PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014
TENTANG
KLINIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. |
bahwa untuk
implementasi pengaturan penyelenggaraan klinik sesuai perkembangan dan
perlindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik; |
|
|
b. |
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik; |
Mengingat |
: 1. |
Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); |
|
2. |
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); |
|
3. |
Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengeloaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 69); |
|
4. |
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059); |
5. Undang-Undang . . .
5. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
6. Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3637);
7. Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815);
8. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5285);
9. Peraturan
Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
10. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
363/Menkes/Per/IV/1998 tentang Pengujian
dan Kalibrasi Alat Kesehatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan;
11. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medis;
12. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran;
13. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
657/Menkes/Per/VIII/2009 tentang
Pengiriman dan
Penggunaan Spesimen Klinik, Materi
Biologik dan Muatan Informasinya;
14. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium
Klinik;
15. Peraturan
...
15. Peraturan
Menteri Kesehatan
Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 741);
16. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun
2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122);
17. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012
tentang Rahasia Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
915);
18. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN
TENTANG KLINIK.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud
dengan:
1. Klinik
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.
2. Tenaga
Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
3. Instalasi
Farmasi adalah bagian dari Klinik yang bertugas menyelenggarakan,
mengoordinasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi
serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Klinik.
4. Pemerintah
...
4. Pemerintah
Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II JENIS KLINIK
Pasal 2
(1) Berdasarkan
jenis pelayanan, Klinik dibagi menjadi:
a. Klinik
pratama; dan
b. Klinik
utama.
(2) Klinik
pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Klinik yang
menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.
(3) Klinik
utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Klinik yang
menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan
spesialistik.
(4) Klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengkhususkan pelayanan pada satu
bidang tertentu berdasarkan cabang/disiplin ilmu atau sistem organ.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Klinik dengan kekhususan pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur oleh Menteri.
Pasal 3
Klinik dapat dimiliki oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
Pasal 4
(1) Klinik
yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus didirikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klinik
yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat jalan dapat didirikan
oleh perorangan atau badan usaha.
(3) Klinik
yang dimiliki oleh masyarakat yang menyelenggarakan rawat inap harus didirikan
oleh badan hukum.
BAB III . . .
BAB III PERSYARATAN
Bagian Kesatu Lokasi
Pasal 5
(1) Pemerintah
daerah kabupaten/kota mengatur persebaran Klinik yang diselenggarakan
masyarakat di wilayahnya dengan memperhatikan kebutuhan pelayanan berdasarkan
rasio jumlah penduduk.
(2) Lokasi
Klinik harus memenuhi ketentuan mengenai persyaratan kesehatan lingkungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan
mengenai persebaran Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
untuk Klinik perusahaan atau Klinik instansi pemerintah tertentu yang hanya
melayani karyawan perusahaan, warga binaan, atau pegawai instansi tersebut.
Bagian Kedua Bangunan
Pasal 6
(1) Bangunan
Klinik harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik bangunannya dengan
tempat tinggal perorangan.
(2) Ketentuan
tempat tinggal perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk
apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
(3) Bangunan
Klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut.
Pasal 7
(1) Bangunan
Klinik paling sedikit terdiri atas:
a. ruang
pendaftaran/ruang tunggu;
b. ruang
konsultasi;
c.
ruang administrasi;
d. ruang
obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan
farmasi;
e.
ruang tindakan;
f.
ruang . .
.
f.
ruang/pojok ASI;
g. kamar
mandi/wc; dan
h. ruangan
lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.
(2) Selain
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Klinik rawat inap harus
memiliki:
a.
ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan;
b.
ruang farmasi;
c.
ruang laboratorium; dan
d.
ruang dapur;
(3) Ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan
teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jumlah
tempat tidur pasien pada Klinik rawat inap paling sedikit 5 (lima) buah dan
paling banyak 10 (sepuluh) buah.
Bagian Ketiga Prasarana
Pasal 8
(1) Prasarana
Klinik meliputi:
a. instalasi
sanitasi;
b. instalasi
listrik;
c.
pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
d. ambulans,
khusus untuk Klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan
e.
sistem gas medis;
f.
sistem tata udara;
g. sistem
pencahayaan;
h. prasarana
lainnya sesuai kebutuhan.
(2) Sarana
dan Prasarana Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Bagian Keempat Ketenagaan
Pasal 9
(1) Penanggung
jawab teknis Klinik harus seorang tenaga medis.
(2) Penanggung
...
(2) Penanggung jawab teknis Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di Klinik tersebut, dan dapat
merangkap sebagai pemberi pelayanan.
Pasal 10
Tenaga Medis hanya dapat menjadi penanggung
jawab teknis pada 1 (satu) Klinik.
Pasal 11
(1) Ketenagaan
Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga
Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(2) Ketenagaan
Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga
keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan
tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Jenis,
kualifikasi, dan jumlah Tenaga Kesehatan lain serta tenaga non kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan
dan jenis pelayanan yang diberikan oleh Klinik.
Pasal 12
(1) Tenaga
medis pada Klinik pratama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit
terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan/atau dokter gigi sebagai pemberi
pelayanan.
(2) Tenaga
medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit
terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dan 1 (satu) orang dokter sebagai
pemberi pelayanan.
(3) Tenaga
medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran gigi paling
sedikit terdiri dari 1 (satu) orang dokter gigi spesialis dan 1 (satu) orang
dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.
Pasal 13
(1) Setiap
tenaga medis yang berpraktik di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi
(STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Setiap
...
(2) Setiap tenaga kesehatan lain yang
bekerja di Klinik harus mempunyai
Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat
Izin Kerja (SIK) atau Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 14
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di
Klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
Pasal 15
Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara
asing di Klinik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Klinik yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan 24 (dua puluh empat) jam harus menyediakan dokter serta tenaga
kesehatan lain sesuai kebutuhan pelayanan dan setiap saat berada di
tempat.
Bagian Kelima Peralatan
Pasal 17
(1) Klinik
harus dilengkapi dengan peralatan medis dan nonmedis yang memadai sesuai dengan
jenis pelayanan yang diberikan.
(2) Peralatan
medis dan nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar
mutu, keamanan, dan keselamatan.
(3) Selain
memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) peralatan medis harus
memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Peralatan
medis yang digunakan di Klinik harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh
institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 19 ...
Pasal 19
Peralatan medis yang menggunakan sinar
pengion harus mendapatkan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Penggunaan peralatan medis di Klinik harus
dilakukan berdasarkan indikasi medis.
Bagian Keenam Kefarmasian
Pasal 21
(1) Klinik
rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan farmasi.
(2) Klinik
rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian wajib memiliki apoteker
yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab atau
pendamping.
Pasal 22
(1) Klinik
rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan apoteker.
(2) Instalasi
farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani resep dari dokter Klinik
yang bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik perorangan
maupun Klinik lain.
Pasal 23
Klinik yang menyelenggarakan pelayanan
rehabilitasi medis pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan oleh apoteker.
Bagian Ketujuh Laboratorium
Pasal 24
(1) Klinik
rawat inap wajib menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium
klinik.
(2) Klinik
rawat jalan dapat menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium
klinik.
(3) Laboratorium
...
(3) Laboratorium
Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada klinik pratama
merupakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Klinik
utama dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama atau
laboratorium klinik umum madya.
(5) Perizinan
laboratorium klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) terintegrasi
dengan perizinan Klinik.
(6) Dalam
hal Klinik menyelenggarakan laboratorium klinik yang memiliki sarana,
prasarana, ketenagaan dan kemampuan pelayanan melebihi kriteria dan persyaratan
Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka laboratorium
klinik tersebut harus memiliki izin tersendiri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IV PERIZINAN
Pasal 25
(1) Setiap
penyelenggaraan Klinik wajib memiliki izin mendirikan dan izin operasional.
(2) Izin
mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
(3) Izin
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pasal 26
(1) Untuk
mendapatkan izin mendirikan, penyelenggara Klinik harus melengkapi
persyaratan:
a. identitas
lengkap pemohon;
b. salinan/fotokopi
pendirian badan hukum atau badan usaha, kecuali untuk kepemilikan
perorangan;
c.
salinan/fotokopi yang sah sertifikat tanah,
bukti kepemilikan lain yang disahkan oleh notaris, atau bukti surat kontrak
minimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
d. dokumen
SPPL untuk Klinik rawat jalan, atau dokumen UKL-UPL untuk Klinik rawat inap
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan
e.
profil ...
e.
profil Klinik yang akan didirikan meliputi
pengorganisasian, lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan,
kefarmasian, laboratorium, serta pelayanan yang diberikan;
f.
persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan
daerah setempat.
(2) Izin
mendirikan diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang
paling lama 6 (enam) bulan apabila belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan pemohon tidak dapat
memenuhi persyaratan, maka pemohon harus mengajukan permohonan izin mendirikan
yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Untuk
mendapatkan izin operasional, penyelenggara Klinik harus memenuhi persyaratan
teknis dan administrasi.
(2) Persyaratan
teknis meliputi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan,
kefarmasian, dan laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 24.
(3) Persyaratan
administrasi meliputi izin mendirikan dan rekomendasi dari dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(4) Izin
operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
kembali selama memenuhi persyaratan.
Pasal 28
(1) Pemerintah
daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus
mengeluarkan keputusan atas permohonan izin operasional, paling lama 1 (satu)
bulan sejak diterima permohonan izin.
(2) Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penerbitan izin, penolakan izin
atau pemberitahuan untuk kelengkapan berkas.
Pasal 29
(1) Apabila
dalam permohonan izin operasional, pemohon dinyatakan masih harus melengkapi
persyaratan sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3), maka Pemerintah daerah
kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus segera
memberitahukan kepada pemohon dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.
(2) Pemohon
...
(2) Pemohon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
sejak pemberitahuan disampaikan, harus segera melengkapi persyaratan yang belum
dipenuhi.
(3) Apabila
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon tidak dapat
memenuhi persyaratan, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan surat penolakan atas permohonan izin
operasional dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.
Pasal 30
(1) Perpanjangan
izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) harus diajukan
pemohon paling lama 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku izin operasional.
(2) Dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota harus memberi keputusan berupa penerbitan izin atau penolakan
izin.
(3) Dalam
hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak,
pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 31
(1) Perubahan
izin operasional Klinik harus dilakukan apabila terjadi:
a. perubahan
nama;
b. perubahan
jenis badan usaha; dan/atau
c.
perubahan alamat dan tempat.
(2) Perubahan
izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b
dilakukan dengan mengajukan permohonan izin operasional serta harus
melampirkan:
a. surat
pernyataan penggantian nama dan/atau jenis badan usaha
Klinik yang ditandatangani oleh
pemilik;
b. perubahan
Akta Notaris; dan
c.
izin operasional Klinik yang asli, sebelum
perubahan.
(3) Perubahan
izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
dengan mengajukan permohonan izin mendirikan, izin operasional, serta harus
melampirkan:
a. surat
pernyataan penggantian alamat dan tempat Klinik yang ditandatangani oleh
pemilik; dan
b. izin
operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan.
(4) Perubahan . . .
(4) Perubahan kepemilikan dan/atau penanggung jawab teknis Klinik
harus dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.
BAB V PENYELENGGARAAN
Pasal 32
(1) Klinik
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Pelayanan
kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat
inap, pelayanan satu hari (one day care)
dan/atau home care.
(3) Pelayanan
satu hari (one day care) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien yang
sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu mendapat tindakan atau
perawatan semi intensif (observasi) setelah 6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua
puluh empat) jam.
(4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga
di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau
memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
dampak penyakit.
Pasal 33
(1) Klinik
rawat inap hanya dapat memberikan pelayanan rawat inap paling lama 5 (lima) hari.
(2) Apabila
memerlukan rawat inap lebih dari 5 (lima) hari, maka pasien harus secara
terencana dirujuk ke rumah sakit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Klinik
pratama hanya dapat melakukan bedah kecil (minor) tanpa anestesi umum dan/atau
spinal.
(2) Klinik
utama dapat melakukan tindakan bedah, kecuali tindakan bedah yang:
a. menggunakan
anestesi umum dengan inhalasi dan/atau spinal;
b. operasi . . .
b. operasi
sedang yang berisiko tinggi; dan
c.
operasi besar.
(3) Klasifikasi
bedah kecil, sedang, dan besar ditetapkan oleh Organisasi Profesi yang
bersangkutan.
Pasal 35
Setiap Klinik mempunyai kewajiban:
a. memberikan
informasi yang benar tentang pelayanan yang diberikan;
b. memberikan
pelayanan yang efektif, aman, bermutu, dan nondiskriminasi dengan mengutamakan
kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan
standar prosedur operasional;
c.
memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien
sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu
atau mendahulukan kepentingan finansial;
d. memperoleh
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan (informed consent);
e.
menyelenggarakan rekam medis;
f.
melaksanakan sistem rujukan dengan tepat;
g.
menolak keinginan pasien yang bertentangan
dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;
h. menghormati
dan melindungi hak-hak pasien;
i.
memberikan informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
j.
melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. memiliki
standar prosedur operasional;
l.
melakukan pengelolaan limbah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
m. melaksanakan
fungsi sosial;
n. melaksanakan
program pemerintah di bidang kesehatan;
o.
menyusun dan melaksanakan peraturan internal
klinik; dan
p. memberlakukan
seluruh lingkungan klinik sebagai kawasan tanpa rokok.
Pasal 36
Setiap Kinik mempunyai hak:
a. menerima
imbalan jasa pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan . . .
b. melakukan
kerja sama dengan pihak lain dalam mengembangkan pelayanan;
c.
menggugat pihak yang mengakibatkan
kerugian;
d. mendapatkan
perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; dan
e.
mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada di
Klinik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Penyelenggara Klinik wajib:
a. memasang
nama dan klasifikasi Klinik;
b. membuat
dan melaporkannya kepada dinas kesehatan daftar tenaga medis dan tenaga
kesehatan lain yang bekerja di Klinik dengan menyertakan:
1) nomor
Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) bagi tenaga medis;
2) nomor
surat izin sebagai tanda registrasi atau Surat Tanda
Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktik
(SIP) atau Surat Izin Kerja (SIK) bagi tenaga kesehatan lain.
c.
melaksanakan pencatatan untuk penyakit-penyakit
tertentu dan melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka
pelaksanaan program pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Dalam
upaya peningkatan mutu pelayanan Klinik, dilakukan akreditasi secara berkala
paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Setiap
Klinik yang telah memperoleh izin operasional dan telah beroperasi paling
sedikit 2 (dua) tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi.
(3) Akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga independen pelaksana
akreditasi yang membidangi fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 39
(1) Dalam
penyelenggaraan Klinik harus dilakukan audit medis.
(2) Audit
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal dan
eksternal.
(3) Audit
...
(3) Audit
medis internal dilakukan oleh Klinik paling sedikit satu kali dalam setahun.
(4) Audit
medis eksternal dapat dilakukan oleh organisasi profesi.
BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 40
(1) Menteri,
gubernur, kepala dinas kesehatan provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Klinik.
(2) Dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
mengikutsertakan organisasi profesi dan perhimpunan/asosiasi Klinik.
(3) Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat
terhadap segala risiko yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan atau
merugikan masyarakat.
(4) Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa pemberian
bimbingan, supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 41
(1) Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, gubernur, kepala dinas kesehatan
provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil
tindakan administratif.
(2) Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. teguran
lisan;
b. teguran
tertulis;
c.
pencabutan izin tenaga kesehatan; dan/atau
d. pencabutan
izin/rekomendasi Klinik.
Pasal 42
(1) Gubernur
dan bupati/walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga
pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Klinik.
(2) Ketentuan . . .
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Klinik
yang diselenggarakan
berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 666/Menkes/SK/VI/2007
tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, tetap dapat menyelenggarakan
pelayanan sampai habis masa berlakunya izin.
(2) Perpanjangan
izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri ini.
Pasal 44
(1) Pada
saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang telah terselenggara berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap
dapat menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya izin.
(2) Pada
saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang sedang dalam proses pengajuan
izin baru atau perpanjangan izin dan telah memenuhi persyaratan berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap
diberikan izin Klinik dan rekomendasi operasional Klinik.
(3) Klinik
yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, harus menyesuaikan dengan Peraturan ini
paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai
berlaku:
1. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik; dan
2. Keputusan
...
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
666/MENKES/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar,
sepanjang mengenai ketentuan perizinan penyelenggaraan Klinik; dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada
tanggal di undangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
11 Februari 2014
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
19 Februari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014
NOMOR 232
No comments:
Post a Comment