pasien dan keluarganya dapat ikut berperan serta.
30) Elemen Penilaian HPK 3
a)
Pasien diberikan informasi mengenai proses untuk
menyampaikan keluhan dan proses yang harus dilakukan pada saat terjadi
konflik/perbedaan pendapat pada proses perawatan.
b) Keluhan,
konflik, dan perbedaan pendapat tersebut dikaji dan diselesaikan oleh
unit/petugas yang bertanggung jawab melalui sebuah alur/proses spesifik.
c)
Pasien dan keluarga berpartisipasi dalam proses
penyelesaian keluhan, konflik, dan perbedaan pendapat.
b. Permintaan Persetujuan Pasien
1) Standar HPK 4
Rumah sakit menetapkan batasan yang jelas untuk
persetujuan umum yang diperoleh pasien pada saat akan menjalani rawat inap atau
didaftarkan pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan.
2) Maksud dan Tujuan HPK 4
Rumah
sakit meminta persetujuan umum untuk
pengobatan ketika pasien di terima rawat inap di rumah sakit atau ketika pasien
didaftarkan untuk pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan. Pada saat
persetujuan umum itu diperoleh, pasien telah diberi informasi mengenai lingkup
persetujuan umum tersebut. Selanjutnya, rumah sakit menentukan bagaimana
persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Selain general
consent (persetujuan umum), semua pasien diberikan informasi mengenai
pemeriksaan, tindakan dan pengobatan di mana informed consent (persetujuan tindakan) terpisah akan dibuat.
Selain itu, pasien juga harus menerima informasi mengenai kemungkinan adanya
peserta didik, seperti peserta didik perawat, peserta didik fisioterapi,
mahasiswa kedokteran, dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis/trainee/fellowship, serta peserta didik lainnyayang terlibat dalam proses
asuhan.
3) Elemen Penilaian HPK 4
a)
Rumah sakit menerapkan proses bagaimana
persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
b) Pasien
dan keluarga diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan dan pengobatan
yang memerlukan informed consent.
c)
Pasien menerima informasi mengenai kemungkinan
keterlibatan peserta didik, mahasiswa, residen traine dan fellow yang
berpartisipasi dalam proses perawatan.
4) Standar HPK 4.1
Persetujuan tindakan (informed consent) pasien diperoleh melalui cara yang telah
ditetapkan rumah sakit dan dilaksanakan oleh petugas terlatih dengan cara dan
bahasa yang mudah dipahami pasien.
5) Maksud dan Tujuan HPK 4.1
Salah satu proses penting di mana pasien dapat
terlibat dalam pengambilan keputusan tentang perawatan mereka adalah dengan
memberikan informed consent. Untuk
memberikan persetujuan ini, pasien harus di informasikan terlebih dahulu
mengenai faktor-faktor yang terkait dengan rencana perawatan yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan. Proses persetujuan harus didefinisikan secara jelas
oleh rumah sakit dalam kebijakan dan prosedur sesuai perundang-udangan yang
berlaku.
Pasien dan keluarga diberikan informasi mengenai
pemeriksaan, tindakan, dan pengobatan mana yang memerlukan persetujuan dan
bagaimana mereka dapat memberikan persetujuan. Edukasi diberikan oleh staf
rumah sakit yang kompeten dan merupakian bagian dari proses untuk mendapatkan informed consent (sebagai contoh, untuk
pembedahan dan anestesi).
Jika perawatan yang direncanakan meliputi prosedur
pembedahan atau tindakan invasif, anestesi, sedasi, penggunaan darah dan produk
darah, perawatan atau tindakan berisiko tinggi, maka diperlukan persetujuan
tindakan secara terpisah. Rumah sakit mengidentifikasi perawatan dan prosedur
berisiko tinggiatau prosedur dan perawatan lainnya yang membutuhkan persetujuan.
Rumah sakit membuat daftar perawatan dan prosedur ini serta mengedukasi petugas
untuk memastikan bahwa proses untuk memperoleh persetujuan itu harus diterapkan
secara konsisten. Daftar tersebut dikembangkan bersamasama oleh para dokter dan
orang lain yang memberikan perawatan atau melakukan tindakan. Daftar ini
meliputi semua tindakan dan perawatan yang disiapkan bagi pasien rawat jalan
dan pasien rawat inap.
6) Elemen Penilaian HPK 4.1
a)
Rumah sakit menerapkan proses bagi pasien untuk
mendapatkan informed consent.
b) Pemberian
informed consent dilakukan oleh staf
yang kompeten dan diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami pasien.
c)
Rumah sakit memiliki daftar tindakan invasif,
pemeriksaan dan terapi tambahan yang memerlukaninformed consent.
7) Standar HPK 4.2
Rumah
sakit menerapkan proses untuk pemberian persetujuan oleh orang lain, sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
8) Maksud dan Tujuan HPK 4.2
Ada kalanya terdapat kondisi dimana orang lain
selain pasien (baik sendiri maupun bersama pasien) ikut terlibat dalam
keputusan mengenai perawatan pasien dalam proses pemberian informed consent
untuk perawatan. Hal ini terutama berlaku ketika pasien tidak memiliki
kemampuan mental atau fisik untuk mengambil keputusan tentang perawatannya sendiri,
ketika latar belakang budaya atau kebiasaan mengharuskan orang lain yang
mengambil keputusan tentang perawatan atau ketika pasien masih kanak-kanak.
Ketika pasien tidak dapat membuat keputusan tentang perawatannya, maka
ditentukan perwakilan untuk mengambil keputusan tersebut. Ketika ada orang lain
selain pasien itu yang memberi persetujuan, nama individu itu dicatat dalam
rekam medis pasien.
9) Elemen Penilaian HPK 4.2
a)
Rumah sakit menerapkan proses untuk pemberian informed consent oleh orang lain selain
pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
b) Rekam
medis pasien mencantumkan (satu atau lebih) nama individu yang menyatakan
persetujuan.
3. Pengkajian Pasien (PP)
Gambaran Umum
Tujuan dari pengkajian adalah untuk menentukan
perawatan, pengobatan dan pelayanan yang akan memenuhi kebutuhan awal dan
kebutuhan berkelanjutan pasien. Pengkajian pasien merupakan proses yang
berkelanjutan dan dinamis yang berlangsung di layanan rawat jalan serta rawat
inap. Pengkajian pasien terdiri atas tiga proses utama:
a. Mengumpulkan
informasi dan data terkait keadaan fisik, psikologis, status sosial, dan
riwayat kesehatan pasien.
b. Menganalisis
data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium, pencitraan
diagnostik, dan pemantauan fisiologis, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien
akan layanan kesehatan.
c.
Membuat rencana perawatan untuk memenuhi
kebutuhan pasien yang telah teridentifikasi.
Pengkajian
pasien yang efektif akan menghasilkan keputusan tentang kebutuhan asuhan, tata
laksana pasien yang harus segera dilakukan dan pengobatan
berkelanjutan untuk emergensi atau elektif/terencana, bahkan ketika
kondisi pasien berubah.
Asuhan pasien di rumah sakit diberikan dan
dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan berfokus pada pasien (Patient/Person Centered Care) Pola ini dipayungi oleh konsep WHO dalam Conceptual framework integrated
people-centred health services. Penerapan konsep pelayanan berfokus pada
pasien adalah dalam bentuk Asuhan Pasien Terintegrasi yang bersifat integrasi
horizontal dan vertikal dengan elemen:
a. Dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai ketua tim asuhan/Clinical Leader;
b. Profesional
Pemberi Asuhan bekerja sebagai tim intra dan interdisiplin dengan kolaborasi
interprofesional, dibantu antara lain dengan Panduan Praktik Klinis (PPK),
Panduan Asuhan PPA lainnya, Alur Klinis/Clinical
Pathway terintegrasi, Algoritma, Protokol, Prosedur, Standing Order dan CPPT (Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi);
c.
Manajer Pelayanan Pasien/Case Manager; dan
d. Keterlibatan
dan pemberdayaan pasien dan keluarga. Pengkajian
ulang harus dilakukan selama asuhan, pengobatan dan pelayanan untuk
mengidentifikasi kebutuhan pasien. Pengkajian ulang adalah penting untuk
memahami respons pasien terhadap pemberian asuhan, pengobatan dan pelayanan,
serta juga penting untuk menentukan apakah keputusan asuhan memadai dan
efektif. Proses-proses ini paling efektif dilaksanakan bila berbagai
profesional kesehatan yang bertanggung jawab atas pasien bekerja sama.
Standar Pengkajian Pasien ini
berfokus kepada:
a. Pengkajian
awal pasien;
b. Pengkajian
ulang pasien;
c.
Pelayanan laboratorium dan pelayanan darah; dan
d. Pelayanan
radiologi klinik.
a. Pengkajian Pasien
1) Standar PP 1
Semua pasien yang dirawat di rumah sakit
diidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatannya melalui suatu proses pengkajian
yang telah ditetapkan oleh rumah sakit.
2) Standar PP 1.1
Kebutuhan medis dan keperawatan pasien
diidentifikasi berdasarkan pengkajian awal.
3) Standar PP 1.2
Pasien dilakukan skrining risiko nutrisi, skrining
nyeri, kebutuhan fungsional termasuk risiko jatuh dan kebutuhan khusus lainnya
4) Maksud dan Tujuan PP1, PP 1.1 dan PP
1.2
Proses pengkajian pasien yang efektif menghasilkan
keputusan tentang kebutuhan pasien untuk mendapatkan tata laksana segera dan
berkesinambungan untuk pelayanan gawat darurat, elektif atau terencana, bahkan
ketika kondisi pasien mengalami perubahan. Pengkajian pasien adalah sebuah
proses berkesinambungan dan dinamis yang dilakukan di unit gawat darurat, rawat
inap dan rawat jalan serta unit lainnya. Pengkajian pasien terdiri dari tiga
proses primer:
a)
Pengumpulan informasi dan data mengenai kondisi
fisik, psikologis, dan status sosial serta riwayat kesehatan pasien
sebelumnya.
b) Analisis
data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium dan uji diagnostik
pencitraan, untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan pasien.
c)
Pengembangan rencana perawatan pasien untuk
memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi.
Pengkajian disesuaikan dengan kebutuhan pasien,
sebagai contoh, rawat inap atau rawat jalan. Bagaimana pengkajian ini dilakukan
dan informasi apa yang perlu dikumpulkan serta didokumentasikan ditetapkan
dalam kebijakan dan prosedur rumah sakit.
Isi minimal pengkajian awal antara
lain:
a)
Keluhan saat ini
b) Status
fisik;
c)
Psiko-sosio-spiritual;
d) Ekonomi;
e)
Riwayat kesehatan pasien;
f)
Riwayat alergi;
g)
Riwayat penggunaan obat;
h) Pengkajian
nyeri;
i)
Risiko jatuh;
j)
Pengkajian fungsional;
k) Risiko
nutrisional;
l)
Kebutuhan edukasi; dan
m) Perencanaan
pemulangan pasien (Discharge Planning).
Pada kelompok pasien tertentu, misalnya dengan risiko jatuh, nyeri dan status
nutrisi maka dilakukan skrining sebagai bagian dari pengkajian awal, kemudian
dilanjutkan dengan pengkajian lanjutan.
Agar pengkajian kebutuhan pasien dilakukan secara
konsisten, rumah sakit harus mendefinisikan dalam kebijakan, isi minimum dari
pengkajian yang dilakukan oleh para dokter, perawat, dan disiplin klinis
lainnya. Pengkajian dilakukan oleh setiap disiplin dalam ruang lingkup
praktiknya, perizinan, perundangundangan. Hanya PPA yang kompeten dan di
izinkan oleh rumah sakit yang akan melakukan pengkajian.
Rumah sakit mendefinisikan elemen-elemen yang akan
digunakan pada seluruh pengkajian dan mendefinisikan perbedaan-perbedaan yang
ada terutama dalam ruang lingkup kedokteran umum dan layanan spesialis.
Pengkajian yang didefinisikan dalam kebijakan dapat dilengkapi oleh lebih dari
satu individu yang kompeten dan dilakukan pada beberapa waktu yang berbeda.
Semua pengkajian tersebut harus sudah terisi lengkap dan memiliki informasi
terkini (kurang dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari) pada saat tata
laksana dimulai.
5) Elemen Penilaian PP 1
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
pengkajian awal dan pengkajian ulang medis dan keperawatan di unit gawat
darurat, rawat inap dan rawat jalan.
b) Rumah
sakit menetapkan isi minimal pengkajian awal meliputi poin a) – l) pada maksud
dan tujuan.
c)
Hanya PPA yang kompeten, diperbolehkan untuk
melakukan pengkajian sesuai dengan ketentuan rumah sakit.
d) Perencanaanan
pulang yang mencakup identifikasi kebutuhan khusus dan rencana untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, disusun sejak pengkajian awal.
6) Elemen Penilaian PP 1.1
a)
Pengkajian awal medis dan
keperawatandilaksanakan dan didokumentasikan dalam kurun waktu 24 jam pertama
sejak pasien masuk rawat inap, atau lebih awal bila diperlukan sesuai dengan
kondisi pasien.
b) Pengkajian
awal medis menghasilkan diagnosis medis yang mencakup kondisi utama dan kondisi
lainnya yang membutuhkan tata laksana dan pemantauan.
c)
Pengkajian awal keperawatan menghasilkan
diagnosis keperawatan untuk menentukan kebutuhan asuhan keperawatan, intervensi
atau pemantauan pasien yang spesifik.
d) Sebelum
pembedahan pada kondisi mendesak, minimal terdapat catatan singkat dan
diagnosis praoperasi yang didokumentasikan di dalam rekam medik.
e)
Pengkajian medis yang dilakukan sebelum masuk
rawat inap atau sebelum pasien menjalani prosedur di layanan rawat jalan rumah
sakit harus dilakukan dalam waktu kurang atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari
sebelumnya. Jika lebih dari 30 (tiga puluh) hari, maka harus dilakukan
pengkajian ulang.
f)
Hasil dari seluruh pengkajian yang dikerjakan di
luar rumah sakit ditinjau dan/atau diverifikasi pada saat masuk rawat inap atau
sebelum tindakan di unit rawat jalan.
7) Elemen Penilaian PP 1.2
a)
Rumah sakit menetapkan kriteria risiko
nutrisional yang dikembangkan bersama staf yang kompeten dan berwenang.
b) Pasien
diskrining untuk risiko nutrisi sebagai bagian dari pengkajian awal.
c)
Pasien dengan risiko nutrisional dilanjutkan
dengan pengkajian gizi.
d) Pasien
diskrining untuk kebutuhan fungsional termasuk risiko jatuh.
8) Standar PP 1.3
Rumah
sakit melakukan pengkajian awal yang telah dimodifikasi untuk populasi khusus
yang dirawat di rumah sakit.
9) Maksud dan Tujuan PP 1.3
Pengkajian tambahan untuk pasien tertentu atau
untuk populasi pasien khusus mengharuskan proses pengkajian tambahan sesuai
dengan kebutuhan populasi pasien tertentu. Setiap rumah sakit menentukan
kelompok populasi pasien khusus dan menyesuaikan proses pengkajian untuk
memenuhi kebutuhan khusus mereka. Pengkajian
tambahan dilakukan antara lain namun tidak terbatas untuk:
a)
Neonatus.
b) Anak.
c)
Remaja.
d) Obsteri
/ maternitas.
e)
Geriatri.
f)
Sakit terminal / menghadapi kematian.
g)
Pasien dengan nyeri kronik atau nyeri (intense).
h) Pasien
dengan gangguan emosional atau pasien psikiatris.
i)
Pasien kecanduan obat terlarang atau alkohol.
j)
Korban kekerasan atau kesewenangan.
k) Pasien
dengan penyakit menular atau infeksius.
l)
Pasien yang menerima kemoterapi atau terapi
radiasi.
m) Pasien
dengan sistem imunologi terganggu.
Tambahan pengkajian terhadap pasien ini
memperhatikan kebutuhan dan kondisi mereka berdasarkan budaya dan nilai yang
dianut pasien. Proses pengkajian disesuaikan dengan peraturan perundangan dan
standar profesional.
10) Elemen Penilaian PP 1.3
a)
Rumah sakit menetapkan jenis populasi khusus
yang akan dilakukan pengkajian meliputi poin a) - m) pada maksud dan
tujuan.
b) Rumah
sakit telah melaksanakan pengkajian tambahan terhadap populasi pasien khusus
sesuai ketentuan rumah sakit.
b. Pengkajian Ulang Pasien
1) Standard PP 2
Rumah sakit melakukan pengkajian ulang bagi semua
pasien dengan interval waktu yang ditentukan untuk kemudian dibuat rencana
asuhan lanjutan.
2) Maksud dan Tujuan PP 2
Pengkajian ulang dilakukan oleh semua PPA untuk
menilai apakah asuhan yang diberikan telah berjalan dengan efektif. Pengkajian
ulang dilakukan dalam interval waktu yang didasarkan atas kebutuhan dan rencana
asuhan, dan digunakan sebagai dasar rencana pulang pasien sesuai dengan
regulasi rumah sakit. Hasil pengkajian ulang dicatat di rekam medik pasien/CPPT
sebagai informasi untuk di gunakan oleh semua PPA.
Pengkajian ulang oleh DPJP dibuat dibuat
berdasarkan asuhan pasien sebelumnya. DPJP melakukan pengkajian terhadap pasien
sekurang-kurangnya setiap hari, termasuk di akhir minggu/hari libur, dan jika
ada perubahan kondisi pasien. Perawat melakukan pengkajian ulang minimal satu
kali pershift atau sesuai perkembangan pasien, dan setiap hari DPJP akan
mengkoordinasi dan melakukan verifikasi ulang perawat untuk asuhan keperawatan
selanjutnya. Penilaian ulang dilakukan dan hasilnya dimasukkan ke dalam rekam
medis pasien:
a)
Secara berkala selama perawatan (misalnya, staf
perawat secara berkala mencatat tanda-tanda vital, nyeri, penilaian dan suara
paru-paru dan jantung, sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi pasien);
b) Setiap
hari oleh dokter untuk pasien perawatan akut;
c)
Dalam menanggapi perubahan signifikan dalam
kondisi pasien; (Juga lihat PP 3.2)
d) Jika
diagnosis pasien telah berubah dan kebutuhan perawatan memerlukan perencanaan
yang direvisi; dan
e)
Untuk menentukan apakah pengobatan dan perawatan
lain telah berhasil dan pasien dapat dipindahkan atau dipulangkan.
Temuan pada pengkajian digunakan sepanjang proses
pelayanan untuk mengevaluasi kemajuan pasien dan untuk memahami kebutuhan untuk
pengkajian ulang. Oleh karena itu pengkajian medis, keperawatan dan PPA lain
dicatat di rekam medik untuk digunakan oleh semua PPA yang memberikan asuhan ke
pasien.
3) Elemen Penilaian PP 2
a)
Rumah sakit melaksanakan pengkajian ulang oleh
DPJP, perawat dan PPA lainnya untuk menentukan rencana asuhan lanjutan.
b) Terdapat
bukti pelaksanaan pengkajian ulang medis dilaksanakan minimal satu kali sehari,
termasuk akhir minggu/libur untuk pasien akut.
c)
Terdapat bukti pelaksanaan pengkajian ulang oleh
perawat minimal satu kali per shift atau sesuai dengan perubahan kondisi
pasien.
d) Terdapat
bukti pengkajian ulang oleh PPA lainnya dilaksanakan dengan interval sesuai
regulasi rumah sakit.
c. Standar Pelayanan Laboratorium dan
Pelayanan Darah
1) Standar PP 3
Pelayanan laboratorium tersedia untuk memenuhi
kebutuhan pasien sesuai peraturan perundangan.
2) Maksud dan Tujuan PP 3
Rumah
Sakit mempunyai sistem untuk menyediakan pelayanan laboratorium, meliputi
pelayanan patologi klinis, dapat juga tersedia patologi anatomi dan pelayanan
laboratorium lainnya, yang dibutuhkan populasi pasiennya, dan PPA. Organisasi
pelayanan laboratorium yang di bentuk dan diselenggarakan sesuai peraturan
perundangan Di Rumah Sakit dapat terbentuk pelayanan laboratorium utama
(induk), dan juga pelayanan laboratorium lain, misalnya laboratorium Patologi
Anatomi, laboratorium Mikrobiologi maka harus diatur secara organisatoris
pelayanan laboratorium terintegrasi, dengan pengaturan tentang kepala pelayanan
laboratorium terintegrasi yang membawahi semua jenis pelayanan laboratorium di
Rumah
Sakit.
Salah satu pelayanan laboratorium di ruang rawat (Point of Care Testing) yang dilakukan
oleh perawat ruangan harus memenuhi persyaratan kredensial. Pelayanan
laboratorium, tersedia 24 jam termasuk pelayanan darurat, diberikan di dalam
rumah sakit dan rujukan sesuai dengan peraturan perundangan. Rumah sakit dapat
juga menunjuk dan menghubungi para spesialis di bidang diagnostik khusus,
seperti parasitologi, virologi, atau toksikologi. Jika diperlukan, rumah sakit
dapat melakukan pemeriksaan rujukan dengan memilih sumber dari luar berdasarkan
rekomendasi dari pimpinan laboratorum rumah sakit. Sumber dari luar tersebut
dipilih oleh Rumah Sakit karena memenuhi peraturan perundangan dan mempunyai
sertifikat mutu. Bila melakukan pemeriksaan rujukan keluar, harus melalui
laboratorium Rumah Sakit.
3) Elemen Penilaian PP 3
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
pelayanan laboratorium di rumah sakit.
b) Pelayanan
laboratorium buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu, sesuai dengan kebutuhan
pasien.
4) Standar PP 3.1
Rumah sakit menetapkan bahwa seorang yang kompeten
dan berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan laboratorium.
5) Maksud dan Tujuan PP 3.1
Pelayanan laboratorium berada dibawah pimpinan
seorang yang kompeten dan memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan.
Pimpinan laboratorium bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan
laboratorium, termasuk pemeriksaan Point-of-care
testing (POCT), juga tanggung jawabnya dalam melaksanakan regulasi RS
secara konsisten, seperti pelatihan, manajemen logistik dan sebagainya.
Tanggung jawab pimpinan
laboratorium antara lain:
a)
Menyusun dan evaluasi regulasi.
b) Pengawasan
pelaksanaan administrasi.
c)
Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME)
dan mengintegrasikan program mutu laboratorium dengan program Manajemen
Fasilitas dan Keamanan serta program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
rumah sakit.
d) Melakukan
pemantauan dan evaluasi semua jenis pelayanan laboratorium.
e)
Mereview dan menindak lanjuti hasil pemeriksaan
laboratorium rujukan.
6) Elemen Penilaian PP 3.1
a)
Direktur rumah sakit menetapkan penanggung jawab
laboratorium yang memiliki kompetensi sesuai ketentuan perundang-undangan.
b) Terdapat
bukti pelaksanaan tanggung jawab pimpinan laboratorium sesuai poin a) - e) pada
maksud dan tujuan.
7) Standar PP 3.2
Staf laboratorium mempunyai pendidikan, pelatihan,
kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan pemeriksaan.
8) Maksud dan Tujuan PP 3.2
Syarat pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan
pengalaman ditetapkan rumah sakit bagi mereka yang memiliki kompetensi dan
kewenangan diberi ijin mengerjakan pemeriksaan laboratorium, termasuk yang
mengerjakan pemeriksaan di tempat tidur pasien (POCT). Interpretasi hasil pemeriksaan dilakukan oleh dokter yang
kompeten dan berwenang. Pengawasan terhadap staf yang mengerjakan pemeriksaan
diatur oleh regulasi RS. Staf pengawas dan staf pelaksana diberi orientasi
tugas mereka. Staf pelaksana diberi tugas sesuai latar belakang pendidikan dan
pengalaman. Unit kerja laboratorium menyusun dan melaksanakan pelatihan staf
yang memungkinkan staf mampu melakukan tugas sesuai dengan uraian tugasnya.
9) Elemen Penilaian PP 3.2
a)
Staf laboratorium yang membuat interpretasi
telah memenuhi persyaratan kredensial.
b) Staf
laboratorium dan staf lain yang melaksanakan pemeriksaan termasuk yang
mengerjakan Point-of-care testing (POCT),
memenuhi persyaratan kredensial.
10) Standar PP 3.3
Rumah Sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian
pemeriksaan regular dan pemeriksaan segera (cito).
11) Maksud dan Tujuan PP 3.3
Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian
pemeriksaan laboratorium. Penyelesaian pemeriksaan laboratorium dilaporkan sesuai
kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan segera (cito), antara lain dari unit gawat
darurat, kamar operasi, unit intensif diberi perhatian khusus terkait kecepatan
hasil pemeriksaan. Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga)
atau laboratorium rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan juga
mengikuti ketentuan rumah sakit.
12) Elemen Penilaian PP 3.3
a)
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan kerangka
waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium regular dan cito.
b) Terdapat
bukti pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium.
c)
Terdapat bukti pencatatan dan evaluasi waktu
penyelesaian pemeriksaan cito.
d) Terdapat
bukti pencatatan dan evaluasi pelayanan laboratorium rujukan.
13) Standar PP 3.4
Rumah sakit memiliki prosedur pengelolaan semua
reagensia esensial dan di evaluasi secara berkala pelaksaksanaannya.
14) Maksud dan Tujuan PP 3.4
Rumah sakit menetapkan reagensia dan bahan-bahan
lain yang selalu harus ada untuk pelayanan laboratorium bagi pasien. Suatu
proses yang efektif untuk pemesanan atau menjamin ketersediaan reagensia
esensial dan bahan lain yang diperlukan. Semua reagensia disimpan dan
didistribusikan sesuai prosedur yang ditetapkan. Dilakukan audit secara
periodik untuk semua reagensia esensial untuk memastikan akurasi dan presisi
hasil pemeriksaan, antara lain untuk aspek penyimpanan, label, kadaluarsa dan
fisik. Prosedur tertulis memastikan pemberian label secara lengkap dan akurat
untuk reagensia dan larutan dan akurasi serta presisi dari hasil.
15) Elemen Penilaian PP 3.4
a)
Terdapat bukti pelaksanaan semua reagensia
esensial disimpan dan diberi label, serta didistribusi sesuai prosedur dari
pembuatnya atau instruksi pada kemasannya
b) Terdapat
bukti pelaksanaan evaluasi/audit semua reagen.
16) Standar PP 3.5
Rumah sakit memiliki prosedur untuk cara
pengambilan, pengumpulan, identifikasi, pengerjaan, pengiriman, penyimpanan,
dan pembuangan spesimen.
17) Maksud dan Tujuan PP 3.5
Prosedur pelayanan laboratorium meliputi minimal
tapi tidak terbatas pada:
a)
Permintaan pemeriksaan.
b) Pengambilan,
pengumpulan dan identifikasi spesimen.
c)
Pengiriman, pembuangan, penyimpanan dan
pengawetan spesimen.
d) Penerimaan,
penyimpanan, telusur spesimen (tracking).
18) Elemen Penilaian PP 3.5
a)
Pengelolaan spesimen dilaksanakan sesuai poin a)
- d) pada maksud dan tujuan.
b) Terdapat
bukti pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan spesimen.
19) Standar PP 3.6
Rumah sakit menetapkan nilai normal dan rentang
nilai untuk interpretasi dan pelaporan hasil laboratorium klinis.
20) Maksud dan Tujuan PP 3.6
Rumah sakit menetapkan rentang nilai normal/rujukan
setiap jenis pemeriksaan. Rentang nilai dilampirkan di dalam laporan klinik,
baik sebagai bagian dari pemeriksaan atau melampirkan daftar terkini, nilai ini
yang ditetapkan pimpinan laboratorium. Jika pemeriksaan dilakukan oleh
laboratorium rujukan, rentang nilai diberikan. Selalu harus dievaluasi dan
direvisi apabila metode pemeriksaan berubah.
21) Elemen Penilaian PP 3.6
a)
Rumah sakit menetapkan dan mengevaluasi rentang
nilai normal untuk interpretasi, pelaporan hasil laboratorium klinis.
b) Setiap
hasil pemeriksaan laboratorium dilengkapi dengan rentang nilai normal.
22) Standar PP 3.7
Rumah sakit melaksanakan prosedur kendali mutu
pelayanan laboratorium, di evaluasi dan dicatat sebagai dokumen.
23) Maksud dan Tujuan PP 3.7
Kendali mutu yang baik sangat esensial bagi
pelayanan laboratorium agar laboratorium dapat memberikan layanan prima.
Program kendali mutu di laboratorium mencakup pemantapan mutu internal (PMI)
dan pemantauan mutu eksternal (PME). Tahapan PMI praanalitik, analitik dan
pascaanalitik yang memuat antara lain:
a)
Validasi tes yang digunakan untuk tes akurasi,
presisi, hasil rentang nilai;
b) Dilakukan
surveilans hasil pemeriksaan oleh staf yang kompeten;
c)
Reagensia di tes;
d) Koreksi
cepat jika ditemukan kekurangan;
e)
Dokumentasi hasil dan tindakan koreksi; dan
f)
Pemantapan Mutu Eksternal.
24) Elemen Penilaian PP 3.7
a)
Terdapat bukti bahwa unit laboratorium telah
melakukan Pemantapan Mutu Internal (PMI) secara rutin yang meliputi poin a-e
pada maksud dan tujuan.
b) Terdapat
bukti bahwa unit laboratorium telah melakukan Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
secara rutin.
25) Standar PP 3.8
Rumah sakit bekerjasama dengan laboratorium rujukan
yang terakreditasi.
26) Maksud dan Tujuan PP 3.8
Untuk memastikan pelayanan yang aman dan bermutu
rumah sakit memiliki perjanjian kerjasama dengan laboratorium rujukan.
Perjanjian kerjasama ini bertujuan agar rumah sakit memastikan bahwa
laboratorium rujukan telah memenhi persyaratan dan terakreditasi. Perjanjian
kerjasama mencantumkan hal hal yang harus ditaati kedua belah pihak dan
perjanjian dievaluasi secara berkala oleh pimpinan rumah sakit.
27) Elemen Penilaian dari PP 3.8
a)
Unit laboratorium memiliki bukti sertifikat
akreditasi laboratorium rujukan yang masih berlaku.
b) Telah
dilakukan pemantauan dan evaluasi kerjasama pelayanan kontrak sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak.
28) Standar PP 3.9
Rumah Sakit menetapkan regulasi tentang
penyelenggara pelayanan darah dan menjamin pelayanan yang diberikan sesuai
peraturan dan perundang-undangan dan standar pelayanan.
29) Maksud dan Tujuan PP 3.9
Jika terdapat pelayanan yang direncanakan untuk
penggunaan darah dan produk darah, maka dalam hal ini diperlukan persetujuan
tindakan khusus. Rumah sakit mengidentifikasi prosedur berisiko tinggi di dalam
perawatan yang membutuhkan persetujuan, diantaranya adalah pemberian darah dan
produk darah.
30) Elemen Penilaian PP 3.9
a)
Rumah sakit menerapkan regulasi tentang
penyelenggaraan pelayanan darah di rumah sakit.
b) Penyelenggaraan
pelayanan darah dibawah tanggung jawab seorang staf yang kompeten.
c)
Rumah sakit telah melakukan pemantauan dan
evaluasi mutu terhadap penyelenggaran pelayanan darah di rumah sakit.
d) Rumah
sakit menerapkan proses persetujuan tindakan pasien untuk pemberian darah dan
produk darah.
d. Pelayanan Radiologi Klinik
1) Standar PP 4
Pelayanan radiologi klinik menetapkan regulasi
pelayanan radiologi klinis di rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PP 4
Pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi
intervensional (RIR) meliputi:
a)
Pelayanan radiodiagnostik;
b) Pelayanan
diagnostik Imajing; dan
c)
Pelayanan radiologi intervensional.
Rumah sakit menetapkan sistem yang terintegrasi
untuk menyelenggarakan pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi
intervensional yang dibutuhkan pasien, asuhan klinis dan Profesional Pemberi
Asuhan (PPA). Pelayanan radiologi klinik buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu
sesuai dengan kebutuhan pasien.
3) Elemen Penilaian PP 4
a)
Rumah Sakit menetapkan dan melaksanakan regulasi
pelayanan radiologi klinik.
b) Terdapat
pelayanan radiologi klinik selama 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu, sesuai
dengan kebutuhan pasien.
4) Standar PP 4.1
Rumah Sakit menetapkan seorang yang kompeten dan
berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan RIR.
5) Maksud dan Tujuan PP 4.1
Pelayanan Radiodiagnostik, Imajing dan Radiologi
Intervensional berada dibawah pimpinan seorang yang kompeten dan berwenang
memenuhi persyaratan peraturan perundangan. Pimpinan radiologi klinik
bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan RIR, termasuk pemeriksaan
yang dilakukan di tempat tidur pasien (POCT), juga tanggung jawabnya dalam
melaksanakan regulasi RS secara konsisten, seperti pelatihan, manajemen
logistik, dan sebagainya.
Tanggung jawab pimpinan pelayanan radiologi
diagnostik imajing, dan radiologi intervensional antara lain:
a)
Menyusun dan evaluasi regulasi.
b) Pengawasan
pelaksanaan administrasi.
c)
Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME)
dan mengintegrasikan program mutu radiologi dengan program Manajemen Fasilitas
dan Keamanan serta program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah
sakit.
d) Memonitor
dan evaluasi semua jenis pelayanan RIR.
e)
Mereviu dan menindak lanjuti hasil pemeriksaan
pelayanan RIR rujukan.
6) Elemen Penilaian PP 4.1
a)
Direktur menetapkankan penanggung jawab
radiologi klinik yang memiliki kompetensi sesuai ketentuan dengan peraturan
perundang-undangan.
b) Terdapat
bukti pengawasan pelayanan radiologi klinik oleh penanggung jawab radiologi
klinik sesuai poin a) –
e)
pada maksud dan tujuan.
7) Standar PP 4.2
Semua staf radiologi klinik mempunyai pendidikan,
pelatihan, kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan
pemeriksaan.
8) Maksud dan Tujuan PP 4.2
Rumah
sakit menetapkan mereka yang bekerja sebagai staf radiologi dan diagnostik
imajing yang kompeten dan berwenang melakukan
pemeriksaan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional,
pembacaan diagnostik imajing, pelayanan pasien di tempat tidur (POCT), membuat
interpretasi, melakukan verifikasi dan serta melaporkan hasilnya, serta mereka
yang mengawasi prosesnya. Staf pengawas dan staf pelaksana teknikal mempunyai
latar belakang pelatihan, pengalaman, ketrampilan dan telah menjalani orientasi
tugas pekerjaannya. Staf teknikal diberi tugas pekerjaan sesuai latar belakang
pendidikan dan pengalaman mereka. Sebagai tambahan, jumlah staf cukup tersedia
untuk melakukan tugas, membuat interpretasi, dan melaporkan segera hasilnya
untuk layanan darurat.
9) Elemen Penilaian PP 4.2
a)
Staf radiologi klinik yang membuat interpretasi
telah memenuhi persyaratan kredensial
b) Staf
radiologi klinik dan staf lain yang melaksanakan pemeriksaan termasuk yang
mengerjakan tindakan di Ruang Rawat pasien, memenuhi persyaratan kredensial.
10) Standar PP 4.3
Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian
pemeriksaan radiologi klinik regular dan cito.
11) Maksud dan Tujuan PP 4.3
Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian
pemeriksaan radiologi dan diagnostik imajing. Penyelesaian pemeriksaan
radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) dilaporkan sesuai
kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan cito, antara lain dari unit darurat, kamar
operasi, unit intensif diberi perhatian khusus terkait kecepatan hasil pemeriksaan.
Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga) atau radiologi
rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan mengikuti ketentuan rumah
sakit dan MOU dengan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional
(RIR) rujukan.
12) Elemen Penilaian PP 4.3
a)
Rumah sakit menetapkan kerangka waktu
penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.
b) Dilakukan
pencatatan dan evaluasi waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.
c)
Dilakukan pencatatan dan evaluasi waktu
penyelesaian pemeriksaan cito.
d) Terdapat
bukti pencatatan dan evaluasi pelayanan radiologi rujukan.
13) Standar PP 4.4
Film X-ray dan bahan lainnya
tersedia secara teratur.
14) Maksud dan tujuan PP 4.4
Untuk menjamin pelayanan radiologi dapat berjalan
dengan baik maka pimpinan rumah sakit harus memastikan ketersediaan sarana dan
prasarana pelayanan radiologi. Perencanaan kebutuhan dan pengelolaan bahan
habis pakai dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
15) Elemen Penilaian PP 4.4
a)
Rumah sakit menetapkan proses pengelolaan
logistik film x-ray, reagens, dan bahan lainnya, termasuk kondisi bila terjadi
kekosongan.
b) Semua
film x-ray disimpan dan diberi label, serta didistribusi sesuai pedoman dari
pembuatnya atau instruksi pada kemasannya.
16) Standar PP 4.5
Rumah sakit menetapkan program kendali mutu,
dilaksanakan, divalidasi dan didokumentasikan.
17) Maksud dan Tujuan PP 4.5
Kendali mutu dalam pelayanan
radiodiagnostik terdiri dari
Pemantapan
Mutu Internal
dan Pemantaoan
Mutu
Eksternal. Kedua hal tersebut dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundangan.
18) Elemen Penilaian PP 4.5
a) Terdapat
bukti bahwa unit radiologi klinik telah melaksanakan Pemantapan Mutu Internal
(PMI).
b) Terdapat
bukti bahwa
unit radiologi klinik
melaksanakan Pemantapan Mutu Eksternal (PME).
4. Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP)
Gambaran Umum
Tanggung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting
adalah memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman. Hal ini
membutuhkan komunikasi yang efektif, kolaborasi, dan standardisasi proses untuk
memastikan bahwa rencana, koordinasi, dan implementasi asuhan mendukung serta
merespons setiap kebutuhan unik pasien dan target.
Asuhan tersebut dapat berupa upaya pencegahan,
paliatif, kuratif, atau rehabilitatif termasuk anestesia, tindakan bedah,
pengobatan, terapi suportif, atau kombinasinya, yang berdasar atas pengkajian
awal dan pengkajian ulang pasien.
Area asuhan risiko tinggi (termasuk resusitasi dan
transfusi) serta asuhan untuk pasien risiko tinggi atau kebutuhan populasi
khusus yang membutuhkan perhatian tambahan.
Asuhan pasien dilakukan oleh profesional pemberi
asuhan (PPA) dengan banyak disiplin dan staf klinis. Semua staf yang terlibat
dalam asuhan pasien harus memiliki peran yang jelas, ditentukan oleh kompetensi
dan kewenangan, kredensial, sertifikasi, hukum dan regulasi, keterampilan
individu, pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan rumah sakit, atau uraian tugas
wewenang (UTW). Beberapa asuhan dapat dilakukan oleh pasien/keluarganya atau
pemberi asuhan terlatih (caregiver).
Pelaksanaan asuhan dan pelayanan harus dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh
semua profesional pemberi asuhan (PPA) dapat dibantu oleh staf klinis. Asuhan
pasien terintegrasi dilaksanakan dengan beberapa elemen:
a. Dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan klinis/ketua tim PPA (clinical leader).
b. PPA
bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional,
menggunakan panduan praktik klinis (PPK), alur klinis/clinical pathway
terintegrasi, algoritma, protokol, prosedur, standing order, dan catatan
perkembangan pasien terintegrasi (CPPT).
c.
Manajer Pelayanan Pasien (MPP)/Case Manager
menjaga kesinambungan pelayanan.
d. Keterlibatan
serta pemberdayaan pasien dan keluarga dalam asuhan bersama PPA harus
memastikan:
1) Asuhan
direncanakan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang unik berdasar atas hasil
pengkajian;
2) Rencana
asuhan diberikan kepada tiap pasien;
3) Respons
pasien terhadap asuhan dipantau; dan
4) Rencana
asuhan dimodifikasi bila perlu berdasarkan respons pasien.
Fokus Standar Pelayanan dan Asuhan
Pasien (PAP) meliputi:
a. Pemberian
pelayanan untuk semua pasien
b. Pelayanan
pasien risiko tinggi dan penyediaan pelayanan risiko tinggi;
c.
Pemberian makanan dan terapi nutrisi;
d. Pengelolaan
nyeri; dan
e.
Pelayanan menjelang akhir hayat.
a. Pemberian Pelayanan Untuk Semua Pasien
1) Standar PAP 1
Pelayanan dan asuhan yang seragam diberikan untuk
semua pasien sesuai peraturan perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan PAP 1
Pasien dengan masalah kesehatan dan kebutuhan
pelayanan yang sama berhak mendapat mutu asuhan yang seragam di rumah sakit.
Untuk melaksanakan prinsip mutu asuhan yang setingkat, pimpinan harus
merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan pasien. Secara khusus, pelayanan yang
diberikan kepada populasi pasien yang sama pada berbagai unit kerja sesuai
dengan regulasi yang ditetapkan rumah sakit. Sebagai tambahan, pimpinan harus
menjamin bahwa rumah sakit menyediakan tingkat mutu asuhan yang sama setiap
hari dalam seminggu dan pada setiap shift.
Regulasi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
sehingga proses pelayanan pasien dapat diberikan secara kolaboratif.
Asuhan pasien yang seragam tercermin dalam hal-hal
berikut:
a)
Akses untuk mendapatkan asuhan dan pengobatan
tidak bergantung pada kemampuan pasien untuk membayar atau sumber
pembayaran.
b) Akses
untuk mendapatkan asuhan dan pengobatan
yang diberikan oleh PPA yang kompeten tidak bergantung pada hari atau
jam yaitu 7 (tujuh) hari, 24
(dua puluh empat) jam
c)
Kondisi pasien menentukan sumber daya yang akan
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhannya
d) Pemberian
asuhan yang diberikan kepada pasien, sama di semua unit pelayanan di rumah
sakit misalnya pelayanan anestesi.
e)
Pasien yang membutuhkan asuhan keperawatan yang sama akan menerima tingkat
asuhan keperawatan yang sama di semua unit pelayanan di rumah sakit. Keseragaman
dalam memberikan asuhan pada semua pasien akan menghasilkan penggunaan sumber
daya yang efektif dan memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap hasil asuhan
yang sama di semua unit pelyanan di rumah sakit.
3) Elemen Penilaian PAP 1
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) yang meliputi poin a) – e) dalam gambaran
umum.
b) Asuhan
yang seragam diberikan kepada setiap pasien meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan
4) Standar PAP 1.1
Proses pelayanan dan asuhan pasien yang
terintegrasi serta terkoordinasi telah dilakukan sesuai instruksi.
5) Maksud dan Tujuan PAP 1.1
Proses pelayanan dan asuhan pasien bersifat dinamis
dan melibatkan banyak PPA dan berbagai
unit pelayanan. Agar proses pelayanan dan asuhan pasien menjadi efisien,
penggunaan sumber daya manusia dan sumber lainnya menjadi efektif, dan hasil
akhir kondisi pasien menjadi lebih baik maka diperlukan integrasi dan
koordinasi. Kepala unit pelayanan menggunakan cara untuk melakukan integrasi
dan koordinasi pelayanan serta asuhan lebih baik (misalnya, pemberian asuhan
pasein secara tim oleh para PPA, ronde pasien multidisiplin, formulir catatan
perkembangan pasien terintegrasi (CPPT), dan manajer pelayanan pasien/case
manager).
Instruksi
PPA dibutuhkan dalam pemberian asuhan pasien misalnya instruksi pemeriksaan di
laboratorium (termasuk Patologi Anatomi), pemberian obat, asuhan keperawatan
khusus, terapi nurtrisi, dan lain-lain. Instruksi ini harus tersedia dan mudah
diakses sehingga dapat ditindaklanjuti tepat waktu misalnya dengan menuliskan
instruksi pada formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) dalam
rekam medis atau didokumentasikan dalam elektronik rekam medik agar
staf memahami kapan instruksi harus dilakukan, dan siapa yang akan
melaksanakan instruksi tersebut.
Setiap rumah sakit harus mengatur
dalam regulasinya:
a)
Instruksi seperti apa yang harus
tertulis/didokumentasikan (bukan instruksi melalui telepon atau instruksi lisan
saat PPA yang memberi instruksi sedang berada di tempat/rumah sakit), antara
lain:
(1) Instruksi
yang diijinkan melalui telepon terbatas pada situasi darurat dan ketika dokter
tidak berada di tempat/di rumah sakit.
(2) Instruksi
verbal diijinkan terbatas pada situasi dimana dokter yang memberi instruksi
sedang melakukan tindakan/prosedur steril.
b) Permintaan
pemeriksaan laboratorium (termasuk pemeriksaan Patologi Anatomi) dan diagnostik
imajing tertentu harus disertai indikasi klinik
c)
Pengecualian dalam kondisi khusus, misalnya di
unit darurat dan unit intensif
d) Siapa
yang diberi kewenangan memberi instruksi dan perintah catat di dalam berkas
rekam medik/sistem elektronik rekam medik sesuai regulasi rumah sakit
Prosedur diagnostik dan tindakan klinis, yang
dilakukan sesuai instruksi serta hasilnya didokumentasikan di dalam rekam medis
pasien. Contoh prosedur dan tindakan misalnya endoskopi, kateterisasi jantung,
terapi radiasi, pemeriksaan Computerized
Tomography (CT), dan tindakan serta prosedur diagnostik invasif dan
non-invasif lainnya. Informasi mengenai siapa yang meminta dilakukannya
prosedur atau tindakan, dan alasan dilakukannya prosedur atau tindakan tersebut
didokumentasikan dalam rekam medik.
Di rawat jalan bila dilakukan tindakan diagnostik
invasif/berisiko, termasuk pasien yang dirujuk dari luar, juga harus dilakukan
pengkajian serta pencatatannya dalam rekam medis.
6) Elemen Penilaian Standar PAP 1.1
a)
Rumah sakit telah melakukan pelayanan dan asuhan
yang terintegrasi serta terkoordinasi kepada setiap pasien.
b) Rumah
sakit telah menetapkan kewenangan pemberian instruksi oleh PPA
yang kompeten, tata cara pemberian instruksi dan pendokumentasiannya.
c)
Permintaan pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik imajing harus disertai indikasi klinis apabila meminta hasilnya
berupa interpretasi.
d) Prosedur
dan tindakan telah dilakukan sesuai instruksi dan PPA yang memberikan instruksi, alasan
dilakukan prosedur atau tindakan serta
hasilnya telah didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.
e)
Pasien yang menjalani tindakan invasif/berisiko
di rawat jalan telah dilakukan pengkajian dan didokumentasikan dalam rekam
medis.
7) Standar PAP 1.2
Rencana asuhan individual setiap pasien dibuat dan
didokumentasikan
8) Maksud dan Tujuan Standar PAP 1.2
Rencana asuhan merangkum asuhan dan pengobatan/tindakan yang akan
diberikan kepada seorang pasien. Rencana asuhan memuat satu rangkaian tindakan
yang dilakukan oleh PPA untuk menegakkan atau mendukung diagnosis yang disusun
dari hasil pengkajian. Tujuan utama rencana asuhan adalah memperoleh hasil
klinis yang optimal.
Proses perencanaan bersifat kolaboratif menggunakan
data yang berasal dari pengkajian awal dan pengkajian ulang yang di buat oleh
para PPA (dokter, perawat, ahli gizi,
apoteker, dan lain-lainnya)
Rencana asuhan dibuat setelah melakukan pengkajian
awal dalam waktu 24 jam terhitung sejak pasien diterima sebagai pasien rawat
inap. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan pasien yang objektif dan
memiliki sasaran yang dapat diukur untuk memudahkan pengkajian ulang serta
mengkaji atau merevisi rencana asuhan. Pasien dan keluarga dapat dilibatkan
dalam proses perencanaan asuhan. Rencana
asuhan harus disertai target terukur, misalnya:
a)
Detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah
menjadi normal atau sesuai dengan rencana yang ditetapkan;
b) Pasien
mampu menyuntik sendiri insulin sebelum pulang dari rumah sakit;
c)
Pasien mampu berjalan dengan “walker” (alat bantu untuk berjalan).
Berdasarkan hasil pengkajian ulang, rencana asuhan
diperbaharui untuk dapat menggambarkan kondisi pasien terkini. Rencana asuhan
pasien harus terkait dengan kebutuhan pasien. Kebutuhan ini mungkin berubah
sebagai hasil dari proses penyembuhan klinis atau terdapat informasi baru hasil
pengkajian ulang (contoh, hilangnya kesadaran, hasil laboratorium yang
abnormal). Rencana asuhan dan revisinya didokumentasikan dalam rekam medis
pasien sebagai rencana asuhan baru.
DPJP sebagai ketua tim PPA melakukan evaluasi /
reviu berkala dan verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara
terintegrasi dan membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.
Catatan: satu rencana asuhan terintegrasi dengan
sasaransasaran yang diharapkan oleh PPA lebih baik daripada rencana terpisah
oleh masing-masing PPA. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan individual,
objektif, dan sasaran dapat diukur untuk memudahkan pengkajian ulang serta
revisi rencana asuhan.
9) Elemen Penilaian PAP 1.2
a)
PPA telah membuat rencana asuhan untuk setiap
pasien setelah diterima sebagai pasien rawat inap dalam waktu 24 jam
berdasarkan hasil pengkajian awal.
b) Rencana
asuhan dievaluasi secara berkala, direvisi atau dimutakhirkan serta
didokumentasikan dalam rekam medis oleh setiap PPA.
c)
Instruksi berdasarkan rencana asuhan dibuat oleh
PPA yang kompeten dan berwenang, dengan cara yang seragam, dan didokumentasikan
di CPPT.
d) Rencana
asuhan pasien dibuat dengan membuat sasaran yang terukur dan di dokumentasikan.
e)
DPJP telah melakukan evaluasi/review berkala dan
verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara terintegrasi dan
membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.
b. Pelayanan Pasien Risiko
Tinggi dan Penyediaan Pelayanan
Risiko Tinggi
1) Standar PAP 2
Rumah sakit menetapkan pasien risiko tinggi dan
pelayanan risiko tinggi sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan sarana
prasarana yang dimiliki.
2) Maksud dan Tujuan PAP 2
Rumah sakit memberikan pelayanan untuk pasien
dengan berbagai keperluan. Pelayanan pada pasien berisiko tinggi membutuhkan
prosedur, panduan praktik klinis (PPK) clinical
pathway dan rencana perawatan yang akan mendukung PPA memberikan pelayanan
kepada pasien secara menyeluruh, kompeten dan seragam.
Dalam memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi
dan pelayanan berisiko tinggi, Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab
untuk:
a)
Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang
dianggap berisiko tinggi di rumah sakit;
b) Menetapkan
prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical
pathway dan rencana perawatan secara kolaboratif
c)
Melatih staf untuk menerapkan prosedur, panduan
praktik klinis (PPK), clinical pathway
dan rencana perawatan rencana perawatan tersebut.
Pelayanan pada pasien berisiko tinggi atau
pelayanan berisiko tinggi dibuat berdasarkan populasi yaitu pasien anak, pasien
dewasa dan pasien geriatri. Hal-hal yang perlu diterapkan dalam pelayanan
tersebut meliputi Prosedur, dokumentasi, kualifikasi staf dan peralatan medis
meliputi:
a)
Rencana asuhan perawatan pasien;
b) Perawatan
terintegrasi dan mekanisme komunikasi antar PPA secara efektif;
c)
Pemberian informed
consent, jika diperlukan;
d) Pemantauan/observasi
pasien selama memberikan pelayanan;
e)
Kualifikasi atau kompetensi staf yang memberikan
pelayanan; dan
f)
Ketersediaan dan penggunaan peralatan medis
khusus untuk pemberian pelayanan.
Rumah sakit mengidentifikasi dan memberikan asuhan
pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai kemampuan, sumber
daya dan sarana prasarana yang dimiliki meliputi:
a)
Pasien emergensi;
b) Pasien
koma;
c)
Pasien dengan alat bantuan hidup;
d) Pasien
risiko tinggi lainnya yaitu pasien dengan penyakit jantung, hipertensi, stroke
dan diabetes;
e)
Pasien dengan risiko bunuh diri;
f)
Pelayanan pasien dengan penyakit menular dan
penyakit yang berpotensi menyebabkan kejadian luar biasa;
g)
Pelayanan pada pasien dengan “immuno-suppressed”;
h) Pelayanan
pada pasien yang mendapatkan pelayanan dialisis;
i)
Pelayanan pada pasien yang direstrain;
j)
Pelayanan pada pasien yang menerima
kemoterapi;
k) Pelayanan
pasien paliatif;
l)
Pelayanan pada pasien yang menerima
radioterapi;
m) Pelayanan
pada pasien risiko tinggi lainnya (misalnya terapi hiperbarik dan pelayanan
radiologi intervensi);
n) Pelayanan
pada populasi pasien rentan, pasien lanjut usia (geriatri) misalnya anak-anak,
dan pasien berisiko tindak kekerasan atau diterlantarkan misalnya pasien dengan
gangguan jiwa.
Rumah sakit juga menetapkan jika terdapat risiko
tambahan setelah dilakukan tindakan atau rencana asuhan (contoh, kebutuhan
mencegah trombosis vena dalam, luka dekubitus, infeksi terkait penggunaan
ventilator pada pasien, cedera neurologis dan pembuluh darah pada pasien
restrain, infeksi melalui pembuluh darah pada pasien dialisis, infeksi
saluran/slang sentral, dan pasien jatuh. Jika terjadi risiko tambahan tersebut,
dilakukan penanganan dan pencegahan dengan membuat regulasi, memberikan pelatihan
dan edukasi kepada staf. Rumah sakit menggunakan informasi tersebut untuk
mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada pasien risiko tinggi dan pelayanan
berisiko tinggi serta mengintegrasikan informasi tersebut dalam pemilihan
prioritas perbaikan tingkat rumah sakit pada program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
3) Elemen Penilaian PAP 2
a)
Pimpinan rumah sakit telah melaksanakan tanggung
jawabnya untuk memberikan pelayanan pada pasien berisiko tinggi dan pelayanan
berisiko tinggi meliputi a) - c) dalam maksud dan tujuan.
b) Rumah
sakit telah memberikan pelayanan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko
tinggi yang telah diidentifikasi berdasarkan populasi yaitu pasien anak, pasien
dewasa dan pasien geriatri sesuai dalam maksud dan tujuan.
c)
Pimpinan rumah sakit telah mengidentifikasi
risiko tambahan yang dapat mempengaruhi pasien dan pelayanan risiko tinggi.
4) Standar PAP 2.1
Rumah sakit memberikan pelayanan geriatri rawat
jalan, rawat inap akut dan rawat inap kronis sesuai dengan tingkat jenis
pelayanan.
5) Standar PAP 2.2
Rumah Sakit melakukan promosi dan edukasi sebagai
bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di
Masyarakat
Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based
Community Geriatric Service).
6) Maksud dan Tujuan PAP 2.1 dan PAP 2.2
Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan
multi penyakit/gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial,
ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara tepadu
dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja sama secara interdisiplin. Dengan
meningkatnya sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan maka usia harapan hidup semakin
meningkat, sehingga secara demografi terjadi peningkatan populasi lanjut usia.
Sehubungan dengan itu rumah sakit perlu menyelenggarakan pelayanan geriatri
sesuai dengan tingkat jenis pelayanan geriatri:
a)
Tingkat sederhana (rawat jalan dan home care)
b) Tingkat
lengkap (rawat jalan, rawat inap akut dan home
care)
c)
Tingkat sempurna (rawat jalan, rawat inap akut
dan home care klinik asuhan siang)
d) Tingkat
paripurna (rawat jalan, klinik asuhan siang, rawat inap akut, rawat inap
kronis, rawat inap psychogeriatri,
penitipan pasien Respit care dan home care)
7) Elemen Penilaian PAP 2.1
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang
penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit sesuai dengan kemampuan,
sumber daya dan sarana prasarana nya.
b) Rumah
sakit telah menetapkan tim terpadu geriatri dan telah menyelenggarakan
pelayanan sesuai tingkat jenis layanan
c)
Rumah sakit telah melaksanakan proses pemantauan
dan evaluasi kegiatan pelayanan geriatri
d) Ada
pelaporan penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit.
8) Elemen Penilaian PAP 2.2
a)
Ada program PKRS terkait Pelayanan Kesehatan
Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).
b) Rumah
sakit telah memberikan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga
Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).
c)
Rumah sakit telah melaksanakan kegiatan sesuai
program dan tersedia leaflet atau alat bantu kegiatan (brosur, leaflet, dan
lain-lainnya).
d) Rumah
sakit telah melakukan evaluasi dan membuat laporan kegiatan pelayanan secara
berkala.
9) Standar PAP 2.3
Rumah sakit menerapkan proses pengenalan perubahan
kondisi pasien yang memburuk.
10) Maksud dan Tujuan PAP 2.3
Staf yang tidak bekerja di daerah pelayanan
kritis/intensif mungkin tidak mempunyai pengetahuan dan pelatihan yang cukup
untuk melakukan pengkajian, serta mengetahui pasien yang akan masuk dalam
kondisi kritis. Padahal, banyak pasien di luar daerah pelayanan kritis
mengalami keadaan kritis selama dirawat inap. Seringkali pasien memperlihatkan
tanda bahaya dini (contoh, tandatanda vital yang memburuk dan perubahan kecil
status neurologis) sebelum mengalami penurunan kondisi klinis yang meluas
sehingga mengalami kejadian yang tidak diharapkan.
Ada kriteria fisiologis yang dapat membantu staf
untuk mengenali sedini-dininya pasien yang kondisinya memburuk. Sebagian besar
pasien yang mengalami gagal jantung atau gagal paru sebelumnya memperlihatkan
tanda-tanda fisiologis di luar kisaran normal yang merupakan indikasi keadaan
pasien memburuk. Hal ini dapat diketahui dengan early warning system (EWS).
Penerapan EWS membuat staf mampu mengidentifikasi keadaan pasien memburuk
sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten. Dengan
demikian, hasil asuhan akan lebih baik. Pelaksanaan EWS dapat dilakukan
menggunakan sistem skor oleh PPA yang terlatih.
11) Elemen Penilaian PAP 2.3
a)
Rumah sakit telah menerapkan proses pengenalan
perubahan kondisi pasien yang memburuk (EWS) dan mendokumentasikannya di dalam
rekam medik pasien.
b) Rumah
sakit memiliki bukti PPA dilatih menggunakan EWS.
12) Standar PAP 2.4
Pelayanan resusitasi tersedia di
seluruh area rumah sakit.
13) Maksud dan Tujuan PAP 2.4
Pelayanan resusitasi diartikan sebagai intervensi
klinis pada pasien yang mengalami kejadian mengancam hidupnya seperti henti
jantung atau paru. Pada saat henti jantung atau paru maka pemberian kompresi
pada dada atau bantuan pernapasan akan berdampak pada hidup atau matinya
pasien, setidak-tidaknya menghindari kerusakan jaringan otak. Resusitasi yang
berhasil pada pasien dengan henti jantung-paru bergantung pada intervensi yang
kritikal/penting seperti kecepatan pemberian bantuan hidup dasar, bantuan hidup
lanjut yang akurat (code blue) dan
kecepatan melakukan defibrilasi. Pelayanan seperti ini harus tersedia untuk
semua pasien selama 24 jam setiap hari. Sangat penting untuk dapat memberikan
pelayanan intervensi yang kritikal, yaitu tersedia dengan cepat peralatan medis
terstandar, obat resusitasi, dan staf terlatih yang baik untuk resusitasi.
Bantuan hidup dasar harus dilakukan secepatnya saat diketahui ada tanda henti
jantung-paru dan proses pemberian bantuan hidup lanjut kurang dari 5 (lima)
menit. Hal ini termasuk evaluasi terhadap pelaksanaan sebenarnya resusitasi atau
terhadap simulasi pelatihan resusitasi di rumah sakit. Pelayanan resusitasi
tersedia di seluruh area rumah sakit termasuk peralatan medis dan staf
terlatih, berbasis bukti klinis, dan populasi pasien yang dilayani
14) Elemen Penilaian PAP 2.4
a)
Pelayanan resusitasi tersedia dan diberikan
selama 24 jam setiap hari di seluruh area rumah sakit.
b) Peralatan
medis untuk resusitasi dan obat untuk bantuan hidup dasar dan lanjut terstandar
sesuai dengan kebutuhan populasi pasien.
c)
Di seluruh area rumah sakit, bantuan hidup dasar
diberikan segera saat dikenali henti jantung-paru dan bantuan hidup lanjut diberikan
kurang dari 5 menit.
d) Staf
diberi pelatihan pelayanan bantuan hidup dasar/lanjut sesuai dengan ketentuan
rumah sakit.
15) Standar PAP 2.5
Pelayanan darah dan produk darah dilaksanakan
sesuai dengan panduan klinis serta prosedur yang ditetapkan rumah sakit.
16) Maksud dan tujuan PAP 2.5
Pelayanan darah dan produk darah harus diberikan
sesuai peraturan perundangan meliputi antara lain:
a)
Pemberian persetujuan (informed consent);
b) Permintaan
darah;
c)
Tes kecocokan;
d) Pengadaan
darah;
e)
Penyimpanan darah;
f)
Identifikasi pasien;
g)
Distribusi dan pemberian darah; dan
h) Pemantauan
pasien dan respons terhadap reaksi transfusi.
Staf kompeten dan berwenang melaksanakan pelayanan
darah dan produk darah serta melakukan pemantauan dan evaluasi.
17) Elemen Penilaian PAP 2.5
a)
Rumah sakit menerapkan penyelenggaraan pelayanan
darah.
b) Panduan
klinis dan prosedur disusun dan diterapkan untuk pelayanan darah serta produk
darah.
c)
Staf yang kompeten bertanggungjawab terhadap
pelayanan darah di rumah sakit.
c. Pemberian Makanan dan Terapi Nutrisi
1) Standar PAP 3
Rumah sakit memberikan makanan untuk pasien rawat
inap dan terapi nutrisi terintegrasi untuk pasien dengan risiko
nutrisional.
2) Maksud dan Tujuan PAP 3
Makanan dan terapi nutrisi yang sesuai sangat
penting bagi kesehatan pasien dan penyembuhannya. Pilihan makanan disesuaikan
dengan usia, budaya, pilihan, rencana asuhan, diagnosis pasien termasuk juga
antara lain diet khusus seperti rendah kolesterol dan diet diabetes melitus.
Berdasarkan pengkajian kebutuhan dan rencana asuhan, maka DPJP atau PPA lain
yang kompeten memesan makanan dan nutrisi lainnya untuk pasien. Pasien berhak
menentukan makanan sesuai dengan nilai yang dianut. Bila memungkinkan pasien
ditawarkan pilihan makanan yang konsisten dengan status gizi. Jika keluarga
pasien atau ada orang lain mau membawa makanan untuk pasien, maka mereka
diberikan edukasi tentang makanan yang merupakan kontraindikasi terhadap
rencana, kebersihan makanan, dan kebutuhan asuhan pasien, termasuk informasi
terkait interaksi antara obat dan makanan. Makanan yang dibawa oleh keluarga
atau orang lain disimpan dengan benar untuk mencegah kontaminasi. Skrining
risiko gizi dilakukan pada pengkajian awal. Jika pada saat skrining ditemukan
pasien dengan risiko gizi maka terapi gizi terintegrasi diberikan, dipantau,
dan dievaluasi.
3) Elemen Penilaian PAP 3
a)
Berbagai pilihan makanan atau terapi nutrisi
yang sesuai untuk kondisi, perawatan, dan kebutuhan pasien tersedia dan
disediakan tepat waktu.
b) Sebelum
pasien rawat inap diberi makanan, terdapat instruksi pemberian makanan dalam
rekam medis pasien yang didasarkan pada status gizi dan kebutuhan pasien.
c)
Untuk makanan yang disediakan keluarga, edukasi
diberikan mengenai batasan-batasan diet pasien dan penyimpanan yang baik untuk
mencegah kontaminasi.
d) Memiliki
bukti pemberian terapi gizi terintegrasi (rencana, pemberian dan evaluasi) pada
pasien risiko gizi.
e)
Pemantauan dan evaluasi terapi gizi dicatat di
rekam medis pasien.
d. Pengelolaan Nyeri
1) Standar PAP 4
Pasien mendapatkan pengelolaan
nyeri yang efektif.
2) Maksud dan Tujuan PAP 4
Pasien berhak mendapatkan pengkajian dan
pengelolaan nyeri yang tepat. Rumah sakit harus memiliki proses untuk melakukan
skrining, pengkajian, dan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, yang terdiri
dari:
a)
Identifikasi pasien dengan rasa nyeri pada pengkajian
awal dan pengkajian ulang.
b) Memberi
informasi kepada pasien bahwa rasa nyeri dapat merupakan akibat dari terapi,
prosedur, atau pemeriksaan.
c)
Memberikan tata laksana untuk mengatasi rasa
nyeri, terlepas dari mana nyeri berasal, sesuai dengan regulasi rumah sakit.
d) Melakukan
komunikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pengelolaan nyeri
sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.
e)
Memberikan edukasi kepada seluruh PPA mengenai
pengkajian dan pengelolaan nyeri.
3) Elemen Penilaian PAP 4
a)
Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan
skrining, pengkajian, dan tata laksana nyeri meliputi poin a) - e) pada maksud
dan tujuan.
b) Informasi
mengenai kemungkinan adanya nyeri dan pilihan tata laksananya diberikan kepada
pasien yang menerima terapi/prosedur/pemeriksaan terencana yang sudah dapat
diprediksi menimbulkan rasa nyeri.
c)
Pasien dan keluarga mendapatkan edukasi mengenai
pengelolaan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang
dianut.
d) Staf
rumah sakit mendapatkan pelatihan mengenai cara melakukan edukasi bagi
pengelolaan nyeri.
e. Pelayanan Menjelang Akhir Kehidupan
1) Standar PAP 5
Rumah
sakit memberikan asuhan pasien menjelang akhir kehidupan dengan memperhatikan
kebutuhan pasien dan keluarga, mengoptimalkan kenyamanan dan martabat pasien,
serta mendokumentasikan dalam rekam medis.
2) Maksud dan Tujuan PAP 5
Skrining dilakukan untuk menetapkan bahwa kondisi
pasien masuk dalam fase menjelang ajal. Selanjutnya, PPA melakukan pengkajian
menjelang akhir kehidupan yang bersifat individual untuk mengidentifikasi
kebutuhan pasien dan keluarganya.
Pengkajian pada pasien menjelang akhir kehidupan
harus menilai kondisi pasien seperti:
1) Manajemen
gejala dan respons pasien, termasuk mual, kesulitan bernapas, dan nyeri.
2) Faktor
yang memperparah gejala fisik.
3) Orientasi
spiritual pasien dan keluarganya, termasuk keterlibatan dalam kelompok agama
tertentu.
4) Keprihatinan
spiritual pasien dan keluarganya, seperti putus asa, penderitaan, rasa
bersalah.
5) Status
psikososial pasien dan keluarganya, seperti kekerabatan, kelayakan perumahan,
pemeliharaan lingkungan, cara mengatasi, reaksi pasien dan keluarganya
menghadapi penyakit.
6) Kebutuhan
bantuan atau penundaan layanan untuk pasien dan keluarganya.
7) Kebutuhan
alternatif layanan atau tingkat layanan.
8) Faktor
risiko bagi yang ditinggalkan dalam hal cara mengatasi dan potensi reaksi
patologis.
9) Pasien
dan keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan asuhan.
3) Elemen Penilaian PAP 5
a)
Rumah sakit menerapkan pengkajian pasien
menjelang akhir kehidupan dan dapat dilakukan pengkajian ulang sampai pasien
yang memasuki fase akhir kehidupannya, dengan memperhatikan poin 1) – 9) pada
maksud dan tujuan.
b) Asuhan
menjelang akhir kehidupan ditujukan terhadap kebutuhan psikososial, emosional,
kultural dan spiritual pasien dan keluarganya.
5. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)
Gambaran umum
Tindakan anestesi, sedasi, dan intervensi bedah
merupakan proses yang kompleks dan sering dilaksanakan di rumah sakit. Hal
tersebut memerlukan:
a. Pengkajian
pasien yang lengkap dan menyeluruh;
b. Perencanaan
asuhan yang terintegrasi;
c.
Pemantauan yang terus menerus;
d. Transfer
ke ruang perawatan berdasar atas kriteria tertentu;
e.
Rehabilitasi; dan
f.
Transfer ke ruangan perawatan dan pemulangan.
Anestesi dan sedasi umumnya merupakan suatu
rangkaian proses yang dimulai dari sedasi minimal hingga anastesi penuh. Tindakan
sedasi ditandai dengan hilangnya refleks pertahanan jalan nafas secara perlahan
seperti batuk dan tersedak. Karena respon pasien terhadap tindakan sedasi dan
anestesi berbeda-beda secara individu dan memberikan efek yang panjang, maka
prosedur tersebut harus dilakukan pengelolaan yang baik dan terintegrasi. Bab
ini tidak mencakup pelayanan sedasi di ICU untuk penggunaan ventilator dan alat
invasive lainnya.
Karena tindakan bedah juga merupakan tindakan yang
berisiko tinggi maka harus direncanakan dan dilaksanakan secara hati-hati.
Rencana prosedur operasi dan asuhan pascaoperasi dibuat berdasar atas
pengkajian pasien dan didokumentasikan. Bila rumah sakit memberikan pelayanan
pembedahan dengan pemasangan implant, maka harus dibuat laporan jika terjadi
ketidak berfungsinya alat tersebut dan proses tindak lanjutnya.
Standar pelayanan anestesi dan bedah berlaku di area
manapun dalam rumah sakit yang menggunakan anestesi, sedasi ringan, sedang dan
dalam, dan juga pada tempat dilaksanakannya prosedur pembedahan dan tindakan
invasif lainnya yang membutuhkan persetujuan tertulis (informed consent). Area
ini meliputi ruang operasi rumah sakit, rawat sehari (ODC), poliklinik gigi,
poliklinik rawat jalan, endoskopi, radiologi, gawat darurat, perawatan intensif,
dan tempat lainnya.
Fokus pada standard ini mencakup:
a. Pengorganisasian
dan pengelolaan pelayanan anastesi dan sedasi.
b. Pelayanan
sedasi.
c.
Pelayanan anastesi.
d. Pelayanan
pembedahan.
a. Pengorganisasian dan Pengelolaan Pelayanan
Anastesi dan
Sedasi
1) Standar PAB 1
Rumah sakit menerapkan pelayanan anestesi, sedasi
moderat dan dalam untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kapasitas
pelayanan, standar profesi dan perundang undangan yang berlaku.
2) Maksud dan Tujuan PAB 1
Anestesi dan sedasi diartikan sebagai satu alur
layanan berkesinambungan mulai dari sedasi minimal sampai anestesi dalam.
Anestesi dan sedasi menyebabkan refleks proteksi jalan nafas dapat menghilang
sehingga pasien berisiko untuk terjadi sumbatan jalan nafas dan aspirasi cairan
lambung. Anestesi dan sedasi adalah proses kompleks sehingga harus
diintegrasikan ke dalam rencana asuhan. Anestesi dan sedasi membutuhkan
pengkajian lengkap dan komprehensif serta pemantaun pasien secara terus
menerus.
Rumah sakit mempunyai suatu sistem untuk pelayanan
anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam untuk melayani kebutuhan pasien oleh
PPA berdasarkan kewenangan klinis yang diberikan kepadanya, termasuk juga
sistim penanganan bila terjadi kegawat daruratan selama tindakan sedasi.
Pelayanan anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam (termasuk layanan yang
diperlukan untuk kegawatdaruratan) tersedia 24 jam 7 (tujuh) hari.
3) Elemen Penilaian PAB 1
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi pelayanan
anestesi dan sedasi dan pembedahan meliputi poin a) –
c) pada gambaran umum.
b) Pelayanan
anestesi dan sedasi yang telah diberikan dapat memenuhi kebutuhan pasien.
c)
Pelayanan anestesi dan sedasi tersedia selama 24
(dua puluh empat) jam 7 (tujuh) hari sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Standar PAB 2
Rumah sakit menetapkan penanggung
jawab pelayanan
anestesi, sedasi moderat dan dalam adalah seorang
dokter anastesi yang kompeten.
5) Maksud dan Tujuan PAB 2
Pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam berada
dibawah tanggung jawab seorang dokter anastesi yang kompeten sesuai dengan
peraturan perundang undangan. Tanggung jawab pelayanan anestesi, sedasi moderat
dan dalam tersebut meliputi:
a)
Mengembangkan, menerapkan, dan menjaga regulasi;
b) Melakukan
pengawasan administratif;
c)
Melaksanakan program pengendalian mutu yang
dibutuhkan; dan
d) Memantau
dan mengevaluasi pelayanan sedasi dan anestesi.
6) Elemen Penilaian PAB 2
a)
Rumah sakit telah menerapkan pelayanan anestesi
dan sedasi secara seragam di seluruh area seusai regulasi yang ditetapkan.
b) Rumah
sakit telah menetapkan penanggung jawab pelayanan anestesi dan sedasi adalah
seorang dokter anastesi yang kompeten yang melaksanakan tanggung jawabnya
meliputi poin a) – d) pada maksud dan tujuan.
c)
Bila memerlukan profesional pemberi asuhan
terdapat PPA dari luar rumah sakit untuk memberikan pelayanan anestesi dan
sedasi, maka ada bukti rekomendasi dan evaluasi pelayanan dari penanggung jawab
pelayanan anastesi dan sedasi terhadap PPA tersebut.
b. Pelayanan Sedasi
1) Standar PAB 3
Pemberian sedasi moderat dan dalam dilakukan sesuai
dengan regulasi dan ditetapkan rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PAB 3
Prosedur pemberian sedasi moderat dan dalam yang
diberikan secara intravena tidak bergantung pada berapa dosisnya. oleh karena
prosedur pemberian sedasi seperti layaknya anestesi mengandung risiko potensial
pada pasien. Pemberian sedasi pada pasien harus dilakukan seragam dan sama di
semua tempat di rumah sakit termasuk unit di luar kamar operasi.
Keseragaman dalam pelayanan sedasi sesuai kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh tenaga medis yang kompeten
dan telah diberikan kewenangan klinis untuk melakukan sedasi moderat dan dalam
meliputi:
a)
Area-area di dalam rumah sakit tempat sedasi
moderat dan dalam dapat dilakukan;
b) Kualifikasi
staf yang memberikan sedasi;
c)
Persetujuan medis (informed consent) untuk prosedur maupun sedasinya;
d) Perbedaan
populasi anak, dewasa, dan geriatri ataupun pertimbangan khusus lainnya;
e)
Peralatan medis dan bahan yang digunakan sesuai
dengan populasi yang diberikan sedasi moderat atau dalam; dan
f)
Cara memantau.
3) Elemen Penilaian PAB 3
a)
Rumah sakit telah melaksanakan pemberian sedasi
moderat dan dalam yang seragam di semua tempat di rumah sakit sesuai dengan
poin a) - f) pada maksud dan tujuan.
b) Peralatan
dan perbekalan gawat darurat tersedia di tempat dilakukan sedasi moderat dan
dalam serta dipergunakan sesuai jenis sedasi, usia, dan kondisi pasien.
c)
PPA yang terlatih dan berpengalaman dalam
memberikan bantuan hidup lanjut (advance)
harus selalu mendampingi dan siaga selama tindakan sedasi dikerjakan.
4) Standar PAB 3.1
Tenaga medis yang kompeten dan berwenang memberikan
pelayanan sedasi moderat dan dalam serta melaksanakan pemantauan.
5) Maksud dan Tujuan PAB 3.1
Kualifikasi tenaga medis yang diberikan kewenangan
klinis untuk melakukan sedasi moderat dan dalam terhadap pasien sangat penting.
Pemahaman metode pemberikan sedasi moderat dan dalam terkait kondisi pasien dan
jenis tindakan yang diberikan dapat meningkatkan toleransi pasien terhadap rasa
tidak nyaman, nyeri, dan atau risiko komplikasi.
Komplikasi terkait pemberian sedasi terutama
gangguan jantung dan paru. Oleh sebab itu, diperlukan Sertifikasi bantuan hidup
lanjut. Sebagai tambahan, pengetahuan farmakologi zat sedasi yang digunakan
termasuk zat reversal mengurangi risiko terjadi kejadian yang tidak diharapkan.
Oleh karena itu, tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis memberikan
sedasi moderat dan dalam harus kompeten dalam hal:
a)
Teknik dan berbagai cara sedasi;
b) Farmakologi
obat sedasi dan penggunaaan zat reversal
(antidot);
c)
Persyaratan pemantauan pasien; dan
d) Bertindak
jika ada komplikasi.
Tenaga medis yang melakukan prosedur sedasi harus
mampu bertanggung jawab melakukan pemantauan terhadap pasien. PPA yang kompeten
melakukan prosedur sedasi, seperti dokter spesialis anestesi atau perawat yang
terlatih yang bertanggung jawab melakukan pemantauan berkesinambungan terhadap
parameter fisiologis pasien dan membantu tindakan resusitasi. PPA yang
bertanggung jawab melakukan pemantauan harus kompeten dalam:
a)
Pemantauan yang diperlukan;
b) Bertindak
jika ada komplikasi;
c)
Penggunaan zat reversal (antidot); dan
d) Kriteria
pemulihan.
6) Elemen Penilaian PAB 3.1
a)
Tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis
memberikan sedasi moderat dan dalam harus kompeten dalam poin a) – d) pada
maksud dan tujuan.
b) Profesional
pemberi asuhan (PPA) yang bertanggung jawab melakukan pemantauan selama
pelayanan sedasi moderat dan dalam harus kompeten meliputi poin a) – d) pada
maksud dan tujuan.
c)
Kompetensi semua PPA yang terlibat dalam sedasi
moderat dan dalam tercatat di file kepegawaian.
7) Standar PAB 3.2
Rumah sakit menetapkan panduan praktik klinis untuk
pelayanan sedasi moderat dan dalam
8) Maksud dan Tujuan PAB 3.2
Tingkat kedalaman sedasi berlangsung dalam suatu
kesinambungan mulai ringan sampai sedasi dalam dan pasien dapat berubah dari
satu tingkat ke tingkat lainnya. Banyak faktor berpengaruh terhadap respons
pasien dan hal ini memengaruhi tingkat sedasi pasien. Faktor-faktor tersebut
termasuk obat-obatan yang diberikan, rute pemberian obat dan dosis, usia pasien
(anak, dewasa, serta lanjut usia), dan riwayat kesehatan pasien. Misalnya,
pasien memiliki riwayat gangguan organ utama maka kemungkinan obat yang
digunakan pasien dapat berinteraksi dengan obat sedasi, alergi obat, efek
samping obat sedasi atau anastesi sebelumnya. Jika status fisik pasien berisiko
tinggi maka dipertimbangkan pemberian tambahan kebutuhan klinis lainnya dan
diberikan tindakan sedasi yang sesuai.
Pengkajian prasedasi membantu mengidentifikasi
faktor yang dapat yang berpengaruh pada respons pasien terhadap tindakan sedasi
dan juga dapat diidentifikasi temuan-temuan penting dari hasil pemantaun selama
dan sesudah sedasi.
Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan
bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi meliputi:
a)
Mengidentifikasi masalah saluran pernapasan yang
dapat memengaruhi jenis sedasi yang digunakan;
b) Mengevaluasi
pasien terhadap risiko tindakan sedasi;
c)
Merencanakan jenis sedasi dan tingkat kedalaman
sedasi yang diperlukan pasien berdasarkan prosedur/tindakan yang akan
dilakukan;
d) Pemberian
sedasi secara aman; dan
e)
Menyimpulkan temuan hasil pemantauan pasien
selama prosedur sedasi dan pemulihan.
Cakupan dan isi pengkajian dibuat berdasar atas
Panduan Praktik Klinis dan kebijakan pelayanan anastesi dan sedasi yang
ditetapkan oleh rumah sakit.
Pasien yang sedang menjalani tindakan sedasi
dipantau tingkat kesadarannya, ventilasi dan status oksigenasi, variabel
hemodinamik berdasar atas jenis obat sedasi yang diberikan, jangka waktu
sedasi, jenis kelamin, dan kondisi pasien. Perhatian khusus ditujukan pada
kemampuan pasien mempertahankan refleks protektif, jalan napas yang teratur dan
lancar, serta respons terhadap stimulasi fisik dan perintah verbal. Seorang
yang kompeten bertanggung jawab melakukan pemantauan status fisiologis pasien
secara terus menerus dan membantu memberikan bantuan resusitasi sampai pasien
pulih dengan selamat.
Setelah tindakan selesai dikerjakan, pasien masih
tetap berisiko terhadap komplikasi karena keterlambatan absorsi obat sedasi,
dapat terjadi depresi pernapasan, dan kekurangan stimulasi akibat
tindakan.
Ditetapkan kriteria pemulihan untuk mengidentifikasi
pasien yang sudah pulih kembali dan atau siap untuk ditransfer/dipulangkan.
9) Elemen Penilaian PAB 3.2
a)
Rumah sakit telah menerapkan pengkajian
prasedasi dan dicatat dalam rekam medis meliputi poin a) – e) pada maksud dan
tujuan.
b) Rumah
sakit telah menerapakn pemantauan pasien selama dilakukan pelayanan sedasi
moderat dan dalam oleh PPA yang kompeten dan di catat di rekam medik.
c)
Kriteria pemulihan telah digunakan dan
didokumentasikan untuk mengidentifikasi pasien yang sudah pulih kembali
dan atau
siap untuk
ditransfer/dipulangkan.
c. Pelayanan Anastesi
1) Standar PAB 4
Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan
telah diberikan kewenangan klinis pelayanan anestesi melakukan asesmen
pra-anestesi dan prainduksi.
2) Maksud dan Tujuan PAB 4
Oleh karena anestesi memiliki risiko tinggi maka
pemberiannya harus direncanakan dengan hati-hati. Pengkajian pra-anestesi
adalah dasar perencanaan ini untuk mengetahui temuan pemantauan selama anestesi
dan pemulihan yang mungkin bermakna, dan juga untuk menentukan obat analgesi
apa untuk pascaoperasi. Pengkajian pra-anestesi juga memberikan informasi yang
diperlukan untuk:
a)
Mengetahui masalah saluran pernapasan;
b) Memilih
anestesi dan rencana asuhan anestesi;
c)
Memberikan anestesi yang aman berdasar atas pengkajian
pasien, risiko yang ditemukan, dan jenis tindakan;
d) Menafsirkan
temuan pada waktu pemantauan selama anestesi dan pemulihan; dan
e)
Memberikan informasi obat analgesia yang akan
digunakan pascaoperasi.
Dokter spesialis anestesi akan melakukan pengkajian
praanestesi yang dapat dilakukan sebelum masuk rawat inap atau sebelum
dilakukan tindakan bedah atau sesaat menjelang operasi, misalnya pada pasien
darurat.
Asesmen prainduksi terpisah dari asesmen
pra-anestesi, karena difokuskan pada stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien
untuk tindakan anestesi, dan berlangsung sesaat sebelum induksi anestesi. Jika
anestesi diberikan secara darurat maka pengkajian pra-anestesi dan prainduksi
dapat dilakukan berurutan atau simultan, namun dicatat secara terpisah.
3) Elemen Penilaian PAB 4
a)
Pengkajian pra-anestesi telah dilakukan untuk
setiap pasien yang akan dilakukan anestesi.
b) Pengkajian
prainduksi telah dilakukan secara terpisah untuk mengevaluasi ulang pasien
segera sebelum induksi anestesi.
c)
Kedua pengkajian tersebut telah dilakukan oleh
PPA yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis didokumentasikan dalam
rekam medis pasien.
4) Standar PAB 5
Risiko, manfaat, dan alternatif tindakan sedasi
atau anestesi didiskusikan dengan pasien dan keluarga atau orang yang dapat
membuat keputusan mewakili pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan PAB 5
Rencana tindakan sedasi atau anastesi harus
diinformasikan kepada pasien, keluarga pasien, atau mereka yang membuat
keputusan mewakili pasien tentang jenis sedasi, risiko, manfaat, dan alternatif
terkait tindakan tersebut. Informasi tersebut sebagai bagian dari proses mendapat
persetujuan tindakan kedokteran untuk tindakan sedasi atau anestesi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6) Elemen Penilaian PAB 5
a)
Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi
kepada pasien dan atau keluarga atau pihak yang akan memberikan keputusan
tentang jenis, risiko, manfaat, alternatif dan analagsia pasca tindakan sedasi
atau anastesi.
b) Pemberian
informasi dilakukan oleh dokter spesialis anastesi dan didokumentasikan dalam
formulir persetujuan tindakan anastesi/sedasi.
7) Standar PAB 6
Status fisiologis setiap pasien selama tindakan
sedasi atau anestesi dipantau sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
8) Maksud dan Tujuan PAB 6
Pemantauan fisiologis akan memberikan informasi
mengenai status pasien selama tindakan anestesi (umum, spinal, regional dan
lokal) dan masa pemulihan. Hasil pemantauan akan menjadi dasar untuk mengambil
keputusan intraoperasi yang penting dan juga menjadi dasar pengambilan
keputusan pascaoperasi seperti pembedahan ulang, pemindahan ke tingkat
perawatan lain, atau pemulangan pasien.
Informasi hasil pemantauan akan memandu perawatan
medis dan keperawatan serta mengidentifikasi kebutuhan diagnostik dan layanan
lainnya. Temuan pemantauan dimasukkan ke dalam rekam medis pasien. Metode
pemantauan bergantung pada status praanestesi pasien, pemilihan jenis tindakan
anestesi, dan kerumitan pembedahan atau prosedur lainnya yang dilakukan selama
tindakan anestesi. Meskipun demikian, pemantauan menyeluruh selama tindakan
anestesi dan pembedahan dalam semua kasus harus sesuai dengan panduan praktik
klinis (PPK) dan kebijakan rumah sakit. Hasilpemantauan didokumentasikan dalam
rekam medis.
9) Elemen Penilaian PAB 6
a)
Frekuensi dan jenis pemantauan selama tindakan
anestesi dan pembedahan didasarkan pada status praanestesi pasien, anestesi
yang digunakan, serta prosedur pembedahan yang dilakukan.
b) Pemantauan
status fisiologis pasien sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
10) Standar PAB. 6.1
Status pasca anestesi pasien dipantau dan
didokumentasikan, dan pasien dipindahkan/ditransfer/dipulangkan dari area
pemulihan oleh PPA yang kompeten dengan menggunakan kriteria baku yang ditetapkan
rumah sakit.
11) Maksud dan Tujuan PAB 6.1
Pemantauan selama anestesi menjadi
dasar pemantauan
saat pemulihan pascaanestesi. Pemantauan pasca
anestesi dapat dilakukan di ruang rawat intensif atau di ruang pulih.
Pemantauan pasca anestesi di ruang rawat intensif bisa direncanakan sejak awal
sebelum tindakan operasi atau sebelumnya tidak direncanakan berubah dilakukan
pemantauan di ruang intensif atas hasil keputusan PPA anestesi dan atau PPA
bedah berdasarkan penilaian selama prosedur anestesi dan atau pembedahan. Bila
pemantauan pasca anestesi dilakukan di ruang intensif maka pasien langsung di
transfer ke ruang rawat intensif dan tatalaksana pemantauan selanjutnya secara
berkesinambungan dan sistematis berdasarkan instruksi DPJP di ruang rawat intensif
serta didokumentasikan. Bila pemantauan dilakukan di ruang pulih maka pasien
dipantau secara berkesinambungan dan sistematis serta didokumentasikan.
Pemindahan pasien dari area pemulihan pascaanestesi
atau penghentian pemantauan pemulihan dilakukan dengan salah satu berdasarkan
beberapa alternatif sebagai berikut:
a)
pasien dipindahkan (atau pemantauan pemulihan
dihentikan) oleh seorang ahli anestesi yang kompeten.
b) pasien
dipindahkan (atau pemantauan pemulihan dihentikan) oleh seorang perawat atau
penata anastesi yang kompeten berdasarkan kriteria pascaanestesi yang
ditetapkan oleh rumah sakit, tercatat dalam rekam medis bahwa kriteria tersebut
terpenuhi.
c)
pasien dipindahkan ke unit yang mampu
menyediakan perawatan pascaanestesi misalnya di unit perawatan intensif.
Waktu masuk dan keluar dari ruang pemulihan (atau
waktu mulai dan dihentikannya pemantauan pemulihan) didokumentasikan dalam
rekam medis pasien.
12) Elemen Penilaian PAB 6.1
a)
Rumah sakit telah menerapkan pemantauan pasien
pascaanestesi baik di ruang intensif maupun di ruang pemulihan dan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
b) Pasien
dipindahkan dari unit pascaanestesi (atau pemantauan pemulihan dihentikan)
sesuai dengan kriteria baku yang ditetapkan dengan alternatif a) - c) pada
maksud dan tujuan.
c)
Waktu dimulai dan dihentikannya proses pemulihan
dicatat di dalam rekam medis pasien.
d. Pelayanan Pembedahan
1) Standar PAB 7
Asuhan setiap pasien bedah direncanakan berdasar
atas hasil pengkajian dan dicatat dalam rekam medis pasien.
2) Maksud dan Tujuan PAB 7
Karena prosedur bedah mengandung risiko tinggi maka
pelaksanaannya harus direncanakan dengan saksama. Pengkajian prabedah menjadi
acuan untuk menentukan jenis tindakan bedah yang tepat dan mencatat temuan
penting. Hasil pengkajian prabedah memberikan informasi tentang:
a)
Tindakan bedah
yang sesuai dan waktu pelaksanaannya;
b) Melakukan
tindakan dengan aman; dan
c)
Menyimpulkan temuan selama pemantauan. Pemilihan
teknik operasi bergantung pada riwayat pasien, status fisik, data diagnostik,
serta manfaat dan risiko tindakan yang dipilih. Untuk pasien yang saat masuk
rumah sakit langsung dilayani oleh dokter bedah, pengkajian prabedah
menggunakan formulir pengkajian awal rawat inap. Sedangkan pasien yang
dikonsultasikan di tengah perawatan oleh dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP) lain dan diputuskan operasi maka pengkajian prabedah dapat dicatat di
rekam medis sesuai kebijakan rumah sakit. Hal ini termasuk diagnosis praoperasi
dan pascaoperasi serta nama tindakan operasi.
3) Elemen Penilaian PAB 7
a)
Rumah sakit telah menerapkan pengkajian prabedah
pada pasien yang akan dioperasi oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)
sebelum operasi dimulai.
b) Diagnosis
praoperasi dan rencana prosedur/tindakan operasi berdasarkan hasil pengkajian
prabedah dan didokumentasikan di rekam medik.
4) Standar PAB 7.1
Risiko, manfaat dan alternatif tindakan pembedahan
didiskusikan dengan pasien dan atau keluarga atau pihak lain yang berwenang
yang memberikan keputusan.
5) Maksud dan Tujuan PAB 7.1
Pasien, keluarga, dan mereka yang memutuskan
mendapatkan penjelasan untuk berpartisipasi dalam keputusan asuhan pasien
dengan memberikan persetujuan
(consent).
Untuk memenuhi kebutuhan pasien maka penjelasan
tersebut diberikan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang dalam
keadaan darurat dapat dibantu oleh dokter di unit gawat darurat. Informasi yang
disampaikan meliputi:
a)
Risiko dari rencana tindakan operasi;
b) Manfaat
dari rencana tindakan operasi;
c)
Memungkinan komplikasi dan dampak;
d) Pilihan
operasi atau nonoperasi (alternatif) yang tersedia untuk menangani pasien;
e)
Sebagai tambahan jika dibutuhkan darah atau
produk darah, sedangkan risiko dan alternatifnya didiskusikan.
6) Elemen Penilaian PAB 7.1
a)
Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi
kepada pasien dan atau keluarga atau pihak yang akan memberikan keputusan
tentang jenis, risiko, manfaat, komplikasi dan dampak serta alternatif prosedur/teknik
terkait dengan rencana operasi (termasuk pemakaian produk darah bila
diperlukan) kepada pasien dan atau keluarga atau mereka yang berwenang memberi
keputusan.
b) Pemberian
informasi dilakukan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) didokumentasikan
dalam formulir persetujuan tindakan kedokteran.
7) Standar PAB 7.2
Informasi yang terkait dengan operasi dicatat dalam
laporan operasi dan digunakan untuk menyusun rencana asuhan lanjutan.
8) Maksud dan Tujuan PAB 7.2
Asuhan pasien pascaoperasi bergantung pada temuan
dalam operasi. Hal yang terpenting adalah semua tindakan dan hasilnya dicatat
di rekam medis pasien. Laporan ini dapat dibuat dalam bentuk format template
atau dalam bentuk laporan operasi tertulis sesuai dengan regulasi rumah sakit.
Laporan yang tercatat tentang operasi memuat paling sedikit:
a)
Diagnosis pascaoperasi;
b) Nama
dokter bedah dan asistennya;
c)
Prosedur operasi yang dilakukan dan rincian
temuan;
d) Ada
dan tidak ada komplikasi;
e)
Spesimen operasi yang dikirim untuk diperiksa;
f)
Jumlah darah yang hilang dan jumlah yang masuk
lewat transfusi;
g)
Nomor pendaftaran alat yang dipasang (implan),
(bila mempergunakan)
h) Tanggal,
waktu, dan tanda tangan dokter yang bertanggung jawab.
9) Elemen Penilaian PAB 7.2
a)
Laporan operasi memuat poin a) – h) pada maksud
dan tujuan serta dicatat pada formular/template yang ditetapkan rumah sakit.
b) Laporan
operasi telah tersedia segera setelah operasi selesai dan sebelum pasien
dipindah ke ruang lain untuk perawatan selanjutnya.
10) Standar PAB. 7.3
Rencana asuhan pascaoperasi disusun, ditetapkan dan
dicatat dalam rekam medis.
11) Maksud dan Tujuan PAB 7.3
Kebutuhan
asuhan medis, keperawatan, dan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya sesuai
dengan kebutuhan setiap pasien pascaoperasi berbeda bergantung pada tindakan
operasi dan riwayat kesehatan pasien. Beberapa pasien mungkin membutuhkan
pelayanan dari profesional pemberi asuhan (PPA) lain atau unit lain seperti
rehabilitasi medik atau terapi fisik. Penting membuat rencana asuhan tersebut
termasuk tingkat asuhan, metode asuhan, tindak lanjut monitor atau tindak
lanjut tindakan, kebutuhan obat, dan asuhan lain atau tindakan serta layanan
lain. Rencana asuhan pascaoperasi dapat dimulai sebelum tindakan operasi
berdasarkan asesmen kebutuhan dan kondisi pasien serta jenis operasi yang
dilakukan. Rencana asuhan pasca operasi juga memuat kebutuhan pasien yang
segera. Rencana asuhan dicacat di rekam medik pasien dalam waktu 24 jam dan
diverifikasi oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan tim
klinis untuk memastikan kontuinitas asuhan selama waktu pemulihan dan masa
rehabilitasi.
12) Elemen Penilaian PAB 7.3
a)
Rencana asuhan pascaoperasi dicatat di rekam
medis pasien dalam waktu 24 jam oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).
b) Rencana
asuhan pascaoperasi termasuk rencana asuhan medis, keperawatan, oleh PPA
lainnya berdasar atas kebutuhan pasien.
c)
Rencana asuhan pascaoperasi diubah berdasarkan pengkajian
ulang pasien.
13) Standar PAB 7.4
Perawatan bedah yang mencakup implantasi alat medis
direncanakan dengan pertimbangan khusus tentang bagaimana memodifikasi proses
dan prosedur standar.
14) Maksud dan Tujuan PAB 7.4
Banyak tindakan bedah menggunakan implan yang
menetap/permanen maupun temporer antara lain panggul/lutut prostetik, pacu
jantung, pompa insulin. Tindakan operasi seperti ini mengharuskan tindakan
operasi rutin yang dimodifikasi dgn mempertimbangkan faktor khusus seperti:
a)
Pemilihan implan
berdasarkan peraturan perundangan.
b) Modifikasi
surgical safety checklist utk
memastikan ketersediaan implan di kamar
operasi dan pertimbangan khusus utk penandaan lokasi operasi.
c)
Kualifikasi dan pelatihan setiap staf dari luar
yang dibutuhkan untuk pemasangan implan (staf dari pabrik/perusahaan implan
untukmengkalibrasi).
d) Proses
pelaporan jika ada kejadian yang tidak diharapkan terkait implant.
e)
Proses pelaporan malfungsi implan sesuai dgn
standar/aturan pabrik.
f)
Pertimbangan pengendalian infeksi yang khusus.
g)
Instruksi khusus kepada pasien setelah operasi.
h) kemampuan
penelusuran (traceability) alat jika
terjadi penarikan kembali (recall)
alat medis misalnya dengan menempelkan barcode alat di rekam medis.
15) Elemen Penilaian PAB 7.4
a)
Rumah sakit telah mengidentifikasi jenis alat
implan yang termasuk dalam cakupan layanannya.
b) Kebijakan
dan praktik mencakup poin a) – h) pada maksud dan tujuan.
c)
Rumah sakit mempunyai proses untuk melacak
implan medis yang telah digunakan pasien.
d) Rumah
sakit menerapkan proses untuk menghubungi dan memantau pasien dalam jangka
waktu yang ditentukan setelah menerima pemberitahuan adanya penarikan/recall
suatu implan medis.
6. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
Gambaran Umum
Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat merupakan
bagian penting dalam pelayanan pasien. Pelayanan kefarmasian yang
diselenggarakan di rumah sakit harus mampu menjamin ketersediaan obat dan alat
kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Standar Pelayanan Kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP), serta pelayanan
farmasi klinik. Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
bertujuan untuk:
1. Meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian;
2. Menjamin
kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
3. Melindungi
pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).
Pada bab ini penilaian terhadap pelayananan kefarmasian difokuskan pada sediaan
farmasi dan BMHP.
Obat merupakan komponen penting dalam pengobatan
simptomatik, preventif, kuratif, paliatif dan rehabilitatif terhadap penyakit
dan berbagai kondisi. Proses penggunaan obat yang mencakup peresepan, penyiapan
(dispensing), pemberian dan pemantauan dilakukan secara multidisipliner dan
terkoordinasi sehingga dapat menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif.
Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di
rumah sakit dirancang, diimplementasikan, dan dilakukan peningkatan mutu secara
berkesinambungan terhadap proses-proses: pemilihan, perencanaan dan pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan,
penyalinan (transcribing), penyiapan,
pemberian dan pemantauan terapi obat.
Kejadian kesalahan obat (medication
error) merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang seharusnya dapat
dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit harus berupaya
mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan membuat sistem pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman
(medication safety).
Masalah resistansi antimikroba merupakan masalah
global yang disebabkan penggunaan antimikroba yang berlebihan dan tidak tepat.
Untuk mengurangi laju resistansi antimikroba dan meningkatkan patient outcome,
maka rumah sakit harus melaksanakan program pengendalian resistansi antimikroba
sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu program kerja yang harus
dilakukan adalah optimalisasi penggunaan antimikroba secara bijak melalui
penerapan penatagunaan antimikroba (PGA).
a. Pengorganisasian
1) Standar PKPO 1
Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat
dikelola untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan sistem
pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang meliputi:
a)
Perencanaan sistem pelayanan kefarmasian dan
penggunaan obat.
b) Pemilihan.
c)
Perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi dan
BMHP.
d) Penyimpanan.
e)
Pendistribusian.
f)
Peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan.
g)
Penyiapan (dispensing).
h) Pemberian.
i)
Pemantauan terapi obat.
Untuk memastikan efektivitas sistem pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat, maka rumah sakit melakukan kajian
sekurang-kurangnya sekali setahun. Kajian tahunan dilakukan dengan mengumpulkan
semua informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian
dan penggunaan obat, termasuk jumlah laporan insiden kesalahan obat serta upaya
untuk menurunkannya. Pelaksanaan kajian melibatkan Komite/Tim Farmasi dan
Terapi, Komite/ Tim Penyelenggara Mutu, serta unit kerja terkait. Kajian
bertujuan agar rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas perbaikan sistem
berkelanjutan. Kajian meliputi proses-proses poin a) sampai dengan i), termasuk
insiden kesalahan obat (medication error).
Pelayanan kefarmasian dipimpin oleh apoteker yang
memiliki izin dan kompeten dalam melakukan supervisi semua aktivitas pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit. Pelayanan kefarmasian dan
penggunaan obat bukan hanya tanggung jawab apoteker, tetapi juga staf lainnya
yang terlibat, misalnya dokter, perawat, tenaga teknis kefarmasian, staf non
klinis. Struktur organisasi dan tata hubungan kerja operasional pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Rumah sakit harus menyediakan sumber informasi
yang dibutuhkan staf yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian dan penggunaan
obat, misalnya informasi tentang dosis, interaksi obat, efek samping obat,
stabilitas dan kompatibilitas dalam bentuk cetak dan/atau elektronik.
3) Elemen Penilaian PKPO 1
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang
sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk pengorganisasiannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b) Rumah
sakit memiliki bukti seluruh apoteker memiliki izin dan kompeten, serta telah
melakukan supervisi pelayanan kefarmasian dan memastikan kepatuhan terhadap
peraturan perundang- undangan.
c)
Rumah sakit memiliki bukti kajian sistem
pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang dilakukan setiap tahun.
d) Rumah
sakit memiliki sumber informasi obat untuk semua staf yang terlibat dalam
penggunaan obat.
b. Pemilihan, Perencanaan, dan Pengadaan
1) Standar PKPO 2
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan formularium
yang digunakan untuk peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan. Obat dalam
formularium senantiasa tersedia di rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 2
Rumah sakit menetapkan formularium obat mengacu
pada peraturan perundang-undangan. Formularium ini didasarkan atas misi rumah
sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan yang diberikan. Penyusunan
formularium merupakan suatu proses kolaboratif mempertimbangkan kebutuhan,
keselamatan pasien dan aspek biaya. Formularium harus dijadikan acuan dan
dipatuhi dalam peresepan dan pengadaan obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi
melakukan evaluasi terhadap formularium rumah sakit sekurang-kurangnya setahun
sekali dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan biaya. Rumah sakit
merencanakan kebutuhan obat, dan BMHP dengan baik agar tidak terjadi kekosongan
yang dapat menghambat pelayanan. Apabila terjadi kekosongan, maka tenaga
kefarmasian harus menginformasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA)
serta saran substitusinya. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
pengadaan sediaan farmasi dan BMHP yang melibatkan apoteker untuk memastikan
proses berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3) Elemen Penilaian PKPO 2
a)
Rumah sakit telah memiliki proses penyusunan
formularium rumah sakit secara kolaboratif.
b) Rumah
sakit melakukan pemantauan kepatuhan terhadap formularium baik dari persediaan
maupun penggunaannya.
c)
Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap
formularium sekurang-kurangnya setahun sekali berdasarkan informasi tentang
efektivitas, keamanan dan biaya.
d) Rumah
sakit melakukan pelaksanaan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pengadaan
sediaan farmasi, dan BMHP.
e)
Rumah sakit melakukan pengadaan sediaan farmasi,
dan BMHP melibatkan apoteker untuk memastikan proses berjalan sesuai peraturan
perundangundangan.
c. Penyimpanan
1) Standar PKPO 3
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar dan aman sesuai
peraturan perundang-undangan dan standar profesi.
2) Standar PKPO 3.1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
pengelolaan obat atau produk yang memerlukan penanganan khusus, misalnya obat
dan bahan berbahaya, radioaktif, obat penelitian, produk nutrisi parenteral,
obat/BMHP dari program/donasi sesuai peraturan perundang-undangan.
3) Standar PKPO 3.2
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
pengelolaan obat, dan BMHP untuk kondisi emergensi yang disimpan di luar
Instalasi Farmasi untuk memastikan selalu tersedia, dimonitor dan aman.
4) Standar PKPO 3.3
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
penarikan kembali (recall) dan
pemusnahan sediaan farmasi, BMHP dan implan sesuai peraturan perundangundangan.
5) Maksud dan Tujuan PKPO 3, PKPO 3.1, PKPO
3.2, PKPO 3.3
Rumah sakit mempunyai ruang penyimpanan sediaan
farmasi dan BMHP yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta memperhatikan
persyaratan penyimpanan dari produsen, kondisi sanitasi, suhu, cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan memiliki system keamanan penyimpanan yang bertujuan
untuk menjamin mutu dan keamanan produk serta keselamatan staf.
Beberapa sediaan farmasi harus disimpan dengan cara
khusus, yaitu:
a)
Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan sesuai
sifat dan risiko bahan agar dapat mencegah staf dan lingkungan dari risiko
terpapar bahan berbahaya dan beracun, atau mencegah terjadinya bahaya seperti
kebakaran.
b)
Narkotika dan psikotropika harus disimpan dengan
cara yang dapat mencegah risiko kehilangan obat yang berpotensi disalahgunakan
(drug abuse). Penyimpanan
dan pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika
dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
c)
Elektrolit konsentrat dan elektrolit dengan
konsentrasi tertentu diatur penyimpanannya agar tidak salah dalam
pengambilan.
d)
Obat emergensi diatur penyimpanannya agar selalu
siap pakai bila sewaktu-waktu diperlukan. Ketersediaan dan kemudahan akses
terhadap obat, dan BMHP pada kondisi emergensi sangat menentukan penyelamatan
jiwa pasien. Oleh karena itu rumah sakit harus menetapkan lokasi penempatan
troli/tas/lemari/kotak berisi khusus obat, dan BMHP emergensi, termasuk di
ambulans. Pengelolaan obat dan BMHP emergensi harus sama/seragam di seluruh rumah
sakit dalam hal penyimpanan (termasuk tata letaknya), pemantauan dan
pemeliharaannya. Rumah sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk
meningkatkan ketepatan dan kecepatan pemberian obat, misalnya:
(1) Penyimpanan
obat emergensi harus sudah dikeluarkan dari kotak kemasannya agar tidak
menghambat kecepatan penyiapan dan pemberian obat, misalnya: obat dalam bentuk
ampul atau vial.
(2) Pemisahan
penempatan BMHP untuk pasien dewasa dan pasien anak.
(3)
Tata letak obat yang seragam.
(4) Tersedia
panduan cepat untuk dosis dan penyiapan obat.
Beberapa sediaan farmasi memiliki risiko khusus
yang memerlukan ketentuan tersendiri dalam penyimpanan, pelabelan dan
pengawasan penggunaannya, yaitu:
a)
Produk nutrisi parenteral dikelola sesuai
stabilitas produk;
b) Obat/bahan
radioaktif dikelola sesuai sifat dan bahan radioaktif;
c)
Obat yang dibawa pasien;
d) Obat/BMHP
dari program atau bantuan pemerintah/pihak lain dikelola sesuai peraturan
perundang-undangan dan pedoman; dan
e)
Obat yang digunakan untuk penelitian dikelola
sesuai protokol penelitian.
Obat dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan
obat harus diberi label yang memuat informasi nama, kadar/kekuatan, tanggal
kedaluwarsa dan peringatan khusus untuk menghindari kesalahan dalam penyimpanan
dan penggunaannya.
Apoteker melakukan supervisi secara rutin ke lokasi
penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP, untuk memastikan penyimpanannya dilakukan
dengan benar dan aman.
Rumah sakit harus memiliki sistem yang menjamin
bahwa sediaan farmasi dan BMHP yang tidak layak pakai karena rusak, mutu
substandar atau kedaluwarsa tidak digunakan serta dimusnahkan.
Obat yang sudah dibuka dari kemasan primer (wadah
yang bersentuhan langsung dengan obat) atau sudah dilakukan perubahan,
misalnya: dipindahkan dari wadah aslinya, sudah dilakukan peracikan, maka
tanggal kedaluwarsanya (ED=Expired Date)
tidak lagi mengikuti tanggal kedaluwarsa dari pabrik yang tertera di kemasan
obat. Rumah sakit harus menetapkan tanggal kedaluwarsa sediaan obat tersebut
(BUD=Beyond Use Date). BUD harus
dicantumkan pada label obat.
Rumah sakit memiliki sistem pelaporan obat dan BMHP
yang substandar (rusak) untuk perbaikan dan peningkatan mutu.
Obat yang ditarik dari peredaran (recall) dapat disebabkan mutu produk
substandar atau obat berpotensi menimbulkan efek yang membahayakan pasien.
Inisiatif recall dapat dilakukan oleh produsen secara sukarela atau oleh Badan
POM. Rumah sakit harus memiliki sistem penarikan kembali (recall) yang meliputi identifikasi keberadaan obat yang di-recall di semua lokasi penyimpanan di
rumah sakit, penarikan dari semua lokasi penyimpanan, dan pengembaliannya ke
distributor. Rumah sakit memastikan bahwa proses recall dikomunikasikan dan
dilaksanakan secepatnya untuk mencegah digunakannya produk yang di-recall.
6) Elemen Penilaian PKPO 3
a)
Sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar
dan aman dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk, termasuk yang
disimpan di luar Instalasi Farmasi.
b) Narkotika
dan psikotropika disimpan dan dilaporkan penggunaannya sesuai peraturan
perundangundangan.
c)
Rumah sakit melaksanakan supervisi secara rutin
oleh apoteker untuk memastikan penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP dilakukan
dengan benar dan aman.
d) Obat
dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan obat diberi label secara akurat
yang terdiri atas nama zat dan kadarnya, tanggal kedaluwarsa, dan peringatan
khusus.
7) Elemen Penilaian PKPO 3.1
a)
Obat yang memerlukan penanganan khusus dan bahan
berbahaya dikelola sesuai sifat dan risiko bahan.
b) Radioaktif
dikelola sesuai sifat dan risiko bahan radioaktif.
c)
Obat penelitian dikelola sesuai protokol
penelitian.
d) Produk
nutrisi parenteral dikelola sesuai stabilitas produk.
e)
Obat/BMHP dari program/donasi dikelola sesuai
peraturan perundang-undangan dan pedoman terkait.
8) Elemen Penilaian PKPO 3.2
a)
Obat dan BMHP untuk kondisi emergensi yang
tersimpan di luar Instalasi Farmasi termasuk di ambulans dikelola secara
seragam dalam hal penyimpanan, pemantauan, penggantian karena digunakan, rusak
atau kedaluwarsa, dan dilindungi dari kehilangan dan pencurian.
b) Rumah
sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk meningkatkan ketepatan dan
kecepatan pemberian obat.
9) Elemen Penilaian PKPO 3.3
a)
Batas waktu obat dapat digunakan (beyond use date) tercantum pada label
obat.
b) Rumah
sakit memiliki sistem pelaporan sediaan farmasi dan BMHP substandar (rusak).
c)
Rumah sakit menerapkan proses recall obat, BMHP dan implan yang
meliputi identifikasi, penarikan, dan pengembalian produk yang di-recall.
d) Rumah
sakit menerapkan proses pemusnahan sediaan farmasi dan BMHP.
d. Peresepan
1) Standar PKPO 4
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
rekonsiliasi obat.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 4
Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin sebelum
masuk rumah sakit sedang menggunakan obat baik obat resep maupun non resep.
Adanya diskrepansi (perbedaan) terapi obat yang diterima pasien sebelum dirawat
dan saat dirawat dapat membahayakan kesehatan pasien. Kajian sistematik yang
dilakukan oleh Cochrane pada tahun 2018 menunjukkan 55,9% pasien berisiko
mengalami diskrepansi terapi obat saat perpindahan perawatan (transition of care). Untuk mencegah
terjadinya kesalahan obat (medication
error) akibat adanya diskrepansi tersebut, maka rumah sakit harus
menetapkan dan menerapkan proses rekonsiliasi obat. Rekonsiliasi obat di rumah
sakit adalah proses membandingkan daftar obat yang digunakan oleh pasien
sebelum masuk rumah sakit dengan obat yang diresepkan pertama kali sejak pasien
masuk, saat pindah antar unit pelayanan (transfer) di dalam rumah sakit dan
sebelum pasien pulang.
Rekonsiliasi obat merupakan proses kolaboratif yang
dilakukan oleh dokter, apoteker dan perawat, serta melibatkan pasien/keluarga.
Rekonsiliasi obat dimulai dengan menelusuri riwayat penggunaan obat pasien
sebelum masuk rumah sakit, kemudian membandingkan daftar obat tersebut dengan
obat yang baru diresepkan saat perawatan. Jika ada diskrepansi, maka dokter
yang merawat memutuskan apakah terapi obat yang digunakan oleh pasien sebelum
masuk rumah sakit akan dilanjutkan atau tidak. Hasil rekonsiliasi obat
didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA)
terkait dan pasien/keluarga.
Kajian sistematik membuktikan bahwa rekonsiliasi
obat dapat menurunkan diskrepansi dan kejadian yang tidak diharapkan terkait
penggunaan obat (adverse drug event).
3) Elemen Penilaian PKPO 4
a)
Rumah sakit menerapkan rekonsiliasi obat saat
pasien masuk rumah sakit, pindah antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dan
sebelum pasien pulang.
b) Hasil
rekonsiliasi obat didokumentasikan di rekam medis.
4) Standar PKPO 4.1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan sesuai peraturan
perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan PKPO 4.1
Di banyak hasil penelitian, kesalahan obat (medication error) yang tersering terjadi
di tahap peresepan. Jenis kesalahan peresepan antara lain: resep yang tidak
lengkap, ketidaktepatan obat, dosis, rute dan frekuensi pemberian. Peresepan
menggunakan tulisan tangan berpotensi tidak dapat dibaca. Penulisan resep yang
tidak lengkap dan tidak terbaca dapat menyebabkan kesalahan dan tertundanya
pasien mendapatkan obat.
Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan
regulasi tentang peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan yang
benar, lengkap dan terbaca. Rumah sakit menetapkan dan melatih tenaga medis
yang kompeten dan berwenang untuk melakukan peresepan/permintaan obat dan
BMHP/instruksi pengobatan.
Untuk menghindari keragaman dan mencegah kesalahan
obat yang berdampak pada keselamatan pasien, maka rumah sakit menetapkan
persyaratan bahwa semua resep/permintaan obat/instruksi pengobatan harus
mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat, dosis, frekuensi
pemberian, rute pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Persyaratan
kelengkapan lain ditambahkan disesuaikan dengan jenis resep/permintaan
obat/instruksi pengobatan, misalnya:
a)
Penulisan nama dagang atau nama generik pada
sediaan dengan zat aktif tunggal.
b) Penulisan
indikasi dan dosis maksimal sehari pada obat PRN (pro renata atau “jika
perlu”).
c)
Penulisan berat badan dan/atau tinggi badan
untuk pasien anak-anak, lansia, pasien yang mendapatkan kemoterapi, dan
populasi khusus lainnya.
d) Penulisan
kecepatan pemberian infus di instruksi pengobatan.
e)
Penulisan instruksi khusus seperti: titrasi, tapering, rentang dosis.
Instruksi titrasi adalah instruksi pengobatan dimana
dosis obat dinaikkan/diturunkan secara bertahap tergantung status klinis
pasien. Instruksi harus terdiri dari: dosis awal, dosis titrasi, parameter
penilaian, dan titik akhir penggunaan, misalnya: infus nitrogliserin, dosis
awal 5 mcg/menit. Naikkan dosis 5 mcg/menit setiap 5 menit jika nyeri dada
menetap, jaga tekanan darah 110-140 mmHg.
Instruksi tapering down/tapering off adalah
instruksi pengobatan dimana dosis obat diturunkan secara bertahap sampai akhirnya
dihentikan. Cara ini dimaksudkan agar tidak terjadi efek yang tidak diharapkan
akibat penghentian mendadak. Contoh obat yang harus dilakukan tapering
down/off: pemakaian jangka panjang kortikosteroid, psikotropika. Instruksi
harus rinci dituliskan tahapan penurunan dosis dan waktunya.
Instruksi rentang dosis adalah instruksi pengobatan
dimana dosis obat dinyatakan dalam rentang, misalnya morfin inj 2-4 mg IV tiap
3 jam jika nyeri. Dosis disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien.
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses untuk
menangani resep/ permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan:
a)
Tidak lengkap, tidak benar dan tidak terbaca.
b) NORUM
(Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) atau LASA
(Look Alike Sound Alike).
c)
Jenis resep khusus seperti emergensi, cito, automatic stop order, tapering dan lainnya.
d) Secara
lisan atau melalui telepon, wajib dilakukan komunikasi efektif meliputi: tulis
lengkap, baca ulang (read back), dan
meminta konfirmasi kepada dokter yang memberikan resep/instruksi melalui
telepon dan mencatat di rekam medik bahwa sudah dilakukan konfirmasi. (Lihat
standar SKP 2)
Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap penulisan
resep/instruksi pengobatan yang tidak lengkap dan tidak terbaca dengan cara uji
petik atau cara lain yang valid. Daftar obat yang diresepkan tercatat dalam
rekam medis pasien yang mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat,
dosis, rute pemberian, waktu pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Daftar
ini menyertai pasien ketika dipindahkan sehingga profesional pemberi asuhan
(PPA) yang merawat pasien dengan mudah dapat mengakses informasi tentang
penggunaan obat pasien. Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien disertai
edukasi penggunaannya agar pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan
mematuhi aturan pakai yang sudah ditetapkan.
6) Elemen Penilaian PKPO 4.1
a)
Resep dibuat lengkap sesuai regulasi.
b) Telah
dilakukan evaluasi terhadap penulisan resep/instruksi pengobatan yang tidak
lengkap dan tidak terbaca.
c)
Telah dilaksanaan proses untuk mengelola resep
khusus seperti emergensi, automatic stop
order, tapering,
d) Daftar
obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien dan menyertai pasien
ketika dipindahkan/transfer.
e)
Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien
disertai edukasi penggunaannya.
e. Penyiapan (Dispensing)
1) Standar PKPO 5
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
dispensing sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sesuai standar profesi
dan peraturan perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 5
Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian proses
mulai dari diterimanya resep/permintaan obat/instruksi pengobatan sampai dengan
penyerahan obat dan BMHP kepada dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga.
Penyiapan obat dilakukan oleh staf yang terlatih dalam lingkungan yang aman
bagi pasien, staf dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan
standar praktik kefarmasian untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiatnya. Untuk menghindari kesalahan pemberian obat pada pasien rawat inap,
maka obat yang diserahkan harus dalam bentuk yang siap digunakan, dan disertai
dengan informasi lengkap tentang pasien dan obat.
3) Elemen Penilaian PKPO 5
a)
Telah memiliki sistem distribusi dan dispensing
yang sama/seragam diterapkan di rumah sakit sesuai peraturan
perundang-undangan.
b) Staf
yang melakukan dispensing sediaan obat non steril kompeten.
c)
Staf yang melakukan dispensing sediaan obat
steril non sitostatika terlatih dan kompeten.
d) Staf
yang melakukan pencampuran sitostatika terlatih dan kompeten.
e)
Tersedia fasilitas dispensing sesuai standar
praktik kefarmasian.
f)
Telah melaksanakan penyerahan obat dalam bentuk
yang siap diberikan untuk pasien rawat inap.
g)
Obat yang sudah disiapkan diberi etiket yang
meliputi identitas pasien, nama obat, dosis atau konsentrasi, cara pemakaian,
waktu pemberian, tanggal dispensing dan tanggal kedaluwarsa/beyond use date (BUD).
4) Standar PKPO 5.1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
pengkajian resep dan telaah obat sesuai peraturan perundang-undangan dan
standar praktik profesi.
5) Maksud dan Tujuan PKPO 5.1
Pengkajian resep adalah kegiatan menelaah resep
sebelum obat disiapkan, yang meliputi pengkajian aspek administratif,
farmasetik dan klinis. Pengkajian resep dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
kompeten dan diberi kewenangan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan.
Pengkajian resep aspek administratif meliputi:
kesesuaian identitas pasien (lihat SKP 1), ruang rawat, status pembiayaan,
tanggal resep, identitas dokter penulis resep. Pengkajian resep aspek
farmasetik meliputi: nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah obat,
instruksi cara pembuatan (jika diperlukan peracikan), stabilitas dan
inkompatibilitas sediaan.
Pengkajian resep aspek klinis
meliputi:
a)
Ketepatan identitas pasien, obat, dosis,
frekuensi, aturan pakai dan waktu pemberian.
b) Duplikasi
pengobatan.
c)
Potensi alergi atau hipersensitivitas.
d) Interaksi
antara obat dan obat lain atau dengan makanan.
e)
Variasi kriteria penggunaan dari rumah sakit,
misalnya membandingkan dengan panduan praktik klinis, formularium nasional.
f)
Berat badan pasien dan atau informasi fisiologis
lainnya.
g)
Kontraindikasi.
Dalam pengkajian resep tenaga teknis kefarmasian
diberi kewenangan terbatas hanya aspek administratif dan farmasetik.
Pengkajian resep aspek klinis yang baik oleh
apoteker memerlukan data klinis pasien, sehingga apoteker harus diberi
kemudahan akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien.
Apoteker/tenaga teknis kefarmasian harus melakukan
telaah obat sebelum obat diserahkan kepada perawat/pasien.untuk memastikan
bahwa obat yang sudah disiapkan tepat:
a)
Pasien.
b) Nama
obat.
c)
Dosis dan jumlah obat.
d) Rute
pemberian.
e)
Waktu pemberian.
6) Elemen Penilaian PKPO 5.1
a)
Telah melaksanakan pengkajian resep yang
dilakukan oleh staf yang kompeten dan berwenang serta didukung tersedianya
informasi klinis pasien yang memadai.
b) Telah
memiliki proses telaah obat sebelum diserahkan.
f. Pemberian Obat
1) Standar PKPO 6
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
pemberian obat sesuai peraturan perundang-undangan.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 6
Tahap pemberian obat merupakan tahap akhir dalam
proses penggunaan obat sebelum obat masuk ke dalam tubuh pasien. Tahap ini
merupakan tahap yang kritikal ketika terjadi kesalahan obat (medication error) karena pasien akan
langsung terpapar dan dapat menimbulkan cedera. Rumah sakit harus menetapkan
dan menerapkan regulasi pemberian obat. Rumah sakit menetapkan professional
pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan berwenang memberikan obat sesuai
peraturan perundangundangan. Rumah sakit dapat membatasi kewenangan staf klinis
dalam melakukan pemberian obat, misalnya pemberian obat anestesi, kemoterapi,
radioaktif, obat penelitian.
Sebelum pemberian obat kepada pasien, dilakukan
verifikasi kesesuaian obat dengan instruksi pengobatan yang meliputi:
a)
Identitas pasien.
b) Nama
obat.
c)
Dosis.
d) Rute
pemberian.
e)
Waktu pemberian.
Obat yang termasuk golongan obat high alert, harus
dilakukan double-checking untuk menjamin ketepatan pemberian obat.
3) Elemen Penilaian PKPO 6
a)
Staf yang melakukan pemberian obat kompeten dan
berwenang dengan pembatasan yang ditetapkan.
b) Telah
dilaksanaan verifikasi sebelum obat diberikan kepada pasien minimal meliputi:
identitas pasien, nama obat, dosis, rute, dan waktu pemberian.
c)
Telah melaksanakan double checking untuk obat high
alert.
d) Pasien
diberi informasi tentang obat yang akan diberikan.
4) Standar PKPO 6.1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi
penggunaan obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit dan penggunaan obat
oleh pasien secara mandiri.
5) Maksud dan Tujuan PKPO 6.1
Obat
yang dibawa pasien/keluarga dari luar rumah sakit berisiko dalam hal
identifikasi/keaslian dan mutu obat. Oleh sebab itu rumah sakit harus melakukan
penilaian terhadap obat tersebut terkait kelayakan penggunaannya di rumah
sakit. Penggunaan obat oleh pasien secara mandiri, baik yang dibawa dari luar
rumah sakit atau yang diresepkan dari rumah sakit harus diketahui oleh dokter
yang merawat dan dicatat di rekam medis pasien. Penggunaan obat secara mandiri
harus ada proses edukasi dan pemantauan penggunaannya untuk menghindari
penggunaan obat yang tidak tepat.
6) Elemen Penilaian PKPO 6.1
a)
Telah melakukan penilaian obat yang dibawa
pasien dari luar rumah sakit untuk kelayakan penggunaannya di rumah sakit.
b) Telah
melaksanakan edukasi kepada pasien/keluarga jika obat akan digunakan secara
mandiri.
c)
Telah memantau pelaksanaan penggunaan obat
secara mandiri sesuai edukasi.
g. Pemantauan
1) Standar PKPO 7
Rumah sakit menerapkan pemantauan terapi obat
secara kolaboratif.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 7
Untuk mengoptimalkan terapi obat pasien, maka
dilakukan pemantauan terapi obat secara kolaboratif yang melibatkan profesional
pemberi asuhan (PPA) dan pasien. Pemantauan meliputi efek yang diharapkan dan
efek samping obat. Pemantauan terapi obat didokumentasikan di dalam catatan
perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) di rekam medis.
Rumah sakit menerapkan sistem pemantauan dan
pelaporan efek samping obat untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat sesuai
peraturan perundangundangan. Efek samping obat dilaporkan ke Komite/Tim Farmasi
dan Terapi. Rumah sakit melaporkan efek samping obat ke Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM).
3) Elemen Penilaian PKPO 7
a)
Telah melaksanakan pemantauan terapi obat secara
kolaboratif.
b) Telah
melaksanakan pemantauan dan pelaporan efek samping obat serta analisis laporan
untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat.
4) Standar PKPO 7.1
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses
pelaporan serta tindak lanjut terhadap kesalahan obat (medication error) dan berupaya menurunkan kejadiannya.
5) Maksud dan Tujuan PKPO 7.1
Insiden kesalahan obat (medication error) merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang
seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit
harus berupaya mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan membuat sistem
pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).
Insiden kesalahan obat harus dijadikan sebagai
pembelajaran bagi rumah sakit agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi.
Rumah sakit menerapkan pelaporan insiden
keselamatan pasien serta tindak lanjut terhadap kejadian kesalahan obat serta
upaya perbaikannya. Proses pelaporan kesalahan obat yang mencakup kejadian
sentinel, kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC)
maupun kejadian nyaris cedera (KNC), menjadi bagian dari program peningkatan
mutu dan keselamatan pasien. Rumah sakit memberikan pelatihan kepada staf rumah
sakit tentang kesalahan obat dalam rangka upaya perbaikan dan untuk mencegah
kesalahan obat, serta meningkatkan keselamatan pasien.
6) Elemen Penilaian PKPO 7.1
a)
Rumah sakit telah memiliki regulasi tentang medication safety yang bertujuan
mengarahkan penggunaan obat yang aman dan meminimalkan risiko kesalahan
penggunaan obat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
b) Rumah
sakit menerapkan sistem pelaporan kesalahan obat yang menjamin laporan akurat
dan tepat waktu yang merupakan bagian program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien.
c)
Rumah sakit memiliki upaya untuk mendeteksi,
mencegah dan menurunkan kesalahan obat dalam meningkatkan mutu proses
penggunaan obat.
d) Seluruh
staf rumah sakit dilatih terkait kesalahan obat (medication error).
h. Program Pengendalian
Resistansi Antimikroba
1) Standar PKPO 8
Rumah sakit menyelenggarakan program pengendalian
resistansi antimikroba (PPRA) sesuai peraturan perundangundangan.
2) Maksud dan Tujuan PKPO 8
Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance = AMR) telah menjadi masalah kesehatan
nasional dan global. Pemberian obat antimikroba (antibiotik atau antibakteri,
antijamur, antivirus, antiprotozoa) yang tidak rasional dan tidak bijak dapat
memicu terjadinya resistansi yaitu ketidakmampuan membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroba sehingga penggunaan pada penanganan penyakit infeksi tidak
efektif. Meningkatnya kejadian resistansi antimikroba akibat dari penggunaan
antimikroba yang tidak bijak dan pencegahan pengendalian infeksi yang belum
optimal. Resistansi antimikroba di rumah sakit menyebabkan menurunnya mutu
pelayanan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta meningkatnya beban
biaya perawatan dan pengobatan pasien.
Tersedia
regulasi pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit yang
meliputi:
a)
kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik
b) pembentukan
komite/tim PRA yang terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur:
(1)
Klinisi perwakilan SMF/bagian;
(2)
Keperawatan;
(3)
Instalasi farmasi;
(4)
Laboratorium mikrobiologi klinik;
(5)
Komite/Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi
(PPI);
(6)
Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT) Tim
pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba mempunyai tugas dan
fungsi:
a)
Membantu kepala/direktur rumah rakit dalam
menetapkan kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba;
b) Membantu
kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan panduan
penggunaan antibiotik di rumah
sakit;
c)
Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam
pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba;
d) Membantu
kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan
program pengendalian resistensi antimikoba;
e)
Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan
penyakit infeksi terintegrasi;
f)
Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik;
g)
Melakukan surveilans pola mikroba penyebab
infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik;
h) Menyebarluaskan
serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip pengendalian
resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap
pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan;
i)
Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian
resistensi antimikroba;
j)
Melaporkan kegiatan program pengendalian
resistensi antimikroba kepada kepala/direktur rumah sakit.
Rumah sakit menjalankan program pengendalian
resistansi antimikroba sesuai peraturan perundang-undangan. Implementasi PPRA
di rumah sakit dapat berjalan dengan baik, apabila mendapat dukungan penuh dari
pimpinan rumah sakit dengan penetapan kebijakan, pembentukan organisasi
pengelola program dalam bentuk komite/tim yang bertanggungjawab langsung kepada
pimpinan rumah sakit, penyediaan fasilitas, sarana, SDM dan dukungan finansial
dalam mendukung pelaksanaan kegiatan PPRA.
Rumah sakit menyusun program kerja
PPRA meliputi:
a)
Peningkatan pemahaman dan kesadaran penggunaan
antimikroba bijak bagi seluruh tenaga kesehatan dan staf di rumah sakit, serta
pasien dan keluarga, melalui pelatihan dan edukasi.
b) Optimalisasi
penggunaan antimikroba secara bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba
(PGA).
c)
Surveilans penggunaan antimikroba secara
kuantitatif dan kualitatif.
d) Surveilans
resistansi antimikroba dengan indikator mikroba multi drugs resistance organism (MDRO).
e)
Peningkatan mutu penanganan tata laksana
infeksi, melalui pelaksanaan forum kajian kasus infeksi terintegrasi (FORKKIT).
Program dan kegiatan pengendalian resistansi
antimikroba di rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan dilaksanakan,
dipantau, dievaluasi dan dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan.
Rumah sakit
membuat laporan pelaksanaan
program/ kegiatan PRA meliputi:
a)
Kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga
resistensi kesehatan tentang pengendalian antimikroba;
b) Surveilans pola penggunaan antibiotik
di rumah sakit (termasuk laporan pelaksanaan pengendalian antibiotik);
c)
Surveilans
pola resistensi antimikroba;
d) Forum kajian penyakit inteksi terintegrasi.
3) Elemen Penilaian PKPO 8
a)
Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang
pengendalian resistansi antimikroba sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b) Rumah
sakit telah menetapkan komite/tim PPRA dengan melibatkan unsur terkait sesuai
regulasi yang akan mengelola dan menyusun program pengendalian resistansi
antimikroba dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur rumah sakit.
c)
Rumah sakit telah melaksanakan program kerja
sesuai maksud dan tujuan.
d) Rumah
sakit telah melaksanakan pemantauan dan evaluasi kegiatan PPRA sesuai maksud
dan tujuan.
e)
Memiliki telah membuat laporan kepada pimpinan
rumah sakit secara berkala dan kepada Kementerian Kesehatan sesuai peraturan
perundang-undangan.
4) Standar PKPO 8.1
Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan penggunaan
antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba
(PGA).
5) Maksud dan Tujuan PKPO 8.1
Penggunaan antimikroba secara bijak adalah
penggunaan antimikroba secara rasional dengan mempertimbangkan dampak muncul
dan menyebarnya mikroba resistan. Penerapan penggunaan antimikroba secara bijak
berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba (PGA), atau antimicrobial stewardship (AMS) adalah kegiatan strategis dan
sistematis, yang terpadu dan terorganisasi di rumah sakit, bertujuan
mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak, baik kuantitas maupun
kualitasnya, diharapkan dapat menurunkan tekanan selektif terhadap mikroba,
sehingga dapat mengendalikan resistansi antimikroba. Kegiatan ini dimulai dari
tahap penegakan diagnosis penyakit infeksi, penggunaan antimikroba berdasarkan
indikasi, pemilihan jenis antimikroba yang tepat, termasuk dosis, rute, saat,
dan lama pemberiannya. Dilanjutkan dengan pencatatan dan pemantauan
keberhasilan dan/atau kegagalan terapi, potensial dan aktual jika terjadi
reaksi yang tidak dikehendaki, interaksi antimikroba dengan obat lain, dengan
makanan, dengan pemeriksaan laboratorium, dan reaksi alergi.
Yang dimaksud obat antimikroba meliputi: antibiotik
(antibakteri), antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pada penatagunaan
antibiotik, dalam melaksanakan pengendaliannya dilakukan dengan cara
mengelompokkan antibiotik dalam kategori Access, Watch, Reserve (AWaRe).
Kebijakan kategorisasi ini mendukung rencana aksi nasional dan global WHO dalam
menekan munculnya bakteri resistan dan mempertahankan kemanfaatan antibiotik
dalam jangka panjang. Rumah sakit menyusun dan mengembangkan panduan penggunaan
antimikroba untuk pengobatan infeksi (terapi) dan pencegahan infeksi pada
tindakan pembedahan (profilaksis), serta panduan praktik klinis penyakit
infeksi yang berbasis bukti ilmiah dan peraturan perundangan. Rumah sakit
menetapkan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan PGA dan memantau berdasarkan
indikator keberhasilan program sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6) Elemen Penilaian PKPO 8.1
a)
Rumah sakit telah melaksanakan dan mengembangkan
penatagunaan antimikroba di unit pelayanan yang melibatkan dokter, apoteker,
perawat, dan peserta didik.
b) Rumah
sakit telah menyusun dan mengembangkan panduan praktik klinis (PPK), panduan
penggunaan antimikroba untuk terapi dan profilaksis (PPAB), berdasarkan kajian
ilmiah dan kebijakan rumah sakit serta mengacu regulasi yang berlaku secara
nasional. Ada mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan penatagunaan antimikroba.
c)
Rumah sakit telah melaksanakan pemantauan dan
evaluasi ditujukan untuk mengetahui efektivitas indikator keberhasilan program.
7. Komunikasi dan Edukasi (KE)
Gambaran Umum
Perawatan pasien di rumah sakit merupakan pelayanan
yang kompleks dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan serta pasien dan
keluarga. Keadaan tersebut memerlukan komunikasi yang efektif, baik antar
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) maupun antara Profesional Pemberi Asuhan (PPA)
dengan pasien dan keluarga. Setiap pasien memiliki keunikan dalam hal
kebutuhan, nilai dan keyakinan. Rumah sakit harus membangun kepercayaan dan
komunikasi terbuka dengan pasien. Komunikasi dan edukasi yang efektif akan
membantu pasien untuk memahami dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pengobatan yang dijalaninya. Keberhasilan pengobatan
dapat ditingkatkan jika pasien dan keluarga diberi informasi yang dibutuhkan
dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta proses yang sesuai dengan
harapan mereka.
Rumah sakit menyediakan program edukasi yang didasarkan
pada misi rumah sakit, layanan yang diberikan rumah sakit, serta populasi
pasien. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) berkolaborasi untuk memberikan edukasi
tersebut.
Edukasi akan efektif apabila dilakukan sesuai dengan
pilihan pembelajaran yang tepat, mempertimbangkan keyakinan, nilai budaya,
kemampuan membaca, serta bahasa.
Edukasi yang efektif diawali dengan pengkajian kebutuhan
edukasi pasien dan keluarganya. Pengkajian ini akan menentukan jenis dan proses
edukasi yang dibutuhkan agar edukasi dapat menjadi efektif. Edukasi akan
berdampak positif bila diberikan sepanjang proses asuhan. Edukasi yang
diberikan meliputi pengetahuan dan informasi yang diperlukan selama proses
asuhan maupun setelah pasien dipulangkan. Dengan demikian, edukasi juga
mencakup informasi sumber-sumber di komunitas untuk tindak lanjut pelayanan
apabila diperlukan, serta bagaimana akses ke pelayanan gawat darurat bila
dibutuhkan. Edukasi yang efektif menggunakan berbagai format yang sesuai
sehingga dapat dipahami dengan baik oleh pasien dan keluarga, misalnya
informasi diberikan secara tertulis atau audiovisual, serta memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.
Standar ini akan membahas lebih
lanjut mengenai:
a. Pengelolaan
kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
b. Komunikasi
dengan pasien dan keluarga.
a. Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan
Rumah Sakit
1) Standar KE 1
Rumah sakit menetapkan tim atau unit Promosi Kesehatan
Rumah Sakit (PKRS) dengan tugas dan tanggung jawab sesuai peraturan
perundangan.
2) Maksud dan Tujuan KE 1
Setiap rumah sakit mengintegrasikan edukasi pasien dan
keluarga sebagai bagian dari proses perawatan, disesuaikan dengan misi,
pelayanan yang disediakan, serta populasi pasiennya. Edukasi direncanakan
sedemikian rupa sehingga setiap pasien mendapatkan edukasi yang dibutuhkan oleh
pasien tersebut. Rumah sakit menetapkan pengaturan sumber daya edukasi secara
efisien dan efektif. Oleh karena itu, rumah sakit dapat menetapkan tim atau
unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS), menyelenggarakan pelayanan edukasi,
dan mengatur penugasan seluruh staf yang memberikan edukasi secara
terkoordinasi.
Staf klinis memahami kontribusinya masing-masing dalam
pemberian edukasi pasien, sehingga mereka dapat berkolaborasi secara efektif.
Kolaborasi menjamin bahwa informasi yang diterima pasien dan keluarga adalah
komprehensif, konsisten, dan efektif. Kolaborasi ini didasarkan pada kebutuhan
pasien, oleh karena itu mungkin tidak selalu diperlukan. Agar edukasi yang
diberikan dapat berhasil guna, dibutuhkan pertimbanganpertimbangan penting
seperti pengetahuan tentang materi yang akan diedukasikan, waktu yang cukup
untuk memberi edukasi, dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
3) Elemen Penilaian KE 1
a)
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang
pelaksanaan PKRS di rumah sakit sesuai poin a) – b) pada gambaran umum.
b) Terdapat
penetapan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) yang
mengkoordinasikan pemberian edukasi kepada pasien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c)
Tim atau unit PKRS menyusun program kegiatan
promosi kesehatan rumah sakit setiap tahunnya, termasuk kegiatan edukasi rutin
sesuai dengan misi rumah sakit, layanan, dan populasi pasiennya.
d) Rumah
sakit telah menerapkan pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga menggunakan
media, format, dan metode yang yang telah ditetapkan.
b. Komunikasi Dengan Pasien dan Keluarga
1) Standar KE 2
Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan
keluarga tentang jenis asuhan dan pelayanan, serta akses untuk mendapatkan
pelayanan.
2) Maksud dan Tujuan KE 2
Pasien dan keluarga membutuhkan informasi lengkap
mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit, serta bagaimana
untuk mengakses pelayanan tersebut. Hal ini akan membantu menghubungkan harapan
pasien dengan kemampuan rumah sakit. Rumah sakit memberikan informasi tentang
sumber alternatif asuhan dan pelayanan di tempat lain, jika rumah sakit tidak
dapat menyediakan asuhan serta pelayanan yang dibutuhkan pasien. Akses
mendapatkan informasi kesehatan diberikan secara tepat waktu, dan status sosial
ekonomi perawatan pasien tidak menghalangi pasien dan keluarga untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
3) Elemen Penilaian KE 2
a)
Tersedia informasi untuk pasien dan keluarga
mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit serta akses
untuk mendapatkan layanan tersebut. Informasi dapat disampaikan secara langsung
dan/atau tidak langsung.
b) Rumah
sakit menyampaikan informasi kepada pasien dan keluarga terkait alternatif
asuhan dan pelayanan di tempat lain, apabila rumah sakit tidak dapat memberikan
asuhan dan pelayanan yang dibutuhkan pasien.
c)
Akses mendapatkan informasi kesehatan diberikan
secara tepat waktu, dan status sosial ekonomi perawatan pasien tidak
menghalangi pasien dan keluarga untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
d) Terdapat
bukti pemberian informasi untuk pasien dan keluarga mengenai asuhan dan
pelayanan di rumah sakit.
4) Standar KE 3
Rumah sakit melakukan pengkajian terhadap kebutuhan
edukasi setiap pasien, beserta kesiapan dan kemampuan pasien untuk menerima
edukasi.
5) Maksud dan Tujuan KE 3
Edukasi berfokus pada pemahaman yang dibutuhkan pasien
dan keluarga dalam pengambilan keputusan, berpartisipasi dalam asuhan dan
asuhan berkelanjutan di rumah. Untuk memahami kebutuhan edukasi dari setiap
pasien beserta keluarganya, perlu dilakukan pengkajian. Pengkajian ini
memungkinkan staf rumah sakit untuk merencanakan dan memberikan edukasi sesuai
kebutuhan pasien. Pengetahuan dan keterampilan pasien dan keluarga yang menjadi
kekuatan dan kekurangan diidentifikasi untuk digunakan dalam membuat rencana edukasi.
Pengkajian kemampuan
dan kemauan belajar
pasien/keluarga meliputi:
a)
Kemampuan membaca, tingkat Pendidikan;
b) Bahasa
yang digunakan (apakah diperlukan penerjemah atau penggunaan bahasa isyarat);
c)
Hambatan emosional dan motivasi;
d) Keterbatasan
fisik dan kognitif;
e)
Kesediaan pasien untuk menerima informasi; dan
f)
Nilai-nilai dan pilihan pasien.
Hasil pengkajian tersebut dijadikan dasar oleh staf
klinis dalam merencanakan dan melaksanakan pemberian informasi dan edukasi
kepada pasien dan keluarga. Hasil pengkajian didokumentasikan di rekam medis
pasien agar PPA yang terlibat merawat pasien dapat berpartisipasi dalam proses
edukasi.
6) Elemen Penilaian KE 3
a)
Kebutuhan edukasi pasien dan keluarga dinilai
berdasarkan pengkajian terhadap kemampuan dan kemauan belajar pasien dan
keluarga yang meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan, dan dicatat di
rekam medis.
b) Hambatan
dari pasien dan keluarga dalam menerima edukasi dinilai sebelum pemberian
edukasi dan dicatat di rekam medis.
c)
Terdapat bukti dilakukan pengkajian kemampuan
dan kemauan belajar pasien/keluarga, serta hasil pengkajian digunakan PPA untuk
membuat perencanaan kebutuhan edukasi.
7) Standar KE 4
Edukasi tentang proses asuhan disampaikan kepada
pasien dan keluarga disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan bahasa yang
dimengerti oleh pasien dan keluarga.
8) Maksud dan Tujuan KE 4
Informasi dan edukasi yang diberikan kepada pasien dan
keluarga sesuai dengan bahasa yang dipahaminya sesuai hasil pengkajian.
Mereka ikut terlibat dalam pembuatan keputusan dan
berpartisipasi dalam asuhannya, serta dapat melanjutkan asuhan di rumah.
Pasien/keluarga diberitahu tentang hasil pengkajian, diagnosis, rencana asuhan
dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak diharapkan.
Pasien dan keluarga diedukasi terkait cara cuci tangan
yang aman, penggunaan obat yang aman, penggunaan peralatan medis yang aman,
potensi interaksi antara obat dan makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri,
dan teknik rehabilitasi serta edukasi asuhan lanjutan di rumah.
9) Elemen penilaian KE 4
a)
Terdapat bukti bahwa edukasi yang diberikan
kepada pasien dan keluarga telah diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah
dipahami.
b) Terdapat
bukti bahwa pasien/keluarga telah dijelaskan mengenai hasil pengkajian, diagnosis,
rencana asuhan, dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak
diharapkan.
c)
Terdapat bukti edukasi kepada pasien dan
keluarga terkait dengan cara cuci tangan yang aman, penggunaan obat yang aman,
penggunaan peralatan medis yang aman, potensi interaksi obat-obat dan
obat-makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri, dan teknik rehabilitasi serta
edukasi asuhan lanjutan di rumah.
10) Standar KE 5
Metode edukasi dipilih dengan mempertimbangkan nilai yang
dianut serta preferensi pasien dan keluarganya, untuk memungkinkan terjadinya
interaksi yang memadai antara pasien, keluarga pasien dan staf.
11) Maksud dan Tujuan KE 5
Proses edukasi akan berlangsung dengan baik bila
mengunakan metode yang tepat. Pemahaman tentang kebutuhan edukasi pasien serta
keluarganya akan membantu rumah sakit untuk memilih edukator dan metode edukasi
yang sesuai dengan nilai dan preferensi dari pasien dan keluarganya, serta
mengidentifikasi peran pasien/keluarga.
Dalam proses edukasi pasien dan keluarga didorong untuk
bertanya/berdiskusi agar dapat berpartisipasi dalam proses asuhan. Materi
edukasi yang diberikan harus selalu diperbaharui dan dapat dipahami oleh pasien
dan keluarga. Pasien dan keluarga diberi kesempatan untuk berinteraksi aktif
sehingga mereka dapat memberikan umpan balik untuk memastikan bahwa informasi
dimengerti dan bermanfaat untuk diterapkan. Edukasi lisan dapat diperkuat
dengan materi tertulis agar pemahaman pasien meningkat dan sebagai referensi
untuk bahan edukasi selanjutnya.
Rumah sakit harus menyediakan penerjemah sesuai dengan
kebutuhan pasien dan keluarga. Bila di rumah sakit tidak ada petugas penerjemah
maka dapat dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga diluar rumah sakit.
12) Elemen Penilaian KE 5
a)
Rumah sakit memiliki proses untuk memastikan bahwa
pasien dan keluarganya memahami edukasi yang diberikan.
b) Proses
pemberian edukasi di dokumentasikan dalam rekam medik sesuai dengan metode
edukasi yang dapat diterima pasien dan keluarganya.
c)
Materi edukasi untuk pasien dan keluarga selalu
tersedia dan diperbaharui secara berkala.
d) Informasi
dan edukasi disampaikan kepada pasien dan keluarga dengan menggunakan format
yang praktis dan dengan bahasa yang dipahami pasien dan keluarga.
e)
Rumah sakit menyediakan penerjemah (bahasa dan
bahasa isyarat) sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga.
13) Standar KE 6
Dalam menunjang keberhasilan asuhan yang
berkesinambungan, upaya promosi kesehatan harus dilakukan berkelanjutan.
14) Maksud dan Tujuan KE 6
Setelah mendapatkan pelayanan di rumah sakit, pasien
terkadang membutuhkan pelayanan kesehatan berkelanjutan. Untuk itu rumah sakit
perlu mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat memberikan edukasi dan
pelatihan yang tersedia di komunitas, khususnya organisasi dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memberikan dukungan promosi kesehatan serta pencegahan
penyakit.
Fasilitas pelayanan Kesehatan tersebut mencakup
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini dilakukan agar tercapai
hasil asuhan yang optimal setelah meninggalkan rumah sakit.
15) Elemen penilaian KE 6
a)
Rumah sakit mengidentifikasi sumber-sumber yang ada
di komunitas untuk mendukung promosi kesehatan berkelanjutan dan edukasi untuk
menunjang asuhan pasien yang berkelanjutan.
b) Rumah
sakit telah memiliki jejaring di komunitas untuk mendukung asuhan pasien
berkelanjutan.
c)
Memiliki bukti telah disampaikan kepada pasien
dan keluarga tentang edukasi lanjutan dikomunitas. Rujukan edukasi tersebut
dilaksanakan oleh jejaring utama yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
d) Terdapat
bukti edukasi berkelanjutan tersebut diberikan kepada pasien sesuai dengan
kebutuhan.
16) Standar KE 7
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) mampu memberikan
edukasi secara efektif.
17) Maksud dan Tujuan KE 7
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang memberi asuhan
memahami kontribusinya masing-masing dalam pemberian edukasi pasien. Informasi
yang diterima pasien dan keluarga harus komprehensif, konsisten, dan efektif.
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) diberikan pelatihan sehingga terampil
melaksanakan komunikasi efektif.
18) Elemen penilaian KE 7
a)
Profesional Pemberi Asuhan (PPA) telah diberikan
pelatihan dan terampil melaksanakan komunikasi efektif.
b) PPA
telah memberikan edukasi yang efektif kepada pasien dan keluarga secara
kolaboratif.
C. Kelompok
Sasaran Keselamatan Pasien
Gambaran Umum
Sasaran Keselamatan Pasien wajib diterapkan di rumah
sakit untuk mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien serta meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan standar WHO Patient Safety (2007) yang
digunakan juga oleh pemerintah. Tujuan SKP adalah untuk mendorong rumah sakit
melakukan perbaikan-perbaikan yang menunjang tercapainya keselamatan pasien.
Sasaran sasaran dalam SKP menyoroti bidang-bidang yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan, memberikan bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan
nasihat para pakar serta penelitian berbasis bukti.
Di Indonesia secara nasional untuk seluruh Fasilitas
pelayanan Kesehatan, diberlakukan Sasaran Keselamatan Pasien Nasional yang
terdiri dari:
1. Sasaran
1 mengidentifikasi pasien dengan benar;
2. Sasaran
2 meningkatkan komunikasi yang efektif;
3. Sasaran
3 meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai;
4. Sasaran
4 memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar pada
pembedahan/tindakan invasif;
5. Sasaran
5 mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; dan
6. Sasaran
6 mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh.
1. Mengidentifikasi Pasien dengan Benar
a. Standar SKP 1
Rumah sakit menerapkan proses untuk menjamin
ketepatan identifikasi pasien
b. Maksud dan Tujuan SKP 1
Kesalahan mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
semua aspek pelayanan baik diagnosis, proses pengobatan serta tindakan.
Misalnya saat keadaan pasien masih dibius, mengalami disorientasi atau belum
sepenuhnya sadar; adanya kemungkinan pindah tempat tidur, pindah kamar, atau
pindah lokasi di dalam rumah sakit; atau apabila pasien memiliki cacat indra
atau rentan terhadap situasi berbeda.
Adapun
tujuan dari identifikasi pasien secara benar ini adalah:
1) mengidentifikasi
pasien sebagai individu yang akan diberi layanan, tindakan atau pengobatan
tertentu secara tepat.
2) mencocokkan
layanan atau perawatan yang akan diberikan dengan pasien yang akan menerima
layanan.
Identifikasi pasien dilakukan setidaknya menggunakan
minimal 2 (dua) identitas yaitu nama lengkap dan tanggal lahir/bar code, dan tidak termasuk nomor kamar
atau lokasi pasien agar tepat pasien dan tepat pelayanan sesuai dengan regulasi
rumah sakit. Pasien diidentifikasi
menggunakan minimal dua jenis identitas pada saat:
1) melakukan
tindakan intervensi/terapi (misalnya pemberian obat, pemberian darah atau
produk darah, melakukan terapi radiasi);
2) melakukan
tindakan (misalnya memasang jalur intravena atau hemodialisis);
3) sebelum
tindakan diagnostik apa pun (misalnya mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan laboratorium penunjang, atau sebelum melakukan kateterisasi jantung
ataupun tindakan radiologi diagnostik); dan 4) menyajikan makanan pasien.
Rumah sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan
tepat pada situasi khusus, seperti pada pasien koma atau pada bayi baru lahir
yang tidak segera diberi nama serta identifikasi pasien pada saat terjadi
darurat bencana.
Penggunaan dua identitas juga digunakan dalam
pelabelan. misalnya, sampel darah dan sampel patologi, nampan makanan pasien,
label ASI yang disimpan untuk bayi yang dirawat di rumah sakit.
c. Elemen Penilaian SKP 1
1) Rumah
sakit telah menetapkan regulasi terkait Sasaran keselamatan pasien meliputi
poin 1 – 6 pada gambaran umum.
2) Rumah
sakit telah menerapkan proses identifikasi pasien menggunakan minimal 2 (dua)
identitas, dapat memenuhi tujuan identifikasi pasien dan sesuai dengan
ketentuan rumah sakit.
3) Pasien
telah diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas meliputi poin 1) - 4) dalam maksud dan
tujuan.
4) Rumah
sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan tepat pada situasi khusus, dan
penggunaan label seperti tercantum dalam maksud dan tujuan.
2. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif
a. Standar SKP 2
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi lisan dan/atau telepon di antara para profesional
pemberi asuhan (PPA), proses pelaporan hasil kritis pada pemeriksaan
diagnostic termasuk POCT dan proses komunikasi saat serah terima (hand over) .
b. Maksud dan Tujuan SKP 2
Komunikasi efektif
adalah komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami
oleh resipien/penerima pesan akan
mengurangi potensi terjadinya kesalahan serta meningkatkan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat dilakukan secara lisan,
tertulis dan elektronik.
Komunikasi yang paling banyak memiliki potensi
terjadinya kesalahan adalah pemberian instruksi secara lisan atau melalui
telpon, pelaporan hasil kritis dan saat
serah terima.. Latar belakang suara, gangguan,
nama obat yang mirip dan istilah yang tidak umum sering kali menjadi
masalah.
Metode, formulir dan alat bantu ditetapkan sesuai
dengan jenis komunikasi agar dapat dilakukan secara konsisten dan lengkap.
1) Metode
komunikasi saat menerima instruksi melalui telpon adalah: “menulis/menginput ke
komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation) kepada pemberi instruksi
misalnya kepada DPJP. Konfirmasi harus
dilakukan saat itu juga melalui telpon untuk menanyakan apakah “yang dibacakan”
sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sedangkan metode komunikasi saat
melaporkan kondisi pasien kepada DPJP dapat menggunakan metode misalnya Situation -background - assessment -
recommendation (SBAR).
2) Metode
komunikasi saat melaporkan
nilai kritis
pemeriksaan
diagnostik melalui telpon juga dapat
dengan:
“menulis/menginput ke komputer - membacakan -
konfirmasi kembali” (writedown, read back).
Hasil kritis didefinisikan sebagai varian dari rentang normal yang menunjukkan
adanya kondisi patofisiologis yang berisiko tinggi atau mengancam nyawa, yang
dianggap gawat atau darurat, dan mungkin memerlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Hasil kritis
dapat dijumpai pada pemeriksaan pasien rawat jalan maupun rawat inap. Rumah
sakit menentukan mekanisme pelaporan hasil kritis di rawat jalan dan rawat
inap. Pemeriksaan diagnostik mencakup semua pemeriksaan seperti laboratorium,
pencitraan/radiologi, diagnostik jantung juga
pada hasil pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (pointof-care testing (POCT). Pada pasien
rawat inap pelaporan hasil kritis dapat dilaporkan melalui perawat yang akan
meneruskan laporan kepada DPJP yang meminta pemeriksaan. Rentang waktu
pelaporan hasil kritis ditentukan kurang dari 30 menit sejak hasil di
verifikasi oleh PPA yang berwenang di unit pemeriksaan penunjang diagnostik.
3) Metode
komunikasi saat serah terima distandardisasi pada jenis serah terima yang sama
misalnya serah terima antar ruangan di rawat inap. Untuk jenis serah terima
yang berbeda maka dapat menggunakan metode, formulir dan alat yang berbeda.
Misalnya serah terima dari IGD ke ruang rawat inap dapat berbeda dengan serah
terima dari kamar operasi ke unit intensif;
Jenis serah terima (handover) di dalam rumah sakit dapat mencakup:
1) antara
PPA (misalnya, antar dokter, dari dokter ke perawat, antar perawat, dan seterusnya);
2) antara
unit perawatan yang berbeda di dalam rumah sakit (misalnya saat pasien
dipindahkan dari ruang perawatan intensif ke ruang perawatan atau dari
instalasi gawat darurat ke ruang operasi); dan
3) dari
ruang perawatan pasien ke unit layanan diagnostik seperti radiologi atau
fisioterapi.
Formulir serah terima antara PPA, tidak perlu
dimasukkan ke dalam rekam medis. Namun
demikian, rumah sakit harus memastikan bahwa proses serah terima telah
dilakukan. misalnya PPA mencatat serah terima telah dilakukan dan kepada siapa
tanggung jawab pelayanan diserahterimakan, kemudian dapat dibubuhkan tanda
tangan, tanggal dan waktu pencatatan).
c. Elemen Penilaian SKP 2
1) Rumah
sakit telah menerapkan komunikasi saat menerima instruksi melalui telepon:
menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan
SBAR saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP serta di dokumentasikan dalam
rekam medik.
2) Rumah
sakit telah menerapkan komunikasi saat pelaporan hasil kritis pemeriksaan
penunjang diagnostic melalui telepon: menulis/menginput ke komputer –
membacakan – konfirmasi kembali” (writedown,
read back, confirmation dan di dokumentasikan dalam rekam medik.
3) Rumah
sakit telah menerapkan komunikasi saat serah terima sesuai dengan jenis serah
terima meliputi poin 1) - 3) dalam maksud dan tujuan.
3. Meningkatkan Keamanan Obat-Obatan yang Harus Diwaspadai
a. Standar SKP 3
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan
keamanan penggunaan obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert medication) termasuk obat Look - Alike Sound Alike (LASA).
b. Standar SKP 3.1
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan
keamanan penggunaan elektrolit konsentrat
c. Maksud dan Tujuan SKP 3 dan SKP 3.1
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications)
adalah obat-obatan yang memiliki risiko menyebabkan
cedera serius pada pasien jika digunakan dengan tidak tepat.
Obat high alert mencakup:
1) Obat
risiko tinggi, yaitu obat dengan zat aktif yang dapat menimbulkan kematian atau
kecacatan bila terjadi kesalahan (error)
dalam penggunaannya (contoh: insulin, heparin atau sitostatika).
2) Obat
yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA)
3) Elektrolit
konsentrat contoh: kalium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 1
mEq/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat
injeksi dengan konsentrasi sama atau lebih dari 50% Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan
strategi untuk mengurangi risiko dan cedera akibat kesalahan penggunaan obat high alert, antara lain: penataan
penyimpanan, pelabelan yang jelas, penerapan double checking, pembatasan akses, penerapan panduan penggunaan
obat high alert.
Rumah sakit perlu membuat daftar obat-obatan berisiko
tinggi berdasarkan pola penggunaan obat-obatan yang berisiko dari data
internalnya sendiri tentang laporan inisiden keselamatan pasien. Daftar ini
sebaiknya diperbarui setiap tahun. Daftar ini dapat diperbarui secara sementara
jika ada penambahan atau perubahan pada layanan rumah sakit.
Obat dengan nama dan rupa yang mirip (look-alike/sound-alike, LASA) adalah obat yang memiliki tampilan dan nama yang
serupa dengan obat lain, baik saat ditulis maupun diucapkan secara lisan. Obat
dengan kemasan serupa (look-alike
packaging) adalah obat dengan wadah atau kemasan yang mirip dengan obat
lainnya. Obat-obatan yang berisiko terjadinya kesalahan terkait LASA, atau obat
dengan kemasan produk yang serupa, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan
pengobatan yang berpotensi cedera. Terdapat banyak nama obat yang terdengar
serupa dengan nama obat lainnya, sebagai contoh, dopamin dan dobutamin
Hal lain yang sering dimasukkan dalam isu keamanan
obat adalah kesalahan dalam pemberian elektrolit konsentrat yang tidak
disengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 1 mEq/ml atau yang
lebih pekat), kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3
mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%], dan magnesium sulfat
[sama dengan 50% atau lebih pekat]. Kesalahan ini dapat terjadi apabila staf
tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat
kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien,
atau pada keadaan gawat darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan menerapkan proses
pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk penyimpanan elektrolit
konsentrat di unit farmasi di rumah sakit.
Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi
Farmasi diperbolehkan hanya dalam situasi klinis yang berisiko dan harus
memenuhi persyaratan yaitu staf yang dapat mengakes dan memberikan elektrolit
konsentrat adalah staf yang kompeten dan terlatih, disimpan terpisah dari obat
lain, diberikan pelabelan secara jelas, lengkap dengan peringatan kewaspadaan.
d. Elemen Penilaian SKP 3
1) Rumah
sakit menetapkan daftar obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk obat Look
-Alike Sound Alike (LASA).
2) Rumah
sakit menerapkan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk obat Look
-Alike Sound Alike (LASA) secara seragam di seluruh area rumah sakit untuk
mengurangi risiko dan cedera
3) Rumah
sakit mengevaluasi dan memperbaharui daftar obat High-Alert dan obat Look
-Alike Sound Alike (LASA) yang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali
berdasarkan laporan insiden lokal, nasional dan internasional.
e. Elemen Penilaian SKP 3.1
1) Rumah
sakit menerapkan proses penyimpanan elektrolit konsentrat tertentu hanya di
Instalasi Farmasi, kecuali di unit pelayanan dengan pertimbangan klinis untuk
mengurangi risiko dan cedera pada penggunaan elektrolit konsentrat.
2) Penyimpanan
elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya dalam untuk
situasi yang ditentukan sesuai dalam maksud dan tujuan.
3) Rumah
sakit menetapkan dan menerapkan protokol koreksi hipokalemia, hiponatremia,
hipofosfatemia.
4. Memastikan
Sisi yang Benar, Prosedur yang Benar, Pasien yang Benar Pada
Pembedahan/Tindakan Invasif
a. Standar SKP 4
Rumah sakit menetapkan proses untuk melaksanakan
verifikasi pra opearsi, penandaan lokasi operasi dan proses time-out yang dilaksanakan sesaat
sebelum tindakan pembedahan/invasif dimulai
serta proses sign-out yang
dilakukan setelah tindakan selesai.
b. Maksud dan Tujuan SKP 4
Salah-sisi, salah-prosedur, salah-pasien operasi,
adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini terjadi akibat adanya komunikasi yang tidak efektif atau tidak
adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya keterlibatan pasien di dalam
penandaan lokasi (site marking),
serta tidak adanya prosedur untuk memverifikasi sisi operasi. Rumah sakit
memerlukan upaya kolaboratif untuk mengembangkan proses dalam mengeliminasi masalah ini.
Tindakan operasi dan invasif meliputi semua tindakan
yang melibatkan insisi atau pungsi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada,
operasi terbuka, aspirasi perkutan, injeksi obat tertentu, biopsi, tindakan
intervensi atau diagnostik vaskuler dan kardiak perkutan, laparoskopi, dan
endoskopi. Rumah sakit perlu mengidentifikasi semua area di rumah sakit mana operasi dan tindakan invasif
dilakukan
Protokol umum (universal
protocol) untuk pencegahan salah sisi, salah prosedur dan salah pasien
pembedahan meliputi:
1) Proses
verifikasi sebelum operasi.
2) Penandaan
sisi operasi.
3) Time-out dilakukan sesaat sebelum
memulai tindakan.
c. Proses Verifikasi Praoperasi
Verifikasi praoperasi merupakan proses pengumpulan
informasi dan konfirmasi secara terus-menerus. Tujuan dari proses verifikasi
praoperasi adalah:
1) melakukan
verifikasi terhadap sisi yang benar, prosedur yang benar dan pasien yang
benar;
2) memastikan
bahwa semua dokumen, foto hasil radiologi atau pencitraan, dan pemeriksaan yang
terkait operasi telah tersedia, sudah diberi label dan di siapkan;
3) melakukan
verifikasi bahwa produk darah, peralatan medis khusus dan/atau implan yang
diperlukan sudah tersedia.
Di dalam proses verifikasi praoperasi terdapat
beberapa elemen yang dapat dilengkapi sebelum pasien tiba di area praoperasi.
seperti memastikan bahwa dokumen, foto hasil radiologi, dan hasil pemeriksaan
sudah tersedia, di beri label dan sesuai dengan penanda identitas pasien.
Menunggu sampai pada saat proses time-out untuk melengkapi proses verifikasi praoperasi dapat
menyebabkan penundaan yang tidak perlu. Beberapa proses verifikasi praoperasi
dapat dilakukan lebih dari sekali dan tidak hanya di satu tempat saja. Misalnya
persetujuan tindakan bedah dapat diambil di ruang periksa dokter spesialis
bedah dan verifikasi kelengkapannya dapat dilakukan di area tunggu praoperasi.
d. Penandaan Lokasi
Penandaan sisi operasi dilakukan dengan melibatkan
pasien serta dengan tanda yang tidak memiliki arti ganda serta segera dapat
dikenali. Tanda tersebut harus digunakan secara konsisten di dalam rumah sakit;
dan harus dibuat oleh PPA yang akan melakukan tindakan; harus dibuat saat
pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien
disiapkan. Penandaan sisi operasi hanya ditandai pada semua kasus yang memiliki
dua sisi kiri dan kanan (lateralisasi), struktur multipel (jari tangan, jari
kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang).
Penandaan lokasi operasi harus melibatkan pasien dan
dilakukan dengan tanda yang langsung dapat dikenali dan tidak bermakna ganda.
Tanda “X” tidak digunakan sebagai penanda karena dapat diartikan sebagai “bukan
di sini” atau “salah sisi” serta dapat berpotensi menyebabkan kesalahan dalam
penandaan lokasi operasi. Tanda yang dibuat harus seragam dan konsisten
digunakan di rumah sakit. Dalam semua
kasus yang melibatkan lateralitas, struktur ganda (jari tangan, jari kaki,
lesi), atau tingkatan berlapis (tulang belakang), lokasi operasi harus
ditandai.
Penandaan lokasi tindakan operasi/invasif dilakukan
oleh PPA yang akan melakukan tindakan tersebut. PPA tersebut akan melakukan
seluruh prosedur operasi/invasif dan tetap berada dengan pasien selama tindakan
berlangsung. Pada tindakan operasi, DPJP bedah pada umumnya yang akan melakukan operasi dan kemudian
melakukan penandaan lokasi.. Untuk tindakan invasif non-operasi, penandaan
dapat dilakukan oleh dokter yang akan melakukan tindakan, dan dapat dilakukan
di area di luar area kamar operasi.
Terdapat situasi di mana peserta didik (trainee) dapat melakukan
penandaan lokasi, misalnya ketika peserta didik akan melakukan keseluruhan
tindakan, tidak memerlukan supervisi atau memerlukan supervisi minimal dari
operator/dokter penanggung jawab. Pada situasi tersebut, peserta didik dapat
menandai lokasi operasi. Ketika seorang peserta didik menjadi asisten dari
operator/dokter penanggung jawab, hanya operator/dokter penanggung jawab yang
dapat melakukan penandaan lokasi. Penandaan lokasi dapat terjadi kapan saja
sebelum tindakan operasi/invasif selama pasien terlibat secara aktif dalam
proses penandaan lokasi jika memungkinkan dan tanda tersebut harus tetap dapat
terlihat walaupun setelah pasien dipersiapkan dan telah ditutup kain. Contoh
keadaan di mana partisipasi pasien tidak memungkinkan meliputi : kasus di mana
pasien tidak kompeten untuk membuat keputusan perawatan, pasien anak, dan
pasien yang memerlukan operasi darurat.
e. Time-Out
Time-out dilakukan sesaat sebelum tindakan dimulai
dan dihadiri semua anggota tim yang akan melaksanakan tindakan operasi. Selama
time-out, tim menyetujui komponen sebagai berikut:
1) Benar
identitas pasien.
2) Benar
prosedur yang akan dilakukan.
3) Benar
sisi operasi/tindakan invasif.
Time-out dilakukan di tempat di mana tindakan akan
dilakukan dan melibatkan secara aktif
seluruh tim bedah. Pasien tidak berpartisipasi dalam time-out. Keseluruhan
proses time-out didokumentasikan dan meliputi tanggal serta jam time-out
selesai. Rumah sakit menentukan bagaimana proses time-out didokumentasikan.
f. Sign-Out
Sign out yang dilakukan di area tempat tindakan
berlangsung sebelum pasien meninggalkan ruangan. Pada umumnya, perawat sebagai
anggota tim melakukan konfirmasi secara lisan untuk komponen sign-out sebagai
berikut:
1) Nama
tindakan operasi/invasif yang dicatat/ditulis.
2) Kelengkapan
perhitungan instrumen, kasa dan jarum (bila ada).
3) Pelabelan
spesimen (ketika terdapat spesimen selama proses sign-out, label dibacakan
dengan jelas, meliputi nama pasien, tanggal lahir).
4) Masalah
peralatan yang perlu ditangani (bila ada).
Rumah sakit dapat menggunakan Daftar tilik
keselamatan operasi (Surgical Safety
Checklist dari WHO terkini)
g. Elemen Penilaian SKP 4
1) Rumah
sakit telah melaksanakan proses verifikasi pra operasi dengan daftar tilik
untuk memastikan benar pasien, benar tindakan dan benar sisi.
2) Rumah
sakit telah menetapkan dan menerapkan tanda yang seragam, mudah dikenali dan
tidak bermakna ganda untuk mengidentifikasi sisi operasi atau tindakan invasif.
3) Rumah
sakit telah menerapkan penandaan sisi operasi atau tindakan invasif (site marking) dilakukan oleh dokter
operator/dokter asisten yang melakukan operasi atau tindakan invasif dengan
melibatkan pasien bila memungkinkan.
4) Rumah
sakit telah menerapkan proses Time-Out menggunakan
“surgical check list” (Surgical Safety
Checklist
dari WHO terkini pada tindakan operasi termasuk
tindakan medis invasif.
5. Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan
Kesehatan
a. Standar SKP 5
Rumah sakit menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk menurunkan risiko
infeksi terkait layanan kesehatan.
b. Maksud dan Tujuan SKP 5
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan
tantangan praktisi dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya
untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan
hal yang sangat membebani pasien serta profesional pemberi asuhan (PPA) pada
pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan
kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah
(blood stream infections) dan
pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Kegiatan utama
dari upaya eliminasi infeksi ini maupun infeksi lainnya adalah dengan melakukan
tindakan cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene yang
berlaku secara internasional dapat diperoleh di situs web WHO. Rumah sakit harus
memiliki proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur
yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara luas untuk implementasinya di rumah
sakit.
c. Elemen Penilaian SKP 5
1) Rumah
sakit telah menerapkan kebersihan tangan (hand
hygiene) yang mengacu pada standar WHO terkini.
2) Terdapat
proses evaluasi terhadap pelaksanaan program kebersihan tangan di rumah sakit
serta upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan program.
6. Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat
Jatuh
a. Standar SKP 6
Rumah sakit menerapkan proses untuk mengurangi risiko
cedera pasien akibat jatuh di rawat jalan.
b. Standar SKP 6.1
Rumah sakit
menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera pasien
akibat jatuh di rawat inap.
c. Maksud dan Tujuan SKP 6 dan 6.1
Risiko jatuh pada pasien rawat jalan berhubungan
dengan kondisi pasien, situasi, dan/atau lokasi di rumah sakit. Di unit rawat
jalan, dilakukan skrining risiko jatuh pada pasien dengan kondisi, diagnosis,
situasi, dan/atau lokasi yang menyebabkan risiko jatuh. Jika hasil skrining
pasien berisiko jatuh, maka harus dilakukan intervensi untuk mengurangi risiko
jatuh pasien tersebut. Skrining risiko jatuh di rawat jalan meliputi:
1) kondisi
pasien misalnya pasien geriatri, dizziness, vertigo, gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, penggunaan obat, sedasi, status kesadaran dan atau
kejiwaan, konsumsi alkohol.
2) diagnosis,
misalnya pasien dengan diagnosis penyakit Parkinson.
3) situasi
misalnya pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan riwayat tirah
baring/perawatan yang lama yang akan dipindahkan untuk pemeriksaan penunjang
dari ambulans, perubahan posisi akan meningkatkan risiko jatuh.
4) lokasi
misalnya area-area yang berisiko pasien jatuh, yaitu tangga, area yang
penerangannya kurang atau mempunyai unit pelayanan dengan peralatan parallel bars, freestanding staircases seperti unit rehabilitasi medis. Ketika
suatu lokasi tertentu diidentifikasi sebagai area risiko tinggi yang lebih
rumah sakit dapat menentukan bahwa semua pasien yang mengunjungi lokasi
tersebut akan dianggap berisiko jatuh dan menerapkan langkah-langkah untuk
mengurangi risiko jatuh yang berlaku untuk semua pasien.
Skrining umumnya berupa evaluasi sederhana meliputi
pertanyaan dengan jawaban sederhana: ya/tidak, atau metode lain meliputi
pemberian nilai/skor untuk setiap respons pasien. Rumah sakit dapat menentukan
bagaimana proses skrining dilakukan. Misalnya skrining dapat dilakukan oleh
petugas registrasi, atau pasien dapat melakukan skrining secara mandiri,
seperti di anjungan mandiri untuk skrining di unit rawat jalan.
Contoh pertanyaan skrining sederhana
dapat meliputi:
1) Apakah
Anda merasa tidak stabil ketika berdiri atau berjalan?;
2) Apakah
Anda khawatir akan jatuh?;
3) Apakah
Anda pernah jatuh dalam setahun terakhir?
Rumah sakit dapat menentukan pasien rawat jalan mana
yang akan dilakukan skrining risiko jatuh. Misalnya, semua pasien di unit
rehabilitasi medis, semua pasien dalam perawatan lama/tirah baring lama datang
dengan ambulans untuk pemeriksaan rawat jalan, pasien yang dijadwalkan untuk
operasi rawat jalan dengan tindakan anestesi atau sedasi, pasien dengan
gangguan keseimbangan, pasien dengan gangguan penglihatan, pasien anak di bawah
usia 2 (dua) tahun, dan seterusnya.
Untuk semua pasien rawat inap baik dewasa maupun anak
harus dilakukan pengkajian risiko jatuh menggunakan metode pengkajian yang baku
sesuai ketentuan rumah sakit. Kriteria risiko jatuh dan intervensi yang
dilakukan harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien. Pasien yang
sebelumnya risiko rendah jatuh dapat meningkat risikonya secara mendadak
menjadi risiko tinggi jatuh. Perubahan risiko ini dapat diakibatkan, namun tidak
terbatas pada tindakan pembedahan dan/atau anestesi, perubahan mendadak pada
kondisi pasien, dan penyesuaian obat-obatan yang diberikan sehingga pasien
memerlukan pengkajian ulang jatuh selama dirawat inap dan paska pembedahan.
d. Elemen Penilaian SKP 6
1) Rumah
sakit telah melaksanakan skrining pasien rawat jalan pada kondisi, diagnosis,
situasi atau lokasi yang dapat menyebabkan pasien berisiko jatuh, dengan
menggunakan alat bantu/metode skrining yang ditetapkan rumah sakit
2) Tindakan
dan/atau intervensi dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien jika
hasil skrining menunjukkan adanya risiko jatuh dan hasil skrining serta
intervensi didokumentasikan.
e. Elemen Penilaian SKP 6.1
1) Rumah
sakit telah melakukan pengkajian risiko jatuh untuk semua pasien rawat inap
baik dewasa maupun anak menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai dengan
ketentuan rumah sakit.
2) Rumah
sakit telah melaksanakan pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien rawat inap
karena adanya perubahan kondisi, atau memang sudah mempunyai risiko jatuh dari
hasil pengkajian.
3) Tindakan
dan/atau intervensi untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien rawat inap telah
dilakukan dan didokumentasikan.
D. Program Nasional Gambaran Umum
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) bidang kesehatan telah ditentukan prioritas pelayanan kesehatan dengan
target yang harus dicapai. Salah satu fungsi rumah sakit adalah melaksanakan
program pemerintah dan mendukung tercapainya target target pembangunan
nasional. Pada standar akreditasi ini Program Nasional (Prognas) meliputi:
1. Peningkatnan
kesehatan ibu dan bayi.
2. Penurunan
angka kesakitan Tuberkulosis/TBC.
3. Penurunan
angka kesakitan HIV/AIDS.
4. Penurunan
prevalensi stunting dan wasting.
5. Pelayanan
Keluarga Berencana Rumah Sakit.
Pelaksanaan program nasional oleh rumah sakit
diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pencapaian target RPJMN bidang
kesehatan sehingga upaya mingkatkan derajat kesehatan masyarakat meningkat
segera terwujud.
1. Peningkatan Kesehatan Ibu dan Bayi
a. Standar Prognas 1
Rumah sakit melaksanakan program
PONEK 24 jam dan 7
(tujuh) hari seminggu.
b. Maksud dan Tujuan Prognas 1
Rumah sakit melaksanakan program
PONEK sesuai dengan
pedoman PONEK yang berlaku dengan langkah langkah
sebagai berikut:
1) Melaksanakan
dan menerapkan standar pelayanan perlindungan ibu dan bayi secara terpadu.
2) Mengembangkan
kebijakan dan standar pelayanan ibu dan bayi.
3) Meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi.
4) Meningkatkan
kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan fungsi pelayanan obstetric dan neonates
termasuk pelayanan kegawatdaruratan (PONEK 24 jam).
5) Meningkatkan
fungsi rumah sakit sebagai model dan Pembina teknis dalam pelaksanaan IMD dan
ASI Eksklusif serta Perawatan Metode Kanguru (PMK) pada BBLR
6) Meningkatkan
fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan ibu dan bayi bagi
sarana pelayanan kesehatan lainnya.
7) Melaksanakan
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program RSSIB 10 langkah menyusui dan
peningkatan kesehatan ibu
8) Melakukan
pemantauan dan analisis yang meliputi:
a) Angka
keterlambatan operasi section caesaria
b) Angka
kematian ibu dan anak
c) Kejadian
tidak dilakukannya inisiasi menyusui dini
(IMD) pada bayi baru lahir
c. Elemen Penilaian Prognas 1
1) Rumah
sakit menetapkan regulasi tentang pelaksanaan PONEK 24 jam.
2) Terdapat
Tim PONEK yang ditetapkan oleh rumah sakit dengan rincian tugas dan
tanggungjawabnya.
3) Terdapat
program kerja yang menjadi acuan dalam pelaksanaan program PONEK Rumah Sakit
sesuai maksud dan tujuan.
4) Terdapat
bukti pelaksanaan program PONEK Rumah Sakit.
5) Program
PONEK Rumah Sakit dipantau dan dievaluasi secara rutin.
d. Standar Prognas 1.1
Untuk meningkatkan efektifitas
sistem rujukan maka Rumah
sakit melakukan pembinaan kepada jejaring fasilitas
Kesehatan rujukan yang ada.
e. Maksud dan Tujuan Prognas 1.1
Salah satu tugas dari rumah sakit dengan kemampuan
PONEK adalah melakukan pembinaan kepada jejaring rujukan seperti Puskesmas,
Klinik bersalin, praktek perseorangan dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. Pembinaan jejaring rujukan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan
kepada fasilitas kesehatan jejaring, berbagi pengalaman dalam pelayanan ibu dan
anak serta peningkatanan kompetensi jejaring rujukan secara berkala. Rumah
sakit memetakan jejaring rujukan yang ada dan membuat program pembinaan setiap
tahun.
f.
Elemen
Penilaian Standar Prognas 1.1
1) Rumah
sakit menetapkan program pembinaan jejaring rujukan rumah sakit.
2) Rumah
sakit melakukan pembinaan terhadap jejaring secara berkala.
3) Telah
dilakukan evaluasi program pembinaan jejaring rujukan.
2. Penurunan Angka Kesakitan Tuberkulosis/TBC
a. Standar Prognas 2
Rumah sakit melaksanakan program
penanggulangan tuberkulosis.
b. Maksud dan Tujuan Prognas 2
Pemerintah mengeluarkan kebijakan penanggulangan
tuberkulosis berupa upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif,
preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan
untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecatatan
atau kematian, memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkan akibat tuberkulosis.
Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan
tubekulosis melakukan kegiatan yang meliputi:
1) Promosi
kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan, penobatan, pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran yaitu pasien
dan keluarga, pengunjung serta staf rumah sakit.
2) Surveilans
tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data epidemiologi yang diperlukan
dalam sistem informasi program penanggulangan tuberkulosis, seperti pencatatan
dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat, pencatatan dan pelaporan tuberkulosis
resistensi obat.
3) Pengendalian
faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan
kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman
pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit pengendalian faktor
risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan
kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian
pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit.
4) Penemuan
dan penanganan kasus tuberkulosis.
Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui
pasien yang datang kerumah sakit, setelah pemeriksaan, penegakan diagnosis,
penetapan klarifikasi dan tipe pasien tuberkulosis. Sedangkan untuk penanganan
kasus dilaksanakan sesuai tata laksana pada pedoman nasional pelayanan
kedokteran tuberkulosis dan standar lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5) Pemberian
kekebalan
Pemberian kekebalan dilakukan melalui pemberian
imunisasi BCG terhadap bayi dalam upaya penurunan risiko tingkat pemahaman
tuberkulosis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6) Pemberian
obat pencegahan.
Pemberian obat pencegahan selama 6 (enam) bulan
yang ditujukan pada anak usia dibawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan
pasien tuberkulosis aktif; orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak
terdiagnosis tuberkulosis; populasi tertentu lainnya sesuai peraturan
perundangundangan.
Untuk menjalankan kegiatan tersebut maka rumah sakit
dapat membentuk tim/panitia pelaksana program TB Paru Rumah
Sakit.
c. Elemen Penilaian Prognas 2
1) Rumah
sakit menerapkan regulasi tentang pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di
rumah sakit.
2) Direktur
menetapkan tim TB Paru Rumah sakit beserta program kerjanya.
3) Ada
bukti pelaksanaan promosi kesehatan, surveilans dan upaya pencegahan tuberkulosis
4) Tersedianya
laporan pelaksanaan promosi Kesehatan.
d. Standar Prognas 2.1
Rumah sakit menyediakan sarana dan prasarana
pelayanan tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan.
e. Maksud dan Tujuan Prognas 2.1
Dalam melaksanakan pelayanan kepada penderita TB Paru
dan program TB Paru di rumah sakit, maka harus tersedia sarana dan prasarana
yang memenuhi syarat pelayanan TB Paru sesuai dengan Pedoman Pelayanan TB Paru.
f.
Elemen
Penilaian Prognas 2.1
1) Tersedia
ruang pelayanan rawat jalan yang memenuhi pedoman pencegahan dan pengendalian
infeksi tuberkulosis.
2) Bila
rumah sakit memberikan pelayanan rawat inap bagi pasien tuberkulosis paru
dewasa maka rumah sakit harus memiliki ruang rawat inap yang memenuhi pedoman
pencegahan danpengendalian infeksi tuberkulosis.
3) Tersedia
ruang pengambilan spesimen sputum yang memenuhi pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi tuberkulosis.
g. Standar Prognas 2.2
Rumah sakit telah melaksanakan pelayanan tuberkulosis
dan upaya pengendalian faktor risiko tuberkulosis sesuai peraturan
perundang-undangan.
h. Elemen Penilaian Prognas 2.2
1) Rumah
sakit telah menerapkan kepatuhan staf medis terhadap panduan praktik klinis
tuberkulosis.
2) Rumah
sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan Obat Anti Tuberkulosis.
3) Rumah
sakit melaksanakan pelayanan TB MDR (bagi rumah sakit rujukan TB MDR).
4) Rumah
sakit melaksanakan pencatatan dan pelaporan kasus TB Paru sesuai
ketentuan.
3. Penurunan Angka Kesakitan HIV/AIDS
a. Standar Prognas 3
Rumah sakit melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Maksud dan Tujuan Prognas 3
Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan
HIV/AIDS sesuai standar pelayanan bagi rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan
satelitnya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Meningkatkan
fungsi pelayanan Voluntary Counseling and
Testing (VCT).
2) Meningkatkan
fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy
(ART) atau bekerja sama dengan rumah sakit yang ditunjuk.
3) Meningkatkan
fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO).
4) Meningkatkan
fungsi pelayanan pada ODHA dengan factor risiko Injection Drug Use (IDU).
5) Meningkatkan
fungsi pelayanan penunjang yang meliputi pelayanan gizi, laboratorium dan
radiologi, pencatatan dan pelaporan.
c. Elemen Penilaian Prognas 3
1) Rumah
sakit telah melaksanakan kebijakan program penanggulangan HIV/AIDS sesuai
ketentuan perundangan.
2) Rumah
sakit telah menerapkan fungsi rujukan HIV/AIDS pada rumah sakit sesuai dengan
kebijakan yang berlaku.
3) Rumah
sakit melaksanakan pelayanan PITC dan PMTC.
4) Rumah
sakit memberikan pelayanan ODHA dengan faktor risiko IO.
5) Rumah
sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan ART.
6) Rumah
sakit melakukan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS.
4. Penurunan Prevalensi Stunting dan Wasting
a. Standar Prognas 4
Rumah Sakit melaksanakan program penurunan prevalensi stunting dan wasting.
b. Standar Prognas 4.1
Rumah Sakit melakukan edukasi, pendampingan
intervensi dan pengelolaan gizi serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah
sakit kelas di bawahnya dan FKTP di wilayahnya serta rujukan masalah gizi.
c. Maksud dan Tujuan Prognas 4 dan Prognas 4.1
Tersedia
regulasi penyelenggaraan
program penurunan prevalensi stunting
dan prevalensi wasting di rumah sakit
yang meliputi:
1) Program
penurunan prevalensi stunting dan
prevalensi wasting.
2) Panduan
tata laksana.
3) Organisasi
pelaksana program terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur:
a)
Staf Medis.
b) Staf
Keperawatan.
c)
Staf Instalasi Farmasi.
d) Staf
Instalasi Gizi.
e)
Tim Tumbuh Kembang.
f)
Tim Humas Rumah Sakit.
Organisasi program penurunan prevalensi stunting dan wasting dipimpin oleh staf medis atau dokter spesialis anak. Rumah
sakit menyusun program penurunan prevalensi stunting
dan wasting di rumah sakit terdiri
dari:
1) Peningkatan
pemahaman dan kesadaran seluruh staf, pasien dan keluarga tentang masalah stunting dan wasting;
2) Intervensi
spesifik di rumah sakit;
3) Penerapan
Rumah Sakit Sayang Ibu Bayi;
4) Rumah
sakit sebagai pusat rujukan kasus stunting
dan wasting;
5) Rumah
sakit sebagai pendamping klinis dan manajemen serta merupakan jejaring rujukan
6) Program
pemantauan dan evaluasi.
Penurunan prevalensi stunting dan prevalensi wasting
meliputi:
1) Kegiatan
sosialisasi dan pelatihan staf tenaga kesehatan rumah sakit tentang Program
Penurunan Stunting dan Wasting.
2) Peningkatan
efektifitas intervensi spesifik.
a)
Program 1000 HPK.
b) Suplementasi
Tablet Besi Folat pada ibu hamil.
c)
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil.
d) Promosi
dan konseling IMD dan ASI Eksklusif.
e)
Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA).
f)
Pemantauan Pertumbuhan
(Pelayanan Tumbuh
Kembang bayi dan balita).
g)
Pemberian Imunisasi.
h) Pemberian
Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang.
i)
Pemberian Vitamin A.
j)
Pemberian taburia pada Baduta (0-23 bulan).
k) Pemberian
obat cacing pada ibu hamil.
3) Penguatan
sistem surveilans gizi
a)
Tata laksana tim asuhan gizi meliputi Tata
laksana Gizi Stunting, Tata Laksana
Gizi Kurang, Tata Laksana
Gizi Buruk (Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi
Buruk pada Balita).
b) Pencatatan
dan Pelaporan kasus masalah gizi melalui aplikasi ePPGBM (Aplikasi Pencatatan
dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
c)
Melakukan evaluasi pelayanan, audit kesakitan
dan kematian, pencatatan dan pelaporan gizi buruk dan stunting dalam Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS). Rumah sakit melaksanakan pelayanan sebagai pusat
rujukan kasus stunting dan kasus wasting dengan menyiapkan sebagai:
1) Rumah
sakit sebagai pusat rujukan kasus stunting
untuk memastikan kasus, penyebab dan tata laksana lanjut oleh dokter spesialis
anak.
2) Rumah
sakit sebagai pusat rujukan balita gizi buruk dengan komplikasi medis.
3) Rumah
sakit dapat melaksanakan pendampingan klinis dan manajemen serta penguatan
jejaring rujukan kepada rumah sakit dengan kelas di bawahnya dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di wilayahnya dalam tata laksana stunting dan
gizi buruk.
d) Elemen Penilaian Prognas 4
1) Rumah
sakit telah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan program gizi.
2) Terdapat
tim untuk program penurunan prevalensi stunting dan wasting di rumah sakit.
3) Rumah
sakit telah menetapkan sistem rujukan untuk kasus gangguan gizi yang perlu
penanganan lanjut.
e)
Elemen
Penilaian Prognas 4.1
1) Rumah
sakit membuktikan telah melakukan pendampingan intervensi dan pengelolaan gizi
serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit kelas di bawahnya dan FKTP
di wilayahnya serta rujukan masalah gizi.
2) Rumah
sakit telah menerapkan sistem pemantauan dan evaluasi, bukti pelaporan, dan
analisis.
5. Pelayanan Keluarga Berencana Rumah Sakit
a. Standar Prognas 5
Rumah sakit melaksanakan program pelayanan keluarga
berencana dan kesehatan reproduksi di rumah sakit beserta pemantauan dan
evaluasinya.
b. Standar Prognas 5.1
Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk
penyelenggaraan pelayanan keluarga dan kesehatan reproduksi.
c. Maksud dan Tujuan Prognas 5 dan Prognas 5.1
Pelayanan
Keluarga Berencana di Rumah Sakit (PKBRS) merupakan bagian dari program
keluarga berencana (KB), yang sangat berperan dalam menurunkan angka kematian
ibu dan percepatan penurunan stunting. Kunci keberhasilan PKBRS adalah
ketersediaan alat dan obat kontrasepsi, sarana penunjang pelayanan kontrasepsi
dan tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi serta manjemen yang handal. Rumah
sakit dalam melaksanakan PKBRS sesuai dengan pedoman pelayanan KB yang berlaku,
dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut:
1) Melaksanakan
dan menerapkan standar pelayanaan KB secara terpadu dan paripurna.
2) Mengembangkan
kebijakan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan KB dan meningkatkan
kualitas pelayanan KB.
3) Meningkatkan
kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan
PKBRS termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan
Pasca Keguguran.
4) Meningkatkan
fungsi rumah sakit sebagai model dan pembinaan teknis dalam melaksanakan PKBRS.
5) Meningkatkan
fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan KB bagi sarana pelayanan
kesehatan lainnya.
6) Melaksanakan
sistem pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PKBRS.
7) Adanya
regulasi rumah sakit yang menjamin pelaksanaan PKBRS, meliputi SPO pelayanan KB
per metode kontrasepsi termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca
Keguguran.
8) Upaya
peningkatan PKBRS masuk dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana kerja
anggaran (RKA) rumah sakit.
9) Tersedia
ruang pelayanan yang memenuhi persyaratan untuk PKBRS antara lain ruang
konseling dan ruang pelayanan KB.
10) Pembentukan
tim PKBR serta program kerja dan bukti pelaksanaanya.
11) Terselenggara
kegiatan peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan pelayanan PKBRS,
termasuk KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran.
12) Pelaksanaan
rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
13) Pelaporan
dan analisis meliputi:
a)
Ketersediaan semua jenis alat dan obat
kontrasepsi sesuai dengan kapasitas rumah sakit dan kebutuhan pelayanan KB.
b) Ketersediaan
sarana penunjang pelayanan KB.
c)
Ketersediaan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan KB.
d) Angka
capaian pelayanan KB per metode kontrasepsi, baik Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) dan Non MKJP.
e)
Angka capaian pelayanan KB Pasca Persalinan dan
Pasca Keguguran.
f)
Kejadian tidak dilakukannya KB Pasca Persalinan
pada ibu baru bersalin dan KB Pasca Keguguran pada Ibu pasca keguguran.
d. Elemen Penilaian Prognas 5
1) Rumah
sakit telah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan PKBRS.
2) Terdapat
tim PKBRS yang ditetapkan oleh direktur disertai program kerjanya.
3) Rumah
sakit telah melaksanakan program KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran.
4) Rumah
sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PKBRS.
e. Elemen Penilaian Prognas 5.1
1) Rumah
sakit telah menyediakan alat dan obat kontrasepsi dan sarana penunjang
pelayanan KB.
2) Rumah
sakit menyediakan layanan konseling bagi peserta dan calon peserta program
KB.
3) Rumah
sakit telah merancang dan menyediakan ruang pelayanan KB yang memadai.
BAB
IV
PENUTUP
Penyelenggaraan akreditasi rumah
sakit sesuai dengan standar dilaksanakan agar tercapainya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien serta tata kelola rumah sakit yang
baik, sehingga terwujudnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit
yang bermutu, profesional, dan bertangggung jawab.
Dengan disusunnya standar akreditasi
rumah sakit, diharapkan semua pihak baik rumah sakit, lembaga penyelenggara
akreditasi rumah sakit, pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota, tenaga kesehatan, maupun pemangku kepentingan
lainnya dapat melaksanakan akreditasi rumah sakit dengan efektif, efisien dan
berkelanjutan.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BUDI G. SADIKIN
No comments:
Post a Comment