PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
untuk mendukung pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan profesional khususnya
upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan
diperlukan penanganan secara komprehensif melalui suatu pedoman;
b. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270
/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya, dan
Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor
382/Menkes/SK/III/2007
tentang
Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Kesehatan Lainnya, perlu dilakukan perubahan sesuai dengan
perkembangan mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan;
|
c. bahwa
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; |
|
Mengingat |
:
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang |
|
|
Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); |
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); |
|
3. |
Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); |
|
4. |
Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); |
|
5. |
Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2014 tentang Keperawatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612); |
|
6. |
Peraturan Pemerintah Nomor
101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 333); |
|
7. |
Peraturan Presiden Nomor 77
Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 159); |
|
8. |
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor |
1438/Menkes/Per/IX/2010
tentang
Standar
Pelayanan
Kedokteran (Berita Negara
Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 464);
9. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit (Berita
Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
413);
10. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik (Berita Negara Republik
Indonesia
Tahun 2014 Nomor 232);
11. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
(Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1676);
12. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 334);
13. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2015 tentang Standar Akreditasi Puskesmas,
Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter dan Tempat
Praktik Mandiri Dokter Gigi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1049) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama,
Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Praktik Mandiri
Dokter Gigi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 1422);
14. Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata
Cara dan
Persyaratan
Teknis Pengelolaan
Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun dari
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 598);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang
dimaksud dengan :
1. Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi yang selanjutnya disingkat PPI adalah upaya untuk
mencegah dan meminimalkan terjadinya infeksi pada pasien, petugas, pengunjung,
dan masyarakat sekitar fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Infeksi
Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care
Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs adalah infeksi yang
terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa
inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang,
juga infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan
terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
4. Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi
pelaksanaan PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas,
klinik, dan praktik mandiri tenaga
kesehatan.
Pasal 3
(1) Setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan PPI.
(2) PPI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penerapan:
a. prinsip
kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi;
b. penggunaan
antimikroba secara bijak; dan
c.
bundles.
(3) Bundles sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c merupakan sekumpulan praktik berbasis bukti sahih yang menghasilkan
perbaikan keluaran poses pelayanan kesehatan bila dilakukan secara kolektif dan
konsisten.
(4) Penerapan
PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap infeksi terkait
pelayanan HAIs dan infeksi yang
bersumber dari masyarakat.
(5) Dalam
pelaksanaan PPI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan:
a.
surveilans; dan
b. pendidikan
dan pelatihan PPI.
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan PPI di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 5
(1) Pelaksanaan
PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan melalui pembentukan Komite atau Tim PPI.
(2) Komite
atau Tim PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi
nonstruktural pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempunyai fungsi utama
menjalankan PPI serta menyusun kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi
termasuk pencegahan infeksi yang bersumber dari masyarakat berupa Tuberkulosis,
HIV (Human
Immunodeficiency Virus), dan infeksi menular lainnya.
(3) Dikecualikan
dari ketentuan pembentukan komite atau tim PPI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pelaksanaan PPI pada praktik mandiri tenaga kesehatan dilakukan dibawah
koordinasi dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pasal 6
(1) Komite
atau Tim PPI dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola PPI yang baik agar
mutu pelayanan medis serta keselamatan pasien dan pekerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan terjamin dan terlindungi.
(2) Pembentukan
Komite atau Tim PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
jenis, kebutuhan, beban kerja, dan/atau klasifikasi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
Pasal
7
(1) Komite
atau Tim PPI bertugas melaksanakan kegiatan kegiatan pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan pembinaan.
(2) Hasil
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus dilaporkan
kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara berkala paling sedikit 2
(dua) kali dalam setahun, atau sesuai dengan kebutuhan.
(3) Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagai dasar penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi Komite dan
Tim PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
(1) Setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan pencatatan dan pelaporan
penyelenggaraan PPI.
(2) Pencatatan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali atau sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 10
(1) Pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
(2) Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan
perhimpunan/asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan organisasi profesi yang
terkait.
(3) Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.
advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis;
b. pelatihan
dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan/atau
c.
monitoring dan evaluasi.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Menteri ini
mulai berlaku:
a. Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman
Manajerial Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Lainnya; dan
b. Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Kesehatan Lainnya,
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2017
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2017 NOMOR 857
Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan
Tanggal
Paraf
LAMPIRAN I
PERATURANMENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN
PENCEGAHAN
DAN
PENGENDALIAN
INFEKSI
DI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Penyakit infeksi terkait pelayanan
kesehatan atau Healthcare Associated
Infection (HAIs) merupakan salah
satu masalah kesehatan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam
forum Asian Pasific Economic Comitte (APEC)
atau Global health Security Agenda (GHSA)
penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan telah menjadi agenda yang di
bahas. Hal ini menunjukkan bahwa HAIs yang ditimbulkan berdampak secara
langsung sebagai beban ekonomi negara.
Secara prinsip, kejadian HAIs
sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten
melaksanakan program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan upaya
untuk memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap kemungkinan tertular
infeksi dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima pelayanan kesehatan
pada berbagai fasilitas kesehatan.
Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang pelayanan kesehatan, perawatan pasien tidak
hanya dilayani di rumah sakit saja tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya, bahkan di rumah (home care).
Dalam upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting bila
terlebih dahulu petugas dan pengambil kebijakan memahami konsep dasar penyakit
infeksi. Oleh karena itu perlu disusun pedoman pencegahan dan pengendalian
infeksi di fasilitas pelayanan kesehatanagar terwujud pelayanan kesehatan yang
bermutu dan dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan
kesehatan serta dapat melindungi masyarakat dan mewujudkan patient safety yang pada akhirnya juga akan berdampak pada
efisiensi pada manajemen fasilitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas
pelayanan.
B. TUJUAN
DAN SASARAN
Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas
pelayanan kesehatan, sehingga melindungi sumber daya manusia kesehatan, pasien
dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan disusun untuk digunakan oleh seluruh pelaku pelayanan di
fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi tingkat pertama, kedua, dan
ketiga.
C. RUANG
LINGKUP
Ruang lingkup program PPI meliputi
kewaspadaan isolasi, penerapan PPI terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs)
berupa langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs, pendidikan
dan pelatihan serta penggunaan anti
mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA),
audit dan monitoring lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit,
Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI
sedangkan untuk fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, penerapan PPI
disesuaikan dengan pelayanan yang di lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut.
D. KONSEP
DASAR PENYAKIT INFEKSI
Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi
dapat berasal dari masyarakat/komunitas (Community
Acquired Infection) atau dari rumah sakit (Healthcare-Associated Infections/HAIs). Penyakit infeksi yang
didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai Infeksi
Nosokomial (Hospital Acquired Infection).
Saat ini penyebutan diubah menjadi Infeksi Terkait Layanan Kesehatan atau “HAIs” (Healthcare-Associated Infections) dengan pengertian yang lebih
luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal dari rumah sakit, tetapi juga
dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tidak terbatas infeksi kepada
pasien namun dapat juga kepada petugas kesehatan dan pengunjung yang tertular
pada saat berada di dalam lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.
Untuk memastikan adanya infeksi
terkait layanan kesehatan (Healthcare-Associated
Infections/HAIs) serta menyusun strategi pencegahan dan pengendalian
infeksi dibutuhkan pengertian infeksi, infeksi terkait pelayanan kesehatan (Healthcare-Associated Infections/HAIs),
rantai penularan infeksi, jenis HAIs dan faktor risikonya.
1. Infeksi
merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen,
dengan/tanpa disertai gejala klinik.
Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care Associated Infections) yang
selanjutnya disingkat HAIs merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama
perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana
ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi
dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena
pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses
pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Rantai
Infeksi (chain of infection)
merupakan rangkaian yang harus ada untuk menimbulkan infeksi. Dalam melakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi dengan efektif, perlu dipahami secara
cermat rantai infeksi.Kejadian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat
disebabkan oleh 6 komponen rantai penularan, apabila satu mata rantai diputus
atau dihilangkan, maka penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Enam
komponen rantai penularan infeksi, yaitu:
a)
Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu:
patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”). Makin cepat diketahui agen infeksi dengan pemeriksaan
klinis atau laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula upaya pencegahan dan
penanggulangannya bisa dilaksanakan.
b) Reservoir atau wadah tempat/sumber agen
infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang-biak dan siap ditularkan kepada pejamu
atau manusia. Berdasarkan penelitian, reservoir
terbanyak adalah pada manusia, alat medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah,
air, lingkungan dan bahan-bahan organik lainnya. Dapat juga ditemui pada orang
sehat, permukaan kulit, selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan
vagina juga merupakan reservoir.
c)
Portal of
exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi (mikroorganisme)
meninggalkan reservoir melalui
saluran napas, saluran cerna, saluran kemih serta transplasenta.
d) Metode
Transmisi/Cara Penularan adalah metode transport mikroorganisme dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Ada
beberapa metode penularan yaitu: (1) kontak: langsung dan tidak langsung, (2) droplet, (3) airborne, (4) melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) dan
(5) melalui vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat).
e)
Portal of
entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu yang rentan
dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan kelamin atau
melalui kulit yang tidak utuh.
f)
Susceptible
host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan tubuh menurun
sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi
kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka
bakar yang luas, trauma, pasca pembedahan dan pengobatan dengan
imunosupresan.
Faktor lain
yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi,
pola hidup, pekerjaan dan herediter.
Gambar 1. Skema rantai penularan
penyakit infeksi
3. Jenis
dan Faktor Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau
“Healthcare-Associated
Infections” (HAIs) meliputi;
a)
Jenis HAIs yang paling sering terjadi di
fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit mencakup:
1) Ventilator associated pneumonia (VAP)
2) Infeksi
Aliran Darah (IAD)
3) Infeksi
Saluran Kemih (ISK)
4) Infeksi
Daerah Operasi (IDO)
b) Faktor
Risiko HAIs meliputi:
1) Umur:
neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.
2) Status
imun yang rendah/terganggu (immunocompromised):
penderita dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat
imunosupresan.
3) Gangguan/Interupsi
barier anatomis:
⁻ Kateter urin: meningkatkan kejadian
infeksi saluran kemih (ISK).
⁻ Prosedur operasi: dapat menyebabkan
infeksi daerah operasi (IDO) atau “surgical
site infection” (SSI).
⁻ Intubasi dan pemakaian ventilator:
meningkatkan kejadian “Ventilator
Associated Pneumonia” (VAP). ⁻ Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD ⁻ Luka
bakar dan trauma.
4) Implantasi
benda asing :
⁻ Pemakaian mesh pada operasi
hernia.
⁻ Pemakaian implant pada operasi tulang,
kontrasepsi, alat pacu jantung.
⁻ “cerebrospinal fluid shunts”.
⁻ “valvular / vascular prostheses”.
5) Perubahan
mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang tidak bijak dapat menyebabkan
pertumbuhan jamur berlebihan dan timbulnya bakteri resisten terhadap berbagai
antimikroba.
BAB II KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI
Ketika HIV/AIDS muncul pada tahun 1985,
dibutuhkanlah suatu pedoman untuk melindungi petugas pelayanan kesehatan dari
terinfeksi. Oleh karena penularannya termasuk Hepatitis C virus adalah melalui
darah, maka disusunlah pedoman yang disebut Kewaspadaan Universal (Universal Precaution). Sejak
diberlakukan dan diterapkan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya,
strategi baru ini telah dapat melindungi petugas pelayanan kesehatan (penularan
dari pasien ke petugas) serta mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari
petugas ke pasien.
Individu yang terinfeksi HIV atau HCV tidak
menunjukkan gejala penyakit atau terlihat sebagai layaknya seseorang yang
terinfeksi, maka Kewaspadaan Universal di modifikasi agar dapat menjangkau
seluruh orang (pasien, klien, pengunjung) yang datang ke fasilitas layanan
kesehatan baik yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.
Pada tahun 1987 diperkenalkan sistem
pendekatan pencegahan infeksi kepada pasien dan petugas kesehatan, yaitu Body Substance Isolation (BSI) sebagai
alternatif dari Kewaspadaan Universal.Pendekatan ini difokuskan untuk
melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua cairan lendir dan zat tubuh
(sekret dan ekskret) yang berpotensi terinfeksi, tidak hanya darah.Body Substance Isolation (BSI) ini juga
meliputi: imunisasi perlindungan bagi pasien dan staf fasilitas layanan
kesehatan yang rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara atau
butiran lendir (campak, gondong, cacar air dan rubela), termasuk imunisasi
hepatitis B dan toksoid tetanus untuk petugas, mengkajiulang instruksi bagi
siapapun yang akan masuk ke ruang perawatan pasien terutama pasien dengan
infeksi yang ditularkan lewat udara (Lynch dkk, 1990).
Sistem Body Substance Isolation (BSI) lebih cepat diterima daripada sistem
Kewaspadaan Universal karena lebih sederhana, lebih mudah dipelajari dan
diterapkan dan dapat diberlakukan untuk semua pasien, tidak hanya pada pasien
yang didiagnosis atau dengan gejala yang mungkin terinfeksi tetapi tetap
berisiko bagi pasien dan staf lainnya. Kelemahan sistem ini antara lain:
membutuhkan biaya tambahan untuk perlengkapan pelindung terutama sarung tangan,
kesulitan dalam perawatan rutin harian bagi semua pasien, ketidak pastian
mengenai pencegahan terhadap pasien dalam ruang isolasi serta penggunaan sarung
tangan yang berlebihan untuk melindungi petugas dengan biaya dibebankan kepada
pasien.
Keberadaan kedua sistem ini pada awal 1990
mengakibatkan fasilitas pelayanan dan petugas kesehatan tidak dapat memilih
pedoman pencegahan mana yang harus digunakan. Sehingga pada beberapa rumah
sakit telah diterapkan Kewaspadaan Universal, sedangkan yang lainnya menerapkan
Isolasi Zat Tubuh. Kebingungan yang terjadi semakin besar dimana rumah sakit
dan staf merasa telah menerapkan Kewaspadaan Universal, padahal sebenarnya
mereka menerapkan Isolasi Zat Tubuh dan sebaliknya, termasuk banyaknya variasi
lokal dalam menginterpretasikan dan menggunakan Kewaspadaan Universal dan
Isolasi Zat Tubuh serta variasi kombinasi penggunaan kedua sistem tersebut.
Ditambah lagi dengan adanya kebutuhan untuk menggunakan kewaspadaan tambahan
bagi pencegahan penyakit yang ditularkan lewat udara (airborne), droplet dan
kontak badan, yang merupakan keterbatasan utama Isolasi Zat Tubuh (Rudnick dkk
1993).
Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien,
petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatanserta masyarakat
dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui
kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan
isolasi, maka akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasarkan transmisi.
A. KEWASPADAAN STANDAR
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan
yang utama, dirancang untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh
pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang
telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang sebelum pasien di
diagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien
didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga
berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan
kepatuhan petugas tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak
terinfeksi.
Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC
merekomendasikan 11 (sebelas) komponen utama yang harus dilaksanakan dan
dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu kebersihan tangan, Alat Pelindung
Diri (APD),dekontaminasi peralatan perawatan pasien,kesehatan lingkungan,
pengelolaan limbah, penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas,
penempatan pasien, hygiene
respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan praktik
lumbal pungsi yang aman.
Kesebelas
kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkandi semua fasilitas pelayanan
kesehatan, sebagai berikut:
1. KEBERSIHAN TANGAN
Kebersihan
tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir bila
tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol (alcohol-based handrubs)bila tangan
tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong pendek,
tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun
biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan pada saat:
a) Bila
tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah, cairan
tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah
memakai sarung tangan.
b) Bila
tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang bersih,
walaupun pada pasien yang sama.
Indikasi kebersihan tangan:
-
Sebelum kontak pasien;
-
Sebelum tindakan aseptik;
-
Setelah kontak darah dan cairan tubuh;
-
Setelah kontak pasien;
-
Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
Kriteria memilih antiseptik:
-
Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak
mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negative,virus lipofilik,bacillus dan tuberkulosis,fungiserta endospore)
-
Efektifitas
-
Kecepatan efektifitas awal
-
Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian
untuk meredam pertumbuhan
-
Tidak menyebabkan iritasi kulit
-
Tidak menyebabkan alergi
Hasil yang ingin
dicapai dalam kebersihan tangan adalah mencegah agar tidak terjadi infeksi,
kolonisasi pada pasien dan mencegah kontaminasi dari pasien ke lingkungan
termasuk lingkungan kerja petugas.
Gambar 2. Cara Kebersihan tangan
dengan Sabun dan Air
Diadaptasi dari: WHO
Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First Global Patient Safety
Challenge, World HealthOrganization, 2009.
Gambar 3. Cara Kebersihan Tangan
dengan Antisepsik Berbasis Alkohol Diadaptasi
dari WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care:
First Global Patient
Safety Challenge, World Health Organization, 2009.
2. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
a) UMUM
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai
berikut:
1) Alat
pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas untuk
memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.
2) APD
terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator
Partikulat, pelindung mata (goggle),
perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron,
sandal/sepatu tertutup (Sepatu
Boot).
3) Tujuan
Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran mukosa dari resiko pajanan
darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir
dari pasien ke petugas dan sebaliknya.
4) Indikasi
penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang memungkinkan tubuh atau
membran mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan tubuh atau kemungkinan
pasien terkontaminasi dari petugas.
5) Melepas
APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan.
6) Tidak
dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan sambil menulis
dan menyentuh permukaan lingkungan.
Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD)
b) JENIS-JENIS APD
1) Sarung tangan
Terdapat tiga jenis sarung tangan,
yaitu:
⁻ Sarung tangan bedah (steril), dipakai
sewaktu melakukan tindakan invasif atau pembedahan.
⁻ Sarung tangan pemeriksaan (bersih),
dipakai untuk melindungi petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan
pemeriksaan atau pekerjaan rutin
⁻ Sarung tangan rumah tangga, dipakai
sewaktu memproses peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu
membersihkan permukaan yang terkontaminasi.
Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks karena elastis,
sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi
mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang
menyerupai lateks, disebut ‘nitril’. Terdapat sediaan dari bahan sintesis yang
lebih murah dari lateks yaitu ‘vinil’ tetapi sayangnya tidak elastis, ketat
dipakai dan mudah robek. Sedangkan sarung tangan rumah tangga terbuat dari
karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif, tetapi memberikan perlindungan
maksimum sebagai pelindung pembatas.
Gambar 5. Pemasangan sarung tangan
2) Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran
mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien atau permukaan
lingkungan udara yang kotor dan
melindungi pasien atau permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat
batuk atau bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi hidung dan mulut serta
melakukan Fit Test (penekanan di
bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker, yaitu:
⁻ Masker bedah, untuk tindakan bedah atau
mencegah penularan melalui droplet.
⁻ Masker respiratorik, untuk mencegah
penularan melalui airborne.
⁻ Masker rumah tangga, digunakan di bagian
gizi atau dapur.
Gambar 6. Memakai Masker
Cara memakai masker:
⁻ Memegang pada bagian tali (kaitkan pada
telinga jika menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang
kepala jika menggunakan tali lepas).
⁻ Eratkan tali kedua pada bagian tengah
kepala atau leher.
⁻ Tekan klip tipis fleksibel (jika ada)
sesuai lekuk tulang hidung dengan kedua ujung
jari tengah atau telunjuk.
⁻ Membetulkan agar masker melekat erat
pada wajah dan di bawah dagu dengan baik.
⁻ Periksa ulang untuk memastikan bahwa
masker telah melekat dengan benar.
Gambar 7. Menekan klip pada tulang
hidung
Gambar 8. Masker respirator/partikulat
Pemakaian Respirator Partikulat
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95
atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk
melindungi seseorang dari partikel berukuran <5 mikron yang dibawa melalui
udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai
menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran.Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan
perlu melakukan fit test.
Hal yang perlu diperhatikan saat
melakukan fit test :
• Ukuran
respirator perlu disesuaikan dengan ukuran wajah.
• Memeriksa
sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat adanya cacat atau lapisan
yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak
dapat digunakan dan perlu diganti.
• Memastikan
tali masker tersambung dan menempel dengan baik di semua titik sambungan.
• Memastikan
klip hidung yang terbuat dari logam dapat disesuaikan bentuk hidung petugas.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang
aman bila tidak menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
• Adanya
janggut dan jambang
• Adanya
gagang kacamata
• Ketiadaan
satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi perlekatan bagian
wajah masker.
Gambar 9.Langkah-langkah
menggunakan respirator
Pemeriksaan Segel Positif
Hembuskan napas kuat-kuat. Tekanan
positif di dalam respirator berarti tidak ada kebocoran.Bila terjadi kebocoran
atur posisi dan/atau ketegangan tali.Uji kembali kerapatan respirator. Ulangi
langkah tersebut sampai respirator benar-benar tertutup rapat.
Pemeriksaan Segel Negatif
• Tarik
napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di dalam
respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran akan
menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat udara masuk
melalui celahcelah segelnya.
• Lamanya
penggunaan maksimal 1 (satu) minggu dengan pemeliharaan yang benar.
• Cara
pemeliharaan dan penyimpanan yang benar (setelah dipakai diletakkan di tempat
yang kering dan dimasukkan dalam kantong berlubang berbahan kertas).
3) Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas
dari kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi,
ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian petugas pada tindakan
steril.
Jenis-jenis gaun pelindung:
⁻ Gaun pelindung tidak kedap air
⁻ Gaun pelindung kedap air
⁻ Gaun steril
⁻ Gaun non steril
Indikasi penggunaan gaun pelindung
Tindakan atau penanganan alat yang memungkinkan
pencemaran atau kontaminasi pada pakaian petugas, seperti:
⁻ Membersihkan luka
⁻ Tindakan drainase
⁻ Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang
pembuangan atau WC/toilet
⁻ Menangani pasien perdarahan masif
⁻ Tindakan bedah
⁻ Perawatan gigi
Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika
terkontaminasi cairan tubuh pasien (darah).
Cara memakai gaun pelindung:
Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut,
lengan hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung.
Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.
Gambar 10. Gaun pelindung
4) Goggle
dan perisai wajah
Harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat
melindungi wajah dan mata.
Tujuan pemakaian Goggle dan perisai wajah:
Melindungi mata dan wajah dari percikan darah, cairan
tubuh, sekresi dan eksresi.
Indikasi:
Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan dan
tindakan persalinan, tindakan perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3 cair,
pemulasaraan jenazah, penanganan linen terkontaminasidi laundry, di ruang
dekontaminasi CSSD.
Gambar 11. Penutup Wajah
Gambar 12. Memakai Goggle
5) Sepatu
pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindung kaki
petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah
dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu
tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal.
Jenis sepatu pelindung seperti sepatu boot atau sepatu yang menutup seluruh
permukaan kaki.
Indikasi pemakaian sepatu
pelindung:
- Penanganan
pemulasaraan jenazah
- Penanganan
limbah
- Tindakan
operasi
- Pertolongan
dan Tindakan persalinan
- Penanganan
linen
- Pencucian
peralatan di ruang gizi
- Ruang
dekontaminasi CSSD
Gambar 13. Sepatu Pelindung
6) Topi
pelindung
Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah
jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap
alat-alat/daerah steril atau membran mukosa pasien dan juga sebaliknya untuk
melindungi kepala/rambut petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari
pasien.
Indikasi pemakaian topi pelindung:
- Tindakan
operasi
- Pertolongan
dan tindakan persalinan
- Tindakan
insersi CVL
- Intubasi
Trachea
- Penghisapan
lendir massive
- Pembersihan
peralatan kesehatan
Gambar 14.Topi Pelindung
c) PELEPASAN APD
Langkah-langkah melepaskan APD
adalah sebagai berikut:
⁻ Lepaskan sepasang sarung tangan
⁻ Lakukan kebersihan tangan
⁻ Lepaskan apron
⁻ Lepaskan perisai wajah (goggle)
⁻ Lepaskan gaun bagian luar
⁻ Lepaskan penutup kepala
⁻ Lepaskan masker
⁻ Lepaskan pelindung kaki
⁻ Lakukan kebersihan tangan
Gambar 15. Pelepasan APD
1) Melepas sarung tangan
⁻ Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan
telah terkontaminasi.
⁻ Pegang bagian luar sarung tangan dengan
sarung tangan lainnya, kemudian lepaskan.
⁻ Pegang sarung tangan yang telah dilepas
dengan menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan.
⁻ Selipkan jari tangan yang sudah tidak
memakai sarung tangan di bawah sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan
tangan.
⁻ Lepaskan sarung tangan di atas sarung
tangan pertama.
⁻ Buang sarung tangan di tempat limbah
infeksius.
Gambar 16.
Melepaskan Sarung Tangan 2) Melepas Goggle atau Perisai Wajah
⁻ Ingatlah bahwa
bagian luar goggle atau
perisai wajah telah terkontaminasi.
⁻ Untuk melepasnya, pegang karet atau
gagang goggle.
⁻ Letakkan di wadah yang telah disediakan
untuk diproses ulang atau dalam tempat
limbah infeksius.
Gambar 17. Melepaskan GoggleatauPerisaiWajah
3) Melepas
Gaun Pelindung
⁻ Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan
lengan gaun pelindung telah terkontaminasi
⁻ Lepas tali pengikat gaun.
⁻ Tarik dari leher dan bahu dengan
memegang bagian dalam gaun pelindung saja.
⁻ Balik gaun pelindung.
⁻ Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan
di wadah yang telah di sediakan untuk diproses ulang atau buang di tempat
limbah infeksius.
Gambar 18. Melepas Gaun Pelindung
4) Melepas
Masker
⁻ Ingatlah bahwa bagian depan masker telah
terkontaminasi- JANGAN SENTUH.
⁻ Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian
tali/karet bagian atas.
⁻ Buang ke tempat limbah infeksius.
Gambar 19. Melepas Masker
Penggunaan APD pada pasien harus ditetapkan melalui
Standar Prosedur Operasional (SPO) di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap
pasien infeksius sesuai dengan indikasi dan ketentuan Pencegahan Pengendalian
Infeksi (PPI), sedangkan penggunaan APD untuk pengunjung juga ditetapkan
melalui SPO di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap kunjungan ke lingkungan
infeksius. Pengunjung disarankan untuk tidak berlama-lama berada di lingkungan
infeksius.
3. DEKONTAMINASI PERALATAN PERAWATAN PASIEN
Pada tahun
1968 Spaulding mengusulkan tiga kategori risiko berpotensi infeksi untuk
menjadi dasar pemilihan praktik atau proses pencegahan yang akan digunakan
(seperti sterilisasi peralatan medis, sarung tangan dan perkakas lainnya)
sewaktu merawat pasien. Kategori Spaulding adalah sebagai berikut:
a) Kritikal
Bahan dan praktik ini berkaitan
dengan jaringan steril atau sistem darah sehingga merupakan risiko infeksi
tingkat tertinggi. Kegagalan manajemen sterilisasi dapat mengakibatkan infeksi
yang serius dan fatal. b) Semikritikal
Bahan dan praktik ini merupakan terpenting kedua
setelah kritikal yang berkaitan dengan mukosa dan area kecil di kulit yang
lecet.Pengelola perlu mengetahui dan memiliki keterampilan dalam penanganan
peralatan invasif, pemrosesan alat, Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT), pemakaian
sarung tangan bagi petugas yang menyentuh mukosa atau kulit tidak utuh.
c) Non-kritikal
Pengelolaan peralatan/ bahan dan praktik yang
berhubungan dengan kulit utuh yang merupakan risiko terendah. Walaupun
demikian, pengelolaan yang buruk pada bahan dan peralatan non-kritikal akan
dapat menghabiskan sumber daya dengan manfaat yang terbatas (contohnya sarung
tangan steril digunakan untuk setiap kali memegang tempat sampah atau
memindahkan sampah).
Dalam
dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan penatalaksanaan peralatan
bekas pakai perawatan pasien yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh (pre-cleaning, cleaning, disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai Standar Prosedur
Operasional (SPO) sebagai berikut:
a) Rendam
peralatan bekas pakai dalam air dan detergen atau enzyme lalu dibersihkan dengan menggunakan spons sebelum dilakukan
disinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau sterilisasi.
b) Peralatan
yang telah dipakai untuk pasien infeksius harus didekontaminasi terlebih dulu sebelum
digunakan untuk pasien lainnya.
c) Pastikan
peralatan sekali pakai dibuang dan dimusnahkan sesuai prinsip pembuangan sampah
dan limbah yang benar. Hal ini juga berlaku untuk alat yang dipakai berulang,
jika akan dibuang.
d) Untuk
alat bekas pakai yang akan di pakai ulang, setelah dibersihkan dengan
menggunakan spons, di DTT dengan klorin 0,5% selama 10 menit.
e) Peralatan
nonkritikal yang terkontaminasi, dapat didisinfeksi menggunakan alkohol 70%.
Peralatan semikritikal didisinfeksi atau disterilisasi, sedangkan peralatan
kritikal harus didisinfeksi dan disterilisasi.
f) Untuk
peralatan yang besar seperti USG dan X-Ray,
dapat didekontaminasi permukaannya setelah digunakan di ruangan isolasi.
Gambar 20. Alur Dekontaminasi
Peralatan Perawatan Pasien Keterangan Alur:
1) Pembersihan
Awal (pre-cleaning): Proses yang membuat benda mati lebih aman untuk ditangani
oleh petugas sebelum di bersihkan(umpamanya menginaktivasi HBV, HBC, dan HIV)
dan mengurangi, tapi tidak menghilangkan, jumlah mikroorganisme yang
mengkontaminasi.
2) Pembersihan:
Proses yang secara fisik membuang semua kotoran, darah, atau cairan tubuh
lainnya dari permukaan benda mati ataupun membuang sejumlah mikroorganisme untuk mengurangi risiko bagi
mereka yang menyentuh kulit atau menangani objek tersebut. Proses ini adalah
terdiri dari mencuci sepenuhnya dengan sabun atau detergen dan air atau menggunakan
enzim, membilas dengan air bersih, dan mengeringkan.
Jangan menggunakan pembersih yang
bersifat mengikis, misalnya
Vim®atau Comet® atau serat baja atau baja berlubang,
karena produk produk ini bisa menyebabkan goresan. Goresan ini kemudian menjadi
sarang mikroorganisme yang membuat proses pembersihan menjadi lebih sulit serta
meningkatkan pembentukan karat.
3) Disinfeksi
Tingkat Tinggi (DTT): Proses menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali
beberapa endospora bakterial dari objek,dengan merebus, menguapkan atau memakai
disinfektan kimiawi.
4) Sterilisasi:
Proses menghilangkan semua mikroorganisme (bakteria, virus, fungi dan parasit)
termasuk endospora menggunakan uap tekanan tinggi (otoklaf), panas kering
(oven), sterilisasi kimiawi, atau radiasi.
a. Sterilisator
Uap Tekanan Tinggi (autoklaf):
Sterilisasi uap tekanan tinggi adalah metode
sterilisasi yang efektif, tetapi juga paling sulit untuk dilakukan secara
benar.Pada umumnya sterilisasi ini adalah metode pillihan untuk mensterilisasi
instrumen dan alat-alat lain yang digunakan pada berbagai fasilitas pelayanan
kesehatan. Bila aliran listrik bermasalah, maka instrumen-instrumen tersebut
dapat disterilisasi dengan sebuah sterilisator uap non-elektrik dengan
menggunakan minyak tanah atau bahan bakar lainnya sebagai sumber panas.Atur
agar suhu harus berada pada 121°C; tekanan harus berada pada 106 kPa; selama 20
menit untuk alat tidak terbungkus dan 30 menit untuk alat terbungkus. Biarkan
semua peralatan kering sebelum diambil dari sterilisator. Set tekanan kPa atau
lbs/in² mungkin berbeda tergantung pada jenis sterilisator yang digunakan.
Ikuti rekomendasi pabrik, jika mungkin.
b. Sterilisator
Panas Kering (Oven):
Baik untuk iklim yang lembab tetapi membutuhkan aliran
listrik yang terus menerus, menyebabkan alat ini kurang praktis pada area
terpencil atau pedesaan. Selain itu sterilisasi panas kering yang membutuhkan
suhu lebih tinggi hanya dapat digunakan untuk bendabenda dari gelas atau
logam–karena akan melelehkan bahan lainnya. Letakkan instrumen di oven,
panaskan hingga 170°C, selama 1 (satu) jam dan kemudian didinginkan selama
2-2,5 jam atau 160°C selama 2 (dua) jam.Perlu diingat bahwa waktu paparan
dimulai setelah suhu dalam sterilisator telah mencapai suhu sasaran. Tidak
boleh memberi kelebihan beban pada sterilisator karena akan mengubah konveksi
panas. Sisakan ruang kurang lebih 7,5 cm antara bahan yang akan disterilisasi
dengan dinding sterilisator.
4. PENGENDALIAN LINGKUNGAN
Pengendalian
lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain berupa upaya perbaikan
kualitas udara, kualitas air, dan permukaan lingkungan, serta desain dan
konstruksi bangunan, dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme kepada
pasien, petugas dan pengunjung.
a) Kualitas
Udara
Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet untuk kebersihan udara, kecuali dry mist dengan H2O2
dan penggunaan sinar UV untuk terminal dekontaminasi ruangan pasien dengan
infeksi yang ditransmisikan melalui air
borne. Diperlukan pembatasan jumlah personil di ruangan dan ventilasi yang
memadai. Tidak direkomendasikan melakukan kultur permukaan lingkungan secara
rutin kecuali bila ada outbreak atau
renovasi/pembangunan gedung baru.
b) Kualitas
air
Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi
baik menyangkut bau, rasa, warna dan susunan kimianya termasuk debitnya sesuai
ketentuan peraturan perundangan mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas
air minum dan mengenai persyaratan kualitas air minum.
Kehandalan penyaluran air bersih ke seluruh ruangan
dan gedung perlu memperhatikan :
⁻ Sistem Jaringan. Diusahakan ruangan yang membutuhkan air yang
bersih menggunakan jaringan yang handal. Alternatif dengan 2 saluran, salah
satu di antaranya adalah saluran cadangan.
⁻ Sistem Stop Kran dan Valve.
c) Permukaan lingkungan
Seluruh pemukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas
sampah, bebas serangga (semut, kecoa, lalat, nyamuk) dan binatang pengganggu
(kucing, anjing dan tikus) dan harus dibersihkan secara terus menerus. Tidak
dianjurkan menggunakan karpet di ruang perawatan dan menempatkan bunga segar,
tanaman pot, bunga plastik di ruang perawatan. Perbersihan permukaan dapat
dipakai klorin 0,05%, atau H2O2 0,5-1,4%, bila ada cairan
tubuh menggunakan klorin 0,5%.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat dan
melaksanakan SPO untuk pembersihan, disinfeksi permukaan lingkungan,tempat
tidur, peralatan disamping tempat tidur dan pinggirannya yang sering tersentuh.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mempunyai
disinfektan yang sesuai standar untuk mengurangi kemungkinan penyebaran
kontaminasi.
Untuk mencegah aerosolisasi kuman patogen penyebab
infeksi pada saluran napas, hindari penggunaan sapu ijuk dan yang sejenis, tapi
gunakan cara basah (kain basah) dan mop
(untuk pembersihan kering/lantai),bila dimungkinkan mop terbuat dari microfiber.
Mop untuk
ruang isolasi harus digunakan tersendiri, tidak digunakan lagi untuk ruang
lainnya.
Gambar 21. Mop
Larutan disinfektan yang biasa dipakai yaitu natrium
hipoklorit 0,050,5%.
Bila ada cairan tubuh, alcohol digunakan untuk area
sempit, larutan peroksida (H2O2) 0,5-1,4% untuk ruangan rawat dan 2% untuk
permukaan kamar operasi, sedangkan 5-35% (dry
mist) untuk udara.
Ikuti aturan pakai cairan disinfektan, waktu kontak dan
cara pengencerannya.
Untuk lingkungan yang sering digunakan pembersihannya
dapat diulang menggunakan air dan detergen, terutama bila di lingkungan
tersebut tidak ditemukan mikroba multi resisten.
Pembersihan area sekitar pasien:
⁻ Pembersihan permukaan sekitar pasien
harus dilakukan secara rutin setiap hari, termasuk setiap kali pasien
pulang/keluar dari fasyankes (terminal dekontaminasi).
⁻ Pembersihan juga perlu dilaksanakan
terhadap barang yang sering tersentuh tangan, misalnya: nakas disamping tempat
tidur,tepi tempat tidur dengan bed rails,tiang
infus, tombol telpon, gagang pintu, permukaan meja kerja, anak kunci, dll.
⁻ Bongkaran pada ruang rawat dilakukan
setiap 1 (satu) bulan atau sesuai dengan kondisi hunian ruangan.
d) Desain dan konstruksi bangunan
Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu
pada pedoman PPI secara efektif dan tepat guna. Desain dari faktor berikut
dapat mempengaruhi penularan infeksi yaitu jumlah petugas kesehatan, desain
ruang rawat, luas ruangan yang tersedia, jumlah dan jenis pemeriksaan/prosedur,
persyaratan teknis komponen lantai, dinding dan langit-langit, air, listrik dan
sanitasi, ventilasi dan kualitas udara, pengelolaan alat medisreused dan disposable, pengelolaan makanan, laundry dan limbah. Untuk lebih
jelasnya diuraikan sebagai berikut:
1) Desain jumlah petugas kesehatan
- Perencanaan
kebutuhan jumlah petugas kesehatan disesuaikan dengan jumlah pasien
- Pertimbangan
faktor kelelahan bisa berakibat kelalaian.
- Tingkat
kesulitan pelayanan terhadap pasien berdasarkan tingkat risiko jenis penyakit
2) Desain
ruang rawat
- Tersedia
ruang rawat satu pasien (single room)
untuk isolasi pasien infeksius dan pasien dengan imunitas rendah.
- Jarak
antar tempat tidur adalah ≥1 meter. Bila memungkinkan 1,8 m.
- Tiap
kamar tersedia fasilitas Alcohol–Based
Hand Rub (ABHR), disarankan untuk ruang rawat intensif tersedia ABHR di
setiap tempat tidur.
- Tersedia
toilet yang dilengkapi shower di
setiap kamar pasien. 3) Luas
ruangan yang tersedia
- Ruang
rawat pasien disarankan mempunyai luas lantai bersih antara 12-16 m2
per tempat tidur.
- Ruang
rawat intensif dengan modul kamar individual/kamar isolasi luas lantainya 16-20
m2 per kamar.
- Rasio
kebutuhan jumlah tempat duduk di ruang tunggu bagi pengunjung pasien adalah 1
tempat tidur pasien:1-2 tempat duduk.
4) Jumlah,
jenis pemeriksaan dan prosedur
- Kebutuhan
ketersediaan alat medis dan APD berdasarkan jenis penyakit yang ditangani.
- Lokasi
penyimpanan peralatan medis dan APD di masing-masing unit pelayanan harus mudah
dijangkau, tempat penyimpanannya harus bersih dan steril terutama peralatan
medis harus steril.
5) Persyaratan
teknis komponen lantai, dinding dan langit-langit
a. Komponen
lantai dan permukaan lantai meliputi:
• Kontruksi
dasar lantai harus kuat di atas tanah yang sudah stabil, permukaan lantai harus
kuat dan kokoh terhadap beban.
• Permukaan
lantai terbuat dari bahan yang kuat,halus, kedap air mudah dibersihkan, tidak
licin, permukaan rata, tidak bergelombang dan tidak menimbulkan genangan air.
Dianjurkan menggunakan vinyl dan tidak dianjurkan menggunakan lantai keramik
dengan nat di ruang rawat intensif dan IGD karena akan dapat menyimpan
mikroba.
• Permukaan
lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan secara rutin minimal 2
(dua) kali sehari atau kalau perlu dan tahan terhadap gesekan dan tidak boleh
dilapisi karpet.
• Penutup
lantai harus berwarna cerah dan tidak menyilaukan mata.
• Lantai
yang selalu kontak dengan air harus mempunyai kemiringan yang cukup ke arah
saluran pembuangan air limbah.
• Pada
daerah dengan kemiringan kurang dari 7O, penutup lantai harus dari
lapisan permukaan yang tidak licin.
• Pertemuan
antara lantai dengan dinding harus menggunakan bahan yang tidak bersiku, tetapi
melengkung untuk memudahkan pembersihan lantai (hospital plint).
• Memiliki
pola lantai dengan garis alur yang menerus ke seluruh ruangan pelayanan.
b. Komponen
dinding meliputi:
• Dinding
harus mudah dibersihkan,tahan cuaca dan tidak mudah berjamur.
• Lapisan
penutup dinding harus bersifat tidak berpori sehingga dinding tidak menyimpan
debu.
• Warna
dinding cerah tetapi tidak menyilaukan mata.
• Pertemuan
antara dinding dengan dinding harus tidak bersiku, tetapi melengkung untuk
memudahkan pembersihan dan mikroba tidak terperangkap di tempat tersebut.
c. Komponen
langit-langit meliputi:
• Harus
mudah dibersihkan, tahan terhadap segala cuaca, tahan terhadap air, tidak
mengandung unsur yang dapat membahayakan pasien, serta tidak berjamur.
• Memiliki
lapisan penutup yang bersifat tidak berpori sehingga tidak menyimpan debu.
• Berwarna
cerah, tetapi tidak menyilaukan.
6) Air,
Listrik dan Sanitasi
Air dan Listrik di RS harus tersedia terus menerus
selama 24 jam. Air minum harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh
pemerintah, jadi harus diperiksa secara teratur dan rutin setiap bulan
sekali.Pengelolaan air yang digunakan di unit khusus [kamar operasi, unit
hemodialisis, ICU (pasien dengan kebutuhan air khusus)] harus bisa mencegah
perkembangan mikroba lingkungan (Legionella
sp,
Pseudomonas,
jamur dan lain-lain) dengan metode Reverse
Osmosis (di dalamnya terjadi proses penyaringan atau desinfeksi menggunakan
sinar ultraviolet atau bahan lainnya). Toilet dan wastafel harus dibersihkan
setiap hari.
7) Ventilasi
dan Kualitas udara
Semua lingkungan perawatan pasien diupayakan seminimal
mungkin kandungan partikel debu, kuman dan spora dengan menjaga kelembaban dan
pertukaran udara. Pertukaran udara dalam tiap ruangan berbeda tekanan dengan
selisih 15 Pascal. Ruang perawatan biasa minimal 6X pergantian udara per jam,
ruang isolasi minimal 12X dan ruang kamar operasi minimal 20Xperjam. Perawatan
pasien TB paru menggunakan ventilasi natural dengan kombinasi ventilasi mekanik
sesuai anjuran dari WHO.
Pemanfaatan Sistem Ventilasi:
Sistem Ventilasi adalah sistem yang menjamin
terjadinya pertukaran udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai,
sehingga konsentrasi droplet nuklei menurun.
Secara garis besar ada dua jenis
sistem ventilasi yaitu:
• Ventilasi
Alamiah: sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan jendela terbuka,
serta skylight (bagian atas ruangan
yang bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam gedung dan
sebaliknya. Sebaiknya menggunakan ventilasi alami dengan menciptakan aliran
udara silang (cross ventilation) dan
perlu dipastikan arah angin yang tidak membahayakan petugas/pasien lain.
• Ventilasi
Mekanik: sistem ventilasi yang menggunakan peralatan mekanik untuk mengalirkan
dan mensirkulasi udara di dalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan/menyedot
udara ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan udara positif dan negatif
termasuk exhaust fan, kipas angin
berdiri (standing fan) atau duduk.
• Ventilasi
campuran (hybrid): sistem ventilasi
alamiah ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah efektifitas
penyaluran udara.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis
fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan
kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca, peraturan bangunan,
budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring
dan pemeliharaan secara periodik.
Ventilasi campuran:
Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara
sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar udara luar yang segar dapat masuk
ke semua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun langit-langit di
ruangan di mana banyak orang berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka
maksimal.
Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik),
yaitu dengan penggunaan exhaust fan/kipas
angin yang dipasang dengan benar dan dipelihara dengan baik, dapat membantu
untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila dengan ventilasi alamiah saja tidak
dapat mencapai rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin cukup efektif
untuk mendilusi udara ruangan dibandingkan dengan ruangan dengan jendela
terbuka saja atau ruangan tertutup. Penggunaan exhaust fan sebaiknya udara pembuangannya tidak diarahkan ke ruang
tunggu pasien atau tempat lalu lalang orang. Bila area pembuangan tidak
memungkinkan, pembuangan udara dihisap
dengan exhaust fan, dialirkan melalui
ducting dan area pembuangannya
dilakukan di luar area lalu lalang orang (≥ 25 feet).
Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik
yang akan digunakan sebaiknya di sesuaikan dengan kebutuhan yang ada dan
diletakkan pada tempat yang tepat. Kipas angin yang dipasang pada langit-langit
(ceiling fan) tidak dianjurkan.
Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja dapat mengalirkan
udara ke arah tertentu, hal ini dapat berguna untuk PPI TB bila dipasang pada
posisi yang tepat, yaitu dari petugas kesehatan ke arah pasien.
Gambar 22. Tata Letak Furniture Ruang Periksa Pasien dan Alur Udara
Pemasangan Exhaust
fan yaitu kipas yang dapat langsung menyedot udara keluar dapat
meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang dilengkapi saluran udara keluar, harus dibersihkan
secara teratur, karena dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan
kotoran, sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang dapat dialirkan.
Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang
jendela yang dapat dibuka dengan maksimal dan menempatkan jendela pada sisi
tembok ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi aliran udara silang (crossventilation). Meskipun fasyankes
mempertimbangkan untuk memasang sistem ventilasi mekanik, ventilasi alamiah
perlu diusahakan semaksimal mungkin.
Yang direkomendasikan adalah
ventilasi campuran:
• Usahakan
agar udara luar segar dapat masuk ke semua ruangan.
• Dalam
ventilasi campuran, ventilasi alami perlu diusahakan semaksimal mungkin.
• Penambahan
dan penempatan kipas angin untuk meningkatkan laju pertukaran udara harus
memperhatikan arah aliran udara yang dihasilkan.
• Mengoptimalkan
aliran udara.
• Menyalakan
kipas angin selama masih ada orang-orang di ruangan tersebut (menyalakan kipas
angin bila ruangan digunakan).
Pembersihan dan perawatan:
• Gunakan
lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran dari kipas angin.
• Perlu
ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung jawab terhadap kondisi kipas yang
masih baik, bersih dll.
• Periksa
ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali dalam sebulan)/dirasakan
ventilasi sudah kurang baik.
• Catat
setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan dengan baik.
Gambar 23. Ruang tunggu yang memanfaatkan ventilasi alami
Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih
ada beberapa kelemahan, selain keuntungan yang sudah dijelaskan diatas.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sisten
ventilasi ini dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 1. Kelebihan dan kelemahan penggunaan sistem
ventilasi campuran
Ventilasi mekanik:
Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi
mekanik, bila sistem ventilasi alamiah atau campuran tidak adekuat, misalnya
pada gedung tertutup.
Sistem Ventilasi Sentral pada gedung tertutup
adalah sistem mekanik yang mensirkulasi udara didalam suatu gedung. Dengan
menambahkan udara segar untuk mendilusi udara yang ada, sistem ini dapat
mencegah penularan TB. Tetapi dilain pihak, sistem seperti ini juga dapat
menyebarkan partikel yang mengandung M.Tb ke ruangan lain dimana tidak ada
pasien TB, karena sistem seperti ini meresirkulasi udara keseluruh gedung.
Persyaratan sistem ventilasi mekanik yang dapat mengendalikan penularan TB
adalah:
• Harus
dapat mengalirkan udara bersih dan menggantikan udara yang terkontaminasi di
dalam ruangan.
• Harus
dapat menyaring (dengan pemasangan filter) partikel yang infeksius dari udara
yang di resirkulasi.
• Bila
perlu ditambahkan lampu UV untuk mendesinfeksi udara yang di resirkulasi.
Gambar 24. Bagan sistem ventilasi
tertutup
8) Pengelolaan
alat medik reused dan disposable
Pengelolaan alat medik bersih dengan yang kotor
harus terpisah.Persiapan pemasangan infus dan suntikan dilakukan di ruang
bersih dan terpisah dari ruang prosedur kotor (pencucian pispot pasien, alat
terkontaminasi, dan lain-lain). Harus tersedia ruangan sterilisasi alat medik.
Semua alat steril harus disimpan di lemari/wadah tertutup dan bebas debu dan kuman. Alat disposable tidak boleh diproses/dicuci,
tetapi langsung dibuang di tempat sampah sesuai jenis limbahnya, baik yang
infeksius maupun atau non-infeksius.
9) Pengelolaan
makanan
a. Pengelolaan
makanan pasien harus dilakukan oleh tenaga terlatih. Semua permukaan di dapur
harus mudah dibersihkan dan tidak mudah menimbulkan jamur.
b. Tempatpenyimpanan
bahan makanan kering harus memenuhi syarat penyimpanan bahan makanan, yaitu
bahan makanan tidak menempel ke lantai, dinding maupun ke atap.
c. Makanan
hangat harus dirancang agar bisa segera dikonsumsi pasien sebelum menjadi
dingin. Makanan dirancang higienis hingga siap dikonsumsi pasien.
5. PENGELOLAAN LIMBAH
a) Risiko
Limbah
Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain
sebagai sarana pelayanan kesehatan adalah tempat berkumpulnya orang sakit
maupun sehat, dapat menjadi tempat sumber penularan penyakit serta memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, juga menghasilkan
limbah yang dapat menularkan penyakit. Untuk menghindari risiko tersebut maka
diperlukan pengelolaan limbah di fasilitas pelayanan kesehatan.
b) Jenis
Limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan
minimalisasi limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah
yang dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle).
Tabel 2. Jenis wadah dan label
limbah medis padatsesuai kategorinya
c) Tujuan
Pengelolaan Limbah
1) Melindungi
pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi dan cidera.
2) Membuang
bahan-bahan berbahaya (sitotoksik, radioaktif, gas, limbah infeksius, limbah
kimiawi dan farmasi) dengan aman.
d) Proses Pengelolaan Limbah
Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi,
pemisahan, labeling, pengangkutan, penyimpanan hingga
pembuangan/pemusnahan.
1) Identifikasi
jenis limbah:
Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat,
cair, dan gas. Sedangkan kategori limbah medis padat terdiridari benda tajam,
limbah infeksius, limbah patologi, limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan,
limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah dengan kandungan logam berat, limbah
kimia, dan limbah radioaktif.
2) Pemisahan
Limbah
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan
dengan memisahkan limbah sesuai dengan jenisnya.
Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara lain:
− Limbah
infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh masukkan kedalam
kantong plastik berwarna kuning.
Contoh: sampel laboratorium, limbah patologis
(jaringan, organ, bagian dari tubuh, otopsi, cairan tubuh, produk darah yang
terdiri dari serum, plasma, trombosit dan lain-lain), diapers dianggap limbah
infeksius bila bekas pakai pasien infeksi saluran cerna, menstruasi dan pasien
dengan infeksi yang di transmisikan lewat darah atau cairan tubuh lainnya.
− Limbah
non-infeksius: Limbah yang tidak terkontaminasi darah dan cairan tubuh,
masukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
Contoh: sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah
kantor.
− Limbah
benda tajam: Limbah yang memiliki permukaan tajam, masukkan kedalam wadah tahan
tusuk dan air. Contoh: jarum, spuit, ujung infus, benda yang berpermukaan
tajam.
− Limbah
cair segera dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah cair (spoelhoek).
3)
Wadah tempat penampungan sementara limbah infeksius
berlambang biohazard. Wadah limbah di
ruangan:
− Harus
tertutup
− Mudah
dibuka dengan menggunakan pedal kaki
− Bersih
dan dicuci setiap hari
− Terbuat
dari bahan yang kuat, ringan dan tidak berkarat
− Jarak
antar wadah limbah 10-20 meter, diletakkan di ruang tindakan dan tidak boleh di
bawah tempat tidur pasien
− Ikat
kantong plastik limbah jika sudah terisi ¾ penuh
4)
Pengangkutan
− Pengangkutan
limbah harus menggunakan troli khusus yang kuat, tertutup dan mudah
dibersihkan, tidak boleh tercecer, petugas menggunakan APD ketika mengangkut
limbah.
− Lift
pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila tidak memungkinkan atur
waktu pengangkutan limbah
5)
Tempat Penampungan Limbah Sementara
− Tempat
Penampungan Sementara (TPS) limbah sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir
pembuangan.
− Tempatkan limbah dalam kantong
plastik dan ikat dengan kuat.
− Beri
label pada kantong plastik limbah.
− Setiap
hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali sehari.
− Mengangkut limbah harus menggunakan
kereta dorong khusus.
− Kereta
dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup limbah tidak boleh ada yang
tercecer.
− Gunakan
APD ketika menangani limbah.
− TPS harus di area terbuka, terjangkau
oleh kendaraan, aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering. 6) Pengolahan Limbah
− Limbah
infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
− Limbah
non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan akhir
(TPA).
− Limbah
benda tajam dimusnahkan dengan insenerator. Limbah cair dibuang ke spoelhoek.
− Limbah
feces, urin, darah dibuang ke tempat pembuangan/pojok limbah (spoelhoek).
7) Penanganan Limbah Benda Tajam/ Pecahan Kaca
− Janganmenekuk
atau mematahkan benda tajam.
− Jangan
meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat.
− Segera
buang limbah benda tajam ke wadah yang tersedia tahan tusuk dan tahan air dan
tidak bisa dibuka lagi.
− Selalu
buang sendiri oleh si pemakai.
− Tidak
menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai
(recapping).
− Wadah
benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.
− Bila
menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung tangan rumah tangga.
− Wadah
Penampung Limbah Benda Tajam
· Tahan bocor dan tahan
tusukan
· Harus mempunyai
pegangan yang dapat dijinjing dengan satu tangan
· Mempunyai penutup
yang tidak dapat dibuka lagi
· Bentuknya dirancang
agar dapat digunakan dengan satu tangan
· Ditutup dan diganti
setelah ¾ bagian terisi dengan limbah
· Ditangani bersama
limbah medis
Gambar
25. Wadah Limbah Laboratorium
Gambar 26. Wadah Tahan Tusuk
8) Pembuangan Benda Tajam
− |
Wadah
benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan ke dalam kantong
medis sebelum insinerasi. |
− |
Idealnya semua benda
tajam dapat diinsinersi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan
dikapurisasi bersama limbah lain. |
− |
Apapun
metode yang digunakan haruslah tidak memberikan |
kemungkinan perlukaan.
Gambar 27. Alur Tata Kelola Limbah
Debu sisa pembakaran dari hasil
incinerator dapat menimbulkan resiko, debu hasil pembakaran incinerator dapat terdiri dari logam
berat dan bahan toksik lain sehingga menimbulkan situasi yang menyebabkan
sintesa DIOXIN dan FURAN akibat dari incinerator
sering bersuhu area 200-450áµ’C. Selain itu sisa
pembakaran jarum dan gelas yang sudah terdesinfeksi tidak bisa hancur menjadi
debu dapat masih menimbulkan resiko pajanan fisik.
Metoda penanganan autoclave dan disinfeksi dengan uap
panas juga dapat menimbulkan produk hazard yang perlu penanganan yang lebih
baik. Pada prinsipnya, untuk menghindari pajanan fisik maka perlu perawatan dan
operasional incinerator yang baik
6. PENATALAKSANAAN LINEN
Linen terbagi menjadi linen
kotor dan linen terkontaminasi. Linen terkontaminasi adalah linen yang terkena
darah atau cairan tubuh lainnya, termasuk juga benda tajam. Penatalaksanaan
linen yang sudah digunakan harus dilakukan dengan hati-hati. Kehatianhatian ini
mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan membersihkan tangan secara
teratur sesuai pedoman kewaspadaan standar dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a) Fasilitas
pelayanan kesehatan harus membuat SPO penatalaksanaan linen. Prosedur penanganan,
pengangkutan dan distribusi linen harus jelas,aman dan memenuhi kebutuhan
pelayanan.
b) Petugas
yang menangani linen harus mengenakan APD (sarung tangan rumah tangga, gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).
c)
Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan
linen terkontaminasi cairan tubuh, pemisahan dilakukan sejak dari lokasi
penggunaannya oleh perawat atau petugas.
d) Minimalkan
penanganan linen kotor untuk mencegah kontaminasi ke udara dan petugas yang
menangani linen tersebut. Semua linen kotor segera dibungkus/dimasukkan ke
dalam kantong kuning di lokasi penggunaannya dan tidak boleh disortir atau
dicuci di lokasi dimana linen dipakai.
e)
Linen yang terkontaminasi dengan darah atau
cairan tubuh lainnya harus dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan diangkut/ditranportasikan
secara berhati-hati agar tidak terjadi kebocoran.
f)
Buang terlebih dahulu kotoran seperti faeces ke washer bedpan, spoelhoek
atau toilet dan segera tempatkan linen terkontaminasi ke dalam kantong
kuning/infeksius. Pengangkutan dengan troli yang terpisah, untuk linen kotor
atau terkontaminasi dimasukkan ke dalam kantong kuning. Pastikan kantong tidak
bocor dan lepas ikatan selama transportasi.Kantong tidak perlu ganda.
g)
Pastikan alur linen kotor dan linen
terkontaminasi sampai di laundry
TERPISAH dengan linen yang sudah bersih.
h) Cuci
dan keringkan linen di ruang laundry.
Linen terkontaminasi seyogyanya langsung masuk mesin cuci yang segera diberi
disinfektan.
i)
Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius
pada linen dilakukan melalui 2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan selanjutnya
dengan Natrium hipoklorit (Klorin) 0,5%. Apabila dilakukan perendaman maka
harus diletakkan di wadah tertutup agar tidak menyebabkan toksik bagi petugas.
Gambar 28. Linen Siap Pakai
Gambar 29. Gambar Pengangkutan Linen
terkontaminasi; Kantong Linen
terkontaminasi
7. PERLINDUNGAN
KESEHATAN PETUGAS
Lakukan pemeriksaan kesehatan
berkala terhadap semua petugas baik tenaga kesehatan maupun tenaga
nonkesehatan. Fasyankes harus mempunyai kebijakan untuk penatalaksanaan akibat
tusukan jarum atau benda tajam bekas pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa
yang harus dihubungi saat terjadi kecelakaan dan pemeriksaan serta konsultasi
yang dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan.
Petugas harus selalu waspada dan
hati-hati dalam bekerja untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum, scalpel dan alat tajam lain yang dipakai
setelah prosedur, saat membersihkan instrumen dan saat membuang jarum.
Jangan melakukan penutupan kembali
(recap) jarum yang telah dipakai,
memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan atau melepas jarum dari spuit.
Buang jarum, spuit, pisau,scalpel,
dan peralatan tajam habis pakai lainnya kedalam wadah khusus yang tahan
tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator. Bila wadah khusus
terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk menghindari tercecer.
Apabila terjadi kecelakaan kerja
berupa perlukaan seperti tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik
bahan infeksius maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif
untuk mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan.
Sebagian besar insiden
pajanan okupasional adalah infeksi melalui darah yang terjadi dalam fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B dan hepatitis C adalah
patogen melalui darah yang berpotensi paling berbahaya, dan kemungkinan pajanan
terhadap patogen ini merupakan penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan
di seluruh dunia.
Risiko mendapat infeksi lain yang
dihantarkan melalui darah (bloodborne)
seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi
HIV. Sehingga tatalaksana pajanan okupasional terhadap penyebab infeksi tidak
terbatas pada PPP HIV saja.
Di seluruh fasyankes, kewaspadaan
standar merupakan layanan standar minimal untuk mencegah penularan patogen
melalui darah.
7.1. TATALAKSANA PAJANAN
Tujuan tatalaksana pajanan
adalah untuk mengurangi waktu kontakdengan darah, cairan tubuh, atau jaringan
sumber pajanan dan untuk membersihkan dan melakukan dekontaminasi tempat
pajanan. Tatalaksananya adalah sebagai berikut:
a. Bila
tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun/cairan antiseptik
sampai bersih
b. Bila
darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir
c.
Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan
dan kumurkumur dengan air beberapa kali.
d. Bila
terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi), dengan posisi
kepala miring kearah mata yang terpercik.
e.
Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar
dan bersihkan dengan air.
f.
Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan
dan dihisap dengan mulut.
7.2 TATALAKSANA PAJANAN BAHAN
INFEKSIUS DI TEMPAT KERJA
Langkah 1: Cuci
a. Tindakan
darurat pada bagian yang terpajan seperti tersebut di atas.
b. Setiap
pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan langsung dan
Komite PPI atau K3. Laporan tersebut sangat penting untuk menentukan langkah
berikutnya. Memulai PPP sebaiknya secepatnya kurang dari 4 jam dan tidak lebih
dari 72 jam, setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak efektif.
Langkah 2: Telaah pajanan
a. Pajanan
Pajanan yang memiliki risiko
penularan infeksi adalah:
− Perlukaan
kulit
− Pajanan
pada selaput mukosa
− Pajanan
melalui kulit yang luka
b. Bahan
Pajanan
Bahan yang memberikan risiko
penularan infeksi adalah:
− Darah
− Cairan
bercampur darah yang kasat mata
− Cairan
yang potensial terinfeksi: semen, cairan vagina, cairan serebrospinal, cairan
sinovia, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perickardial, cairanamnion
− Virus
yang terkonsentrasi
c.
Status Infeksi
Tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum
diketahui), dilakukan pemeriksaan :
− Hbs
Ag untuk Hepatitis B
− Anti
HCV untuk Hepatitis C
− Anti
HIV untuk HIV
− Untuk
sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya
− Faktor
risiko yang tinggi atas ketiga infeksi di atas
d. Kerentanan
Tentukan kerentanan orang yang terpajan dengan cara:
− Pernahkan
mendapat vaksinasi Hepatitis B.
− Status
serologi terhadap HBV (titer Anti HBs ) bila pernah mendapatkan vaksin.
− PemeriksaanAnti
HCV (untuk hepatitis C)
− Anti
HIV (untuk infeksi HIV)
7.3. LANGKAH DASAR TATALAKSANA
KLINIS PPP HIV PADA KASUS KECELAKAAN KERJA
1. Menetapkan
memenuhi syarat untuk PPP HIV.
2. Memberikan
informasi singkat mengenai HIV untuk mendapatkan persetujuan (informed consent).
3. Memastikan
bahwa korban tidak menderita infeksi HIV dengan melakukan tes HIV terlebih
dahulu.
4. Pemberian
obat-obat untuk PPP HIV.
5. Melaksanakan
evaluasi laboratorium.
6. Menjamin
pencatatan.
7. Memberikan
follow-up dan dukungan
1. Menetapkan Memenuhi Syarat Untuk PPP HIV
Evaluasi memenuhi syarat untuk PPP HIV adalah meliputi
penilaian keadaan berikut:
• Waktu
terpajan
• Status
HIV orang terpajan
• Jenis
dan risiko pajanan
• Status
HIV sumber pajanan
1.1 Waktu memulai PPP HIV
PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan,
dalam 4 jam pertama dan tidak boleh lebih dari 72 jam setelah terpajan.
Dosis pertama atau bahkan lebih baik lagi paket PPP
HIV harus tersedia di fasyankes untuk orang yang potensial terpajan setelah
sebelumnya dilakukan tes HIV dengan hasil negatif.
1.2 Infeksi
HIV yang sebelumnya sudah ada
Kita harus selalu menyelidiki kemungkinan orang yang
terpajan sudah mendapat infeksi HIV sebagai bagian dari proses penilaian
memenuhi syarat untuk PPP, dan jika orang tersebut telah mendapat infeksi HIV
sebelumnya, maka PPP tidak boleh diberikan dan tindakan pengobatan dan semua
paket perawatan seperti skrining TB, IMS, penentuan stadium klinis dll sesuai
dengan pedoman ARV mutlak perlu dilakukan.
1.3 Penilaian
pajanan HIV
Orang yang terpajan pada membran mukosa (melalui
pajanan seksual atau percikan ke mata, hidung atau rongga mulut) atau kulit
yang tidak utuh (melalui tusukan perkutaneus atau abrasi kulit) terhadap cairan
tubuh yang potensial infeksius dari sumber terinfeksi HIV atau yang tidak
diketahui statusnya harus diberikan PPP HIV.Jenis pajanan harus dikaji lebih
rinci untuk menentukan risiko penularan. Dokter dapat menerapkan algoritma
penilaian risiko untuk membantu dalam proses penentuan memenuhi syaratnya.
1.4 Penilaian
status HIV dari sumber pajanan
Mengetahui status HIV dari sumber pajanan sangat
membantu.Pada kasus kekerasan seksual, sulit untuk mengidentifikasi pelaku dan
memperoleh persetujuan untuk dites. Jika sumber pajanan HIV negatif, PPP jangan
diberikan. Pemberian informasi singkat mengenai HIV dan tes HIV yang standar
harus diikuti dalam melakukan testing terhadap sumber pajanan, yang meliputi
persetujuan tes HIV (dapat diberikan secara verbal) dan menjaga kerahasiaan
hasil tes. Tidak ada formula atau mekanisme yang sederhana dapat diterapkan
untuk menentukan kemungkinan bahwa sumber yang tidak diketahui atau dites
terinfeksi HIV.Karena itu, penilaian status HIV dari sumber dan keputusan
tentang memenuhi syarat PPP harus berdasarkan data epidemiologi yang ada.
2. Informasi Singkat Untuk PPP HIV
Orang yang terpajan harus mendapat informasi singkat
tentang aspek spesifik PPP, idealnya pada saat mereka melaporkan kejadian
pajanan. Informasi tersebut harus meliputi informasi tentang pentingnya adherence dan kemungkinan efek samping
serta nasehat tentang risiko penularan sebagai bagian dari konseling. Informasi
singkat tersebut harus didukung dengan tindak lanjut layanan dukungan yang
tepat untuk memaksimalkan kepatuhan terhadap paduan obatPPP HIV dan mengelola
efek samping.
Pemberian informasi untuk menurunkan risiko juga
perlu untuk mencegah penularan HIV kepada mitra seksual dan penerima darah
donor, jika orang terpajan telah menjadi terinfeksi. Konseling penurunan risiko
harus diberikan selama kunjungan awal dan diperkuat pada kunjungan selanjutnya.
Penggunaan kondom dan/atau tindakan percegahan lain harus didorong sampai tes
HIV setelah 6 bulan hasilnya negatif.
Memberitahukan kepada
korban mengenai perlunya
menggunakan kondom jika berhubungan seks setelah seseorang terpajan secara
okupasional atau kekerasan seksual mungkin sulit karena merupakan hal yang
sensitif, tetapi pemberitahuan ini penting.
Orang yang terpajan mungkin memerlukan dukungan
emosional pada masa setelah pajanan.Konseling psikososial dan trauma dianjurkan
untuk orang yang mendapat kekerasan seksual, maupun yang terpajan okupasional.
Orang yang sudah menerima informasi (syarat, risiko
serta manfaat) yang tepat tentang HIV
dan PPP dapat memberikan persetujuan secara verbal. Jika pasien menolak, harus
menandatangani formulir penolakan.
Informasi yang diberikan sebagai bagian dari proses
persetujuan harus disesuaikan dengan usia, ketrampilan membaca dan tingkat
pendidikan. Dalam hal kasus anak-anak atau kasus lain yang kurang dalam
kapasitas untuk menyetujui, maka seseorang (seperti anggota keluarga atau wali)
dapat menandatangani surat persetujuannya.
3. Pemberian
Obat-Obat Untuk PPP
3.1
Paduan obat ARV untuk PPP HIV
Pemilihan obat
antiretroviral
Paduan obat pilihan yang diberikan untuk PPP adalah 2 obat
NRTI + 1 obat PI (LPV/r).
Tabel 3. Paduan obat ARV untuk PPP
Tabel 4. Dosis obat ARV untuk PPP
HIV bagi orang dewasa dan remaja
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa adherence terhadap pengobatan yang
sangat baik (> 95%) berkaitan dengan
perbaikan dampak pada virologi, imunologi dan klinis. Meskipun data adherenceuntuk PPP tidak ada, tetapi
besarnya efek positif dari derajat adherence
yang tinggi pada umumnya dianggap serupa. Meskipun PPP diberikan untuk periode
yang relatif pendek (4 minggu), pemberian informasi adherence dan dukungan masih penting untuk memaksimalkan
efektifitas obat.
3.2 Efek samping
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual
dan lelah. Orang harus mengerti bahwa efek samping yang timbul jangan disalah
tafsirkan sebagai gejala serokonversi HIV.
Penanganan efek samping dapat berupa obat (misalnya
anti mual) atau untuk mengurangi efek samping menganjurkan minum obat bersama
makanan.
3.3 Profilaksis Pasca Pajanan untuk
Hepatitis B
Sebelum memberi obat PPP untuk hepatitis B, perlu
dikaji keadaan berikut:
• Pernahkah
mendapat vaksinasi hepatitis B
• Lakukan
pemeriksaan HBsAg
• Lakukan
pemeriksaan anti HBs jika pernah mendapat vaksin
Tabel 5. Profilaksis Pasca
Pajanan untuk Hepatitis B
Lama pemberian obat
untuk PPP HIV
Lama pemberian obat ARV untuk PPP
adalah 28 hari.
3.4 Strategi
pemberian obat
Dosis awal
Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat
mungkin setelah pajanan, dan jika perlu, tanpa menunggu konseling dan tes HIV
atau hasil tes dari sumber pajanan.Strategi ini sering digunakan jika yang
memberikan perawatan awal adalah bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk
kepada dokter ahli dalam waktu singkat. Langkah selanjutnya setelah dosis awal
diberikan, adalah agar akses terhadap keseluruhan supplai obat PPP selama 28
hari dipermudah.
3.5 Paket
awal PPP HIV
Paket awal ini cocok disediakan di unit gawat darurat.
Paket ini biasanya berisi obat yang cukup untuk beberapa hari pertama pemberian
obat untuk PPP (1 – 7 hari) dan diresepkan atas kondisi bahwa orang tersebut
akan kembali ke klinik yang ditunjuk dalam waktu 1-3 hari untuk menjalani
penilaian risiko dan konseling dan tes HIV serta untuk memperoleh sisa obat.
Strategi ini sering disukai karena pada umumnya sedikit obat yang akan
terbuang. Contoh, jika seseorang memutuskan untuk tidak melanjutkan PPP HIV,
sisa obat yang seharusnya diberikan tidak akan terbuang. Selain itu,
menggunakan paket awal PPP HIV berarti bahwa fasilitas yang tidak mempunyai
dokter ahli hanya perlu menyediakan sedikit obat. Manfaat lainnya adalah bahwa
pada kunjungan follow-up dapat
mendiskusikan mengenai adherence
terhadap pengobatan.
Perhatian utama terkait dengan pemberian awal PPP HIV
sebelum hasil tes HIV diketahui adalah risiko timbulnya resistensi terhadap
terapi antiretroviral diantara orang yang tidak menyadari dirinya terinfeksi
HIV dan yang diberikan paduan 2-obat. Resistensi sedikit kemungkinan terjadi
dengan paket awal PPP HIV yang diberikan dalam waktu singkat. PPP HIV
dihentikan jika selanjutnya orang terpajan diketahui HIV positif.
3.6 Penambahan
dosis
Banyak program PPPHIV memilih untuk memberikan obat
selama 2 minggu pada setiap kunjungan. Dan seperti pada paket awal PPP HIV,
pada strategi penambahan dosis ini juga mengharuskan orang datang kembali untuk
pemantauan adherence, efek samping
obat dan memberikan kesempatan untuk tambahan konseling dan dukungan.
3.7 Dosis
penuh 28 hari
Pada beberapa keadaan, pemberian dosis penuh 28 hari
obat PPP HIV akan meningkatkan kemungkinan dilengkapinya lama pengobatan,
misalnya, yang tinggal di pedesaan. Kerugian utama dari strategi ini adalah
mengurangi motivasi untuk kunjungan ulang.
3.8 Keahlian
(kompetensi) yang diperlukan untuk meresepkan obat untuk PPP
Obat PPP HIV awal, dapat diberikan oleh dokter/petugas
kesehatan yang ditunjuk/bertugas dan pemberian obat selanjutnya dilakukan di
klinik PDP.
3.9 Obat-obat
lain
Paket PPP HIV sebaiknya juga mencakup obat yang
berpotensi dapat meringankan efek samping tersering dari obat ARV, sehingga
dapat meningkatkan adherence.
Misalnya, obat untuk mengurangi mual, sakit kepala (jika menggunakan
zidovudine).
4. Evaluasi
Laboratorium
4.1 Tes
HIV
Tes antibodi HIV untuk orang terpajan harus dilakukan,
karena PPP tidak diberikan pada orang yang telah terinfeksi. Orang terinfeksi
harus mendapatkan pengobatan bukan pencegahan. Namun tes HIV tidak wajib
dilakukan dan pemberian PPP HIV tidak wajib diberikan jika orang terpajan tidak
mau diberikan obat untuk profilaksis.
Pemeriksaan tes HIV dengan tes cepat (rapid) – yang memberikan hasil dalam 1
jam – merupakan pilihan utama baik untuk orang terpajan maupun sumber pajanan.
4.2 Pemeriksaan
laboratorium lain
Pemeriksaan laboratorium lain harus ditawarkan sesuai
dengan pedoman nasional dan kapasitas layanan. Pemeriksaan haemoglobin (Hb)
perlu dilakukan, terutama jika memberikan zidovudine dalam PPP HIV.
Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui darah
(bloodborne) – seperti Hepatitis B
dan C – juga penting dilakukan, tergantung kepada jenis risiko dan prevalensi
setempat serta kapasitas di layanan.
5. Pencatatan
Setiap layanan PPP harus didokumentasikan dengan
menggunakan pencatatan standar. Di tingkat layanan, antara lain mencatat kapan
dan bagaimana terjadinya pajanan, mengidentifikasikan keselamatan dan
kemungkinan tindakan pencegahan dan sangat penting untuk menjaga kerahasiaan
data klien.
6. Follow-up dan Dukungan
6.1 Follow-up
klinis
Orang terpajan dan mendapat PPP harus dilakukan
follow-up dan pemantauan klinis, dengan maksud untuk memantau adherence dan
mengetahui efek samping obat.Jika memungkinkan, perlu disediakan nomor telepon
kontak yang dapat dihubungi jika timbul efek samping.
6.2 Follow-up
tes HIV
Tes HIV (jika ada yang sangat sensitif) berikutnya
bagi orang terpajan dilakukan 4 – 6 minggu setelah pajanan, tetapi pada umumnya
belum cukup waktu untuk mendiagnosis sero konversi. Sehingga dianjurkan untuk
melakukan tes HIV 3 – 6 bulan setelah pajanan.
Timbulnya sero konversi setelah PPP tidak berarti
bahwa tindakan PPP ini gagal, karena sero
konversi dapat berasal dari pajanan yang sedang berlangsung.
6.3 Follow-up
konseling
Selain informasi singkat yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka dukungan piskososial yang tepat dan/atau bantuan pengobatan selanjutnya
harus ditawarkan ke orang terpajan yang menerima PPP. Orang terpajan harus
menyadari layanan dukungan yang ada dan mengetahui bagaimana untuk
mengaksesnya.
Menyarankan orang terpajan sejak terjadinya pajanan
sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan perilaku berisiko (penggunaan kondom
saat berhubungan seks, tidak berbagi alat suntik), dan tidak mendonorkan darah,
plasma,organ, jaringan atau air mani.
6.4 Follow-up
PPP untuk Hepatitis B
• Lakukan
pemeriksaan anti HBs 1-2 bulan setelah dosis vaksin yang terakhir; anti HBs tidak dapat
dipastikan jika HBIG diberikan dalam waktu 6-8 minggu.
• Menyarankan
orang terpajan sejak terjadinya pajanan sampai 6 bulan kedepan, tidak melakukan
perilaku berisiko (penggunaan kondom saat berhubungan seks, tidak berbagi alat
suntik), dan tidak mendonorkan darah, plasma,organ, jaringan atau air mani.
Gambar 30. Alur luka tusuk jarum
8. PENEMPATAN
PASIEN
a) Tempatkan
pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.
b) Penempatan
pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi penyakit pasien (kontak,
droplet, airborne) sebaiknya ruangan
tersendiri.
c) Bila
tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien lain yang
jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting. Jarak antara tempat tidur minimal 1 meter. Untuk
menentukan pasien yang dapat disatukan dalam satu ruangan, dikonsultasikan
terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.
d) Semua
ruangan terkait cohorting harus
diberi tanda kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya (kontak,droplet, airborne).
e) Pasien
yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya seyogyanya dipisahkan
tersendiri.
f) Mobilisasi
pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara (airborne) agar dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk menghindari terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu kepada yang
lain.
g) Pasien
HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB dalam satu ruangan
tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB.
9. KEBERSIHAN
PERNAPASAN/ETIKA BATUK DAN BERSIN
Diterapkan untuk semua orang
terutama pada kasus infeksi dengan jenis transmisiairborne dan droplet. Fasilitas pelayanan kesehatan harus
menyediakan sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air mengalir, tisu,
sabun cair, tempat sampah infeksius dan masker bedah.Petugas, pasien dan
pengunjung dengan gejala infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan mematuhi
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menutup
hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.
b) Tisu
dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci tangan.
Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah
Sakit (PKRS) dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat dilakukan melalui
audio visual, leaflet, poster, banner, video melalui TV di ruang
tungguataulisan oleh petugas.
Gambar 31. Etika Batuk
10. PRAKTIK
MENYUNTIK YANG AMAN
Pakai spuit dan jarum suntik steril
sekali pakai untuk setiap suntikan,berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk mencegah timbulnya
kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan lupa membuang
spuit dan jarum suntik bekas pakai ke tempatnya dengan benar.
Hati-hati dengan pemakaian obat
untuk perina dan anestesi karena berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB).
10.1 Rekomendasi Penyuntikan Yang
Aman
a. Menerapkan
aseptic technique untuk mecegah
kontaminasi alat-alat injeksi (kategori
IA).
b. Tidak
menggunakan semprit yang sama untuk penyuntikan lebih dari satu pasien walaupun
jarum suntiknya diganti
(kategori IA).
c.
Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu
kali pakai untuk satu pasien dan satu prosedur (kategori IA).
d. Gunakan
cairan pelarut/flushing hanya untuk
satu kali
(NaCl, WFI, dll) (kategori IA).
e.
Gunakan single
dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan) (kategori IB).
f.
Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien atau mencampur obat-obat
sisa dari vial/ampul untuk pemberian berikutnya (kategori IA).
g.
Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan dipergunakan harus
steril (kategori IA).
h. Simpan
obat-obat multi dose sesuai dengan
rekomendasi dari pabrik yang membuat (kategori IA).
i.
Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih
dari 1 pasien
(kategori IB)
11. PRAKTIK LUMBAL PUNGSI YANG AMAN
Semua petugas harus memakai masker
bedah, gaun bersih, sarung tangan steril saat akan melakukan tindakan lumbal
pungsi, anestesi spinal/epidural/pasang kateter vena sentral.
Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar tidak
terjadi droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bakterial.
B. KEWASPADAAN
BERDASARKAN TRANSMISI
Kewaspadaan berdasarkan
transmisi sebagai tambahan Kewaspadaan Standar yang dilaksanakan sebelum pasien
didiagnosis dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan
berdasarkan transmisi sebagai berikut:
1.
Melalui kontak
2.
Melalui droplet
3. Melalui
udara (Airborne Precautions)
4.
Melalui
common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
5. Melalui
vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Suatu infeksi dapat
ditransmisikan lebih dari satu cara. Dalam buku pedoman ini, akan di bahas yang
berkaitan dengan HAIs yaitu transmisi kontak, droplet dan airborne.
1. Kewaspadaan Transmisi Melalui Kontak
Kewaspadaan ini bertujuan untuk
menurunkan risiko timbulnya Healthcare
Associated Infections (HAIs),terutama risiko transmisi mikroba yang secara
epidemiologi diakibatkan oleh kontak langsung atau tidak langsung.
a)
Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan
kulit yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi. Misalnya pada saat
petugas membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak,
mengganti perban, merawat oral pasien Herpes
Simplex Virus (HSV) tanpa sarung tangan.
b) Transmisi
kontak tidak langsung adalah kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi
yang ditransmisikan melalui tangan petugas yang belum dicuci atau benda mati
dilingkungan pasien, misalnya instrumen, jarum, kasa, mainan anak, dan sarung
tangan yang tidak diganti.
c)
Hindari menyentuh permukaan lingkungan lainyang
tidak berhubungan dengan perawatan pasien sebelum melakukan aktivitas
kebersihan tangan (hand hygiene).
d) Petugas
harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata, hidung, mulut saat masih memakai
sarung tangan terkontaminasi/tanpa sarung tangan.
2. Kewaspadaan
Transmisi Melalui Droplet
Transmisi droplet terjadi ketika
partikel droplet berukuran >5 µm yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin,
muntah, bicara, selama prosedur suction,
bronkhoskopi, melayang di udara dan akan jatuh dalam jarak <2 m dan mengenai
mukosa atau konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD atau masker yang memadai,
bila memungkinkan dengan masker 4 lapis atau yang mengandung pembunuh kuman (germ decontaminator). Jenis transmisi
percikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain common cold, respiratory syncitial virus (RSV), Adenovirus, H5N1,
H1N1.
3. Kewaspadaan
Transmisi Melalui Udara (Air-Borne
Precautions)
Transmisi melalui udara secara
epidemiologi dapat terjadi bila seseorang menghirup percikan partikel nuklei
yang berdiameter 15 µm (<5 µm) yang mengandung mikroba penyebab infeksi.
Mikroba tersebut akan terbawa aliran udara >2 m dari sumber, dapat terhirup
oleh individu rentan di ruang yang sama atau yang jauh dari sumber mikroba.
Penting mengupayakan pertukaran udara >12 x/jam (12 Air Changes per Hour/ACH).
Gambar 32. Perhitungan Laju
Pertukaran Udara
Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat
dikombinasikan dengan pertukaran udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan
ekshaust fanuntuk mengatur udara di
dalam suatu ruangan agar menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini
selaras dengan rekomendasi dari WHO. Langkah-langkah penerapan kewaspadaan
transmisi melalui udara antara lain:
a)
Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien
dan ventilasi mekanis di dalam suatu ruangan dengan memperhatikan arah suplai
udara bersih yang masuk dan keluar.
b) Penempatan
pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi OAT, harus dipisahkan dari
pasien lain, sedangkan pasien TB yang telah mendapat terapi OAT secara efektif
berdasarkan analisis resiko tidak berpotensi
menularkan TB baru dapat dikumpulkan dengan pasien lain.
c)
Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan
penggunaan APD pada pasien, petugas dan pengunjung penting dicantumkan di pintu
ruangan rawat pasien sesuai kewaspadaan
transmisinya.
d) Ruang
rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan ruangan bertekanan negatif. Untuk
RS yang belum mampu menyediakan ruang tersebut, harus memiliki ruang dengan
ventilasi yang memadai, minimal terjadi pertukaran udara 12x/jam (diukur dengan
alat Vaneometer).
Gambar 33. Vaneometer
Jenis transmisi airborne ini dapat terjadi pada kasus
antara lain tuberkulosis, measles/campak, SARS.
Transmisi juga terjadi pada Tuberkulosis, untuk pencegahan dan
pengendaliannya dilakukan strategi TEMPO. Strategi TEMPO merupakan strategi yang
mengutamakan pada komponen administratif pengendalian infeksi TB.
Kunci utama dari strategi TEMPO
adalah menjaring, mendiagnosis dan mengobati TB segera dan tepat sehingga dapat
mengurangi penularan TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak
membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan oleh layanan kesehatan
primer dengan keterbatasan sumber daya yang belum dapat menjalankan komponen
PPI lainnya secara lengkap. Dengan menggunakan strategi TEMPO
akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum
teridentifikasi.
Penelitian menunjukkan bahwa
melalui cara aktif untuk menemukan pasien TB yang sebelumnya tidak terduga TB,
dapat dilakukan melalui surveilans batuk secara terorganisasi di faslilitas
pelayanan primer. Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang
tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TemPO dengan skrining bagi semua
pasien dengan gejala batuk.
Pada strategi TEMPO,
ditugaskan seseorang sebagai petugas
surveilans batuk (Surveyor), yang melakukan triase, yaitu menemukan secara
aktif pasien batuk. Surveyor batuk harus bekerja sama dengan petugas
laboratorium secara baik, sehingga pasien yang dirujuk ke laboratorium untuk
pemeriksaan dapat memperoleh hasil pemeriksaan BTA positif dalam 1-2 hari,
khusus bagi pasien terduga TB Resistan Obat segera dirujuk ke pusat rujukan TB
Resistan Obat.
Gambar 35. Pasien terduga TB dan TB Resistan OAT
diantara pasien
lainnya diruang tunggu
Gambar 36. ALUR PASIEN INFEKSIUS
BAB III
CARA PENCEGAHANDAN PENGENDALIAN
INFEKSI TERKAIT
PELAYANAN KESEHATANDENGAN BUNDLES HAIs
Pemakaian peralatan perawatan pasien
dan tindakan operasi terkait pelayanan kesehatan merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan. Pemakaian dan tindakan ini akan membuka jalan masuk kuman yang
dapat menimbulkan risiko infeksi tinggi. Untuk itu diperlukan PPI terkait
dengan pelayanan kesehatan tersebut melalui penerapan langkah-langkah yang
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs. Berikut dibahas bundles terhadap 4 (empat) risiko
infeksi yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan beban
pembiayaan.
A. Ventilator
Associated Pneumonia (Vap)
Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi pneumonia yang terjadi setelah
48 jam pemakaian ventilasi mekanik baik pipa endotracheal maupun tracheostomi.
Beberapa tanda infeksi berdasarkan penilaian klinis pada pasien VAP yaitu
demam, takikardi, batuk, perubahan warna sputum. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan jumlah leukosit dalam darah dan pada rontgent didapatkan gambaran infiltrat
baru atau persisten. Adapun diagnosis VAP ditentukan berdasarkan tiga komponen
tanda infeksi sistemik yaitu demam, takikardi dan leukositosis yang disertai
dengan gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan
bakteri penyebab infeksi paru.
Bundles
pada pencegahan dan Pengendalian VAP sebagai berikut:
1.
Membersikan tangan setiap akan melakukan
kegiatan terhadap pasien yaitu dengan menggunakan lima momen kebersihan
tangan.
2.
Posisikan tempat tidur antara 30-45O bila
tidak ada kontra indikasi misalnya trauma kepala ataupun cedera tulang
belakang.
3.
Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2-4 jam dengan
menggunakan bahan dasar anti septik clorhexidine
0,02% dan dilakukan gosok gigi setiap 12 jam untuk mencegah timbulnya flaque pada gigi karena flaque merupakan media tumbuh kembang
bakteri patogen yang pada akhirnya akan masuk ke dalam paru pasien.
4.
Manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal
yaitu:
a)
Suctioning
bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik aseptik bila harus melakukan
tindakan tersebut.
b) Petugas
yang melakukan suctioning pada pasien
yang terpasang ventilator menggunakan
alat pelindung diri (APD).
c)
Gunakan kateter suction sekali pakai.
d) Tidak
sering membuka selang/tubing ventilator.
e)
Perhatikan kelembaban pada humidifire ventilator.
f)
Tubing
ventilator diganti bila kotor.
5.
Melakukan pengkajian setiap hari ‘sedasi dan
extubasi”:
a)
Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan
dosis obat tersebut.
b) Melakukan
pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap penggunaan obat sedasi
tersebut. Bangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat
apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi.
6.
Peptic
ulcer disease Prophylaxis diberikan pada pasien-pasien dengan risiko
tinggi.
7.
Berikan
Deep Vein Trombosis (DVT) Prophylaxis.
B. Infeksi Aliran Darah (Iad)
Infeksi Aliran Darah (Blood Stream Infection/BSI) dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan alat sentral intra vaskuler (CVC Line) setelah 48 jam dan ditemukan tanda atau gejala infeksi yang
dibuktikan dengan hasil kultur positif bakteri patogen yang tidak berhubungan
dengan infeksi pada organ tubuh yang lain dan bukan infeksi sekunder, dan
disebut sebagai Central Line Associated
Blood Stream Infection (CLABSI).
Gambar 36. Alur kemungkinan terjadinya infeksi
melalui aliran darah
Bundles
mencegah Infeksi Aliran Darah (IAD), sebagai berikut:
1. Melakukan
prosedur kebersihan tangan dengan menggunakan sabun dan air atau cairan
antiseptik berbasis alkohol, pada saat antara lain:
a)
Sebelum dan setelah meraba area insersi kateter.
b) Sebelum
dan setelah melakukan persiapan pemasangan intra vena.
c)
Sebelum dan setelah melakukan palpasi area
insersi.
d) Sebelum
dan setelah memasukan, mengganti, mengakses, memperbaiki atau dressing kateter.
e)
Ketika tangan diduga terkontaminasi atau kotor.
f)
Sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan
invasif.
g)
Sebelum menggunakan dan setelah melepas sarung
tangan.
2. Menggunakan
Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD pada tindakan invasif (tindakan
membuka kulit dan pembuluh darah) direkomendasikan pada saat:
a)
Pada tindakan pemasangan alat intra vena sentral
maka APD yang harus digunakan adalah topi, masker, gaun steril dan sarung
tangan steril. APD ini harus dikenakan oleh petugas yang terkait memasang atau
membantu dalam proses pemasangan central
line.
b) Penutup
area pasien dari kepala sampai kaki dengan kain steril dengan lubang kecil yang
digunakan untuk area insersi.
c)
Kenakan sarung tangan bersih, bukan steril untuk
pemasanagan kateter intra vena perifer.
d) Gunakan
sarung tangan baru jika terjadi pergantian kateter yang diduga terkontaminasi.
e)
Gunakan sarung tangan bersih atau steril jika
melakukan perbaikan (dressing)
kateter intra vena.
3. Antiseptik
Kulit
Bersihkan area kulit disekitar insersi dengan
menggunakan cairan antiseptik (alkohol 70% atau larutan klorheksidin glukonat alkohol 2-4%) dan biarkan antiseptik
mengering sebelum dilakukan penusukan/insersi kateter. Antiseptik adalah zat
yang biasa digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh mikroorganisme
berbahaya (patogenik) yang terdapat pada permukaan tubuh luar makhluk hidup/jaringan
hidup atau kulit untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Penggunaan cairan
antiseptik dilakukan segera sebelum dilakukan insersi mengingat sifat cairan
yang mudah menguap dan lakukan swab
dengan posisi melingkar dari area tengah keluar. Persyaratan memilih cairan
antiseptik antara lain:
a)
Aksi yang cepat dan aksi mematikan yang
berkelanjutan
b) Tidak
menyebabkan iritasi pada jaringan ketika digunakan
c)
Non-alergi terhadap subjek
d) Tidak
ada toksisitas sistemik (tidak diserap)
e)
Tetap aktif dengan adanya cairan tubuh misalnya:
darah atau nanah
4. Pemilihan
lokasi insersi kateter
Pemasangan kateter vena sentral sebaiknya
mempertimbangkan faktor risiko yang akan terjadi dan pemilihan lokasi insersi
dilakukan dengan mempertimbangkan risiko yang paling rendah. Vena subklavia
adalah pilihan yang berisiko rendah untuk kateternon-tunneled catheter pada orang dewasa.
a)
Pertimbangkan risiko dan manfaat pemasangan
kateter vena sentral untuk mengurangi komplikasi infeksi terhadap risiko
komplikasi mekanik (misalnya, pneumotoraks, tusukan arteri subclavia,
hemotoraks, trombosis, emboli udara, dan lainlain).
b)
Hindari menggunakan vena femoralis untuk akses
vena sentral pada pasien dewasa dan sebaiknya menggunakan
vena subclavia untuk mempermudah penempatan kateter
vena sentral.
c)
hindari penggunaan vena subclavia pada pasien
hemodialisis dan penyakit ginjal kronis.
d)
Gunakan panduan ultra sound saat memasang kateter vena sentral.
e)
Gunakan CVC dengan jumlah minimum port atau lumen penting untuk pengelolaan pasien.
f)
Segera lepaskan kateter jika sudah tidak ada
indikasi lagi.
5. Observasi
rutin kateter vena sentral setiap hari
Pasien yang terpasang kateter vena sentral
dilakukan pengawasan rutin setiap hari dan segera lepaskan jika sudah tidak ada
indikasi lagi karena semakin lama alat intravaskuler terpasang maka semakin
berisiko terjadi infeksi. Beberapa rekomendasi dalam pemakaian alat
intravaskular sebagai berikut:
1) Pendidikan
dan Pelatihan Petugas Medis
Laksanakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
bagi petugas medis yang materinya menyangkut indikasi pemakaian alat
intravaskuler, prosedur pemasangan kateter, pemeliharaan peralatan
intravaskuler dan pencegahan infeksi saluran darah sehubungan dengan pemakaian
kateter. Metode audiovisual dapat
digunakan sebagai alat bantu yang baik dalam pendidikan.
2) Surveilans
infeksi aliran darah
a)
Laksanakan surveilans untuk menentukan angka
infeksi masing-masing jenis alat, untuk memonitor kecenderungan angka-angka
tersebut dan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan dalam praktek pengendalian
infeksi.
b) Raba
dengan tangan (palpasi) setiap hari lokasi pemasangan kateter melalui perban
untuk mengetahui adanya pembengkakan.
c)
Periksa secara visual lokasi pemasangan kateter
untuk mengetahui apakah ada pembengkakan, demam tanpa adanya penyebab yang
jelas, atau gejala infeksi lokal atau infeksi bakterimia.
d) Pada
pasien yang memakai perban tebal sehingga susah diraba atau dilihat, lepas
perban terlebih dahulu, periksa secara visual setiap hari dan pasang perban
baru.
e)
Catat tanggal dan waktu pemasangan kateter di
lokasi yang dapat dilihat dengan jelas.
3) Kebersihan
tangan
Kebersihan tangan dilakukan sebelum dan sesudah palpasi,
pemasangan alat intravaskuler, penggantian alat
intravaskuler, atau memasang perban.
4) Penggunaan
APD, Pemasangan dan Perawatan Kateter
a)
Gunakan sarung tangan pada saat memasang alat
intravaskuler seperti dalam standard
Bloodborne Pathogens yang dikeluarkan oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA).
b) Gunakan
sarung tangan saat mengganti perban alat intravaskuler.
5) Pemasangan
Kateter
Jangan menyingkat prosedur pemasangan kateter yang
sudah ditentukan.
6) Perawatan
Luka Kateterisasi
a)
Antiseptik Kulit
1) Sebelum
pemasangan kateter, bersihkan kulit di lokasi dengan antiseptik yang sesuai,
biarkan antiseptik mengering pada lokasi sebelum memasang.
2) Bila
dipakai iodine tincture untuk membersihkan
kulit sebelum pemasangan kateter, maka harus dibilas dengan alkohol.
3) Jangan
melakukan palpasi pada lokasi setelah kulit dibersihkan dengan antiseptik
(lokasi dianggap daerah).
4)
Perban Kateter
⁻ Gunakan kasa steril atau perban
transparan untuk menutup lokasi pemasangan kateter.
⁻ Ganti perban bila alat dilepas atau
diganti, atau bila perban basah, longgar atau kotor. Ganti perban lebih sering
bagi pasien diaphoretic.
⁻ Hindari sentuhan yang mengkontaminasi
lokasi kateter saat mengganti perban.
b) Pemilihan
dan Penggantian Alat Intravaskuler
1) Pilih
alat yang risiko komplikasinya relatif rendah dan harganya paling murah yang
dapat digunakan untuk terapi intravena dengan jenis dan jangka waktu yang
sesuai. Keberuntungan penggantian alat sesuai dengan jadwal yang
direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi infeksi harus dipertimbangkan
dengan mengingat komplikasi mekanis dan keterbatasan alternatif lokasi
pemasangan. Keputusan yang diambil mengenai jenis alat dan frekuensi
penggantiannya harus melihat kasus per kasus.
2) Lepas
semua jenis peralatan intravaskuler bila sudah tidak ada indikasi klinis.
c)
Pengganti Perlengkapan dan Cairan Intra Vena
1) Set
Perlengkapan
Secara umum, set perlengkapan intravaskular terdiri
atas seluruh bagian mulai dari ujung selang yang masuk ke kontainer cairan
infus sampai ke hubungan alat vaskuler. Namun kadang-kadang dapat dipasang
selang penghubung pendek pada kateter dan dianggap sebagai bagian dari kateter
untuk memudahkan dijalankannya tehnik saat mengganti set perlengkapan. Ganti
selang penghubung tersebut bila alat vaskuler diganti.
- Ganti
selang IV, termasuk selang piggyback
dan stopcock, dengan interval yang
tidak kurang dari 72 jam, kecuali bila ada indikasi klinis.
- Belum
ada rekomendasi mengenai frekuensi penggantian selang IV yang digunakan untuk infuse intermittent.
- Ganti
selang yang dipakai untuk memasukkan darah, komponen darah atau emulsi lemak
dalam 24 jam dari diawalinya infus.
2) Cairan Parentral
- Rekomendasi
tentang waktu pemakaian cairan IV, termasuk juga cairan nutrisi parentral yang
tidak mengandung lemak sekurang-kurangnya 96 jam.
- Infus
harus diselesaikan dalam 24 jam untuk satu botol cairan parentral yang
mengandung lemak.
- Bila
hanya emulsi lemak yang diberikan, selesaikan infus dalam 12 jam setelah botol
emulsi mulai digunakan.
7) Port
Injeksi Intravena
Bersihkan port injeksi dengan alkohol 70 % atau povidoneiodine sebelum mengakses
sistem.
8) Persiapan
dan Pengendalian Mutu Campuran Larutan
Intravena
1) Campurkan
seluruh cairan perentral di bagian farmasi dalam Laminar-flow hood
menggunakan tehnik aseptik.
2) Periksa
semua kontainer cairan parentral, apakah ada kekeruhan, kebocoran, keretakan,
partikel dan tanggal kedaluarsa dari pabrik sebelum penggunaan.
3) Pakai
vial dosis tunggal aditif parenteral atau obatobatan bilamana mungkin.
4) Bila
harus menggunakan vial multi dosis
⁻ Dinginkan dalam kulkas vial multi dosis
yang dibuka, bila direkomendasikan oleh pabrik.
⁻ Bersihkan karet penutup vial multi dosis
dengan alkohol sebelum menusukkan alat
ke vial.
⁻ Gunakan alat steril setiap kali akan
mengambil cairan dari vial multi dosis, dan hindari kontaminasi alat sebelum
menembus karet vial.
⁻ Buang vial multi dosis bila sudah
kosong, bila dicurigai atau terlihat adanya kontaminasi, atau bila telah
mencapai tanggal kedaluarsa.
9) Filtre In Line
Jangan digunakan secara rutin untuk
pengendalian infeksi.
10) Petugas
Terapi Intravena
Tugaskan personel yang telah untuk pemasangan dan
pemeliharaan peralatan intravaskuler.
11) Alat
Intravaskuler Tanpa Jarum
Belum ada rekomendasi mengenai pemakaian,
pemeliharaan atau frekuensi penggantian IV tanpa jarum.
12) Profilaksis
Antimikroba
Jangan memberikan antimikroba sebagai prosedur rutin
sebelum pemasangan atau selama pemakaian alat intravaskuler untuk mencegah
kolonisasi kateter atau infeksi bakterimia.
C. Pencegahan
Dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih (Isk)
1.
Diagnosis Infeksi Saluran Kemih
a)
Urin Kateter terpasang ≥ 48 jam.
b) Gejala
klinis: demam, sakit pada suprapubik dan nyeri pada sudut costovertebra.
c)
Kultur urin positif ≥ 105 Coloni Forming Unit (CFU) dengan 1 atau
2 jenis mikroorganisme dan Nitrit dan/atau leukosit esterase positif dengan
carik celup (dipstick).
2. Faktor
risiko Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Diagnosis ISK akan sulit dilakukan pada pasien
dengan pemasangan kateter jangka panjang, karena bakteri tersebut sudah
berkolonisasi, oleh karena itu penegakan diagnosa infeksi dilakukan dengan
melihat tanda klinis pasien sebagai acuan selain hasil biakan kuman dengan
jumlah>102 – 103 cfu/ml dianggap sebagai indikasi
infeksi.
a) Faktor risiko tersebut antara lain:
1) Lama
pemasangan kateter > 6 – 30 hari berisiko terjadi infeksi.
2) Gender
wanita
3) Diabetes,
malnutrisi, renal insufficiency
4) Monitoring
urine out put
5) Posisi
drainage kateter lebih rendah dari urine bag
6) Kontaminasi
selama pemasangan kateter urin
7) Inkontinensia
fekal (kontaminasi E.coli pada wanita)
8) Rusaknya
sirkuit kateter urin
b) Komponen kateter urin
1) Materi
kateter: Latex, Silicone, Silicone-elastomer,
Hydrogel-coated,
Antimicrobial-coated, Plastic
2) Ukuran
kateter : 14 – 18 French (French adalah skala kateter yang digunakan dengan
mengukur lingkar luar kateter)
3) Balon
kateter: diisi cairan 30 cc
4) Kantong
urin dengan ukuran 350 – 750 cc
c)
Indikasi Pemasangan KateterUrinMenetap
1) Retensi
urin akut atau obstruksi
2) Tindakan
operasi tertentu
3) Membantu
penyembuhan perinium dan luka sakral pada pasien inkontinensia
4) Pasien
bedrest dengan perawatan paliatif
5) Pasien
immobilisasi dengan trauma atau operasi
6) Pengukuran
urine out put pada pasien kritis
d) Prosedur
Pemasangan Kateter UrinMenetap
Prosedur pemasangan urin kateter menetapdilakukan
dengan tehnik aseptik, sebelum dimulai periksa semua peralatan kesehatan yang
dibutuhkan yang terdiri dari :
1) Sarung
tangan steril
2) Antiseptik
yang non toxic
3) Swab
atau cotton wool
4) Handuk
kertas steril (dok steril)
5) Gel
lubrikasi anastesi
6) Katater
urin sesuai ukuran
7) Urine bag
8) Syringe spuite dengan cairan aquabidest atau saline untuk mengisi balon kateter
Kateterisasi saluran kemih sebaiknya dilakukan jika
ada indikasi klinis yang memerlukan tidakan spesifik penggunaan urine kateter,
karena kateterisasi urine akan menimbulkan dampak risiko infeksi pada saluran
kemih. Penggunaan metode saluran urine sistem tertutup telah terbukti nyata
mengurangi risiko kejadian infeksi. Teknik aseptik yang dilakukan dengan benar
sangat penting dalam pemasangan dan perawatan urine kateter, dan kebersihan
tangan merupakan metode pertahanan utama terhadap risiko kontaminasi bakteri
penyebab infeksi bakteri sekunder pada saat pemasangan kateter. Kewaspadaan
standar harus dipertahankan saat kontak dengan urine dan atau cairan tubuh
lainnya. Sistim gravitasi perlu diperhatikan dalam sistim drainase dan
pencegahan aliran balik urine, sehingga pastikan bahwa urine bag selalu berada pada posisi lebih rendah dari uretra dengan
mengikatkannya pada tempat tidur dan tidak terletak dilantai serta hindari
terjadi tekukan pada saluran kateter urine.
3. Bundles
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih:
a)
Pemasangan urine kateter digunakan hanya sesuai
indikasi Pemasangan kateter urine
digunakan hanya sesuai indikasi yang sangat diperlukan seperti adanya retensi
urine, obstruksi kandung kemih, tindakan operasi tertentu, pasien bedrest, monitoring urine out put. jika masih
dapat dilakukan tindakan lain maka pertimbangkan untuk pemakaian kondom atau
pemasangan intermitten. Lepaskan
kateter urine sesegera mungkin jika sudah tidak sesuai indikasi lagi.
b) Lakukan
kebersihan tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mematuhi 6 (enam)
langkah melakukan kebersihan tangan, untuk mencegah terjadi kontaminasi silang
dari tangan petugas saat melakukan pemasangan urine kateter.
c)
Teknik insersi
Teknik aseptik perlu dilakukan untuk mencegah
kontaminasi bakteri pada saat pemasangan kateter dan gunakan peralatan steril
dan sekali pakai pada peralatan kesehatan sesuai ketentuan. Sebaiknya
pemasangan urine kateter dilakukan oleh orang yang ahli atau terampil.
d) Pengambilan
spesimen
Gunakan sarung tangan steril dengan tehnik aseptik.
Permukaan selang kateter swab alkohol kemudian tusuk kateter dengan jarum
suntik untuk pengambilan sample urine
(jangan membuka kateter untuk mengambil sample urine), jangan mengambilsample urine dari urine bag. Pengambilan sample urine dengan indwelling kateter diambil hanya bila ada indikasi klinis.
e)
Pemeliharaan kateter urine
Pasien dengan menggunakan kateter urine seharus
dilakukan perawatan kateter dengan mempertahankan kesterilan sistim drainase
tertutup, lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah memanipulasi kateter,
hindari sedikit mungkin melakukan buka tutup urine kateter karena akan
menyebabkan masuknya bakteri, hindari meletakannya di lantai, kosongkan urine bag secara teratur dan hindari
kontaminasi bakteri. Menjaga posisi urine
bag lebih rendah dari pada kandung kemih, hindari irigasi rutin, lakukan
perawatan meatus dan jika terjadi kerusakan atau kebocoran pada kateter lakukan
perbaikan dengan tehnik aseptik.
f)
Melepaskan kateter
Sebelum membuka kateter urine keluarkan cairan dari balon
terlebih dahulu, pastikan balon sudah mengempes sebelum ditarik untuk mencegah
trauma, tunggu selama 30 detik dan biarkan cairan mengalir mengikuti gaya
gravitasi sebelum menarik kateter untuk dilepaskan.
D. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Daerah
Operasi (Ido)
Pengendalian Infeksi Daerah Operasi
(IDO) atau Surgical Site Infections (SSI)
adalah suatu cara yang dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian
infeksi setelah tindakan operasi, misalnyaoperasi mata.
Paling banyak infeksi daerah
operasi bersumber dari patogen flora endogenous kulit pasien, membrane mukosa.
Bila membrane mukosa atau kulit di insisi, jaringan tereksposur risiko dengan
flora endogenous. Selain itu terdapat
sumber exogenous dari infeksi daerah
operasi. Sumber exogenous tersebut
adalah:
1. Tim
bedah
2. Lingkungan
ruang operasi
3. Peralatan,
instrumen dan alat kesehatan
4. Kolonisasi
mikroorganisme
5. Daya
tahan tubuh lemah
6. Lama
rawat inap pra bedah
Kriteria Infeksi Daerah Operasi
1. Infeksi Daerah Operasi Superfisial
Infeksi daerah operasi superfisial harus memenuhi
paling sedikit satu kriteria berikut ini:
a) Infeksi
yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah dan hanya
meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain diatas fascia.
b) Terdapat
paling sedikit satu keadaan berikut:
1) Pus
keluar dari luka operasi atau drain yang dipasang diatas fascia
2) Biakan
positif dari cairan yang keluar dari luka atau jaringan yang diambil secara
aseptik
3) Terdapat
tanda–tanda peradangan (paling sedikit terdapat satu dari tanda-tanda infeksi
berikut: nyeri, bengkak lokal, kemerahan dan hangat lokal), kecuali jika hasil
biakan negatif.
4) Dokter
yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
2. Infeksi Daerah Operasi Profunda/Deep
Incisional
Infeksi daerah operasi profunda harus memenuhi
paling sedikit satu kriteria berikut ini:
a) Infeksi
yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah atau sampai
satu tahun pasca bedah (bila ada implant berupa non human derived implant yang dipasang permanan) dan meliputi
jaringan lunak yang dalam (misal lapisan fascia dan otot) dari insisi.
b) Terdapat
paling sedikit satu keadaan berikut:
1) Pus
keluar dari luka insisi dalam tetapi bukan berasal dari komponen organ/rongga
dari daerah pembedahan.
2) Insisi
dalam secara spontan mengalami dehisens atau dengan sengaja dibuka oleh ahli
bedah bila pasien mempunyai paling sedikit satu dari tanda-tanda atau
gejala-gejala berikut: demam (> 38ºC) atau nyeri lokal, terkecuali biakan
insisi negatif.
3) Ditemukan
abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai insisi dalam pada
pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang, atau dengan pemeriksaan
histopatologis atau radiologis.
4) Dokter
yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
3. Infeksi Daerah Operasi Organ/Rongga
Infeksi daerah operasi organ/rongga
memiliki kriteria sebagai berikut:
a) Infeksi
timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur pembedahan, bila tidak dipasang implant atau dalam waktu satu tahun bila
dipasang implant dan infeksi
tampaknya ada hubungannya dengan prosedur pembedahan.
b) Infeksi
tidak mengenai bagian tubuh manapun, kecuali insisi kulit, fascia atau lapisan
lapisan otot yang dibuka atau dimanipulasi selama prosedur pembedahan.
Pasien paling sedikit menunjukkan
satu gejala berikut:
a) Drainase
purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk ke dalam organ/rongga.
b) Diisolasi
kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan atau jaringan dari
dalam organ atau rongga:
1) Abses
atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ/rongga yang ditemukan pada
pemeriksaan langsung waktu pembedahan ulang atau dengan pemeriksaan
histopatologis atau radiologis.
2) Dokter
menyatakan sebagai IDO organ/rongga.
Pencegahan infeksi daerah operasi terdiri dari
pencegahan infeksi sebelum operasi (pra bedah), pencegahan infeksi selama
operasi dan pencegahan infeksi setelah operasi.
1. Pencegahan Infeksi Sebelum Operasi (Pra
Bedah)
a) Persiapan pasien sebelum operasi
1) Jika
ditemukan ada tanda-tanda infeksi, sembuhkan terlebih dahulu infeksi nya
sebelum hari operasi elektif, dan jika perlu tunda hari operasi sampai infeksi
tersebut sembuh.
2) Jangan
mencukur rambut, kecuali bila rambut terdapat pada sekitar daerah operasi dan
atau akan menggangu jalannya operasi.
3) Bila
diperlukan mencukur rambut, lakukan di kamar bedah beberapa saat sebelum
operasi dan sebaiknya menggunakan pencukur listrik (Bila tidak ada pencukur
listrik gunakan silet baru).
4) Kendalikan
kadar gula darah pada pasien diabetes dan hindari kadar gula darah yang terlalu
rendah sebelum operasi.
5) Sarankan
pasien untuk berhenti merokok, minimun 30 hari sebelum hari elektif
operasi.
6) Mandikan
pasien dengan zat antiseptik malam hari sebelum hari operasi.
7) Cuci
dan bersihkan lokasi pembedahan dan sekitarnya untuk menghilangkan kontaminasi
sebelum mengadakan persiapan kulit dengan anti septik.
8) Gunakan
antiseptik kulit yang sesuai untuk persiapan kulit.
9) Oleskan
antiseptik pada kulit dengan gerakan melingkar mulai dari bagian tengah menuju
ke arah luar. Daerah yang dipersiapkan haruslah cukup luas untuk memperbesar
insisi, jika diperlukan membuat insisi baru atau memasang drain bila
diperlukan.
10) Masa
rawat inap sebelum operasi diusahakan sesingkat mungkin dan cukup waktu untuk
persiapan operasi yang memadai.
11) Belum
ada rekomendasi mengenai penghentian atau pengurangan steroid sistemik sebelum
operasi.
12) Belum
ada rekomendasi mengenai makanan tambahan yang berhubungan dengan pencegahan
infeksi untuk pra bedah.
13) Belum
ada rekomendasi untuk memberikan mupirocin melalui lubang hidung untuk mencegah
IDO.
14) Belum
ada rekomendasi untuk mengusahakan oksigenisasi pada luka untuk mencegah IDO.
b) Antiseptik
tangan dan lengan untuk tim bedah
1) Jaga
agar kuku selalu pendek dan jangan memakai kuku palsu.
2) Lakukan
kebersihan tangan bedah (surgical scrub)
dengan antiseptik yang sesuai. Cuci tangan dan lengan sampai ke siku.
3) Setelah
cuci tangan, lengan harus tetap mengarah ke atas dan di jauhkan dari tubuh
supaya air mengalir dari ujung jari ke siku. Keringkan tangan dengan handuk
steril dan kemudian pakailah gaun dan sarung tangan.
4) Bersihkan
sela-sela dibawah kuku setiap hari sebelum cuci tangan bedah yang pertama.
5) Jangan
memakai perhiasan di tangan atau lengan.
6) Tidak
ada rekomendasi mengenai pemakaian cat kuku, namun sebaiknya tidak memakai.
c) Tim
bedah yang terinfeksi atau terkolonisasi
1) Didiklah
dan biasakan anggota tim bedah agar melapor jika mempunyai tanda dan gejala penyakit infeksi dan segera
melapor kepada petugas pelayan kesehatan karyawan.
2) Susun
satu kebijakan mengenai perawatan pasien bila karyawan mengidap infeksi yang
kemungkinan dapat menular.
Kebijakan ini mencakup:
- Tanggung
jawab karyawan untuk menggunakan jasa pelayanan medis karyawan dan melaporkan
penyakitnya.
- Pelarangan
bekerja.
- Ijin
untuk kembali bekerja setelah sembuh penyakitnya.
- Petugas
yang berwewenang untuk melakukan pelarangan bekerja.
3) Ambil
sampel untuk kultur dan berikan larangan bekerja untuk anggota tim bedah yang
memiliki luka pada kulit, hingga infeksi sembuh atau menerima terapi yang
memadai.
4) Bagi
anggota tim bedah yang terkolonisasi mikroorganisme seperti S. Aureus Bagi anggota tim bedah yang
terkolonisasi mikroorganisme seperti S.
Aureus atau Streptococcus grup A
tidak perlu dilarang bekerja, kecuali bila ada hubungan epidemiologis dengan
penyebaran mikroorganisme tersebut di rumah sakit.
2. Pencegahan Infeksi Selama Operasi
a) Ventilasi
1) Pertahankan
tekanan lebih positif dalam kamar bedah dibandingkan dengan koridor dan ruangan
di sekitarnya.
2) Pertahankan
minimun 15 kali pergantian udara per jam, dengan minimun 3 di antaranya adalah
udara segar.
3) Semua
udara harus disaring, baik udara segar maupun udara hasil resirkulasi.
4) Semua
udara masuk harus melalui langit-langit dan keluar melalui dekat lantai.
5) Jangan
menggunakan fogging dan sinar
ultraviolet di kamar bedah untuk mencegah infeksi IDO.
6) Pintu
kamar bedah harus selalu tertutup, kecuali bila dibutuhkan untuk lewatnya
peralatan, petugas dan pasien.
7) Batasi
jumlah orang yang masuk dalam kamar bedah.
b) Membersihkan
dan disinfeksi permukaan lingkungan
1) Bila
tampak kotoran atau darah atau cairan tubuh lainnya pada permukaan benda atau
peralatan, gunakan disinfektan untuk membersihkannya sebelum operasi dimulai.
2) Tidak
perlu mengadakan pembersihan khusus atau penutupan kamar bedah setelah selesai
operasi kotor.
3) Jangan
menggunakan keset berserabut untuk kamar bedah ataupun daerah sekitarnya.
4) Pel
dan keringkan lantai kamar bedah dan disinfeksi permukaan lingkungan atau
peralatan dalam kamar bedah setelah selesai operasi terakhir setiap harinya
dengan disinfektan.
5) Tidak
ada rekomendasi mengenai disinfeksi permukaan lingkungan atau peralatan dalam
kamar bedah di antara dua operasi bila tidak tampak adanya kotoran.
c) Sterilisasi
instrumen kamar bedah
1) Sterilkan
semua instrumen bedah sesuai petunjuk.
2) Laksanakan
sterilisasi kilat hanya untuk instrumen yang harus segera digunakan seperti
instrumen yang jatuh tidak sengaja saat operasi berlangsung. Jangan
melaksanakan sterilisasi kilat dengan alasan kepraktisan, untuk menghemat
pembelian instrumen baru atau untuk menghemat waktu.
d) Pakaian
bedah dan drape
1) Pakai
masker bedah dan tutupi mulut dan hidung secara menyeluruh bila memasuki kamar
bedah saat operasi akan di mulai atau sedang berjalan, atau instrumen steril
sedang dalam keadaan terbuka. Pakai masker bedah selama operasi
berlangsung.
2) Pakai
tutup kepala untuk menutupi rambut di kepala dan wajah secara menyeluruh bila
memasuki kamar bedah (semua rambut yang ada di kepala dan wajah harus
tertutup).
3) Jangan
menggunakan pembungkus sepatu untuk mencegah IDO.
4) Bagi
anggota tim bedah yang telah cuci tangan bedah, pakailah sarung tangan steril.
Sarung tangan dipakai setelah memakai gaun steril.
5) Gunakan
gaun dan drape yang kedap air.
6) Gantilah
gaun bila tampak kotor, terkontaminasi percikan cairan tubuh pasien.
7) Sebaiknya
gunakan gaun yang dispossable.
e) Teknik
aseptik dan bedah
1) Lakukan
tehnik aseptik saat memasukkan peralatan intravaskuler (CVP), kateter anastesi
spinal atau epidural, atau bila menuang atau menyiapkan obat-obatan intravena.
2) Siapkan
peralatan dan larutan steril sesaat
sebelum penggunaan.
3) Perlakukan
jaringan dengan lembut, lakukan hemostatis yang efektif, minimalkan jaringan
mati atau ruang kosong (dead space)
pada lokasi operasi.
4) Biarkan
luka operasi terbuka atau tertutup dengan tidak rapat, bila ahli bedah
menganggap luka operasi tersebut sangat kotor atau terkontaminasi.
5) Bila
diperlukan drainase, gunakan drain penghisap tertutup. Letakkan drain pada
insisi yang terpisah dari insisi bedah. Lepas drain sesegera mungkin bila drain
sudah tidak dibutuhkan lagi.
3. Pencegahan Infeksi Setelah Operasi
Perawatan luka setelah operasi:
a) Lindungi
luka yang sudah dijahit dengan perban steril selama 24 sampai 48 jam paska
bedah.
b) Lakukan
Kebersihan tangan sesuai ketentuan: sebelum dan sesudah mengganti perban atau
bersentuhan dengan luka operasi.
c) Bila
perban harus diganti gunakan tehnik aseptik.
d) Berikan
pendidikan pada pasien dan keluarganya mengenai perawatan luka operasi yang
benar, gejala IDO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut.
Catatan:
1. Belum
ada rekomendasi mengenai perlunya menutup luka operasi yang sudah dijahit lebih
dari 48 jam ataupun kapan waktu yang tepat untuk mulai diperbolehkan mandi
dengan luka tanpa tutup.
2. Beberapa
dokter membiarkan luka insisi operasi yang bersih terbuka tanpa kasa, ternyata
dari sudut penyembuhan hasilnya baik.
3. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa luka insisi operasi yang bersih dapat pulih
dengan baik walaupun tanpa kasa.
4. Belum
ada terbukti tertulis yang mengatakan bertambahnya tingkat kemungkinan
terjadinya infeksi bila luka dibiarkan terbuka tanpa kasa.
5. Namun
demikian masih banyak dokter tetap menutup luka operasi dengan kasa steril
sesuai dengan prosedur pembedahan, dengan tujuan :
a) Menutupi
luka terhadap mikroorganisme yang dari tangan.
b) Menyerap
cairan yang meleleh keluar agar luka cepat kering.
c) Memberikan
tekanan pada luka supaya dapat menahan perdarahan perdarahan superficial.
d) Melindungi
ujung luka dari trauma lainnya.
Selain pencegahan infeksi daerah
operasi diatas, pencegahan infeksi dapat di lakukan dengan penerapan bundles IDO yaitu :.
1. Pencukuran
rambut, dilakukan jika mengganggu jalannya operasi dan dilakukan sesegera
mungkin sebelum tindakan operasi.
2. Antibiotika
profilaksis, diberikan satu jam sebelum tindakan operasi dan sesuai dengan
empirik.
3. Temperatur
tubuh, harus dalam kondisi normal.
4. Kadar
gula darah, pertahankan kadar gula darah normal.
E. Penerapan
PPI Terkait Hais Pada Beberapa Kasus
1. Multi Drug Resistance Tuberculosis
(MDR-TB)
Penularan MDR TB samaseperti penularan TB secara airborne, namun Mycobacterium Tuberculosis yang menjadi sumber penularan adalah
kuman yang resisten terhadap pemberian obat anti tuberkulosis dengan Rifampicin
dan Izoniazid.Tatacara PPI pada pasien MDR TB adalah mengikuti prinsip-prinsip
kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi airborne harus selalu dilakukan dengan konsisten.Pada petugas medis
wajib memakai masker respiratory
particulate, pada saat memberikan pelayanan baik itu di poliklinik maunpun
di ruang perawatan.Pasien yang terbukti MDR TB/suspek diwajibkan memakai masker
bedah dimanapun berada dan melakukan etiket batuk.Perlu diajarkan pada pasien
sampai mengerti dan bahaya menularkan pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Pengobatan dengan pengawasan ketat minum obat adalah upaya penyakit ini bisa
dicegah menularkan ke orang lain
2. Ebola Virus Disease
Penyakit emerging
disease sulit diprediksi apa yang akan muncul, namun pencegahan dan
pengendalian infeksi akan selalu tergantung dengan pola transmisi dari penyakit
yang muncul tersebut. Seperti kasus Ebola saat ini sedang mewabah di Afrika
Barat, maka PPI pada kasus ini adalah kewaspadaan standar dan kewaspadaan
berdasarkan transmisi penyakit berdasarkan kontak. Pencegahan dengan memakai
APD yang bisa melindungi petugas atau orang lain yang kontak dengan pasien
Ebola. Adapun beberapa hal yang di rekomendasikan WHO untuk penyakit Ebola
adalah sebagai berikut:
a) Penerapan
kewaspadaan standar pada semua pasien terlepas dari gejala dan tanda yang ada.
b) Isolasi
pasien suspek atau konfirmasi Ebola dalam ruangan tersendiri (single bed) atau jika tidak memungkinkan
bisa di kohort dengan pasien diagnosis yang sama. Tidak boleh mencampurkan
pasien suspek dan konfirmasi didalam satu kamar/ruangan. Pastikan aksesnya aman
dan terbatas hanya untuk yang berkepentingan serta tersedianya alat-alat yang
memadai khusus untuk pasien yang dirawat tersebut.
c) Perlu
penunjukkan petugas khusus (terlatih) untuk penanganan kasus Ebola dengan
tugas-tugas yang sudah dirincikan dengan baik.
d) Pastikan
semua petugas atau pengunjung memakai APD yang lengkap saat memasuki ruangan
dan melakukan kebersihan tangan (hand
hygiene) secara teratur sesuai ‘five
moments’ dari WHO. Adapun APD yang digunakan adalah minimal: sarung tangan,
gaun, boot atau sepatu tertutup
dilapis dengan shoe cover, masker,
dan penutup mata (google atau face shield) untuk melindungi dari
cipratan. Selalu lakukan ‘risk assessment’
untuk menentukan APD yang akandigunakan. (Tambahan: Beberapa rekan ahli
menyarankan face shield karena lebih
dapat memberikan perlindungan dari percikan terhadap wajah dibandingkan dengan google yang hanya menutup bagian mata
dan terkadang berembun sehingga kesulitan untuk melihat).
e) Pastikan
suntikan dan prosedur flebotomi dilakukan dengan aman serta management limbah
tajam. Limbah tajam ditempatkan pada kontainer khusus yang tahan tusukan.
f) Pastikan
dilakukan pembersihan lingkungan yang potensial tercemar dengan baik, lakukan
dekontaminasi pada permukaan alat yang dipakai, penanganan linen kotor serta
sampah/limbah yang ada. Dalam proses ini, pastikan petugas yang melakukan
kegiatan tersebut juga terlindungi dan menggunakan APD yang sesuai dan
melakukan hand hygiene secara
teratur.
g) Pastikan
pengelolaan sampel di laboratorium dilakukan dengan aman.
h) Pastikan
pengelolaan mayat dilakukan dengan prinsip pengendalian infeksi yang ketat
sampai dengan pemakaman.
Lakukan evaluasi segera atau perawatan
dan jika diperlukan dilakukan isolasi pada petugas kesehatan atau seseorang
yang terpajan dengan darah atau cairan tubuhdari pasien suspek atau konfirmasi
ebola.
BAB IV SURVEILANS INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN
A. Definisi
Surveilans
Surveilans kesehatan adalah kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi
tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan
penanggulangan secara efektif dan efisien.Salah satu dari bagian surveilans
kesehatan adalah Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs).
Surveilans infeksi terkait pelayanan
kesehatan (Health Care Associated
Infections/HAIs) adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi data
kesehatanyang penting di fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu populasi
spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada pihak-pihak yang memerlukan
untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan, serta evaluasi suatu tindakan
yang berhubungan dengan kesehatan.
Kegiatan surveilans HAIs merupakan
komponen penunjang penting dalam setiap program pencegahan dan pengendalian
infeksi. Informasi yang dihasilkan oleh kegiatan surveilans berguna untuk
mengarahkan strategi program baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun
pada tahap evaluasi.Dengan kegiatan surveilans yang baik dan benar dapat
dibuktikan bahwa program dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
B. Tujuan
Surveilans Hais Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1. Tersedianya
informasi tentang situasi dan kecenderungan kejadian HAIs di fasilitas
pelayanan kesehatan dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
2. Terselenggaranya
kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya fenomena abnormal
(penyimpangan) pada hasil pengamatan dan dampak HAIs di fasilitas pelayanan
kesehatan.
3. Terselenggaranya
investigasi dan pengendalian kejadian penyimpangan pada hasil pengamatan dan
dampak HAIs di fasilitas pelayanan kesehatan.
C. Metode
Surveilans
a) Surveilans
Komprehensif (Hospital Wide/Tradisional
Surveillance) Adalah surveilans yang dilakukan di semua area perawatan
untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami infeksi selama di rumah sakit.Data
dikumpulkan dari catatan medis, catatan keperawatan, laboratorium dan perawat
ruangan.Metode surveilans ini merupakan metode pertama yang dilakukan oleh Center for Diseases Control (CDC) pada
tahun 1970 namun memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya.
b) Surveilans
Target (Targetted Surveillance)
Metode surveilans ini berfokus pada ruangan atau
pasien dengan risiko infeksi spesifik seperti ruang perawatan intensif, ruang
perawatan bayi baru lahir, ruang perawatan pasien transplan, ruang perawatan
pasien hemodialisa atau pasien dengan risiko: ISK, Surgical Site Infection (SSI)/IDO, Blood Stream Infection (BSI)/IAD, Pneumonia (HAP, VAP).
Surveilans target dapat memberikan hasil yang lebih
tajam dan memerlukan sumber daya manusia yang sedikit.
c) Surveilans
Periodik (Periodic Surveillance)
Metode Hospital
Wide Traditional Surveillance yang dilakukan secara periodik misalnya satu
bulan dalam satu semester. Cara lain dilakukan surveilans pada satu atau
beberapa unit dalam periode tertentu kemudian pindah lagi ke unit lain.
d) Surveilans
Prevalensi (Prevalence Surveillance)
Adalah menghitung jumlah aktif infeksi selama
periode tertentu.Aktif infeksi dihitung semua jumlah infeksi baik yang lama
maupun yang baru ketika dilakukan survei.Jumlah aktif infeksi dibagi jumlah
pasien yang ada pada waktu dilakukan survei. Prevalence Surveillance dapat digunakan pada populasi khusus
seperti infeksi mikroorganisme khusus: Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin
Resistant Enterococci (VRE).
Berdasarkan beberapa metode diatas,
yang direkomendasikan adalah Surveilans Target (Targetted Surveillance) untuk dapat laik laksana karena surveilans
target dapat memberikan hasil yang lebih tajam dan memerlukan sumber daya
manusia yang sedikit.
D. Langkah-Langkah
Surveilans
1. Perencanaan
2. Pengumpulan
data
3. Analisis
4. Interpretasi
5. Pelaporan
6. Evaluasi
1. Perencanaan
Surveilans
a) Tahap
1 : Mengkaji populasi pasien
Tentukan populasi pasien yang akan dilakukan survei
apakah semua pasien/sekelompok pasien/pasien yang berisiko tinggi saja.
b) Tahap
2 : Menseleksi hasil/proses surveilans
Lakukan seleksi hasil surveilans dengan pertimbangan
kejadian paling sering/dampak biaya/diagnosis yang paling sering.
c) Tahap
3 : Penggunaan definisi infeksi
Gunakan definisi infeksi yang mudah dipahami dan
mudah diaplikasikan, Nosocomial Infection
Surveillance System (NISS)misalnya menggunakan National Health Safety Network (NHSN), Center for Disease Control (CDC) atau Kementerian Kesehatan.
2. Pengumpulan
Data
Tahap 4 : mengumpulkan data
surveilans
a) Mengumpulkan
data surveilans oleh orang yang kompeten, profesional, berpegalaman, dilakukan
oleh IPCN.
b) Memilih
metode surveilans dan sumber data yang tepat.
c) Data
yang dikumpulkan dan dilakukan pencatatan meliputi data demografi, faktor
risiko, antimikroba yang digunakan dan hasil kultur resistensi, nama, tanggal
lahir, jenis kelamin, nomorcatatanmedik, tanggal masukRS.
Tanggal infeksi muncul,lokasiinfeksi,ruangperawatan
saatinfeksi muncul pertama kali.
Faktorrisiko:alat,prosedur,factorlainyang
berhubungan dengan IRS, Dataradiology/imaging:X-ray,CTscan,MRI,dsb.
d) Metode
observasi langsung merupakan gold
standard.
3. Analisis
Tahap 5 : Penghitungan dan
stratifikasi
a) Incidence rate
Numerator adalah jumlah kejadian infeksi dalam kurun
waktu tertentu.
Denominator adalah jumlah hari pemasangan alat dalam
kurun waktu tertentu atau jumlah pasien yang dilakukan tindakan pembedahan dalam
kurun waktu tertentu.
b) Menganalisis
incidence rate infeksi
Data harus dianalisa dengan cepat dan tepat untuk
mendapatkan informasi apakah ada masalah infeksi rumah sakit yang memerlukan
penanggulangan atau investigasi lebih lanjut.
118
CONTOH FORMULIR LAPORAN SURVEILANS KE DINAS KESEHATAN DAN KEMENTERIAN KESEHATAN
INDONESIA
119
120
Tahap 6: Stratifikasi risiko
Stratifikasi risiko infeksi berdasarkan kategori risk,
yaitu klasifikasi operasi, klasifikasi ASA jenis dan T.Time
a) Klasifikasi
Luka Operasi :
1) Operasi
Bersih
2) Operasi
Bersih Tercemar
3) Operasi
Tercemar
4) Operasi
Kotor atau dengan Infeksi.
b) Kondisi
Pasien Berdasarkan American Society of
Anesthesiologists (ASA Score):
1) ASA
1 : Pasien sehat
2) ASA
2 : Pasien dengan gangguan sistemik ringan– sedang
3) ASA
3 : Pasien dengan gangguan sistemik
berat
4) ASA
4 : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
kehidupan
5) ASA
5 : Pasien tidak diharapkan hidup walaupun dioperasi atau
tidak.
Stratifikasi Berdasarkan
Indeks Risiko Menurut National
Healthcare Surveilance Network(NHSN)
Berdasarkan :
q Klasifikasi luka
(kategori operasi)
Ø Bersih 0
Ø Bersih
tercemar
Ø Tercemar 1
Ø Kotor
q Klasifikasi kondisi
pasien
Ø ASA
: 1 0
Ø ASA
: 2
Ø ASA
: 3
Ø ASA
: 4 1
Ø ASA
: 5
q Durasi operasi /
T.Time / T Point :
Ø Sesuai
dengan waktu yang ditentukan nilai
0
Ø Lebih
dari waktu yang ditentukan nilai 1
4. Interpretasi
Tahap 7 : Interpretasi
Interpretasi yang dibuat harus menunjukkan informasi
tentang penyimpangan yang terjadi. Bandingkan angka infeksi rumah sakit apakah
ada penyimpangan, dimana terjadi kenaikan atau penurunan yang cukup tajam.
Bandingkan rate infeksi dengan
NNIS/CDC/WHO.Perhatikan dan bandingkan kecenderungan menurut jenis infeksi,
ruang perawatan dan mikroorganisme patogen penyebab bila ada. Jelaskan
sebab-sebab peningkatan atau penurunan angka infeksi rumah sakit dengan
melampirkan data pendukung yang relevan dengan masalah yang dimaksud.
5. Pelaporan
Tahap 8: Laporan
a)
Laporan dibuat secara periodik, tergantung
institusi bisa setiap triwulan, semester, tahunan atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.
b) Laporan
dilengkapi dengan rekomendasi tindak lanjut bagi pihak terkait dengan
peningkatan infeksi.
c)
Laporan didesiminasikan kepada pihak-pihak
terkait.
d) Tujuan
diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk
menetapkan strategi pengendalian infeksi rumah sakit.
6. Evaluasi
Tahap 9: Evaluasi surveilance system
a)
Langkah-langkah proses surveilans
b)
Ketepatan waktu dari data
c)
Kualitas data
d)
Ketepatan analisa
e)
Hasil penilaian: apakah sistem surveilans sudah
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Hasil pelaksanaan surveilans merupakan dasar untuk
melakukan perencanaan lebih lanjut. Jika terjadi peningkatan infeksi yang
signifikan yang dapat dikatagorikan kejadian luar biasa, maka perlu dilakukan
upaya penanggulangan kejadian luar biasa.
BAB V PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian infeksi dibutuhkan pendidikan dan pelatihan baik terhadap seluruh
SDM fasilitas pelayanan kesehatan maupun pengunjung dan keluarga pasien. Bentuk
pendidikan dan/atau pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
a. Komunikasi,
informasi, dan edukasi
b. Pelatihan
PPI
Pendidikan dan pelatihan
pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau organisasi profesi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, serta petugas fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki
kompetensi di bidang PPI, termasuk Komite atau Tim PPI. Pendidikan dan
pelatihan bagi Komite atau Tim PPI dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib
mengikuti pendidikan danpelatihan dasardanlanjut serta pengembangan pengetahuan
PPI lainnya.
b. Memiliki
sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Mengembangkan
diri dengan mengikuti seminar, lokakarya dan sejenisnya.
d. Mengikuti
bimbingan teknis secara berkesinambungan.
e. Perawat
PPI pada Komite atau Tim PPI (Infection
Prevention and Control Nurse/IPCN) harus mendapatkan tambahan pelatihan
khusus IPCN pelatihan tingkat lanjut.
f. Infection Prevention and Control Link Nurse/IPCLN
harus mendapatkan tambahan pelatihan PPI tingkat lanjut.
Pendidikan dan pelatihan bagi Staf
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Semua
staf pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus mengetahui prinsip-prinsip PPI antara lain
melalui pelatihan PPI tingkat dasar.
b. Semua
staf non pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilatih dan mampu
melakukan upaya pencegahan infeksi meliputi hand
hygiene, etika batuk, penanganan limbah, APD (masker dan sarung tangan) yang
sesuai.
c. Semua
karyawan baru, mahasiswa, PPDS harus mendapatkan orientasi
PPI.
Pendidikan bagi Pengunjung dan keluarga
pasien berupa komunikasi, informasi, dan tentang PPI terkait penyakit yang
dapat menular.
BAB VI PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
Pemberian terapi antimikroba merupakan
salah satu tata laksana penyakit infeksi yang bertujuan membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroba di dalam tubuh. Mikroba yang melemah atau mati
akibat antimikroba, akan dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh secara
alamiah. Jika mikroba penyebab infeksi telah resisten terhadap antimikroba yang
digunakan, maka mikroba tersebut tetap bertahan hidup dan berkembang biak
sehingga proses infeksiterus berlanjut.
Suatu spesies bakteri secara alami
dapat bersifat resisten terhadap suatu antibiotik. Sifat resisten ini dapat
terjadi misalnya karena bakteri tidak memiliki organ atau bagian dari organ sel
yang merupakan target kerja antibiotik. Sifat resisten alami juga dapat terjadi
karena spesies bakteri tertentu memiliki dinding sel yang bersifat tidak
permeabel untuk antibiotik tertentu.
Suatu populasi spesies bakteri belum tentu mempunyai kepekaan yang
seragam terhadap suatu antibiotik. Terdapat kemungkinan bahwa dalam suatu
populasi spesies tersebut sebagian kecil bersifat resisten parsial atau komplet
secara alami. Bila populasi yang heterogen tersebut terpapar antibiotik maka
sebagian kecil populasi yang bersifat resisten akan bertahan hidup dan
berkembang biak dengan cepat melebihi populasi bakteri yang peka dan dapat
berkembang biak di dalam tubuh pasien dan dikeluarkan dari tubuh (misalnya
melalui tinja) sehingga dapat menyebar di lingkungan. Keadaan ini yang disebut
sebagai “selective pressure”. Sifat
resistensi suatu spesies atau strain bakteri dapat pula diperoleh akibat
perpindahan materi genetik pengkode sifat resisten, yang terjadi secara
horizontal (dari satu spesies/strain ke spesies/strain lainnya) atau vertikal
(dari sel induk ke anaknya).
Permasalahan resistensi yang terus
meningkat diberbagai negara termasuk Indonesia terutama terjadi akibat
penggunaan antimikroba yang kurang bijak. Hal ini berdampak buruk pada
pelayanan kesehatan terutama dalam penanganan penyakit infeksi. Pelaksanaan
program pengendalian resistensi antimikroba di pelayanan kesehatan yang
melibatkan tim PPI sebagai salah satu unsur diharapkan dapat mencegah muncul
dan menyebarnya mikroba resisten sehingga penanganan penyakit infeksi menjadi
optimal. Pencegahan munculnya mikroba resisten diharapkan dapat dicapai melalui
penggunaan antibiotik secara bijak (‘prudent
use of antibiotics’) dan pencegahan menyebarnya mikroba resisten melalui
pelaksanaan kegiatan PPI yang optimal.
Penggunaan antibiotik secara bijak
dapat dicapai salah satunya dengan memperbaiki perilaku para dokter dalam
penulisan resep antibiotik. Antibiotik hanya digunakan dengan indikasi yang
ketat yaitu dengan penegakan diagnosis penyakit infeksi menggunakan data klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah tepi, radiologi,
mikrobiologi dan serologi. Dalam keadaan tertentu penanganan kasus infeksi
berat ditangani secara multidisiplin.
Pemberian antibiotik pada pasien
dapat berupa:
1. Profilaksis
bedah pada beberapa operasi bersih (misalnya kraniotomi, mata) dan semua
operasi bersih terkontaminasi adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan
paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi daerah
operasi. Pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor,pasien diberi terapi
antibiotik sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik profilaksis.
2. Terapi
antibiotik empirik yaitu penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau diduga
infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Terapi antibiotik
empirik ini dapat diberikan selama 3-5 hari. Antibiotik lanjutan diberikan
berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. Sebelum pemberian
terapi empirik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi. Jenis antibiotik empirik
ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
3. Terapi
antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dan kepekaannya terhadap antibiotik.
Penerapan program pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit secara rinci dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8
Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan telah mengupayakan agar fasilitas pelayanan
kesehatan terutama rumah sakit menerapkan pengendalian resistensi antimikroba.
BAB VII MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kegiatan tetap pada
jalurnya sesuai pedoman dan perencanaan program dalam rangka pengendalian suatu
program, selain juga memberikan informasi kepada pengelola program akan hambatan
dan penyimpangan yang terjadi sebagai masukan dalam melakukan evaluasi. Dalam
program PPI monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengukur keberhasilan
pelaksanaan program dan kepatuhan penerapan oleh petugas serta evaluasi angka
kejadian HAIs melalui pengkajian risiko infeksi/Infection Control Risk Assesment (ICRA), audit, dan monitoring dan
evaluasi lainya secara berkala yang
dilakukan oleh Komite atau Tim PPI.
A. Pengkajian
Risiko Infeksi (Infection Control Risk
Assesment/Icra)
Salah satu program dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan adalah melakukan
pengkajian risiko.Pengkajian risiko sebaiknya dilakukan setiap awal tahun
sebelum memulai program dan dapat setiap saat ketika dibutuhkan.
1. Definisi
a) Risiko
adalah potensi terjadinya kerugian yg dapat timbul dari proses kegiatan saat
sekarang atau kejadian dimasa datang (ERM,Risk
Management Handbook for Health Care Organization).
b) Manajemen
risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun
prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan
dampaknya. Suatu proses penilaian untuk menguji sebuah proses secara rinci dan
berurutan, baik kejadian yang aktual maupun yang potensial berisiko ataupun
kegagalan dan suatu yang rentan melalui proses
yang logis, dengan memprioritaskan area yang akan di perbaiki
berdasarkan dampak yang akan di timbulkan
baik aktual maupun potensial dari suatu proses perawatan, pengobatan ataupun
pelayanan yang diberikan.
c) Pencatatan
risiko adalah pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk kemudian
dilakukan pemeringkatan (grading)
untuk menentukan matriks risiko dengan kategori merah, kuning dan hijau.
d) ICRA
adalah proses multidisiplin yang berfokus pada pengurangan infeksi,
pendokumentasian bahwa dengan
mempertimbangkan populasi pasien, fasilitas dan program:
1) Fokus
pada pengurangan risiko dari infeksi,
2) Tahapan
perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi, pemeliharaan fasilitas,
dan
3) Pengetahuan
tentang infeksi, agen infeksi, dan lingkungan perawatan, yang memungkinkan
organisasi untuk mengantisipasi dampak potensial.
ICRA merupakan pengkajian yang di
lakukan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap risiko infeksi terkait
aktifitas pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan serta mengenali
ancaman/bahaya dari aktifitas tersebut.
2. Tujuan:
Untuk mencegah dan mengurangi risiko terjadinya HAIs pada
pasien, petugas dan pengunjung di rumah sakit dengan cara :
a) Mencegah
dan mengontrol frekuensi dan dampak risiko terhadap :
1) Paparan
kuman patogen melalui petugas, pasien
dan pengunjung
2) Penularan
melalui tindakan/prosedur invasif yang dilakukan baik melalui peralatan,tehnik
pemasangan, ataupun perawatan terhadap HAIs.
b) Melakukan
penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat ditindak lanjuti berdasarkan
hasil penilaian skala prioritas
3. Infection Control Risk Assessment, terdiri
dari:
a) External
1) Terkait
dengan komunitas: Kejadian KLB dikomunitas yang berhubungan dengan penyakit
menular: influenza, meningitis.
2) Penyakit
lain yg berhubungan dengan kontaminasi pada makanan, air seperti hepatitis A dan
salmonela.
3) Terkait
dengan bencana alam : tornado, banjir, gempa, dan lainlain.
4) Kecelakaan
massal : pesawat, bus, dan lain-lain.
b) Internal
1) Risiko
terkait pasien : Jenis kelamin, usia, populasi kebutuhan khusus
2) Risiko
terkait petugas kesehatan
- Kebiasaan
kesehatan perorangan
- Budaya
keyakinan tentang penyakit menular
- Pemahaman
tentang pencegahan dan penularan penyakit
- Tingkat
kepatuhan dalam mencegah infeksi
(Kebersihan tangan, pemakaian APD , tehnik isolasi),
- Skrening
yang tidak adekuat terhadap penyakit menular
- Kebersihan
tangan
- NSI
3) Risiko
terkait pelaksanaan prosedur
- Prosedur
invasif yang dilakukan
- Peralatan
yang dipakai
- Pengetahuan
dan pengalaman dalam melakukan suatu
tindakan
- Persiapan
pasien yang memadai
- Kepatuhan
terhadap tehnik pencegahan yang direkomendasikan
4) Risiko
terkait peralatan
Pembersihan, desinfektan dan
sterilisasi untuk proses peralatan:
- Instrumen
bedah
- Prostesa
- Pemrosesan
alat sekali pakai
- Pembungkusan
kembali alat
- Peralatan
yang dipakai 5) Risiko terkait lingkungan
- Pembangunan
/ renovasi
- Kelengkapan
peralatan
- Pembersihan
lingkungan
Pengkajian Risiko Infeksi (Infection Control Risk Assesment/ICRA)
terdiri dari 4 (empat) langkah, yaitu :
1. Identifikasi
risiko
Proses manajemen risiko bermula dari
identifikasi risiko dan melibatkan:
a) Penghitungan
beratnya dampak potensial dan kemungkinan frekuensi munculnya risiko.
b) Identifikasi
aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang menempatkan pasien, tenaga kesehatan dan
pengunjung pada risiko.
c) Identifikasi
agen infeksius yang terlibat, dan
d) Identifikasi
cara transmisi.
2. Analisa
risiko
a) Mengapa
hal ini terjadi ?
b) Berapa
sering hal ini terjadi ?
c) Siapa
saja yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut ?
d) Dimana
kejadian tersebut terjadi ?
e) Apa
dampak yang paling mungkin terjadi jika tindakan yang sesuai tidak dilakukan ?
f) Berapa
besar biaya untuk mencegah kejadian tersebut ?
3. Kontrol
risiko
a) Mencari
strategi untuk mengurangi risiko yang akan mengeliminasi atau mengurangi risiko
atau mengurangi kemungkinan risiko yang ada menjadi masalah.
b) Menempatkan
rencana pengurangan risiko yang sudah disetujui pada masalah.
4. Monitoring
risiko
a) Memastikan
rencana pengurangan risiko dilaksanakan.
b) Hal
ini dapat dilakukan dengan audit dan atau surveilans dan memberikan umpan balik
kepada staf dan manajer terkait.
Dalam bentuk skema langka-langkah ICRA
digambarkan sebagai berikut:
Sumber:
Basic Consepts of Infection
Control, IFEC, 2011 Dibawah ini ada tabel yang menerangkan cara membuat
perkiraan risiko, derajat keparahan dan frekuensi terjadinya masalah:
Jenis risiko dan tingkat risiko berbeda
di setiap unit fasilitas pelayanan kesehatan, seperti di IGD, ICU, instalasi
bedah, rawat inap, laboratorium, renovasi/pembangunan, dan lainnya. Pencatatan
risiko adalah pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk kemudian
dilakukan pemeringkatan (grading)
untuk menentukan matriks risiko dengan kategori
merah, kuning dan hijau.
Pemeringkatan (grading) dalam bentuk table
sebagai berikut:
SKOR : Nilai Probabilitas X Nilai
Risiko/Dampak X Nilai Sistem yang ada Untuk
Kasus yang Membutuhkan Penanganan Segera
Tindakan sesuai Tingkat dan Band
Risiko
Pengkajian risiko pencegahan dan pengendalian infeksi di
fasilitas pelayanan kesehatan didapatkan melalui masukan dari lintas unit yaitu :
a.
Pimpinan
b.
Anggota Komite PPIRS, IPCN / IPCN-link
c. Staf
medik
d.
Perawat
e. Laboratorium
f.
Unit Produksi Makanan
g. Unit
Pelayanan Laundri
h. Unit
Perawatan Intensif
i.
Unit Rawat Jalan
j.
Unit Sanitasi dan Lingkungan
k. Instalasi
Sterilisasi Pusat
l. Instalasi
Laboratorium
m. Instalasi
Farmasi
n.
Instalasi Jenazah
o. Koordinator
lain yang diperlukan
p. Komite
Mutu
q. Staf
PPIRS
r.
IPCD/IPCO/IPCN/IPCN-link
s.
Petugas kesehatan lain
t. Staf
medik
u. Bidang
Keperawatan
v.
Bidang Teknik
w. Administrasi
Gambar 37. Prioritas Pengaturan
4. Infection
Control Risk Assessmen Renovasi/Pembangunan Gedung Baru
Penilaian Risiko Dampak Renovasi atau Konstruksi yang dikenal
sebagai Infection Control Risk Assessment
(ICRA) adalah suatu proses
terdokumentasi yang dilakukan sebelum memulai kegiatan pemeliharaan, perbaikan,
pembongkaran, konstruksi, maupun renovasi untuk mengetahui risiko dan dampaknya
terhadap kualitas udara dengan mempertimbangkan potensi pajanan pada pasien.
Sistem HVAC (heating, ventilation, air conditioning) adalah sistem pemanas,
ventilasi, dan pendingin udara di sarana pelayanan kesehatan yang dirancang
untuk: a) menjaga suhu udara dan kelembaban dalam ruangan pada tingkat yang
nyaman untuk petugas, pasien, dan pengunjung; b) kontrol bau, c) mengeluarkan
udara yang tercemar, d) memfasilitasi penanganan udara untuk melindungi petugas
dan pasien dari patogen airborne, dan
e) meminimalkan risiko transmisi patogen udara dari pasien infeksi. Sistem HVAC mencakupudara
luar inlet, filter, mekanisme modifikasi kelembaban (misalnya kontrol
kelembaban musim panas, kelembaban musim dingin), pemanas dan pendingin
peralatan, exhaust, diffusers, atau
kisi-kisi untuk distribusi udara. Penurunan kinerja sistem fasilitas kesehatan
HVAC, inefisiensi filter, pemasangan yang tidak benar, dan pemeliharaan yang
buruk dapat berkontribusi pada penyebaran infeksi airborne.
a) RUANG
LINGKUP
Ruang lingkup penilaian kriteria risiko akibat dampak
renovasi atau konstruksi menggunakan metode ICRA adalah:
1) Identifikasi
Tipe Proyek Konstruksi
Tahap pertama dalam kegiatan ICRA adalah melakukan
identifikasi tipe proyek konstruksi dengan menggunakan Tabel 10.Tipe proyek
konstruksi ditentukan berdasarkan banyaknya debu yang dihasilkan, potensi
aerosolisasi air, durasi kegiatan konstruksi, dan sistem sharing HVAC.
2) Identifikasi
Kelompok Pasien Berisiko
Selanjutnya identifikasi Kelompok Pasien Berisiko (Tabel
11.) yang dapat terkena dampak konstruksi. Bila terdapat lebih dari satu
kelompok pasien berisiko, pilih kelompok berisiko yang paling tinggi.Pada semua
kelas konstruksi, pasien harus dipindahkan saat pekerjaan dilakukan.
3) Menentukan
Kelas Kewaspadaan dan intervensi PPI
Kelas Kewaspadaan ditentukan melalui pencocokan Kelompok
Pasien Berisiko (R,S,T,ST) dengan Tipe Proyek Konstruksi (A,B,C,D) berdasarkan
matriks pencegahan dan pengendalian infeksi.
4) Menentukan
Intervensi Berdasarkan Kelas Kewaspadaan
Penentuan intervensi PPI dilakukan setelah Kelas
Kewaspadaan diketahui. Apabila Kelas
Kewaspadaan berada pada Kelas III dan IV, maka diperlukan Perizinan Kerja dari
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
dan dilakukan identifikasi dampak lain di daerah sekitar area proyek.
5) Identifikasi
area di sekitar area kerja dan menilai dampak potensial
Pada Kelas Kewaspadaan III dan IV, perlu dilakukan
identifikasi daerah sekitar area proyek dan tingkat risiko lokasi tersebut.
Identifikasi dampak potensial lain dapat diketahui dengan mengisi Tabel 14.
b) AUDIT
Audit berarti melakukan pengecekan
terhadap praktik aktual terhadap standar yang ada, termasuk tentang membuat
laporan ketidakpatuhan atau isu-isu yang dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan
lainnya atau oleh Komite PPI. Pemberitahuan hasil audit kepada staf dapat
membantu mereka untuk mengidentifikasi dimana perbaikan yang diperlukan. Audit
internal termasuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas proses
manajemen risiko RS. Manajemen risiko dibuat untuk menciptakan obyektifitas
kemudian mengidentifikasi, melakukan analisis, dan respon terhadap
risiko-risiko tersebut yang secara potensial akan mempengaruhi kemampuan RS
untuk menyadari keobyektifannya. Auditor internal dapat memberikan nasihat dan
membantu mengidentifikasi risiko-risiko yang bersifat darurat.
Standar audit internal membutuhkan
perkembangan suatu rencana dari proyek audit berdasarkan pada pengkajian risiko
yang diperbaharui setiap tahun dengan memakai konsep PDSA yaitu Plan, Do,Study, dan Act. Siklus
PDSA merupakan cara pintas untuk mengembangkan suatu rencana untuk melakukan
pengetesan perubahan (Plan),
melaksanakan rencana (Do),
mengobservasi dan belajar dari konsekuensi yang ada (Study), dan menentukan modifikasi apa yang harus dibuat (Act).
Pedoman Audit PPI harus dibuat berdasarkan
referensi terbaru, dapat diterima dan mudah diterapkan, bertujuan untuk
mengembangkan kebijakan dan prosedur PPI. Umpan balik hasil audit PPI kepada
staf diharapkan akan mewujudkan perbaikan melalui perubahan pemahaman (mind set) dan perilaku petugas yang
secara tidak langsung akan berdampak pada upaya perubahan perilaku pasien dan
pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan. Audit dapat dilakukan oleh Komite PPI
atau petugas terpilih lainnya.
1) Metode
Audit
Prioritas dilakukan pada area yang sangat penting di
fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain area risiko tinggi, yang dievaluasi
melalui hasil surveilans atau KLB. Audit yang efektif terdiri dari suatu
gambaran lay out fisik, kajian ulang
atau alur traffic, protocol dan
kebijakan, makanan dan peralatan dan observasi dari praktik PPI yang sesuai.
Audit harus dilaksanakan pada waktu yang sudah ditentukan, dapat dilakukan
dengan wawancara staf dan observasi keliling, audit ini sederhana namun
menghabiskan banyak waktu, sehingga disarankan menggunakan siklus cepat rencana
audit.
2) Persiapan
Tim Audit
Semua tenaga kesehatan dan staf
pendukung harus dimasukkan dalam persiapan suatu audit. Tim harus diberi
pemahaman bahwa tujuan audit adalah untuk memperbaiki praktik PPI yang telah
dilaksanakan. Pertemuan sebelum audit sangat penting untuk menjelaskan dan
mendiskusikan target dan objektif dari audit, bagaimana hal tersebut akan
dilakukan, dan bagaimana hasilnya akan dilaporkan. Hal ini bukan berarti untuk
menghukum atau mencari kesalahan.
Staf harus memahami bahwa pendekatan
objektif dan audit akan dilakukan secara konsisten dan kerahasiaannya akan
dilindungi. Tim audit harus mengidentifikasi para pemimpin di setiap area yang
di audit dan terus berkomunikasi dengan mereka. Pengambil keputusan dan
pembimbing perlu untuk mendukung tim audit jika terdapat perubahan yang
diperlukan setelah audit.
Pengisian kuisioner oleh pegawai tentang
praktik PPI yang aman harus dibagikan dan disosialisasikan sebelum adanya
audit.Kuisioner dapat dikembangkan terus-menerus membantu penentuan praktik
area yang harus diaudit. Responden mencantumkan identitas dengan pekerjaan
(contoh: perawat, dokter, radiographer, costumer services). Kuisioner bisa
dimodifikasi agar sesuai dengan departemen atau area yang diaudit.Suatu tenggat
waktu harus diberikan sehingga kuisioner kembali tepat waktu. Satu orang pada
setiap area survei harus ditanyakan untuk memastikan kuisioner lengkap dan aman
untuk pengumpulan dan tabulasi oleh tim audit. Hasil dapat mempersilahkan
Komite PPI untuk menentukan dimana edukasi tambahan diperlukan.Diseminasi hasil
dan diskusi jawaban yang benar dapat digunakan sebagai alat edukasi.
3) Prinsip-prinsip
Dasar
Bundles
adalah kumpulan proses yang dibutuhkan untuk perawatan secara efektif dan
aman untuk pasien dengan treatment
tertentu dan memiliki risiko tinggi. Beberapa intervensi di bundlebersama, dan ketika dikombinasikan
dapat memperbaiki kondisi pasien secara signifikan. Bundles sangat berguna dan telah dikembangkan untuk VAP, ISK dan
IADP. Suatu set bundles termasuk:
a) Suatu
komitmen pernyataan dari tim klinis.
b) Chart
sebab akibat yang menggambarkan bukti untuk praktik yang optimal dan digunakan
juga untuk RCA dari ketidaksesuaian, dalam hubungannya dengan standar.
c) SOP
untuk bundle termasuk kriteria
spesifik.
d) Lembar
pengumpul data.
e) Penjelasan
bundle kepada staf klinik (grup
diskusi, presentasi slide).
Bundles
secara khusus terdiri atas set kritikal kecil dari suatu prosedur (biasanya
3-5), semuanya ditentukan oleh bukti kuat, dimana ketika dilakukan bersama-sama
menciptakan perbaikan yang bagus. Secara sukses dalam melengkapi setiap langkah
adalah suatu proses langsung dan bisa diaudit.
Jenis audit:
a) Toolkit
audit dari “the Community and Hospital
Infection Control Association” Kanada.
b) Toolkit
audit WHO.
c) Audit
dilaksanakan pada :
d) Kebersihan
tangan (kesiapan dan praktik, suplai seperti sabun, tissue, produk handrub berbasis alkohol).
e) Memakai
kewaspadaan standar/praktik rutin.
f) Menggunakan
kewaspadaan isolasi.
g) Menggunakan
APD.
h) Monitoring
peralatan sterilisasi.
i) Pembersihan,
disinfeksi, dan sterilisasi peralatan pakai ulang seperti bronkoskopi, dan
instrument bedah.
j) Pembersihan
area lingkungan perawatan.
k) Praktik
HD, peralatan dan fasilitas.
l) Praktik
PPI di OK,aseptik, dan antiseptik pra-bedah, kontrol alur, persiapan kulit
pasien, pencukuran (pada daerah khusus), kebersihan tangan bedah, dan
antibiotika profilaksis.
m) Praktik
dan alat medis yang diproses ulang di klinik dan kantor dokter.
n) Isu-isu
keselamatan kerja seperti tertusuk benda tajam/jarum, vaksinasi petugas.
o) Manajemen
KLB.
p) Alat
audit sendiri untuk Komite PPI.
Data audit dapat digunakan sebagai
tujuan/target tahunan program PPI. Juga dapat membantu dalam pengambilan
keputusan pemenuhan standar di fasyankes.
4) Laporan
Hasil audit yang telah lengkap dikaji
ulang bersama pihak manajemen dan staf di area yang diaudit sebelum dilaporkan.
Di dalam laporan harus diinformasikan bagaimana audit dilakukan, metode yang
dipakai, data kepatuhan, temuan, dan rekomendasi.
Laporan audit bisa tercakup di
dalam :
a) Laporan
mingguan: memberikan umpan balik yang cepat (contoh selama KLB atau setelah
terjadi kejadian tertusuk jarum).
b) Laporan
Bulanan: berisikan tentang surveilans, hasil audit, edukasi, pelatihan, dan
konsultasi.
c) Laporan
per empat bulan: merupakan laporan formal termasuk rekomendasi.
d) Laporan
tahunan: suatu ringkasan audit yang dilaksanakan selama setahun dan
menghasilkan perubahan atau perbaikan, biasanya diilustrasikan dengan grafik.
5) Perubahan
perilaku
Hasil audit dibutuhkan untuk memahami
bagaimana melakukan intervensi yang lebih tepat sehingga perubahan perilaku
dapat dicapai.
Tabel 16. Rencana Audit Tahunan
c) MONITORING
DAN EVALUASI BERKALA
1. Monitoring
kejadian infeksi dan kepatuhan terhadap pelaksanaan PPI dilakukan oleh IPCN dan
IPCLN.
2. Monitoring
surveilans menggunakan formulir terdiri dari : formulir pasien pasien baru,
formulir harian, dan formulir bulanan.
3. Kegiatan
monitoring dilakukan dengan melaksanakan surveilans dan kunjungan lapangan
setiap hari oleh IPCN dan ketua komite jika diperlukan.
4. Monitoring
dilakukan oleh Komite/Tim PPI dengan frekuensi minimal setiap bulan.
5. Evaluasi
oleh Komite/Tim PPI minimal setiap 3 bulan.
d) LAPORAN
1. IPCN
membuat laporan rutin: 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau jika diperlukan.
2. Komite/Tim
PPI membuat laporan tertulis kepada pimpinan fasyankes setiap bulan dan jika
diperlukan.
BAB VIII PENUTUP
Buku Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ini di harapkan dapat
menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan kesehatan,terutama dalam
mewujudkan keselamatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan serta melindungi
para petugas dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan dari kemungkinan
terpapar dengan HAIs, sehingga penerapan PPI ini berdampak pada peningkatan
kualitas yang bermutu, efektif dan efisien serta tercapainya kendali mutu dan
kendali biaya dalam pelayanan kesehatan.
Penerapan PPI di fasilitas pelayanan
kesehatan akan terlaksana dengan optimal bila di dukung oleh komitmen para
pengambil kebijakan dan seluruh petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan. Disamping itu petugas di Dinas Kesehatan diharapkan mampu memahami
program PPI ini agar dapat melakukan pengawasan dan pemantauan kualitas
pelayanan kesehatan pada fasyankes di wilayahnya.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 27 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI DI
FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN
PEDOMAN MANAJERIAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
BAB I
PELAYANAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSIDI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Kegiatan pencegahan dan pengendalian
infeksi (PPI) difasilitas pelayanan kesehatan merupakan suatu standar mutu
pelayanan dan penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun pengunjung.
Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan dan
pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan cost effectiveness. Pelaksanaan PPI difasilitas pelayanan kesehatan
harus dikelola dan diintegrasikan antara structural dan fungsional semua
departemen / instalasi / divisi / unit difasilitas pelayanan kesehatan sesuai
dengan falsafah dan tujuan PPI. Pengelolaan pelaksanaan PPI di fasilitas
pelayanan kesehatan dilaksanakan sebagai berikut:
1. Ada
kebijakan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan untuk membentuk pengelola
kegiatan PPI yang terdiri dari Komite atau Tim
PPI.
2. Pembentukan
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan, beban kerja dan/atau klasifikasi rumah
sakit. Contoh untuk RS kelas A dan B struktur organisasinya dalam bentuk Komite
PPI. Untuk RS kelas C dan D diperbolehkan berbentuk Tim PPI, sedangkan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya menyesuaikan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut.
3. Komite
atau Tim PPI bertanggung jawab langsung kepada pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan.
4. PPI
melibatkan komite/departemen / instalasi / unit yang terkait difasilitas
pelayanan kesehatan.
5. Adakebijakan
dan uraian tugas tentang PPI di fasilitas pelayanan kesehatan.
BAB II ORGANISASI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
Organisasi Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) disusun agar dapat mencapai visi,misi dan tujuan
dari penyelenggaraan PPI. PPI dibentuk berdasarkan kaidah organisasi yang
miskin struktur dan kaya fungsi dan dapat menyelenggarakan tugas, wewenang dan
tanggung jawab secara efektif dan efisien. Efektif dimaksud agar sumber daya
yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dimanfaatkan secara optimal.
A. KEBIJAKAN
1. Susunan
organisasi Komite PPI adalah Ketua, Sekretaris, dan Anggota yang terdiri dari
IPCN/Perawat PPI, IPCD/Dokter PPI dan anggota lainnya.
2. Susunan
organisasi Tim PPI adalah Ketua dan anggota yang terdiri dari dokter, Perawat
PPI / IPCN, dan anggota lainnya bila diperlukan.
3. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan harus memiliki IPCN yang bekerja purnawaktu dengan ratio1(satu) IPCN untuk
tiap 100 tempat tidur difasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
4. Untuk
fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki kapasitas tempat tidur kurang dari
100 harus memiliki IPCN minimal 1 (satu) orang.
5. Dalam
bekerja IPCN dapat dibantu beberapa IPCLN
(InfectionPrevention
and Control Link Nurse) dari tiap unit, terutama yang berisiko terjadinya
infeksi.
6. Kedudukan
IPCN secara fungsional berada di bawah komite PPI dan secara professional
berada di bawah keperawatan setara dengan senior
manajer
7. Setiap
1000 tempat tidur sebaiknya memiliki1 (satu) ahli Epidemiologi Klinik.
Untuk fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya nomenklatur organisasi PPI menyesuaikan dengan kondisi SDM dan
fasilitas yang dimiliki, namun harus tetap mengikuti kaidah penyelenggaraan
pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
tercantum dalam lampiran I peraturan menteri ini.
B. STRUKTUR
ORGANISASI
Pimpinan dan petugas kesehatan dalam
Komite PPI diberi kewenangan dalam menjalankan program dan menentukan sikap
pencegahan dan pengendalian infeksi.
Berdasarkan skema di atas maka
kedudukan Komite / Tim PPI harus berada langsung dibawah Pimpinan tertinggi di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Struktur Organisasi Komite PPI
Struktur Organisasi Tim PPI
B.1. Pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tugas :
1. Membentuk
Komite / Tim PPI dengan Surat Keputusan.
2. Bertanggung
jawab dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penyelenggaraan upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi.
3. Bertanggung
jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan prasarana termasuk anggaran
yang dibutuhkan.
4. Menentukan
kebijakan pencegahan dan pengendalian
infeksi.
5. Mengadakan
evaluasi kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi berdasarkan saran dari
Komite / Tim PPI.
6. Mengadakan
evaluasi kebijakan pemakaian antibiotika yang rasional dan disinfektan dirumah
sakit berdasarkan saran dari Komite / Tim PPI.
7. Dapat
menutup suatu unit perawatan atau instalasi yang dianggap potensial menularkan
penyakit untuk beberapa waktu sesuai kebutuhan berdasarkan saran dari Komite /
Tim PPI.
8. Mengesahkan
Standar Prosedur Operasional (SPO) untukPPI.
9. Memfasilitasi
pemeriksaan kesehatan petugas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terutama bagi
petugas yang berisiko tertular infeksi minimal 1 tahun sekali, dianjurkan 6
(enam) bulan sekali.
B.2. Komite PPI Tugas :
1. Menyusun
dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakanPPI.
2. Melaksanakan
sosialisasi kebijakan PPI, agar kebijakan dapat dipahami dan dilaksanakan oleh
petugas kesehatan.
3.
Membuat SPO PPI.
4. Menyusun
program PPI dan mengevaluasi pelaksanaan program tersebut.
5. Melakukan
investigasi masalah atau kejadian luar biasa HAIs (Healthcare Associated Infections).
6. Memberi
usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara pencegahan dan pengendalian
infeksi.
7. Memberikan
konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya dalam PPI.
8. Mengusulkan
pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan aman bagi yang
menggunakan.
9. Mengidentifikasi
temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia (SDM) rumah sakit dalam PPI.
10. Melakukan
pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
11. Berkoordinasi
dengan unit terkait lain dalam hal pencegahan dan pengendalian infeksi rumah
sakit, antara lain :
a. Tim
Pengendalian Resistensi Antimikroba (TPRA) dalam penggunaanan antibiotika yang
bijak dirumah sakit berdasarkan pola kuman dan resistensinya terhadap
antibiotika dan menyebarluaskan data resistensi antibiotika.
b. Tim
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) untuk menyusun kebijakan.
c. Tim
keselamatan pasien dalam menyusun kebijakan clinical
governance and patientsa fety.
12. Mengembangkan,
mengimplementasikan dan secara periodik mengkaji kembali rencana manajemen PPI
apakah telah sesuai kebijakan manajemen rumah sakit.
13. Memberikan
masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan pengadaan alat dan bahan
kesehatan, renovasi ruangan, cara pemrosesan alat, penyimpanan alat dan linen
sesuai dengan prinsip PPI.
14. Menentukan
sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan karena potensial menyebarkan
infeksi.
15. Melakukan
pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang daristandar prosedur /
monitoring surveilans proses.
16. Melakukan
investigasi, menetapkan dan melaksanakan penanggulangan infeksibila ada KLB
dirumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
B.2.1. Ketua Komite PPI Kriteria
:
1. Dokter
yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Pernah
mengikuti pelatihan dasar PPI.
Tugas :
1. Bertanggungjawab atas
-
Terselenggaranya dan evaluasi program PPI.
-
Penyusunan rencana strategis program PPI.
-
Penyusunan pedoman manajerial dan pedoman PPI.
-
TersedianyaSPOPPI.
-
Penyusunan dan penetapan serta mengevaluasi
kebijakan PPI.
-
Memberikan kajian KLB infeksi di RS.
-
Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan
PPI.
-
Terselenggaranya pengkajian pencegahan dan
pengendalian risiko infeksi.
-
Terselenggaranya pengadaan alat dan bahan
terkait dengan PPI.
-
Terselenggaranya pertemuan berkala.
2. Melaporkan kegiatan Komite PPI
kepada Direktur.
B.2.2. Sekretaris Komite PPI
Kriteria :
1. Dokter
/ IPCN / tenaga kesehatan lain yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Pernah
mengikuti pelatihan dasar PPI.
3. Purna
waktu.
Tugas :
1.
Memfasilitasi tugas ketua komite PPI.
2.
Membantu koordinasi.
3.
Mengagendakan kegiatan PPI.
B.2.3. Anggota Komite
1.
IPCN/Perawat PPI
2.
IPCD/Dokter PPI :
a.
Dokter wakil dari tiap KSM (Kelompok Staf
Medik).
b. Dokter
ahli epidemiologi.
c.
Dokter Mikrobiologi.
d.
Dokter Patologi Klinik.
3. Anggota komite lainnya, dari :
a. Tim
DOTS
b.
Tim HIV
c.
Laboratorium.
d. Farmasi.
e.
sterilisasi
f.
Laundri
g. Instalasi
Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS).
h. sanitasi
lingkungan
i.
pengelola makanan
j.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
k. Kamar
jenazah.
B.2.3.1. IPCD / Infection Prevention Control
Doctor Kriteria IPCD :
1.
Dokter yang mempunyai minat dalam PPI.
2.
Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI.
3. Memiliki
kemampuan leadership.
Tugas IPCD :
1. Berkontribusi
dalam pencegahan, diagnosis dan terapi infeksi yang tepat.
2. Turut
menyusun pedoman penggunaan antibiotika dan
surveilans.
3. Mengidentifikasi
dan melaporkan pola kuman dan pola resistensi antibiotika.
4. Bekerjasama
dengan IPCN / Perawat PPI melakukan monitoring kegiatan surveilans infeksi dan
mendeteksi serta investigasi KLB. Bersama komite PPI memperbaiki kesalahan yang
terjadi, membuat laporan tertulis hasil investigasi dan melaporkan kepada
pimpinan rumah sakit.
5. Membimbing
dan mengadakan pelatihan PPI bekerja sama dengan bagian pendidikan dan
pelatihan (Diklat) di rumah sakit.
6. Turut
memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat pasien.
7. Turut
membantu semua petugas kesehatan untuk memahami PPI.
B.2.3.2. IPCN (Infectionrevention
and Control Nurse) Kriteria IPCN :
1. Perawat
dengan pendidikan minimal Diploma III Keperawatan
2. Mempunyai
minat dalam PPI.
3. Mengikuti
pendidikan dan pelatihan dasar PPI dan IPCN.
4. Memiliki
pengalaman sebagai Kepala Ruangan atau setara.
5.
Memiliki kemampuan leadership dan inovatif.
6. Bekerja
purnawaktu.
Tugas dan Tanggung Jawab IPCN :
1. Melakukan
kunjungan kepada pasien yang berisiko di ruangan setiap hari untuk
mengidentifikasi kejadian infeksi pada pasien di baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
2. Memonitor
pelaksanaaan program PPI, kepatuhan penerapan SPO dan memberikan saran
perbaikan bila diperlukan.
3. Melaksanakan
surveilans infeksi dan melaporkan kepada
Komite/Tim PPI.
4. Turut
serta melakukan kegiatan mendeteksi dan investigasi KLB.
5. Memantau
petugas kesehatan yang terpajan bahan infeksius / tertusuk bahan tajam bekas
pakai untuk mencegah penularan infeksi.
6. Melakukan
diseminasi prosedur kewaspadaan isolasi dan memberikan konsultasi tentang PPI
yang diperlukan pada kasus tertentu yangterjadi di fasyankes.
7. Melakukan
audit PPI di seluruh wilayah fasyankes dengan menggunakan daftar tilik.
8. Memonitor
pelaksanaan pedoman penggunaan antibiotika bersama Komite/Tim PPRA.
9. Mendesain,melaksanakan,
memonitor, mengevaluasi dan melaporkan surveilans infeksi yang terjadi di
fasilitas pelayanan kesehatan bersama Komite / Tim PPI
10. Memberikan
motivasi kepatuhan pelaksanaan program
PPI.
11. Memberikan
saran desain ruangan rumah sakit agar sesuai dengan prinsip PPI.
12. Meningkatkan
kesadaran pasien dan pengunjung rumah sakit tentang PPI.
13. Memprakarsai
penyuluhan bagi petugas kesehatan, pasien, keluarga dan pengunjung tentang
topik infeksi yang sedang berkembang (New-emerging
dan reemerging) atau infeksi dengan
insiden tinggi.
14. Sebagai
coordinator antar departemen/unit dalam mendeteksi, mencegah dan mengendalikan
infeksi dirumah sakit.
15. Memonitoring
dan evaluasi peralatan medis single use
yang di re –use.
B.2.3.2.1. IPCLN (Infection
Prevention and Control Link Nurse) Kriteria IPCLN :
1. Perawat
dengan pendidikan minimal Diploma 3, yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Mengikuti
pendidikan dan pelatihan dasar PPI.
Tugas IPCLN :
IPCLN sebagai
perawat pelaksana harian/penghubung bertugas:
1. Mencatat
data surveilans dari setiap pasien diunit rawat inap masing-masing.
2. Memberikan
motivasi dan mengingatkan tentang pelaksanaan kepatuhan PPI pada setiap
personil ruangan di unitnya masing-masing.
3. Memonitor
kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam penerapan kewaspadaan isolasi.
4. Memberitahukan
kepada IPCN apa bila ada kecurigaan adanyaHAIs
pad apasien.
5. Bila
terdapat infeksi potensial KLB melakukan penyuluhan bagi pengunjung dan
konsultasi prosedur PPI berkoordinasi denganIPCN.
6. Memantau
pelaksanaan penyuluhan bagi pasien, keluarga dan pengunjung dan konsultasi
prosedur yang harus dilaksanakan.
B.2.3.3. Anggota Lainnya Kriteria:
1. Tenaga
diluar dokter dan perawat yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Mengikuti
pendidikan dan pelatihan dasar PPI.
Tugas:
1. bertanggung
jawab kepada ketua komite PPI dan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya
dalam penerapan
PPI
2. Memberikan
masukan pada pedoman maupun kebijakan terkait PPI.
B.3. Tim PPI
B.3.1. Ketua Tim Kriteria :
1. Dokter
yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Mengikuti
pendidikan dan pelatihan dasar PPI.
3. Memiliki
kemampuan leadership.
B.3.2. Anggota B.3.2.1 IPCN
Kriteria dan uraian tugas mengikuti kriteria dan tugas IPCN
pada komite PPI ,disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatannya.
B.3.2.2 Anggota lain Kriteria :
1. Perawat/tenaga
lain yang mempunyai minat dalam PPI.
2. Mengikuti
pendidikan dan pelatihan dasar PPI.
3. Memiliki
kemampuan leadership.
Tugas :
Tugas Tim PPI mengikuti tugas komite PPI disesuaikan dengan
fasilitas pelayanan kesehatannya.
C. Sarana dan Fasilitas Pelayanan
Penunjang
C.1. Sarana Kesekretariatan
-
Ruangan secretariat dan tenaga sekretarisyang
purna waktu.
-
Komputer,printer
dan internet.
-
Telepon dan Faksimili.
-
Sarana kesekretariat lainnya.
C.2. Dukungan Manajemen
Dukungan yang diberikan oleh
manajemen berupa :
a.
Surat Keputusan untuk Komite / Tim PPI.
b.
Menyediakan anggaran untuk:
-
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat).
-
Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang.
-
Pelaksanaan program, monitoring, evaluasi,
laporan dan rapat rutin.
-
Remunerasi / insentif/ Tunjangan / penghargaan
untuk Komite / Tim PPI.
C.3. Kebijakan dan Standar Prosedur
Operasional
Kebijakan yang perlu dipersiapkan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan adalah :
a. Kebijakan
tentang pendidikan dan pelatihan PPI sekaligus pengembangan SDM Komite / Tim.
b. Kebijakan
tentang pendidikan dan pelatihan untuk seluruh petugas di fasilitas pelayanan
kesehatan.
c.
Kebijakan tentang kewaspadaan isolasi meliputi
kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi termasuk kebijakan tentang
penempatan pasien.
d. Kebijakan
tentang PPI pada pemakaian alat kesehatan dan tindakan operasi.
e.
Kebijakan tentang kesehatan karyawan.
f.
Kebijakan tentang pelaksanaan surveilans.
g. Kebijakan
tentang penggunaan antibiotik yang bijak.
h. Kebijakan
tentang pengadaan bahan dan alat yang melibatkan tim PPI.
i.
Kebijakan tentang
pemeliharaan fisik dan sarana prasarana.
j.
Kebijakan penanganan kejadian luar biasa.
k. Kebijakan
tentang pelaksanaan audit PPI.
l.
Kebijakan tentang pengkajian risiko di fasilitas
pelayanan kesehatan.
SPO yang perlu
dipersiapkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan antara lain:
a. Kewaspadaan isolasi,:
1)
Kebersihan Tangan
2) Alat
Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker,kaca mata/pelindung mata,perisai
wajah, gaun, apron, sepatu bot/sandal
tertutup
3)
Dekontaminasi
Peralatan Perawatan Pasien
4)
Pengendalian Lingkungan
5)
Penatalaksanaan Limbah
6)
Penatalaksanaan Linen
7) Perlindungan
Petugas Kesehatan
8)
Penempatan Pasien
9) Higiene
Respirasi/Etika Batuk
10)
Praktek Menyuntik Yang Aman
11) Praktek
LumbalPungsi
b. Upaya pencegahan infeksi sesuai
pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, yang antara lain :
1)
Infeksi saluran kemih (ISK).
2)
Infeksi daerah operasi (IDO).
3)
Infeksi aliran darah (IAD).
4) Pneumonia
akibat penggunaan ventilator (VAP).
5) Kebijakan
tentang PPI lainnya (misalnya Phlebitis dan decubitus).
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Format 1
Format 2
Format 3
Format 4
-172-
No comments:
Post a Comment