Monday, February 27, 2023

Tuberkulosis (TB) Paru

 1. Tuberkulosis (TB) Paru

No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis

No ICD-10 :  A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and histologically confirmed

Tingkat Kemampuan 4A


a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa 

Masalah Kesehatan

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan  negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).

Hasil Anamnesis (Subjective)

Suspek TB adalah seseorang dengan gejala  atau  tanda  TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai:

1) Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau

2) Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara  napas  melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

 



Pemeriksaan Penunjang

1) Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.

2) Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.

3) Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

4) Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.

Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk  tuberkuloma.  Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).


Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Pasti TB

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014)


Standar Diagnosis

1) Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.

2) Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.

3) Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis

 



spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen  sputum  untuk  pemeriksaan   Xpert   MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah  satu  diantaranya  adalah  spesimen  pagi.   Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan  Xpert  MTB/RIF*  sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma release  assay  sebaiknya  tidak  digunakan   untuk mendiagnosis TB aktif.

4) Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.

5) Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan kultur.


Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan:

1) Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien.

2) Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

3) Mencegah kekambuhan TB.

4) Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

5) Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya


Prinsip-prinsip terapi:

1) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.

 



2) Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.

3) Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.

4) Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat.

5) Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.

6) Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.

7) Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.

8) Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan.


Tabel 1.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC

Berat

Badan

Fase Intensif

 

Fase Lanjutan

Harian

Harian

3x/minggu

Harian

3x/minggu

 

(R/H/Z/E)

(R/H/Z)

(R/H/Z)

(R/H)

(R/H)

150/75/400/275

150/75/40

150/150/500

150/75

150/150

30-37

2

2

2

2

2

38-54

3

3

3

3

3

55-70

4

4

4

4

4

>71

5

5

5

5

5


Tabel 1.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)

Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

Obat

Harian

3x seminggu

INH

5(4-6) max 300mg/hr

10(8-12) max 900 mg/dosis

RIF

10 (8-12) max 600 mg/hr

10 (8-12) max 600 mg/dosis

PZA

25 (20-30) max 1600 mg/hr

35 (30-40) max 2400 mg/dosis

EMB

15 (15-20) max 1600 mg/hr

30 (25-35) max 2400 mg/dosis


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan

1) Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol.

a) Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat.

b) Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.

c) Pasien TB paru BTA positif sebagian besar  menjadi BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.

2) Tahap lanjutan menggunakan panduan obat rifampisin dan isoniazid

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan).

b) Obat dapat  diminum  secara  intermitten  yaitu 3x/minggu (obat program) atau tiap hari (obat non program).

c) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4  bulan  diberikan  3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.

2) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali  seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.

3) OAT sisipan : HRZE

Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.

Konseling dan Edukasi

1) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis

2) Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.

3) Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan Kriteria Rujukan

1) Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu

2) Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)

3) Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu

4) TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)

5) Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB- MDR.

Peralatan

1) Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.

2) Radiologi

3) Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia Prognosis

Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.

Kriteria hasil pengobatan:

1) Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

2) Pengobatan lengkap       :     pasien yang telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada  foto  toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

3) Meninggal : pasien yang meninggal  dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

4) Putus berobat (default)  :    pasien   yang   tidak   berobat   2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5) Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.

 6) Pindah (transfer out)    :     pasien  yang  dipindah  ke  unit

pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Referensi

1) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

2) Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)

3) Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)

4) Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)

5) Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald,  et  al., 2009)


b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak Masalah Kesehatan

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah  kasus  TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita,kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan, dan  nifas.  Jumlah  seluruh  kasus  TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0% hingga 14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12−60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto  toraks. Gejala sistemik/umum TB pada anak:

1) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

2) Masalah Berat Badan (BB):

a) BB   turun   selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, ATAU

b) BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik ATAU

c) BB tidak naik dengan adekuat.

3) Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam.

4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

5) Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu, batuk bersifat non- remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan

6) Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada anak tidak spesifik tergantung seberapa berat manifestasi respirasi dan sistemiknya.

Pemeriksaan Penunjang

1) Uji TuberkulinUji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul  indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.

2) Foto toraks

Gambaran foto  toraks  pada  TB  tidak  khas;  kelainan- kelainan radiologis pada TB dapat juga  dijumpai  pada penyakit lain. Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai  dengan  foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih  jelas.  Secara  umum,  gambaran  radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut:

a) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

b) Konsolidasi segmental/lobar

c) Milier

d) Kalsifikasi dengan infiltrat

e) Atelektasis

f) Kavitas

g) Efusi pleura

h) Tuberkuloma

3) Mikrobiologis

Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric

 



lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6−8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1−3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.


Penegakan Diagnosis (Assessment)

Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua pendekatan utama, yaitu:

1) Investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif dan menular.

2) Anak yang datang ke pelayanan kesehatan dengan  gejala dan tanda klinis yang mengarah ke TB. (Gejala klinis TB pada anak tidak khas).

Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis.

Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan profilaksis INH terutama anak balita

Catatan:

1) Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

2) Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

3) Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. 

4) Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut.


Tabel 1.3 Sistem Skoring TB Anak

Parameter

0

1

2

3

Skor

Kontak TB

Tidak jelas

 

Laporan keluarga, BTA (-) atau BTA tidak jelas/tidak

tahu

BTA (+)

 

Uji Tuberkulin (Mantoux)

(-)

 

 

(+)

(≥10mm, atau ≥5mm pd keadaan immunoco

mpromised

 

Berat badan/ keadaan gizi

 

BB/TB <

90% atau

BB/U < 80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB <70%

atau BB/U <

60%

 

 

Demam yang tidak diketahui

penyebabnya

 

>   2 minggu

 

 

 

Batuk kronik

 

≥3 minggu

 

 

 

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila,

inguinal

 

>1 cm,

Lebih dari 1 KGB,

tidak nyeri

 

 

 


 

 

Parameter

0

1

2

3

Skor

Pembengka- kan tulang/ sendi panggul

lutut, falang

 

Ada pembeng- kakan

 

 

 

Foto toraks

Norm al, kelai nan tidak

jelas

Gambaran sugestif TB

 

 

 

 

 

 

 

Skor Total

 


Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)



Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

Berat badan (kg)

2 bulan tiap hari 3KDT Anak

RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari 2KDT Anak

RH (75/50)

5-9

1 tablet

1 tablet

10-14

2 tablet

2 tablet

15-19

3 tablet

3 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet


Keterangan:

1) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit

2) Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.

3) Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.

4) OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.


Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).

Evaluasi Hasil Pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk,  perbaikan  nafsu  makan, dan lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam.

Kriteria Rujukan

1) Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan.

2) Terjadi efek samping obat yang berat.

3) Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan selama

>2 minggu.

Peralatan

1) Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.

 2) Mantoux test (uji tuberkulin).

3) Radiologi.

Referensi

Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87


No comments:

Post a Comment

Manajemen Telusur

DOKUMEN TELUSUR POKOK Rencana Strategis ( Renstra )   >>>>>>>>>> View Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dan ...